© 2002  Meda Wahini                                                                             Posted: 16 December, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

KELUARGA SEBAGAI TEMPAT PERTAMA DAN UTAMA TERJADINYA SOSIALISASI PADA ANAK

 

 

Oleh:

 

 

MEDA WAHINI

GMK/A561020011

E-mail: mwahini@yahoo.com

 

 

I.      PENDAHULUAN

Perkembangan anak pada usia antara tiga-enam tahun adalah perkembangan sikap sosialnya.1  Konsep perkembangan sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan lingkungan sosial untuk mandiri dan dapat  berinteraksi atau untuk menjadi manusia sosial.  Interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, suatu hubungan yang menimbulkan perasaan sosial yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan hidup bermasyarakat seperti tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan empati, rasa setia kawan dan sebagainya.

Melalui proses interaksi sosial tersebutlah seorang anak akan memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan perilaku-perilaku penting yang diperlukan dalam partisipasinya di masyarakat kelak; dikenal juga dengan sosialisasi.  Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Zanden (1986) bahwa kita terlahir bukan sebagai manusia, dan baru akan menjadi manusia hanya jika melalui proses interaksi dengan orang lain.2  Artinya, sosialisasi merupakan suatu cara untuk membuat seseorang menjadi manusia (human) atau untuk menjadi mahluk sosial yang sesungguhnya (social human being).

Pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga.  Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya.  Sedang kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak.3

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Rohner, dkk (1986) di Amerika menunjukkan bahwa seorang ibu yang memperlakukan anak dengan kasar, baik fisik maupun verbal akan menghasilkan pribadi anak yang cenderung kasar setelah dia dewasa.

Sampai saat ini, keluarga masih tetap menerapkan bagian terpenting dari jaringan sosial anak sekaligus sebagai lingkungan pertama anak selama tahun-tahun formatif awal untuk memperoleh pengalaman sosial dini, yang berperan penting dalam menentukan hubungan sosial di masa depan dan juga perilakunya terhadap orang lain.4 

Diharapkan dari paper ini dapat memberikan gambaran tentang bagaimana keluarga berperan dalam proses sosialisasi pada anak.

 

II.    KONSEP KELUARGA dan FUNGSINYA

a.   Konsep Keluarga

Akibat struktur dan peran yang dipunyai oleh para anggotanya sangat bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, sehingga istilah keluarga tidak mudah didefinisikan.  Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang  yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama.  Sedang Morgan (1977) dalam Sitorus (1988) menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak) sekaligus.5  Namun secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu mereka.

Bila ditinjau berdasarkan Undang-undang no.10 tahun 1972, keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak karena ikatan darah maupun hukum.  Hal ini sejalan dengan pemahaman keluarga di negara barat, keluarga mengacu pada sekelompok individu yang berhubungan darah dan adopsi yang diturunkan dari nenek moyang yang sama.

Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis.  Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat), selain faktor genetik berperan pula (Zanden, 1986).6  Bahkan  seperti juga yang dikatakan oleh Malinowski (1930) dalam Megawangi (1998) tentang “principle of legitimacy” sebagai basis keluarga, bahwa struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa.7  Dengan kata lain, keluarga merupakan sumber agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan.

Selanjutnya, perlu diingat, keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan memiliki hubungan yang kuat.  Oleh karena itu, untuk mewujudkan satu fungsi tertentu bukan yang bersifat alami saja melainkan juga adanya berbagai faktor atau kekuatan yang ada di sekitar keluarga, seperti nilai-nilai, norma dan tingkah laku serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat.  Sehingga di sini keluarga dapat dilihat juga sebagai subsistem dalam masyarakat (unit terkecil dalam masyarakat) yang saling berinteraksi dengan subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, seperti sistem agama, ekonomi, politik dan pendidikan; untuk mempertahankan fungsinya dalam memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat.

Untuk menciptakan ketertiban sosial diperlukan suatu struktur yang dimulai dalam keluarga.  Plato mengibaratkannya seperti tubuh manusia, yang terdiri atas tiga bagian yaitu, kepala (akal), dada (emosi dan semangat) dan perut (nafsu) yang memperlihatkan hirarki dan struktur dalam tubuh organik manusia itu sendiri, dimana masing-masing individu akan mengetahui di mana posisinya dan mampu menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya melalui pembagian kerja (division of labor) yang patuh pada sistem nilai yang melandasi sistem tersebut (Plato dalam megawangi, 1999).8

Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu 1) Status sosial, dimana dalam keluarga nuklir distrukturkan oleh tiga struktur utama, yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Sehingga keberadaan status sosial menjadi penting karena dapat memberikan identitas kepada individu serta memberikan rasa memiliki, karena ia merupakan bagian dari sistem tersebut, 2) Peran sosial, yang menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dan 3) Norma sosial, yaitu standar tingkah laku berupa sebuah peraturan yang menggambarkan sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial.

 

 

 

 

b. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam menjaga dan menumbuh kembangkan anggota-anggotanya. (Suprihatin, G, dkk., 1992).9  Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional dan spritual.

Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka  kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial.  Adapun kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1) kebutuhan makan, minum dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3) kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan dan 5) kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan aktualisasi diri.10

Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI. no 21 tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu:

1)     Fungsi Keagamaan

Dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2)     Fungsi Sosial Budaya

Fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya.

3)     Fungsi Cinta kasih

Hal ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Cinta menjadi pengarah dari perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang bijaksana.

4)     Fungsi Melindungi

Fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.

5)     Fungsi Reproduksi

Fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.

6)     Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan

Fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.

7)     Fungsi Ekonomi

Sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.

8)     Fungsi Pembinaan Lingkungan

Memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.11

 

III.      SOSIALISASI

a.      Konsep Sosialisasi

Istilah sosialisasi sebagai suatu konsep telah banyak didefinisikan oleh para ahli.  Broom (1981) dalam Rohidi (1984) mengungkapkan pemikiran sosialisasi dari dua titik pandang yaitu masyarakat dan individual.12  Sosialisasi menurut sudut pandang masyarakat adalah proses penyelarasan individu-individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan mengajarkan mereka tradisi-tradisi budaya masyarakatnya.  Dengan kata lain sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia dari human-animal menjadi human-being untuk menjadi mahluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaannya.  Sedang arti individual, sosialisasi merupakan suatu proses mengembangkan diri.  Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran diri. Bagi individu sosialisasi memiliki fungsi sebagai pengalihan sosial dan penciptaan kepribadian.

Sosialisasi memiliki fungsi untk mengembangkan komitmen-komitmen dan kapsitas-kapasitas yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa depan. Komitmen yang perlu dikembangkan ialah mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat untuk menampilkan suatu peranan tertentu yang khusus dan spesifik dalam struktur masyarakat. Sementara kapasistas yang perlu dikembangkan dalam kemampuan atau keterampilan untuk menunjukkan kewajiban-kewajiban yang melekat dalam peran-peran yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan dan kemampuan untuk hidup dengan orang lain yang memiliki harapan-harapan  untuk saling menyesuaikan perilaku antara pribadi sesuai dengan peran-peran yang dimiliki.

Pentingnya sosialisasi dalam kehidupan masyarakat didasarkan atas kualitas-kualitas bawaan (Inbon Qualities) yang dimiliki oleh manusia itu sendiri semisal ketiadaan insting-insting padanya, ketergantungan periode masa kanak-kanak yang cukup panjang, kecakapan untuk belajar, kemampuan atau kapasitas untuk berbahasa dan kebutuhan untuk melakukan hubungan sosial.  Di dalam diri manusia bukanlah insting melainkan kecenderungan-kecenderungan biologis (biological drives).  Kecenderungan-kecenderungan ini kalau tidak dibimbing melalui belajar cenderung hanya mengahasilkan kegelisahan dan pencarian tingkah laku.  Disisi lain, ketergantungan manusia pada masa kanak-kanak terutama kepada orangtuanya, adalah satu kenyataan yang menunjukkan dirinya membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa berkembang menuju kehidupan yang mandiri.  Sebenarnya dengan faktor kebergantungan maka akan memberi peluang bagi manusia untuk bersosialisasi, karena sesungguhnya manusia juga memiliki kemampuan untuk belajar lebih banyak dan lebih lama dibanding mahluk lainnya. sedang kemampuan berbahasa sebagai faktor untuk melakukan sosialisasi, akan memberi kemudahan manusia dari keterbatasan fisik dalam melakukan interaksi dengan sesamanya.  Faktor lain yang menentukan proses sosialisasi yang perlu disadari, bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang membutuhkan hubungan sosial dengan manusia lain dalam lingkungan kelompoknya.  Disamping manusia memiliki kemampuan bawaan untuk hidup di tengah-tengah masyarakat harus mematuhi norma-norma tetentu, karena dalam kapsitasnya sebagai mahluk sosial ia memiliki potensi bawaan untuk hidup bermasyarakat yang perlu dikembangkan agar lebih berarti dengan cara pengkondisian sedemikian rupa melalui tingkat kematangan dan belajar dari agent of sosialization, seperti orangtua (keluarga) atau teman sebaya.

 

b.   Proses Sosialisasi

Proses sosialisai yang dilakukan individu dilakukan melalui tiga cara (Soerjono, 1982):13

1)     Pelaziman (Conditioning)

Suatu perlakuan terhadap individu tertentu dengan mekanisme pemberian hukuman (punishment) dan imbalan (reward).

2)     Imitasi/identifikasi (imitation/identification)

Suatu proses belajar dengan melihat suatu model atau tokoh yang dapat diidolakan secara sadar.

3)     Internalisasi (internalization/learning to cope)

Suatu cara bagaimana individu menguasai dan menyadari hal-hal yang bermakna bagi dirinya tanpa suatu paksaan atau ancaman dari luar.

 

IV.     KELUARGA dan HUBUNGANNYA dengan SOSIALISASI PADA ANAK

Sebagaimana telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, bahwa menurut Megawangi (1999) ada tiga elemen struktur internal keluarga, yang salah satunya mengacu pada fungsi sosial.14  Dalam hal ini, digambarkan oleh peran dari masing-masing individu atau kelompok berdasar status sosial dalam suatu sistem sosial (misal anak, ayah dan ibu).  Artinya, setiap status sosial tertentu harapannya dalam interaksi dengan individu/kelompok akan ada fungsi dan peran, yang didasarkan bukan pada ciri pribadi individu melainkan karena status sosial yang dipegangnya. Semisal saja, anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan patuh pada orangtua dan sebaliknya  orangtua  berkewajiban  juga  memberikan  cinta,  perhatian  dan  kasih sayang pada anaknya.  Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis Parson & Bales (1955) dalam Megawangi (1999), bahwa orangtua mempunyai dua peran, yaitu 1) Instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dan 2) peran emosional/ekspresif, yang biasanya disandang oleh seorang ibu/istri.15  Kedua peran tersebut dijalankan oleh keluarga yang juga merupakan intsitusi dasar (fundamental unit of society) dalam rangka membentuk individu bertanggung jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya.16

Sedang bila dilihat menurut fungsinya, keluarga salah satunya berperan dalam melaksanakan proses sosialisasi.  Zanden (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah sebagai wahana terjadinya sosialisasi antara individu dengan warga yang lebih besar.17  Sama halnya dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI no.21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, salah satu fungsi dari delapan yang ada adalah sosialisasi dan pendidikan, yaitu fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya dimasa yang akan datang.18

Sosialisasi merupakan suatu proses dimana seseorang mempengaruhi orang lain karena adanya interaksi.  Untuk perkembangan sosial anak akan sangat dipengaruhi siapa agen sosialnya. agen sosial yang terpenting adalah orang-orang yang saling berhubungan dan dapat mempengaruhi bagaimana orang tersebut berperilaku, temasuk di sini adalah orangtua, saudara kandung (sibling) atau kelompok bermain (peer); selain itu nenek/kakek, paman/bibi dan orang dewasa lain dalam masyarakat sebagai jaringan hubungan yang lebih luas.  Setiap agen sosial tersebut akan menentukan perbedaan dalam proses sosialisasi anak.  Oleh karena itulah untuk menghasilkan individu-individu yang berkualitas baik, keluarga amat berperan dalam mensosialisasi nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka yang dimulai dari masalah-masalah kecil yang terjadi dalam keluarga sesuai dengan tahap perkembangan usia anak tentunya.  Praktek pengasuhan merupakan masa penting dalam membentuk individu matang dan dewasa, yang didalamnya telah mencakup proses sosialisasi.19

Cara yang dapat dilakukan keluarga dalam proses sosialisasi adalah sebagai berikut: Pertama, pengkondisian/pelaziman.  Karena kita tahu dan tidak dapat disangkal lagi bahwa anak ialah manusia yang pasif sepenuhnya dalam sosialisasi, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan sebagian besar sikap dan tingkah lakunya dilakukan sebenarnya melalui proses ini, yang diciptakan oleh orangtua atau anggota keluarga lain yang telah dewasa dengan pemberian mekanisme hukuman atau imbalan; semisal, makan, minum, mandi, berpakaian, buang air besar/kecil (toilet training) bahkan bertutur kata sekalipun.  Dengan diberikannya mekanisme tersebut anak akan mempertahankan tingkah laku tertentu bila apa yang dilakukan/diperbuat (baik) dapat imbalan.  Sebaliknya anak akan menghindari tingkah laku tertentu bila ternyata apa yang diperbuat (buruk) akan mendapat hukuman.

Kedua, pemodelan (pengimitasian dan pengindentifikasian).  Cara imitasi biasanya berlangsung dalam waktu singkat untuk sekedar meniru aspek luar dari tokoh/model yang diidealkannya.  Sebaliknya, jika anak menginginkan dirinya sama (identik) dengan tokoh idolanya maka peniruan akan terjadi lebih mendalam karena tidak hanya peniruan tingkah laku tapi juga totalitas dari tokoh atau model tersebut (identifikasi) sehingga di sini orangtua (keluarga) perlu memberi contoh perilaku yang baik bagi anaknya.

Dan ketiga, internalisasi yaitu cara yang mempersyaratkan anak (dengan sukarela) untuk menyadari bahwa sesuatu hal, seperti norma, nilai dan tingkah laku memiliki makna tertentu yang berharga bagi dirinya atau bagi masyarakat kelak untuk dijadikan panutan, pedoman atau tindakan yang lama kelamaan hal tersebut akan menjadi bagian dari kepribadiannya, semisal anak dicontohkan dengan perbuatan-perbuatn yang dilarang agama atau yang tidak diharapkan masyarakat pada umumnya.

Anak sebagai bagian anggota keluarga dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak akan terlepas dari lingkungan dimana dia dirawat/diasuh atau awal diperolehnya pengalaman belajar bagi seorang anak.  Dalam keluargalah kali pertama anak berinteraksi terutama dengan ibunya setelah anak dilahirkan dan melalui kegiatan menyusui.  Hubungan ini akan berkembang sesuai tahapan usia anak. Dari sinilah anak akan dan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri melalui pengalaman belajar agar diterima di lingkungan sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat; dengan syarat punya kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain (sosialisasi), mampu berkomunikasi dan berbicara yang dapat diterima (dimengerti) orang lain dan memiliki motivasi belajar yang menyenangkan.  Untuk hal ini diperlukan suatu dukungan orang lain, karena pengalaman sosial dini kali pertama diperoleh di dalam rumah maka keluargalah yang paling tepat menentukan terjadinya proses sosialisasi pada anak.

Karena keluarga berfungsi untuk menjaga dan menumbuh-kembangkan anggotanya, maka diperlukan orangtua yang bijaksana, sebab sikap orangtua akan mempengaruhi cara mereka memperlakukan anak dan mempengaruhi perilaku anak.  Pada dasarnya hubungannya orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua, dimana hal ini juga diperoleh melalui pengalaman belajar sebelumnya dari orangtua mereka.20

 

V.       PENUTUP

Keluarga sebagai wahana utama dan pertama terjadinya sosialisasi pada anak.  Karena pertama, anak kali pertama berinteraksi dengan ibunya (dan anggota keluarga lain); kedua pengalaman dini belajar anak (terutama sikap sosial) awal mula diperoleh di dalam rumah dan ketiga, keluarga sesuai peran dan fungsinya diidentikan sebagai tempat pengasuhan yang didalamnya mencakup proses sosialisasi yang sekaligus bertanggung jawab untuk menumbuh-kembangkan anggota keluarganya, dengan tidak boleh mengabaikan faktor nilai, norma dan juga tingkah laku yang diharapkan baik dalam lingkungan keluarga ataupun lingkungan yang lebih luas (masyarakat)

 

 

VI.     DAFTAR PUSTAKA

 

Berger and Berger. 1984. The War Over The Family. New York: Anchor Books.

Hurlock, E., 1978. Child Development. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill

Inc.

Kartini, K., 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar

Maju.

Mc Cleland, D., 1984. Motives, Personality and Society. New York: Praeger.

Megawangi, R., 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan.

Peraturan Pemerintah RI no.21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan

Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Rohidi, T., 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan.

Semarang: IKIP Semarang Pres

Rohner, R., 1986. Parental Acceptance-Rejection. Handbook. New York

Satoto, 1998. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak – Disertasi: Semarang:

Universitas Dipenogoro

Sitorus, F. Agusta. I dan Sutiawan.S. 1998. Sosiologi Umum. Bogor: IPB – Dokis.

Soerjono, S., 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali.

Suprihatin, G.,Sumarwan.U.,Hartoyo.,Puspita.H dan Hastuti.D. 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor:

Jurusan  GMSK.

Zanden, J., 1986. Sociology The Core. New York: Alfred A. Knopf.

Zulkifli., 1995. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya.

 



1 Zulkifli, 1995, Psikologi Perkembangan, Bandung: Rosdakarya

2 Lihat Zanden, James. Sociology the Core, hal.59.

3 Hurlock, 1978. Child Development.

4 Kartini, K., 1995. Psikologi Anak.

5 Morgan (1977), dalam Sitorus, dkk., hal 9-10.

6 Zanden, 1986. Sociology the Core, hal 86.

7 Malinowski (1930) dalam Megawangi, hal 65.

8 Lihat Megawangi, Membiarkan Berbeda (Jakarta:Mizan, 1999) hal 57.

9 Suprihatin, G., dkk, 1992. Diktat Manajemen Sumberdaya Keluarga.

10 Satoto, 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Disertasi.

11 Peraturan Pemerintah RI no.21 tahun 1994 tentang Penyelengaraan Pembangunan keluarga Sejahtera.

12 Rohidi T., 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan.

13 Soerjono S., 1982. Sosiologi Suatu Pengantar.

14 Lihat Megawangi (1999) hal 66.

15 Lihat Megawangi (1999) hal 67

16 Lihat Berger & Berger (1984: The War Over the Family (New York. Anchor Book)

17 Lihat Zanden (1986) hal 26.

18 PP no.21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera

19 Mc Cleland, D, Motives, Personality and Society (New York: Praeger, 1984)

20 Hurlock, B., (1978): Child Development, Mc grow Hill – Inc.