© 2002  Y.A. Budhi Jatmiko, M.M                                                                          Posted: 4 December, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

TEKNOLOGI DAN APLIKASI TEPUNG SILASE IKAN (TSI)

 

 

 

 

 

Oleh:

 

 

Y.A. BUDHI JATMIKO M.M

NRP : C.561020094

E-mail: budifish@hotmail.com

 

 

 

 

 


 

1.      Pendahuluan

Kebutuhan tepung ikan di Indonesia  mengalami peningkatan sejalan dengan pengembangan  usaha peternakan unggas dan budidaya hasil perikanan sesuai dengan informasi DirektoratJenderal Peternakan, kebutuhan tepung ikan untuk pakan unggas sebesar  + 225.000 ton yang merupakan salah satu komponen pakan unggas yang diproduksi pada tahun tersebut sebesar + 4,5 juta ton (pakan unggas mengandung tepung ikan sebesar 5%).

 Berdasarkan estimasi yang sering digunakan oleh para pengamat, kebutuhan tepung ikan untuk  pakan ikan/udang  sebesar 25%   dari kebutuhan tepung ikan untuk pakan unggas. Dari estimasi  tersebut maka kebutuhan tepung ikan per tahun untuk pakan udang/ikan diperkirakan 8.000 ton dan total kebutuhan tepung ikan di Indonesia   sebesar + 283.000 ton per tahun. Dari kebutuhan tepung ikan yang sangat besar tersebut ternyata 5-10% baru dapat disuplai dari hasil produksi di Indonesia dan sisanya masih diimpor dari Amerika Latin, Eropa dan negara Asia termasuk Thailand.

Oleh karena itu perlu dipikirkan pengambangan pengolahan tepung ikan dan produk alternatifnya di Indonesia agar dapat membantu kesulitan peternak/petani ikan. Hal ini  sangat dimungkinkan karena harga  tepung ikan impor cukup mahal dan produk dalam negeri menjadi komperatif dan memungkinkan untuk menggunakan   bahan baku “By catch”. Salah satu  produk  alternatif yang dapat dikembangkan  adalah “ silase  ikan” atau “tepung silase ikan” (TSI) yang dapat menggunakan bahan baku segala jenis ikan dan sisa pengolahan ikan serta teknologinya sangat sederhana.

 

2.      Teknologi silase dan tepung silase ikan (TSI)

Silase ikan adalah bentuk hidrolisa  protein beserta  komponen lain dari ikan dalam suasana asam sehingga bakteri pembusuk tidak dapat hidup kaarena pH berkisar 4. Oleh karena itu silase ikan merupakan produk bioteknologi berupa lumatan ikan seperti bubur dengan suasana asam dengan rantai asam amino sebagai penyusun protein menjadi lebih pendek dan bahkan sebagian menjadi asam amino. Dengan reaksi keasaman dari silase tersebut maka produk ini dapat disimpan dalam relatif lama karena baktaeri pembusuk tidak dapat tumbuh.

2.1. Bahan baku

      Bahan baku silase berupa ikan utuh, potongan kepala, sisa fillet  maupun isi perut ikan baik yang segar maupun yang kurang segar. Untuk bahan baku yang kurang segar akan segera dihentikan reaksi pembusukan begitu proses pembuatan silase dimulai karena menurunnya pH sampai + 4  akan membunuh baktaeri pembusuk yang hanya dapat bertahan minimal pH+ 5,5. Dalam  suasana asam, hanya mikroorganisme yang tahan asam tertentu yang dapat hidup (tumbuh) misalnya Bacillus tertentu  yang bukan bersifat pembusuk tetapi dapat menghidrolisa protein dan lemak yang dikenal dengan fermentasi. Perbedaan bahan baku akan mempengaruhi kandungan protein silase.

    1. Prosesing

Untuk membuat silase tentunya diperlukan bahan yang dapat mengubah reaksi netral dan sedikit basa pada bahan baku menjadi asam atau menurunkan pH dan sebelum dimanfaatkan untuk bahan pakan dinetralkan agar reaksinya tidak asam. Dalam prosesing silase dikenal dua cara yaitu secara biologis muarni dan secara kimia.

2.2.1. Biologis

Prosesing  silase secara biologis murni berarti tidak menggunakan bahan kimia dan disebut maetode fermentasi. Proses ini biasanya ditambahkan mikrorganisme tertentu, biasanya Bacillus tertentu dengan jumlah yang cukup dan di inkubasi  pada suhu optimum bakteri tersebut  (berkisar 30 oC) pada  suhu kamar  (tropis) dan kondisi anaerob. Waktu  fermentasi biasanya akan berlangsung relatif lama lebih dari 10 hari, ditandai dengan hancurnya daging dan rapuhnya tulang sehingga bentuk akhir menjadi seperti bubur dan tidak berbau busuk.

Kendatipun   tidak ditambahkan air tetapi silase akan berbentuk bubur karena bahan bakunya sendiri sudah mengandung air antara 70 –80 % dan tidak berbau karena tidak ada proses pembusukan dan yang terjadi adalah proses fermentasi.

 

 

2.2.2. Kimiawi

Prosesing silase secara kimiawi adalah proses pembuatan silase dengan menambahkan bahan kimia yang bersifat asam ke dalam bahan baku. Bahan kimia tersebut dapat berfungsi ganda  yaitu menumbuhkan bakteri pembusuk dan mulai berfungsi sebagai pemecah  rantai asam amino pada protein yang disebut hidrolisa. Dalam suasana asam maka bakteri tahan asam misalnya Bacillus yang secara alamiah taerdapat di lingkungan kita akan tumbuh berkembang dan menyebabkan fermentasi. Oleh sebab itu fungsi bahan kimia taersebut juga dapat dikatakan sebagai starter. Hal ini akan mempercepat waktu proses paembuatan silase menjadi + 7 hari.

            Asam yang digunakan dapat berupa asam anorganik , misalnya asam khlorida, asam nitrat dan bahkan asam sulfat atau asam organic  misalnya asam formiat, asetat dan propionat. Umumnya penggunaan  asam mineral tidak disukai karena asam tersebut relatif kurang dapat diterima oleh makhluk hidup yang mengkonsumsi silase khususnya bila berlebihan

            Teknologi prosesing silase dengan  asam formiat sangat sederhana yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam wadah (bak) dan bila ikan/sisa ikan terlalu besar perlu dilakukan pencincangan terlebih dahulu penambahan asam formiat saebanyak 3 % dari berat ikan dan  dituang sambil diaduk agar merata. Campuran ikan dan asam formiat ditutup dan didiamkan selama 7 hari dengan dilakukan pengadukan 1-2 x sehari. Setelah 7 hari maka akan menjadi bubur ikan yang disebut silase.

2.2.3. Netralisasi

Sebelum digunakan dapat dilakukan netralisasi terlebih dahulu agar reaksi asam yang ada tidak merusak saluran pencernaan. Netralisasi  dapat dilakukan dengan menambahkan    larutan Na 2 CO3 (soda api) atau yang lain yang sesuai dengan  pH berkisar 5-6. Apabila silase sudah  netral maka akan menjadi busuk bila disimpan dalam kondisi basah karena bakteri pembusuk akan hidup dan tumbuh. Oleh karenanya harus segera digunakan atau dikeringkan menjadi Tepung Silase Ikan (TSI). Apabila silase dibuat dari bagian ikan yang keras (kepala/tulang dll) yang berukuran besar dan tidak rapuh maka disarankan sebelum dikeringkan  dipisahkan terlebih dahulu dengan menggunakan serok. Tulang-tulang tersebut dapat dikeringkan secara terpisah.

2.2.4. Tepung Silase Ikan (TSI)

Untuk mempermudah penyimpanan, penggudangan dan distribusi serta proses pembuatan pakan maka silase dapat diproses menjadi tepung silase ikan (TSI). Dalam pembuatan tepung, silase yang sudah jadi dinetralkan dengan soda api sampai pH 5-6 dan ditambahkan bahan pembantu yaitu bekatul atau bahan lain yang cocok kemudian dikeringkan. Penambahan bekatul dimaksudkan agar mempermudah pengeringan karena akan memperluas permukaan disamping mengurangi kadar air. Penambahan bekatul dapat dilakukan dengan proporsi berat yang sama dengan berat ikan (bahan baku) atau sesuai yang dikehendaki.

 

3. Aplikasi Tepung Silase Ikan (TSI ).

                        TSI adalah salah satu output perekayasaan secara sederhana yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah yang terdapat ditempat pendaratan ikan  (TPI) agar TPI dapat lebih bersih dan tidak berbau busuk. Hal ini sebagai salah satu persyaratan TPI guna ikut memberikan jaminan mutu sejalan dengan penerapan Program manajemen Mutu Terpadu yang mengacu pada HACCP. Disamping adanya harapan agar TPI lebih bersih, sisa-sisa ikan tersebut juga dapat bermanfaat sebagai bahan baku pakan ternak misalnya babi, dll. Tetapi karena dibeberapa wilayah juga berkembang peternakan unggas, maka pemanfaatan silase tersebut diteruskan menjadi tepung silase ikan (TSI).

                        Dengan semakin meningkatnya kebutuhan protein ikan saaat ini maka penggunaan TSI menjadi salah satu alternatif yang tentunya sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan baku, kelayakan teknologi, tinjauan usaha serta manajemen pengelolaan. Disamping itu juga dipikirkan dampak manfaatnya.

 

3.1. Ketersediaan bahan baku.

                        Mengingat bahan baku TSI terdiri dari berbagai jenis, bagian,  mutu ikan maka dalam penerapannya selalu berorientasi pada pemanfaatan limbah dan hasil tangkapan yang sudah menurun mutunya. Apabila kita gunakan contoh di pantai utara jawa dimana + 20 % total hasil tangkapan nasional didaratkan  ( Anon 1995b dalam Sunarya, 1996), maka pada tahun 1995 telah didaratkan di TPI sepanjang pantai utara jawa sebesar 554.047 ton. Dari hasil tangkapan tersebut yang mempunyai mutu baik (konsumsi segar) adalah + 20 %  dan mutu sedang (untuk pindang) 40 – 60 % dan sisanya 5 % dari total tangkapan, termasuk yang saat ini menjadi sisa-sisa pengolahan dan lain-lain dimanfaatkan sebagai bahan baku TSI maka bila produksi hasil perikanan sama dengan tahun 1995 diperoleh bahan baku TSI sebesar 27.702 ton dan akan menghasilkan 41,553 ton TSI. Perlu dicatat bahwa kepala dan isi perut ikan rata-rata sebesar 15 % dari ikan utuh. Oleh sebab itu perhitungan 5% seperti diatas dimungkinkan dan termasuk perhitungan yang relatif rendah berarti cukup sangat optimis ditinjau dari penyediaan bahan baku. Hal tersebut belum termasuk tempat-tempat pendaratan ikan lain seperti diluar jawa khususnya Sumatera.

 

3.2. Kelayakan teknologi.

                        Dengan teknologi yang sangat sederhana maka proses pembuatan TSI hanya memerlukan 7 bak perendaman (sehingga tiap hari produksi ) yang dapat berupa bak terbuat dari semen atau plastik dan alat penepung serta tempat penjemuran. Apabila pengeringan menggunakan sinar matahari maka proses pembuatan TSI akan hemar energi, hemat tenaga kerja dan tidak memerlukan tenaga kerja dengan keahlian tinggi sehingga teknologinya sangat layak dilakukan ditempat-tempat pendaratan ikan. Apabila skala produksi cukup besar dapat digunakan pengering mekanis dengan sumber energi kayu bakar, minyak tanah atau briket batubara. Untuk produksi 1 ton/hari secara rutin diperlukan lebih kurang dua tenaga kerja.

                        Karena teknologinya sangat sederhana maka dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja baik dengan skala kecil, home industri, medium maupun besar. Dalam proses tersebut juga sangat sedikit menggunakan komponen impor yaitu hanya alat penepung sedangkan bahan kimia asam formiat ataupun soda api sudah diproduksi di Indonesia.   

 

4.  Kesimpulan dan Saran

                  Dalam pengembangan TSI memerlukan manajemen pengolahan yang akan melibatkan prosesor silase atau TSI, distributor serta prosesor pakan.  Dalam pengembangan TSI dapat dilakukan dengan dua pola yaitu prosesor silase dilakukan terpisah dengan prosesor TSI atau dilakukan dengan unit yang sama.

                  Apabila prosesor silase dan TSI dilakukan oleh satu unit maka distributor akan mendapatkan TSI dari tiap-tiap sentra pengelolaan TSI didaerah TPI untuk mendekati bahan baku.  Dalam hal ini unit pengolahan TSI harus dilengkapi bak perendaman, asam formiat, soda api, bekatul dan poengering (para-para) atau pengering mekanis serta mesin penepung.

                  Approsesor silase berbeda dengan TSI maka prosesor silase didaerah TPI hanya melakukan perendaman dengan asam formiat.  Silase yang dihasilkan langsung diambil oleh distributor yang akan melanjutkan prosesnya sampai menjadi TSI.  Oleh sebab itu distributor perlu mempunyai soda api, bekatul, pengering (matahari atau mekanis) serta alat penepung.

                  Dilihat dari kondisi pengolah di TPI dan lingkungan maka alternatif kedua yaitu prosesor silase berbeda dengan TSI cukup memungkinkan.  Untuk mempermudah distribusi maka bak perendaman dapat berupa blong plastik bertutup dan setiap mengambil silase berikut tempatnya dan sekaligus mengembalikan blong plastik kosong serta memberikan asam formiat.

                  Alternatif kedua tersebut mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

-         Menyederhanakan pekerjaan diunit prosesor silase mengingat biasanya terdapat keterbatasan lahan, permodalan dll.

-         Mempermudah stardardisasi mutu karena netralisasi, pengeringan, penepungan dilakukan disatu unit sehingga mudah dilakukan grading dan controlling.

-         Dengan adanya proses lanjutan tersebut maka hubungan antara keduanya menjadi terikat, tidak mudah rusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan diharapkan hubungan plasma inti akan lebih serasi dan saling menguntungkan.

                  Selain adanya hubungan inti plasma seperti tersebut diatas peranan birokrat masih diperlukan terutama dalam masa-masa awal. Diharapkan Dinas Perikanan Dati II dapat memberikan arahan dan motivasi serta dukungan kepada aparatnya di TPI untuk dapat memberikan layanan sebaik-baiknya dalam memanfaatkan ikan yang kurang terpakai sebagai bahan baku dan tidak membebani hal-hal yang tidak diperlukan. Oleh karena itu maka dalam suatu wilayah tertentu misalnya propinsi diperlukan satu unit distributor yang juga produsen TSI dan dibuat kerjasama antara distributor, prosesor silase yang diketuai pihak TPI dan Dinas Perikanan.

 

Daftar Pustaka :

  1. Anon (1993) Statistik Impor Hasil Perikanan 1993, Ditjen Perikanan Jakarta.
  2. Anon Tepung Silase sebagai alternatif pakan ternak, Bahan Rapim Deptan, BBPMHP Jakarta.
  3. Djazuli N, D Budiyanto, dkk (1998), Perekayasaan teknologi Pengolahan Limbah, BBPMHP Jakarta.
  4. Kanazawa. A(1993) Importance of  DHA in organism. Proceeding of the First Indonesian Fishery Symposium, Center for Fishery Research and Development, Jakarta.
  5. Sunarya (1996), masalah Perikanan Pelagis Kecil di Pantai Utara Jawa dan Upaya Pemecahannya, sumbangan pemikiran untuk Ditjen Perikanan, BBPMHP, Jakarta.
  6. Sunarya dan Nazory D (1998) Pengembangan Tepung Ikan di Indonesia, Kajian ilmiah sebagai bahan pertimbangan Ditjen Perikanan, BBPMHP, Jakarta.