©  2002  Program Pasca Sarjana IPB                          

Makalah Kelompok D /TKL-Khusus                                                          Posted  21 December, 2002                                                                 

Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December  2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

KONFLIK ANTAR NELAYAN DI INDONESIA

 

Oleh :

KELOMPOK D (S3 TKL KELAS KHUSUS)

Aji Sularso,  C. 561020074

Ali Supardan, C. 561020104

Abdul Rokhman, C. 561020054

Mulyono P. ,  C. 561020064

Maman Hermawan,  C. 561020034

Andy A. Zaelany,  C. 561020134

 

 

1.                  PENDAHULUAN

Konflik antar nelayan di Indonesia telah terjadi sejak lama dan makin marak akhir-akhir ini, terutama setelah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 4 mil. Ketentuan itu mencerminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari pola sentralistik ke desentralistik.

Namun demikian, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan Pemerintah Daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa Pemerintah Daerah yang mengeluarkan perizinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya. Sementara itu, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights)  maupun pemanfaatan (economic rights). Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antara nelayan di beberapa daerah, seperti yang terjadi di perairan Masalembo pada tahun 2000.

Kondisi di atas apabila berlangsung terus maka tujuan Pembangunan Perikanan Tangkap sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (khususnya nelayan) dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya akan semakin sulit dicapai. Makalah ini akan menguraikan secara sekilas faktor-faktor apa saja yang mendorong timbulnya konflik antar nelayan dan beberapa alternatif solusinya.

 

2.                  JENIS-JENIS KONFLIK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Secara umum konflik antar nelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) konflik kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik agraria, dan (4) konflik primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumberdaya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.

Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumberdaya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak eforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.

 

3.                  TINJAUAN/ANALISIS

a)          Potensi Sumberdaya Ikan vs Jumlah Nelayan

Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (SDI) pada tahun 1997, yang kemudian dikukuhkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99 Tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia adalah sebesar 6,258 juta ton pertahun, dengan rincian 4,400 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta 1,858 juta ton pertahun dari perairan ZEEI. Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azaz kehatian-hatian (precautionary approach), maka JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) ditetapkan sebesar 80 % dari potensi tersebut atau sebesar 5,006 juta ton pertahun, dengan rincian 3,519 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta 1,487 juta ton pertahun dari perairan ZEEI. Pada Tabel 1 disajikan data Potensi dan JTB menurut kelompok SDI.

Data potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah yang positif, yakni terjadi kenaikan. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton pertahun, dengan rincian 5,14 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI. Data ini masih bersifat sementara, karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan. 

Sementara itu, berdasarkan proyeksi Ditjen Perikanan Tangkap, nelayan di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang. Dengan berasumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton pertahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton perorang pertahun atau ekivalen 6,63 kg perorang perhari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun). Rendahnya produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumberdaya ikan bersifat terbuka (open access). Persaingan itu akan bertambah ketat manakala pengawasan terhadap pencurian ikan oleh kapal-kapal asing belum dapat dilakukan secara efektif.

 

Tabel 1. Potensi dan JTB Menurut Kelompok SDI, Berdasarkan

Kepmen Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99

Satuan : Ribu Ton/Tahun

No.

Kelompok SDI

Potensi

JTB

1.

Ikan Pelagis Besar

1.053,5

842,8

2.

Ikan Pelagis Kecil

3.253,8

2.588,7

3.

Ikan Demersal

1.786,4

1.429,1

4.

Ikan Karang

76,0

60,7

5.

Udang Penaeid

73,8

58,9

6.

Lobster

4,8

3,8

7.

Cumi-Cumi

28,3

22,7

 

Jumlah

6.258,6

5.006,7

 

Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih rendah.

 

b)          Tangkapan Berlebih (Over Fishing)

Berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton. Dengan demikian, Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Samudera Hindia 72,41 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Natuna dan Cina Selatan 44,92 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 %. Adapun Tingkat Pemanfaatan menurut Kelompok sumberdaya ikan disajikan pada Tabel 2, sedangkan data yang lebih rinci mengenai Tingkat Pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan disajikan pada  Lampiran.

 

Tabel 2. Tingkat Pemanfaatan SDI Berdasarkan Hasil

Pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP-DKP, 2001

 

No

 

Kelompok SDI

Potensi

(Ton/Th)

JTB

(Ton/Th)

Produksi (Ton)

Tingkat Pe-manfaatan (%)

1.

Ikan Pelagis Besar

1.165.360

932.288

736.170

78,97

2.

Ikan Pelagis Kecil

3.605.660

2.884.528

1.784.330

61,86

3.

Ikan Demersal

1.365.090

1.092.072

1.085.500

99,40

4.

Ikan Karang

145.250

116.200

156.890

135,02

5.

Udang Penaeid

94.800

75.840

259.940

342,75

6.

Lobster

4.800

3.840

4.080

106,25

7.

Cumi-Cumi

28.250

22.600

42.510

188,10

 

Jumlah

6.409.210

5.127.368

4.069.420

79,37

 

Terjadinya over fishing di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan seperti disebut di atas telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) lain yang masih potensial, misalnya dari Laut Jawa ke Laut Flores dan Selat Malaka atau Laut Banda. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.

 

c)          Perilaku/Motivasi

Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat. Dampak dari padanya, prinsip-prinsip kanibalisme sering terjadi di laut dan konflik antar nelayan tidak dapat dihindari. Untuk itu ke depan, pembangunan perikanan tangkap harus mampu merubah orientasi nelayan ke arah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik.

 

d)          Sosial Ekonomi

Sampai saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang kurang layak dan sebagainya. Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi. Permasalahan kecil yang timbul diantara mereka dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik, meskipun penyebabnya seringkali masalah sepele.

 

4.                  KONSEP SOLUSI

a)          Pemberdayaan Nelayan

Seperti diuaraikan di atas, bahwa salah satu pemicu timbulnya konflik antar nelayan adalah kondisi sosial ekonomi dan motivasi/perilaku yang ada pada masyarakat nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan motivasi/perilaku ke arah yang lebih positif.

Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment). Kegiatan itu telah dilakukan sejak lama, namun hasilnya belum optimal karena skala kegiatan sangat terbatas sehubungan dengan keterbatasan dana. Untuk itu, sejak dibentuknya DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), kegiatan pemberdayaan nelayan dilakukan secara lebih intensif  terutama melalui “Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)”.

Tujuan pelaksanaan Program PEMP adalah untuk :

1)      Mereduksi pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi social ekonomi masyarakat pesisir melalui peningkatan dan penciptaan usaha produktif secara berkesinambungan;

2)      Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat;

3)      Memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat dalam mendukung pembangunan daerah;

4)      Memicu bergeraknya usaha ekonomi produktif masyarakat di desa pesisir;

5)      Mendorong bergeraknya mekanisme manajemen pembangunan masyarakat yang partisipatif dan transparan;

6)      Memberikan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya laut dan pesisir.

Secara umum pelaksanaan Program PEMP sejak tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, antara lain dapat dilihat dari :

1)      Meningkatnya pendapatan nelayan peserta program;

2)      Menguatnya kelembagaan nelayan;

3)      Tumbuhnya LSM-LSM lokal yang bergerak dan memperhatikan masalah pemberdayaan nelayan;

4)      Tumbuhnya budaya menghemat di kalangan masyarakat nelayan;

5)      Terjadinya revitalisasi budaya musyawarah untuk menyelesaikan masalah;

6)      Meningkatnya kepedulian nelayan terhadap masalah sosial yang ada di lingkungannya.

Dari beberapa hasil yang dicapai sebagaimana tersebut di atas, diyakini apabila kegiatan pemberdayaan dapat dilakukan secara lebih intensif lagi dan berkesinambungan maka konflik antar nelayan dapat dihindari.

b)          Relokasi

Berdasarkan data statistik, sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik antar nelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya, misalnya daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan dapat dihindari.

c)          Manajemen Perikanan yang Berkelanjutan (Sustainable) dan Berbasis Masyarakat

Seperti diketahui bahwa sumberdaya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang peduli terhadap kelestarian.

Oleh karena itu, penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat adalah suatu keharusan, agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pelibatan masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumberdaya ikan (sejak perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan.

d)          Kemitraan Usaha

Kemitraan usaha adalah salah satu solusi untuk menghindari terjadinya konflik vertikal, yaitu antara nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil. Dengan terjalinnya kemitraan maka masing-masing pihak saling tergantung dan saling memperoleh manfaat dari kegiatan usaha yang dilaksanakan.  Kemitraan yang umum diterapkan pada usaha perikanan adalah dalam bentuk Inti-Plasma, dimana Perusahaan Perikanan bertindak sebagai Inti dan nelayan bertindak sebagai plasma.

Berdasarkan kesepakatan, Perusahaan Inti biasanya berkewajiban dalam penyediaan sarana produksi (kapal, alat tangkap, es dll) dan menampung (membeli) hasil tangkapan nelayan plasma. Sedangkan kewajiban nelayan adalah menangkap ikan dan menjual hasilnya kepada Perusahaan Inti, dengan harga yang disepakati bersama.  

e)          Pengembangan Usaha Alternatif

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antar nelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dll. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.

Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif. Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera juga merupakan solusi untuk menghindari konflik.

f)             Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan

Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan, dibanding nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan ke margin pendapatan.

g)          Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392 Tahun 1999 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antar nelayan terutama konflik vertikal dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan, yaitu : Jalur Penangkapan Ikan I (meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap  pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut), Jalur Penangkapan Ikan II (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut) dan Jalur Penangkapan Ikan III (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI).

Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 GT, Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT.

Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap keputusan tersebut di atas dapat menghindari terjadinya konflik antar nelayan.

 

5.                  PENUTUP

Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar konflik antar nelayan dapat dihindari. Konsep solusi yang diuraikan di atas merupakan bahan pemikiran yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembagunan perikanan tangkap.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Evaluasi PKPS-BBM 2002 Pemberdayaan

 Ekonomi Masyarakat Pesisir. Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta

Ditjen Perikanan Tangkap, 2002.  Bahan  Dialog  Dirjen Perikanan Tangkap dengan

Sub Komisi Kelautan dan Perikanan DPR-RI. DKP, Jakarta

Satria, Arif, dkk, 2002.  Acuan   Singkat    Menuju   Desentralisasi   Pengelolaan Sum-

berdaya Perikanan. Pusat Kajian Agraria IPB – Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.