ã 2002 Muhammad Sabri                                                                                          Posted  24 November, 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2002

 

Dosen :

Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

EVALUASI TERHADAP PENGELOLAAN KAPAL PERIKANAN

DI ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA 

 

Oleh:

 

MUHAMMAD SABRI

C526010031

Email:  sabrimu2000@yahoo.com

 

A. Latar belakang

Pembangunan sektor kelautan pada saat ini merupakan pilihan yang strategis dalam rangka mendukung upaya pembangunan ekonomi nasional, agar tercipta landasan ekonomi yang kuat. Mengingat potensi sumberdaya ikan diperairan Indonesia sebesar 6,3 juta ton dengan Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 5 juta ton, dan di ZEEI 1,9 juta ton dengan JTB 1,5 juta ton. Sayangnya potensi dan kekayaan sumberdaya tersebut belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, bahkan terjadi sebaliknya. Kekayaan tersebut dimanfaatkan oleh pihak asing melalui pencurian ikan (illegal fishing) dan penyalahgunaan izin penangkapan (abuse licensing). Departemen Kelautan dan perikanan memperkirakan dari 7.000 izin operasi penangkapan ikan, dan tujuh puluh persennya (70%) merupakan kapal asing. Perkiraan kerugian dari operasi kapal asing ini menurut Departemen Kelautan dan Perikanan sudah mencapai US$ 1,36 milyar yang berupa kerugian akibat hilangnya fee, hilangnya iauran keterampilan tenaga kerja dan lost akibat subsidi BBM secara tidak langsung (media Indonesia: 24/6/2001).

Melihat potensi sumberdaya laut yang kita miliki tersebut, sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2003 adalah tercapainya produksi perikanan sebesar 6,13 juta ton dan perolehan devisa dari ekspor hasil perikan sebesar US$ 3,2 milyar serta penyerapan/penambahan tenaga kerja perikanan sebanyak 548 ribu orang. Pada tahun 2004 diharapkan sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap pendapatan domestik bruto nasional akan mencapai 5 % dengan nilai ekspor hasil perikanan sekitar US$ 5 milyar (Maskur Riyadi D.M., 2002)

Dalam rangka memaksimalkan pemanfatan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, pengadaan kapal perikanan dari luar negeri dan penggunaan kapal perikanan asing perlu kembali dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan.

B.     PERKEMBANGAN KAPAL PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA TAHUN 1986 – 1995

Pada gambar 1 memperlihatkan bahwa tahun 1986 jumlah kapal nasional masih lebih banyak dari pada kapal perikanan asing. Namun pada tahun 1988 kapal perikanan asing mengalami pelonjakan jumlah yang sangat tajam dari 323 menjadi 992 buah, hal ini diakibatkan oleh PP No 15 Th  1984 tentang pengelolaan sumberdaya hayati di ZEEI. Pasal 2 dan 3, yang memberikan kesempatan kepada orang atau badan hukum asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI. Setahun kemudian jumlah kapal nasional  meningkat sementara kapal asing menurun jumlahnya.

Gambar 1. Grafik perkembangan kapal penangkap ikan di perairan ZEEI, 1986 – 1995.

 

Menurunnya jumlah kapal tersebut kemungkinan besar karena adanya pemalsuan dokumen kapal asing tetapi berbendera asing atau adanya penyalahgunaan izin penangkapan (abuse licensing). Secara umum ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemanfaatan tidak sah atas sumberdaya ikan di wilayah ZEEI. Pertama, adanya kekosongan armada penangkapan di beberapa kawasan Indonesia, misalnya di Laut Arafura, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan Laut Pasifik. Kedua, law enforcement  yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga,  tidak lancarnya investasi akibat krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan sehingga menimbulkan iklim ketidak pastian dalam berusaha akibatnya hanya sedikit kapal-kapal yang beroperasi di ZEEI.  Keempat, kondisi geografi perairan Indonesia yang memungkinkan terjadinya pencurian ikan tanpa mudah dideteksi (hit and run).

Sehingga pada tahun 1990 untuk menertipkan kapal asing pemerintah mengeluarkan Peraturan pemerintah nomor 816 tahun 1990 tentang penggunaan kapal perikanan berbendera asing dengan cara sewa untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pada gambar 1. nampak bahwa mulai tahun 1990 jumlah kapal asing grafiknya naik terus hingga tahun 1992 mencapai puncaknya. Setela itu jumlah kapal asing jumlahnya menurun lagi tetapi jumlah kapal nasional meningkat drastik. Ini kemungkinan diakibatkan oleh adanya kapal asing yang berbendera Indonesia atau adanya pemalsuan dokumen kapal, dan makin ramainya sistem transshipment. Untuk menanggulangi sistim transshipment pememrintah mengeluarkan Kepmentan No.8 05/kpts/pl.810/7 1996 tentang ketentuan penggunaan kapal pengangkut ikan di ZEEI. 

C.      Rasional Kebijakan Kapal Asing

Masalah pengaturan kebijakan bagi kapal asing merupakan masalah bagi negara-negara yang memiliki wilayah perairan yang mengharuskan mengatur akses kewilayah tersebut baik untuk usaha (kapal) domestik maupun asing. Hal ini disebabkan ada beberapa rasional (alasan) diperlukannya pengaturan bagi kapal asing yang beroperasi di wilayah ZEEI, yaitu: Pertama, menyangkut global overcapacity. Dalam laporan mengenai status of the word fisheries, FAO menyebutkan bahwa terjadi tren penurunan global hasil perikanan di berbagai belahan dunia karena diakibatkan kelebihan kapasitas atau economic over fishing, bahkan lebih dari 70% stok perikanan dunia dalam kondisi fully atau over exploited. Kedua, perkembangan UNCLOs memungkinkan coastal states untuk mengelolah perairan ZEE-nya secara lebih transparan. Seiring dengan tekanan global fisheries seperti yang disebutkan di atas, UNCLOS memberikan ruang kepada coastal statel  untuk melarang atau mengizinkan kapal-kapal dari negara lain untuk beroperasi di wilayah ZEE-nya. Ketiga, menyangkut  highly migratory species. Pengelolaan highly migratory species ini biasanya diatur melalui badan-badan internasional seperti CCSBT (Convention on Conservation of Southern Bluefin Tuna), ICCAT (International Commision for the Concervation of Atlantik Tuna). Walaupun demikian negara-negara maritime tetap memiliki hak untuk menentukan fee bagi kapal-kapal asing yang beroperasi diwilayah ZEE-nya. Keempat, menyangkut tradisi atau konvensi penerapan perizinan bagi kapal asing yang telah dilaksanakan di beberapa negara di dunia.

Untuk menertibkan pengelolaan kapal asing yang beroperasi diwilayah ZEEI, Departemen Kelautan dan perikanan melakukan 3 skim kebijakan yaitu : usaha patungan (joint venture), beli angsur (purchase on instalment), dan lisensi.

D.  DAMPAK PENGOPERASIAN KAPAL ASING DI ZEEI

            Pemberian hak penangkapan kepada asing akan memberikan dampak bagi negara pemberi hak. Studi yang dilakukan oleh MRAG (2000) dibeberapa negara di Afrika mengindikasikan berbagai dampak yang muncul akibat beroperasinya kapal-kapal uni Eropa. Dampak tersebut menyangkut kaitannya terhadap sumberdaya ikan (resource). Pengembangan kapasitas, ketenaga kerjaan dan kemungkinan konflik dengan armada domestik. Dari sisi sumberdaya memang terjadi mixed results akibat operasi kapal asing tersebut, di beberapa negara seperti Cape Verde dan Senegal, operasi kapal asing mengakibatkan terjadinya penurunan sumberdaya khususnya yang menyangkut hight value species dan chpalopod. Sebaliknya di Namibia dan Mozambique, operasi kapal asing tidak berpegaruh nyata terhadap akses kapal asing melalui MCS yang berjalan cukup baik. Demikian juga dampak terhadap indicator mikro ekonomi di negara-negara tersebut cukup beragam. Di beberapa negara seperti; Senegal, Mozambique, dan Namibia, operasi kapal asing memberikan dampal positif yang cukup signifikan terhadap peningkatan tenaga kerja. Namun di Mauritania dan Cape Verde peningkatan kesempatan kerja hampir dikatakan tidak terjadi. Dari sisi kompensasi finansial, beberpa negara yang memberikan hak akses kepada kapal asing memperoleh kompensasi yang cukup signifikan berupa manfaat (benefit) dan licence fee, pembayaran kompensasi, pajak, penerimaan dari pembelian input produksi (BBM, es, air dan lain-lain), value added  untuk industri pengelolaan lokal dan investasi dari negara penerima hak akses.

             Menurut Kusumastanto T. (2002) masalah yang akan timbul akibat dari kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :

1.      pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan nasional yang hanya menjadi agen bagi pengusaha asing untuk menangkap ikan di ZEE merupakan suatu hal yang beresiko terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan ZEEI. Dalam mekanisme ini tidak ada instrumen pendukung yang mengefektifkan kebijakan pada tataran implementatif baik berupa insentif maupun disinsentif. Jika hal ini terabaikan, maka kebijakan ini sama halnya dengan kasus pemberian Hak pengusaha Hutan (HPH) yang akhirnya menghancurkan sumberdaya hutan.

2.      skim Sewa (charter) dan sewa – beli atau beli angsur  (purchase on instalment) pada dasarnya memberikan kesempatan pada pengusaha nasional untuk membeli secara berangsur kapal asing. Dalam skim ini komposisi penggunaan tenaga kerja tahun pertama 50% dari dalam negeri dan 50% tenaga kerja asing, kemudian selanjutnya secara bertahap dikurangi 10% setiap tahunnya sehingga dalam tahun keenam diharapkan 100% tenaga kerja dalam negeri. Persoalan dari skim ini adalah lemahnya mekanisme perlindungan dan pengawasan serta sanksi yang dikenakan kepada pengguna kapal asing di ZEEI sehingga, tridak ada jaminan sumberdaya perikanan ZEEI akan lestari. Data tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan ZEEI yang dilakukan selama ini ternyata beberapa wilayah telah mengalami eksploitasi secara berlebihan, seperi Selat Malaka dan Laut Arafura. Masalahnya adalah jangan sampai kebijakan dengan skim ini hanya menduplikasi model masa lalu yang implikasinya mengancurkan sumberdaya lokal dan merugikan nelayan lokal.

3.      Skim usaha patungan (joint venture) atau kemitraan (partnership). Dalam skim ini pengusaha domestik yang bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing syaratnya adalah mempunyai kapal penangkap ikan. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka pengusaha perikanan domestik akan mendapatkan izin untuk bermitra dengan pemilik kapal asing. Risikonya adalah orang atau badan hukum yang akan bermitra dengan pihak asing bisa saja  tidak memiliki kapal, tetapi akan menggunakan kapal ikan pengusaha perikanan lain, sehingga mendapatkan izin penggunaan kapal ikan berbendera asing. Dengan perkataan lain pengusaha nasional hanya menjadi broker dari pengusaha kapal ikan asing.

 

E. Penutup

Untuk melaksanakan kebijakkan tersebut diatas diperlukan kehati-hatian jangan sampai dapat menimbulkan masalah baru. Untuk menimalisasi dampak dari kebijakan tersebut maka diperlukan :

a.       Pengawasan terhadap perusahaan Nasional yang mengadakan usaha join venture dengan perusahaan Asing agar perusahaan  tersebut benar adanya bukan merupakan usaha banyangan.

b.      Monitoring Control System harus ditingkatkan, dan dipandang perlu mendirikan satu lembanga khusus untuk memonitoring semua kapal yang beroperasi di zona ZEEI.

c.       Membentuk lembaga perizinan satu pintu untuk memudahkan pengusahan dalam berurusan.

d.      Perlu ketegasan hukum terhadap kapal asing yang melakukan penangkapan ikan illegal di kawasan ZEEI.

 

Daftar Pustaka

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 60/Men/2001 Tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan Di ZEEI, 2001. Jakarta.

 Dedi M. Maskur Riyadi, 2002. Kebijakan Pembangunan Nasional dalam Menunjang Sektor Kelautan dan Perikanan dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kawasan timur Indonesia. Makalah Seminar Optimalisasi pengelolaah dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Perikanan dalam Mendorong Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia di IPB. Bogor, 20-21 Maret 2002.

 MRAG, 2000. Control of Foreign Fisheries. FAO Regional Workshop on Fisheries  Monitoring control and Suirveillance for Countries Bordering The Southwest Indian Ocean.

 MRAG, 2000. The Impact of Fisheries Subsisies on Developing Countries. MRAG DFID Olicy Research Programme Project.

 Kusmanto T, 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia DiEra Otonomi Daera. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

 Koran Harian, Media Indonesia. 24 Juni 2001. Jakarta.