© 2002 B.J. Pratondo
Posted: 2 December, 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
Oleh :
P 026014021/PSL
Email : tondobj@hotmail.com
Manusia hidup di dalam suatu lingkungan yang
beraneka ragam, antara komponen satu dengan komponen lainnya di dalam
lingkungan dan manusia itu sendiri terjalin hubungan yang komplek satu dengan
yang lain yang membentuk sumberdaya yang berupa sistem makanan dan pernapasan. Hubungan
timbal balik tersebut senantiasa mengarah kepada bentuk keseimbangan yang
disebut keseimbangan ekosistem. Keseimbangan
ekosistem harus terjaga, apabila didalam lingkungan manusia terjadi sesuatu
yang mengancam eksistensi manusia yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu
sendiri, maka terjadilah apa yang dinamakan pencemaran lingkungan hidup. Salah
satu pencemaran lingkungan hidup adalah banjir, dimana banjir timbul sebagai
akibat langsung atau tidak langsung dari aktivitas manusia (karena pembuangan
sampah ke sungai atau karena penebangan hutan yang tidak terkontrol atau
pemanfaatan tata ruang yang salah).
Dalam hukum ekologi, setiap gangguan
keseimbangan ekosistem akan selalu mengarah kepada proses keseimbangan kembali.
Lingkungan manusia akan selalu melakukan tindakan penyesuaian yang dinamakan
adaptasi, apabila banjir terjadi dalam kondisi yang lama maka masyarakat akan
terbiasa dalam suasana banjir, daya tahan masyarakat menjadi bertambah,
ketrampilan menjadi meningkat dalam suasana
banjir air tersebut, bahkan mungkin dengan lamanya banjir masyarakat
dapat mengelola lingkungannya dengan baik dan dapat memperoleh sumber penghidupan baru untuk kebutuhan sehari-hari
(pengojek motor berubah status menjadi tukang perahu, petani sawah menjadi
petani keramba ikan dll). Masyarakat yang tidak tahan banjir akan berpindah
tempat pada suatu lingkungan baru yang tidak banjir, tetapi problema utama
banjir adalah bahwa banjir itu pada umumnya tidak permanen. Banjir itu
datangnya tidak terduga dan surutnyapun juga sering tidak bisa diramalkan oleh
masyarakat sehingga terjadi ketidakseimbangan lingkungan.
Banjir merupakan permasalahan yang kompleks,
dimana unitnya adalah keragaman. Oleh karena itu, keragaman yang begitu besar
tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja.
Dalam hal ini, teori sistem mempernyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta
konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses keseluruhan disiplin
ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh, 1993;
Carnavayal,1992) di dalam Eriyatno (1999).
Setiap kali terjadi banjir di Jakarta sering
terdengar ungkapan banjir itu kiriman dari Bogor. Tudingan itu muncul karena
hampir semua sungai yang bermuara di Jakarta berhulu diwilayah kabupaten Bogor.
Daerah aliran sungai yang berasal dari Bogor adalah DAS Ciliwung, DAS Cakung,
DAS Angke, DAS Sunter, DAS Kalibaru dan DAS Krukut. Banjir yang terjadi di
Jakarta tidak hanya karena aliran air dari Bogor dimana banjir kiriman berarti
hujan hanya terjadi di daerah Bogor, kenyataannya hujan juga terjadi di
Jakarta, ditambah dengan pasang laut. DAS hulu Ciliwung berbentuk seperti
corong yang terdiri dari berbagai anak sungai dan menyempit di bendungan utama
Ciliwung di Katulampa. Seandainya banjir itu limpahan dari hulu, tentu kota
Bogor akan banjir terlebih dahulu.
Banjir yang terjadi di Jabotabek merupakan
masalah yang harus segera ditangani agar akibat yang ditimbulkannnya tidak
banyak merusak dan merugikan masyarakat sekitarnya, mengingat Jakarta merupakan
Ibukota negara yang merupakan citra negara dan barometer ekonomi. Usaha-usaha
untuk mencegah dan mengurangi akibat terjadinya banjir harus segera dilakukan.
1.2 Tujuan Sistem Pengendalian
Banjir di Jabotabek
Tujuan penulisan malakah ini adalah :
1.
Menyusun
sistem pengendalian banjir di
Jabotabek.
2.
Menganalisis
strategi sistem pengendalian banjir dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
1.3 Ruang Lingkup Sistem Pengendalian Banjir di Jabotabek
Aplikasi sistem disesuaikan dengan keterbatasan tenaga, waktu dan biaya dimana tidak setiap persoalan manajemen diselesaikan dengan pendekatan sistem. Pembatasan ruang lingkung sering sekali digunakan untuk mendapatkan pengkajian yang effisien dan operasional (Eriyatno, 1999).
Dalam pembatasan ruang lingkup maka
langkah yang dapat ditempuh untuk meminimasi pengaruh dan output yang tidak
dikehendaki maka diperlukan kerangka berfikir kesisteman untuk pengendalian
banjir secara berkelanjutan. Oleh
karena itu, dalam pembuatan makalah ini disusun pengendalian banjir secara
sistematis sebagai suatu sistem yang terpadu.
Ruang
lingkup sistem pengendalian banjir di Jabotabek adalah faktor yang berkaitan
dengan penyebab terjadinya banjir yang meliputi perilaku manusia antara lain kesalahan perencanaan
pembangunan alur sungai, kesalahan tata wilayah, kesalahan pembangunan sarana
dan prasarana, erosi yang menyebabkan pengendapan dan pendangkalan sungai.
II. ANALISIS
SISTEM
2.1 Analisis Kebutuhan
Analisa kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyatno, 1999). Dalam melakukan analisa kebutuhan dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Hal ini perlu dilakukan secara hati-hati terutama dalam menentukan kebutuhan-kebutuhan dari semua orang utamanya yang terlibat dalam sistem. Dalam makalah ini pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian banjir dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian banjir adalah Masyarakat Jabotabek, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I & II, Pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis
Kebutuhan untuk Pihak yang Terlibat dalam Pengendalian Banjir
No. |
Pelaku |
Kebutuhan |
1. |
Masyarakat
Jabotabek |
·
Transportasi
lancar · Tempat tinggal yang layak · Ketersediaan air bersih · Tempat pembuangan sampah ·
Pertolongan
saat terjadi banjir |
2. |
Pemerintah
Pusat |
·
Koordinasi
sektoral antar instansi ·
Pembuatan
Tata Ruang Bopuncur ·
Peraturan
penggunaan lahan ·
Menjaga
citra Ibukota negara |
3. |
Pemerintah
daerah Tingkat I & II |
·
Penanganan
saat banjir ·
Penanganan
pasca banjir ·
Pelestarian
alam · Pembuatan saluran alternatif · Bebas banjir untuk wilayah yang strategis (ekonomi, industri dll) |
4. |
Pengusaha |
· Memperoleh lahan yang murah ·
Membuat
prasarana dan sarana ·
Pembuatan
IMB ·
Pinjaman
dana dari bank · Memperoleh keuntungan yang layak |
5. |
Lembaga
Swadaya Masyarakat |
·
Membantu
masyarakat yang tertimpa banjir ·
Mengontrol
kegiatan pemerintah ·
Mencari
donatur untuk para korban banjir |
2.2 Formulasi Permasalahan
Formulasi permasalahan merupakan pembahasan
permasalahan yang dihadapi berdasarkan beberapa kriteria yang kemudian
dievaluasikan. Eriyatno (1989) menyatakan bahwa formulasi permasalahan
didasarkan pada penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan selama
identifikasi sistem. Bila mungkin hal tersebut dikembangkan menjadi suatu
pernyataan tentang bagaimana sistem harus bekerja agar memenuhi kebutuhan yang
telah ditentukan dimana jumlah output yang spesifik dapat ditentukan, serta
kriteria jalannya sistem yang spesifik agar mencapai suatu optimasi.
Makalah ini mencoba penyusun sistem
pengendalian banjir di Jabotabek dan dapat diformulasikan seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Formulasi Permasalahan dari Pihak yang
Terlibat dalam Pengendalian Banjir
No. |
Pelaku |
Formulasi
Permasalahan |
1. |
Masyarakat Jabotabek |
· Kurang informasi saat banjir ·
Kegiatan
ekonomi terganggu ·
Lalu
lintas macet · Sulit mendapatkan air bersih · Membuang sampah di sungai |
2. |
Pemerintah
Pusat |
·
Ego
sektoral muncul pada setiap instansi · Tata ruang yang ditetapkan sulit dikontrol · Pelanggaran penggunaan lahan |
3. |
Pemerintah daerah Tingkat I & II |
· Saling menyalahkan antara daerah hulu dan hilir · Pembangunan rumah pada daerah tangkapan air (catchment area) · Penebangan hutan pada daerah hulu · Pembangunan villa liar · Perekonomian daerah terganggu |
4. |
Pengusaha |
· Lokasi yang strategis mahal · Pembangunan infrastruktur yang mahal · Birokratisasi pengurusan ijin · Tidak ada keringanan kredit dari pemerintah · Harga bahan dasar tidak stabil |
5. |
Lembaga
Swadaya Masyarakat |
·
Dana
terbatas ·
Sulit
mengevaluasi proyek pemerintah · LSM fiktif yang merusak citra LSM yang benar |
2.3 Identifikasi Sistem
Sistem pengendalian banjir Jabotabek merupakan kegiatan untuk meminimalkan terjadinya banjir dan perbaikan kualitas lingkungan di wilayah Jabotabek, berdasarkan diagram lingkar sebab akibat pengendalian banjir di Jabotabek dapat dilakukan dengan tiga kegiatan utama yaitu :
(1) Teknologi pengendalian banjir yang meliputi pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul, pembetonan dinding, dan pengerasan penampang sungai. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras ke hilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir. Pola pelurusan dan sudetan mengakibatkan percepatan aliran air menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Jika penampang sungai di tempat tersebut tidak mencukupi maka akan terjadi peluapan ke bagian bantaran. Jika bantaran sungai tidak cukup, bahkan mungkin telah penuh dengan rumah-rumah penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau bahkan alirannya berpindah arah. Pelurusan dan sudetan sungai pada hakikatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat dengan cara ini pada hakikatnya merupakan penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian hilirnya.
(2) Perencanaan tata ruang merupakan prespektif menuju keadaan pada masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai, serta memeperhatikan keragaman wawasan kegiatan setiap sektor. Perkembangan masyarakat dan lingkungan hidup berlangsung secara dinamis ; ilmu pengetahuan dan teknologi berkembanhg seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, agar rencana tata ruang yang telah disusun itu tetap sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan kembali.
Perencanaan tata ruang kawasan Bopuncur merupakan penetapan lokasi dominasi pemanfaatan ruang berdasarkan :
(a) fungsi kawasan utama yang meliputi kawasan lindung (hutan lindung, cagar alam, taman nasional, taman wisata alam, kawasan perlindungan setempat yang terdiri dari kawasan sempada sungai, kawasan sekitar mata air dan kawasan sekitar waduk/danau/situ) dan kawasan budidaya (kawasan pertanian lahan basah, kawasan permukiman, kawasan pertanian lahan kering, kawasan perkebunan dll).
(b) fungsi kawasan dan aspek kegiatan yang meliputi kawasan pedesaan (kawasan pertanian lahan basah dll) dan kawasan perkotaan (Keppres, 1999).
(3) Reboisasi merupakan kegiatan penanaman pohon kembali pada daerah-daerah yang gundul atau pada daerah-daerah yang berlereng curam dimana faktor erosi dapat cepat terjadi. Pohon yang ditanam berperan sebagai menahan atau mengurangi daya perusaka butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air diatas permukaan tanah sehingga melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi.
Dalam penyusunan sistem pengendalian banjir harus diperhatikan komponen-komponen yang akurat yang merupakan bagian input terkendali yang meliputi perencanaan tata ruang, teknologi pengendalian banjir dan reboisasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang komprehensif dan applicable tentang komponen-komponen tersebut.
Pada hakekatnya identifikasi sistem merupakan usaha untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif pada sebanyak mungkin peubah-peubah sistem dan mempelajari terjadinya kendala-kendala yang dihadapi. Komponen-komponen dalam input lingkungan dan input tidak terkendali merupakan aspek yang harus diantisipasi dalam pengendalian banjir di Jabotabek. Meskipun sulit untuk merubahnya tetapi dalam sistem ini perlu mengakomodasi kemungkinan perubahan yang akan terjadi pada komponen-komponen tersebut.
III. Model
Pengendalian Banjir dengan AHP
Tujuan utama dari hirarki ini adalah
Sistem Pengendalian Banjir di Jabotabek. Kriteria-kriteria yang dikembangkan
dalam pengendalian banjir adalah Pendangkalan Sungai, Pengelolaan DAS, Aliran
Permukaan, Daerah Resapan, Perilaku Masyarakat dan Reklamasi Pantai.
Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor
penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan
tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan
akhirnya meluap. Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan
(sedimentasi) terus-menerus, terutama di bagian hilir sungai. Masalah
pendangkalan sungai sudah sangat serius dan ditemukan di hampir seluruh daerah
hilir/muara di Indonesia.
Daerah Aliran Sungai adalah wilayah tangkapan
air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang
terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS
terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan
air di bagian hulu. Manfaat langsung peningkatan retensi DAS adalah konservasi
air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan
air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Memperbaiki
retensi DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat
meresap secara alamiah ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke
hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara masal terhadap
pentingnya DAS melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan
terus-menerus.
Aliran permukaan yaitu air yang mengalir diatas
permukaan tanah. Bentuk aliran inilah yang penting sebagai penyebab erosi, oleh
karena merupakan pengangkutan bagian-bagaian tanah. Aliran permukaan
berpengaruh pada pengendalian banjir, semakin tinggi aliran permukaan semakin
cepat terjadinya banjir sehingga pengendalian aliran permukaan merupakan bagian
pengendalian banjir.
Daerah Resapan merupakan daerah tempat masuknya
air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak mesti) melalui permukaan dan secara
vertikal. Masuknya air dari luar ke permukaan tanah biasa disebut infiltrasi
sedangkan peristiwa bergeraknya air ke bawah dalam profil tanah biasa disebut
perkolasi. Daerah
resapan tidak bisa lepas dari infiltrasi dan perkolasi . Daerah resapan
berperan dalam pengendalian banjir, semakin banyak pori tanah yang tertutup
oleh bangunan atau gedung, daerah resapan akan semakin kecil sehingga
memperbesar terjadinga air yang mengalir di permukaan dan menyebabkan
terjadinya banjir.
Perilaku masyarakat penyebab banjir
yang meliputi pengundulan hutan, pembuangan sampah di sungai, pembangunan
pemukiman di bantaran sungai, pembangunan pemukiman yang diluar tata ruang
peruntukan dll. Perilaku masyarakat yang negatif ini dapat memperbesar dan
mempercepat terjadinya banjir, pernah terjadi di daerah Bogor tidak hujan dan
hujan hanya berada di Jakarta dalam tempo tidak terlalu lama sudah menyebabkan
terjadinya banjir hal ini diakibatkan oleh perilaku manusia yang membuang
sampah sembarangan khususnya pada daerah aliran sungai sehingga kapasitas
sungai tidak mencukupi dan terjadi luapan air yang mengakibatkan banjir atau
saluran irigasi yang tersumbat oleh sampah sehingga air yang seharusnya
mengalir di saluran irigasi meluap ke jalan-jalan.
Reklamasi pantai merupakan
pengurukan suatu wilayah dengan tanah atau bahan padat, yang
dahulu merupakan daerah tangkapan air (hutan mangrove, tambak, situ dll)
menjadi suatu daratan yang layak secara ekonomis. Perubahan penggunaan lahan
yang menyalahi hukum alam akan menyebabkan luapan air, air yang seharusnya
sudah bisa masuk kelaut karena adanya reklamasi pantai menyebabkan air mencari
jalan alternatif ke laut melalui perumahan-perumahan penduduk yang
mempunyai permukaan tanah yang rendah
dan menyebabkan terjadinya banjir diareal perumahan tersebut sehingga reklamasi
pantai pada intinya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat
banyak.
Setelah level kriteria semua diisi,
maka level alternatif diisi dengan Perencanaan Tata Ruang, Reboisasi dan
Teknologi Pengendalian (Gambar 1).
Setelah penyusunan hirarki selesai maka langkah selanjutnya adalah melakukan perbandingan antar elemen-elemen dengan memperhatikan pengaruh elemen pada level di atasnya. Pembagian pertama dilakukan untuk elemen-elemen pada level kriteria dengan memperhatikan level diatasnya, yaitu goal atau tujuan utamanya. Pembandingan dilakukan dengan skala satu sampai sembilan dan memenuhi aksioma-aksioma AHP.
Tujuan (Level 1)
Kriteria (Level 2) :
Alternatif
(Level 3):
Gambar 1. Hirarki Sistem Pengendalian Banjir di Jabotabek
Matriks perbandingan dari level dua dengan memperhatikan keterkaitannya dengan level satu adalah sebagai berikut :
Tabel 3.
Perbandingan Kepentingan Kriteria
|
PS |
PD |
AP |
DR |
PM |
RP |
Bobot Prioritas |
PS |
1 |
2 |
2 |
2 |
3 |
3 |
0,098 |
PD |
|
1 |
4 |
3 |
6 |
4 |
0,116 |
AP |
|
|
1 |
5 |
5 |
6 |
0,226 |
DR |
|
|
|
1 |
4 |
2 |
0,058 |
PM |
|
|
|
|
1 |
7 |
0,467 |
RP |
Incon 0,009 |
|
|
|
1 |
0,035 |
Keterangan :
PS |
= |
Pendangkalan Sungai |
PD |
= |
Pengelolaan DAS |
AP |
= |
Aliran Permukaan |
DR |
= |
Daerah Resapan |
PM |
= |
Perilaku Masyarakat |
RP |
= |
Reklamasi Pantai |
Dari
matrik perbandingan tersebut (Tabel 3.) terlihat bahwa perilaku masyarakat
(0,467) merupakan kriteria terpenting dalam pengendalian banjir dilanjutkan
aliran permukaan,(0,226), pengelolaan DAS (0,116), pendangkalan sungai (0,098),
daerah resapan (0,058) dan yang terakhir adalah reklamasi pantai (0,035). Urutan
tersebut berdasarkan bobot prioritas yang dihasilkan matriks perbandingan
tersebut dimana bobot yang lebih tinggi diletakkan sebagai faktor utama
pengendalian banjir sedangkan semakin kecil bobot tersebut akan semakin rendah
terhadap pengendalian banjir. Sebenarnya tanpa bobot prioritas dapat diperkirakan
kriteria yang penting dalam pengendalian banjir di Jabotabek yaitu perilaku
manusia, karena berdasarkan analisa keadaan di lapang, masyarakat Indonesia
belum terbiasa membuang sampah pada tempat yang disediakan sehingga menyebabkan
terjadinya penumpukan sampah pada suatu wilayah sehingga menyebabkan terjadinya
banjir hal ini bisa dilihat setelah terjadi banjir terjadi penumpukan sampah
pada kanal-kanal air sebagian sungai di Jabotabek.
Setelah
matriks perbandingan level dua selesai diisi dan dihitung bobot prioritasnya,
langkah selanjutnya, membuat matriks perbandingan antar elemen level tiga
dengan memperhatikan keterkaitannya dengan elemen level dua. Pada tahap ini ada
enam matriks perbandingan yang dibuat karena ada elemen-elemen level tiga yaitu
alternatif yang meliputi Perencanaan Tata Ruang, Reboisasi dan Teknologi
Pengendalian. Matriks perbandingan antara level dua yaitu kriteria dalam hal
ini adalah pendangkalan sungai terhadap level tiga adalah sebagai berikut
(Tabel 4.) :
Tabel 4. Perbandingan Kepentingan Alternatif Berdasarkan
Pertimbangan Pendangkalan Sungai (PS)
PS |
Tata Ruang |
Reboisasi |
Teknologi |
Tata Ruang |
1 |
5 |
4 |
Reboisasi |
|
1 |
3 |
Teknologi |
Incon 0,08 |
|
1 |
Dalam
matriks perbandingan elemen level tiga terhadap pendangkalan sungai terlihat
bahwa reboisasi adalah yang terbaik meskipun bobot prioritas belum dihitung. Jadi
hal ini terjadi karena alternatif reboisasi lebih disukai daripada alternatif
teknologi pengendalian dan perencanaan
tata ruang. Reboisasi berperan negatif dalam pendangkalan sungai karena dengan
adanya alternatif reboisasi kemungkinan terjadi erosi semakin kecil dan bahan
yang terbawa oleh air sungai tidak besar sehingga tidak terjadi banyak
pengendapan di daerah hilir. Teknologi pengendalian agak berperan saat terjadi
pengerukan endapan di sungai tetapi hal ini tergantung pada ketersediaan dana,
jadi pencegahan ini adalah pencegahan kuratif sedangkan penghijauan adalah
pencegahan preventif dalam hal ini pencegahan preventif lebih baik daripada
pencegahan kuratif. Untuk perencanaan tata ruang kurang berperan dalam proses
pendangkalan sungai karena perencanaan tata ruang merupakan alternatif
kebijakan dalam penggunaan lahan.
Matriks perbandingan antara level dua untuk
pengelolaaan DAS adalah sebagai berikut (Tabel 5.):
Tabel 5. Perbandingan
Kepentingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan
Pengelolaan DAS (PD)
PD |
Tata Ruang |
Reboisasi |
Teknologi |
Tata Ruang |
1 |
4 |
1 |
Reboisasi |
|
1 |
3 |
Teknologi |
Incon 0,01 |
|
1 |
Dalam matriks perbandingan pada level untuk
pengelolaan DAS terlihat bahwa
reboisasi adalah yang terbaik. Jadi hal ini terjadi karena alternatif
reboisasi lebih disukai daripada
alternatif perencanaan tata ruang dan teknologi pengendalian. Reboisasi
berperan dalam pengelolaan DAS hal ini
karena dengan adanya reboisasi, DAS suatu daerah tidak banyak menerima
bahan-bahan erosi sehingga menyebabkan DAS terjaga kelestariannya dan lebar
sungai tidak mengalami penyempitan akibat banyak bahan endapan yang terbawa
dari hulu ke hilir. Untuk alternatif perencanaan tata ruang dan pengendalian
teknologi kedua elemen dianggap sama dan mempunyai pengaruh yang sama besar
terhadap pengendalian banjir.
Matriks perbandingan
antara level dua untuk aliran permukaan adalah sebagai berikut (Tabel 6.):
Tabel 6. Perbandingan Kepentingan Alternatif Berdasarkan
Pertimbangan Aliran Permukaan (AP)
AP |
Tata Ruang |
Reboisasi |
Teknologi |
Tata Ruang |
1 |
5 |
1 |
Reboisasi |
|
1 |
5 |
Teknologi |
Incon 0,00 |
|
1 |
Dalam matriks perbandingan pada level untuk
aliran permukaan terlihat bahwa
perencanan tata ruang dan teknologi pengendalian adalah yang terbaik. Alternatif
perencanaan tata ruang dan teknologi
pengendalian disukai daripada
alternatif rebosisasi. Perencanaan tata ruang dan teknologi pengendalain
berperanan sama dalam mengelola aliran permukaan karena perencanaan tata ruang
yang baik akan menyebabkan besarnya
aliran permukaan yang ada tidak begitu besar sedangkan teknologi pengendalian
juga berperan mengurangi aliran permukaan dengan adanya pembuatan waduk-waduk
sehingga aliran permukaan yang mangalir dari hulu ke hilir bisa diantisipasi.
Matriks
perbandingan antara level dua untuk daerah resapan adalah sebagai berikut
(Tabel 7.):
Tabel 7. Perbandingan
Kepentingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan
Daerah Resapan (DR)
DR |
Tata Ruang |
Reboisasi |
Teknologi |
Tata Ruang |
1 |
5 |
4 |
Reboisasi |
|
1 |
2 |
Teknologi |
Incon 0,09 |
|
1 |
Dalam matriks perbandingan pada level untuk
daerah resapan terlihat bahwa teknologi
pengendalian adalah yang terbaik dilanjutkan reboisasi dan perencanaan tata
ruang. Teknologi pengendalian merupakan hal yang penting dalam daerah resapan
hal ini karena dengan pembuatan waduk atau dam-dam akan menyebabkan perluasan
daerah resapan sehingga air tidak mengalir dan tertampung di waduk-waduk
sehingga kapasitas infiltrasi akan semakin tinggi dan perkolasi juga semakin
tinggi. Alternatif kedua yang baik untuk daerah resapan adalah reboisasi karena
dengan adanya reboisasi akan memperbanyak resapan air karena akar tumbuhan akan
mengikat butir-butir air yang mengalir di permukaan sehingga akan terserap oleh tanah.
Matriks
perbandingan antara level dua untuk perilaku masyarakat adalah sebagai berikut
(Tabel 8.):
Tabel 8. Perbandingan
Kepentingan Alternatif Berdasarkan
Pertimbangan Perilaku
Masyarakat (PR)
PM |
Tata Ruang |
Reboisasi |
Teknologi |
Tata Ruang |
1 |
5 |
6 |
Reboisasi |
|
1 |
3 |
Teknologi |
Incon 0,09 |
|
1 |
Dalam matriks perbandingan pada level untuk
perilaku masyarakat terlihat bahwa
teknologi pengendalian adalah yang terbaik dilanjutkan oleh reboisasi dan
perencanaaan tata ruang. Teknologi pengendalian sangat bereperan dalam perilaku
masyarakat karena teknologi pengendalian dapat berfungsi sebagai perbaikan
lingkungan dimana kualitas lingkungan sangat tergantung kepada perilaku
masyarakat. Reboisasi berkaitan dengan perialkua masyarakat, masyarakat yang berpeilaku
positif akan menyebabkan terjadinya pelestarian alam sedangkan masyarakat yang
berperilaku negatif akan mengurangi terjadinya keseimbangan alam.
Matriks
perbandingan antara level dua untuk reklamasi pantai adalah sebagai berikut
(Tabel 9.):
Tabel 9. Perbandingan
Kepentingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan
Reklamasi Pantai (RP)
RP |
Tata Ruang |
Reboisasi |
Teknologi |
Tata Ruang |
1 |
5 |
3 |
Reboisasi |
|
1 |
1 |
Teknologi |
Incon 0,03 |
|
1 |
Dalam matriks perbandingan pada level untuk
reklamasi pantai terlihat bahwa
reboisasi merupakan alternatif pertama, karena reklamasi pantai akan
menyebabkan suatu wilayah mengalami penurunan kemampuan infiltrasi dan
perkolasi sehingga dibutuhkan kegiatan reboisasi. Teknologi pengendalian
merupakan alternatif kedua karena dengan perencanaan yang sesuai dengan amdal
maka reklamasi pantai tidak begitu berdampak negatif terhadap lingkungan.
Setelah semua matriks perbandingan untuk level
tiga selesai diisi dan diolah maka didapatkan bobot prioritas lokal. Operasi
perkalian antar matriks lokal kemudian dilanjutkan operasi perkalian dengan
prioritas global. Prioritas-prioritas lokal dan prioritas global dari
pengendalian banjir ditunjukkan dalam
table berikut :
Tabel 10.
Prioritas-prioritas Lokal dan Prioritas Global dari masalah Pengendalian Banjir
Kriteria |
PS |
PD |
AP |
DR |
PM |
RP |
Prioritas Global |
Bobot |
0,098 |
0,116 |
0,226 |
0,058 |
0,467 |
0,035 |
|
Tata
Ruang |
1,000 |
1,000 |
0,200 |
1,000 |
1,000 |
1,000 |
0,659 |
Reboisasi |
0,149 |
0,275 |
1,000 |
0,271 |
0,271 |
0,237 |
0.156 |
Teknologi |
0,335 |
0,909 |
0,200 |
0,184 |
0,123 |
0,281 |
0,185 |
Pada
tabel 10 dalam kolom alternatif yang meliputi perencanaan tata ruang, reboisasi
dan pengendalian teknologi menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang merupakan
nilai yang tertinggi (0,0659) hal ini disebabkan oleh lima dari enam kriteria
yaitu pendangkalan sungai, pengelolaan DAS, daerah resapan, perilaku masyarakat
dan reklamasi pantai mempunyai nilai unggul dibandingkan dengan alternatif
reboisasi dan teknologi pengendalian. Teknologi
pengendalian mempunyai nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
reboisasi karena teknologi pengendalian unggul pada kriteria pendangkalan
sungai, pengelolaan DAS dan reklamasi pantai terhadap reboisasi, sebenarnya
perbandingan keunggulan antara pengendalian teknologi dengan reboisasi sama-sama
mempunyai 3 (tiga) kriteria keunggulan tetapi karena bobot penilaian pada
kriteria lebih tinggi sehingga menyebabkan nilai dari prioritas global untuk
teknologi pengendalian mempunyai nilai lebih tinggi yaitu 0,185 dibandingkan
dengan reboisasi 0,156.
Dalam
alternatif reboisasi terdapat satu kriteria yang paling tinggi yaitu pada
kriteria aliran permukaan dan dalam alternatif reboisasi juga terdapat
prioritas yang paling rendah untuk kriteria pendangkalan sungai, pengeloaan DAS
dan reklamasi pantai. Sedangkan untuk kriteria daerah resapan dan perilaku
manusia merupakan prioritas menengah.
Alternatif
teknologi pengendalian dalam tujuan pengendalian banjir merupakan alternatif
yang terakhir karena dalam enam kriteria yang dianalisa tidak ada satupun yang
menonjol sehingga alternatif teknologi pengendalian merupakan alternatif yang
terakhir dalam penanganan banjir di Jabotabek. Pola
pelurusan dan sudetan mengakibatkan percepatan aliran air menuju hilir. Di
bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang jauh lebih besar dibanding
sebelumnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat dengan cara ini pada
hakikatnya merupakan penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian
hilirnya. Oleh karena itu, pola penanganan banjir di Indonesia dengan
menggunakan prinsip integralistik yaitu One
River-One Plant and One Intergrated Management. Dengan prinsip ini maka
banjir juga harus dibagi secara integral sepanjang sungai menjadi banjir
kecil-kecil, guna menghindari banjir besar yang destruktif di suatu tempat
tertentu.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang diuraikan dalam makalah ini maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan banjir di Jabotabek adalah merupakan masalah yang komplek sehingga untuk pemecahan masalah dilakukan secara sibernetik, holistik dan efektif dengan pendekatan kesisteman. Pengendalian banjir secara kesisteman yang berarti didalamnya terdiri dari kriteria-kriteria yang saling terkait dan mempengaruhi guna mencapai tujuan.
2. Dalam makalah ini pengendalian banjir dapat dikategorikan berdasarkan kriteria-kriteria yang terdiri dari pendangkalan sungai, pengeloaan DAS, aliran permukaan, daerah resapan, perilaku masyarakat dan reklamasi pantai sedangkan alternatif pemecahannya berdasarkan perencanaan tata ruang, reboisasi dan teknologi pengendalian.
3. Proses
pencapaian tujuan dengan menggunakan AHP yang perlu diperhatikan adalah
kriteria jangan terlalu banyak baik arah vertikal maupun horidontal. AHP dapat
digunakan untuk analisis pengendalian banjir sehingga dari beberapa alternatif
dapat dipilih alternatif pengendalian banjir yang terbaik. Berdasarkan
alternatif perencanaan tata ruang, reboisasi dan teknologi pengendalian
menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang mempunyai prioritas yang paling
baik sebesar 55,0 % dilanjutkan reboisasi sebesar 29,3 % dan yang terakhir
adalah teknologi pengendalian sebesar 15,8 %.
4.2 Rekomendasi
Berdasarkan
hasil analisis dengan menggunakan AHP maka sistem pengendalian banjir di Jabotabek
dapat direkomendasikan sebagai berikut :
Perencanaan tata ruang merupakan faktor utama dalam
pengendalian banjir sehingga perencanaan tata ruang yang sudah disusun untuk
segera dilaksanakan secara benar dan adil, benar disini adalah secara
sungguh-sungguh melaksanakan tata ruang secara konsisten dan tidak secara
musiman karena saat ini ada kecenderungan apabila terjadi banjir baru dicari
kambing hitam permasalahan sedangkan adil adalah tidak pilih kasih dalam
pelaksanaan tata ruang, dimana salah satu penyebabnya adalah penggusuran atau
pembongkaran villa yang tidak punya IMB tetapi pada kasus lain villa yang tidak punya IMB tidak digusur sehingga
diperlukan pelaksanaan hukum secara sungguh-sungguh.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Presss, Bogor.
Eriyatno.
1989. Analisis Sistem Industri Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
________. 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas manajemen. Jilid I. IPB Presss, Bogor.
Keppres. 1999. Keppres Nomor 114 Tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan
Bogor-Puncak dan Cianjur. Sekretaris Negara Republik Indonesia.
Suriadi,
A.B. 2002. Analisis Sederhana dari
Kompleksitas Masalah Banjir Jakarta. Bakosurtanal.