ă 2002 Ramadhanil                                                               Posted  23 November, 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2002

 

Dosen :

Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 KEANEKARAGAMAN HAYATI SULAWESI:

POTENSI, USAHA KONSERVASI DAN PERMASALAHAN

 

 

 

Oleh

RAMADHANIL

G 306 020 101 (BIO)

E-mail: ramadhanil64@yahoo.com

 

 

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (Malay Archipelago),  memiliki kawasan seluas 780 juta Ha yang terdiri atas daratan seluas 1,9 juta persegi, laut 3,1 juta km persegi dan perairan terbatas seluas 2,7 juta km persegi. Daratan Indonesia mencakup 17,508 pulau yang berukuran besar dan kecil, 6.000 pulau diantaranya secara tetap dihuni oleh manusia, dengan garis pantai sepanjang 80.791 km ( Anonim., 1990). Tidak kurang dari 300 kelompok etnis terdapat di Indonesia. Ekosistem pulau/kepulauan menyebabkan Indonesia dicirikan oleh tingginya tingkat endemic untuk seluruh kelompok organisme. Meskipun belum ada data  endemisitas untuk organisme mikro diperkirakan juga tinggi.

          Berdasarkan tipe ekosistem, di Indonesia lebih kurang 47 tipe ekosistem berbeda baik alami atau buatan, mulai dari ekosistem gunung es, padang rumput, alpine di Irian jaya ( kira-kira ketinggan 5000 dpl), ekosistem hujan tropika lahan pamah sampai gunung, rawa dangkal, danau dalam, mangrove, rumput laut, terumbu karang, laut dalam sampai 8000 m , lahan gambut dan lain-lain.

          Dengan beragamnya tipe ekosistem di Indonesia tentulah menyimpan keanekaragaman makhluk hidupnya. Hewan dan tumbuhan yang terdapat di Indonesia tersebar di seluruh wilayah kepulauan nusantara seperti Sumatera, Jawa, kepulauan Lesser Sunda (Bali, NTB dan NTT), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan pulau-pulau kecil lainnya. Pada tabel dibawah ini disajikan kekayaan jenis spesies yang terdapat di beberapa pulau di Indonesia.

          Hutan hujan tropika Indonesia merupakan salah satu tipe ekosistem di Indonesia . Pada ekosistem ini  memiliki kekayaan species Palem (Arecaceae) terbesar di dunia, memiliki lebih dari 400 spesies anggota Dipterocarpaceae, ”primadona kayu tropika”, dan +/- 25.000 spesies tumbuhan berbunga. Dalam skala dunia, Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi untuk mamalia (515 spesies, 36% endemik), kupu-kupu ”swalllow tail”/sayap burung (121 spesies, 44% endemik), ketiga untuk reptilia (lebih kurang 600 spesies) keempat untuk burung (1519 spesies, 28% endemik), kelima untuk amphibia (270 spesies) dan ke tujuh untuk tumbuhan berbunga ( BAPENAS, KLH dan World Bank, 1991). Namun demikian, kemungkinan untuk menemukan berbagai spesies baru di Indonesia masih terbuka lebar.

          Hutan hujan tropika juga menyimpan beranekaragam tumbuhan obat yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional(jamu) seperti : pasak bumi ( Eurycoma longifolia), tabat barito (Ficus deltoidea), kembang padma (Rafflesia spp), kayu angin (Usnea sp), tapak dara ( Cataranthus roseus). Selain itu , Indonesia (Indomalaya) juga merupakan salah satu Pusat Vavilov (nama botanis Rusia yang pertamakali menjelaskan pola sebaran sumber keanekaragaman genetik tumbuhan budidaya) dari sumberdaya genetik beberapa jenis budidaya, antara lain:pisang, kelapa, dan ubi jalar. Selain itu Indonesia juga merupakan pusat penyebaran jahe-jahean, jambu-jambuan, kerabat mangga (Mangifera spp), soka (Ixora spp), anggrek dan durian.

 

 

Tabel . Kekayaan Jenis Hewan dan Tumbuhan yang Terdapat di beberapa Pulau besar   di  Indonesia.

 

Nama Pulau

Burung

Mamalia

Reptilia

Taksa Tumbuhan

Sumatera

Jawa-bali

Kalimantan

Sulawesi

NTB-NTT

Maluku

Irian Jaya

465

362

420

289

242

210

602

194

133

210

114

41

69

125

217

173

254

117

77

98

223

820

630

900

520

150

380

1030

 

Sumber : Ministry of State & Environment, Republic Indonesia (1992)

 

 

 

II. KONSEP DAN FAKTA KEANEKARAGAMAN HAYATI

 

          Biological Diversity (Biodiversity) atau keanekaragaman hayati adalah istilah payung (“Umbrella term”) untuk derajad keanekaragaman sumberdaya alam hayati, meliputi sumberdaya alam hayati, meiputi jumlah frekwensi dari ekosistem, spesies maupun gen di suatu daerah. Istilah keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan pengertian yang berbeda, yaitu : (!) keanekaragaman genetik; (2) keanekaragaman spesies; (3) keanekaragaman ekosistem (Mc Neely, 1988). Keanekaragaman hayati meliputi seluruh spesies tumbuhan, hewan , organisme mikro dan gen-gen yang terkandung di dalamnya serta seluruh ekosistem di muka bumi (Mc Neely, Miller, Reid, Miitermeier and Werner, 1990). Dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (1992) yang juga dituangkan dalam UU No.5/1994 batasan keanekaragaman hayati adalah sebagai berikut :

 

” Biodiversity means the variabilty among living organisms from all

sources, including, inter alia, teresterial, marine and other aquatic ecosystems and the ecological complexes of which they are part ;  this includes diversity within spesies, between spesies and of ecosystems”

 

Keanekaragaman genetik merupakan konsep mengenai derjad keanekaan gen dalam suatu spesies yang diukur dari variasi genetic (unit-unit kimia atau sifat-sifat warisan yang dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya) yang terkandung dalam gen-gen individu organisme dari suatu jenis, sub jenis, varietas atau keturunan. Sehubungan konsep keanekaragaman genetik ini, dalam populasi suatu jenis organisme tidak ada suatu individupun yang penampilannya persis sama dengan individu lainnya. Ini berarti bahwa tiap sifat yang dapat diamati memiliki kisaran bentuk, ukuran dan warna, yang variasinya ditentukan oleh sifat genetic jenis tersebut.

Keanekaragaman spesies merupakan konsep mengenai keanekaan makhluk hidup di muka bumi dan diukur dari jumlah total spesies di muka bumi atau di wilayah tertentu. Perkiraan jumlah spesies di muka bumi yang pernah dikemukakan bervariasi antara 5 juta hingga lebih dari 30 juta spesies, tetapi hanya 1,4 juta spesies yang telah dideskripsikan secara ilmiah (Wilson, 1988).

Keanekagaraman ekosistem berkaitan dengan keanekaragaman tipe habitat, komunitas biologis dan proses-proses ekologis di mana berbagai spesies hidup di dalamnya. Upaya konservasi spesies harus didukung dengan upaya konservasi ekosistem dimana spesies itu menjadi salah satu komponennya.

 

 

III. KEANEKARAGAMAN HAYATI DI SULAWESI

 

 

Sulawesi merupakan pulau besar terpenting  yang terdapat di kawasan Wallacea, suatu wilayah unik di dunia  tempat bercampurnya tumbuhan dan binatang dari Asia dan Australia (kawasan peralihan antara Asia dan Australia). Menurut hasil ekspedisi Alfred Russel Wallace   tahun 1850-an bahwa flora dan fauna yang terdapat pada kawasan ini banyak yang unik dan spesifik , hal ini beliau publikasikan dalam buku “ The Malay Archipelago” sehingga beliau dikenal sebagai Bapak Biogeografi ( Whitten, et al.,1987 ; Kinnaird, 1997).

Menurut Whitmore (1989) Lokasi geografi Sulawesi ditentukan oleh posisi biogeografi yang special di Asia Tenggara, dimana pulau-pulau Kalimantan , Sumatera dan Jawa diperkirakan pernah bersatu dengan dataran utama Benua Asia pada akhir periode Glasial sedangkan Sulawesi terisolasi dari pulau-pulau lain dan juga dari Papua New Guinea meskipun dipisahkan oleh selat yang sempit namun sangat dalam

Isolasi geografi dari Pulau Sulawesi telah menyebabkan perkembangan yang spesifik terhadap flora dan faunanya, walaupun jumlah jenis sangat sedikit (diperkirakan 5000 taxa tumbuhan tinggi) termasuk 2100 tumbuhan berkayu ,namun  susunan dan komposisinya sangat unik ( Whitten et al.,1987, Kessler et al, 2002 ). Sebagai contohnya DIPTEROCARPACEAE yang mendominasi hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera ( diperkirakan 267 species ), di Sulawesi hanya didapatkan 7 spesies dari anggota family ini.

Flora Indonesia khususnya Sulawesi sangat sedikit diketahui (Bass et al., 1990) Sampai sekarang kurang dari 20% dari total flora Indonesia, flora Sulawesi yang tercatat dalam Flora Malesiana (Veldkam et al., 1997) karena kurangnya studi /ekspedisi botani di kawasan ini. Sebagai contoh, Jumlah ekspedisi botani di Sumatera 20 kali lebih banyak dibandingkan dengan Sulawesi.  

Kemolekan fisik pulau Sulawesi dengan pegunungan berselimut hutan dan terumbu karang mengagumkan tentulah menyimpan pesona kehidupan biologinya, dimana pada kawasan ini dikenal Flora dan Fauna yang unik dan spesifik. Dari kawasan ini telah dikenal beberapa fauna endemik seperti Anoa ( Buballus depresicornis & Buballus quarlesii), Tarsius (Tarsius spectrum, T. pumillus dan T. diannae), maleo (Macrocephalon maleo Muller), burung alo (Rhyticeros cassidix dan Phanelopides exerhatus), babirusa (Babyrousa babyrusa), musang raksasa (Macrogalidia muschenbroekii), kuskus ( Ailurops ursinus dan Strigocuccus celebensis), jalak sulawesi ( Scisirostrum dubium) dan lain-lain (Whitten, et al.,1987)

Tetumbuhan adalah salah satu kekayaan Sulawesi yang tidak kalah pentingnya. diperkirakan di Sulawesi ada sekitar 5000 jenis tumbuhan akan tetapi kelimpahannya dan persebarannya kurang begitu diketahui bila dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia hal ini disebabkan karena kurang ekspedisi dan eksplorasi  dan publikasi tentang hal ini. Namun dengan berbagai tipe ekosistim mulai dari garis pantainya yang panjang, pedalamannya yang bergunung-gunung dan keanekaragaman tipe tanahnya jelaslah Sulawesi merupakan pusat keanekaragaman tumbuhan ( Kinnaird, 1997).

 

 

IV. PERKEMBANGAN PENELITIAN FLORA DAN FAUNA DI SULAWESI

 

Sulawesi terdiri atas 182.870 km2 daratan tapi studi terhadap floranya masih sangat kurang. jika dibandingkan dengan pulau-pulau utama lainnya di Indonesia,  spesimen tumbuhan (herbarium) yang terkoleksi dari kawasan ini masih sangat sedikit  kira-kira 23 specimen per 100 km2, sedangkan di Pulau Jawa tercatat hampir 1000 specimen/ 100 km2 ( Whitten et al.,1987). Steenis (1950) dalam Kessler et al (2002) mencatat sebanyak 32.500 spesimen tumbuhan yang telah terkoleksi dari  pulau Sulawesi akan tetapi jumlah tersebut masih diperkirakan secara kasar karena pada saat itu data-data yang ada belum di ‘database‘kan secara komputerisasi. Steenis (1950) memperkirakan sebanyak 150 botanist yang pernah bekerja di Sulawesi ,  dimulai pertama sekali oleh Dampier (1887) yang melakukan koleksi di Pulau Buton (Sulawesi Tenggara).  Dalam 50 tahun terakhir beberapa ekspedisi penting telah dilakukan di Sulawesi misalnya yang dikoordinir oleh Royal Botanic Garden Kew (Coode et al.,), Royal Botanic Garden Edinburg ( Argent, Newman, Milliken, Atkins et al.), The National Herbarium Nederland ( van Balgoy, Hennipmen, Joncheere, Paul J.A. Kessler, Vermeulen, de Vogel et al). Para botanist  Indonesia juga telah ikut ambil bagian dalam penelitian Flora Sulawesi seperti Ramadhanil Pitopang et al ( Universitas Tadulako Palu), Johannes P. Mogea, Harry Wiriadinata dan Muh. Mansyur ( Herbarium Bogoriense, LIPI), Dedi Darnaedi, Inggit Puji Astuti et al , Hendrian ( Kebun Raya Bogor), I. Nengah Wirawan et al ( Universitas Hasanuddin, Makassar). Hasil studi mereka telah memberikan sumbangan dan peningkatan terhadap  pemahaman flora Sulawesi terutama keanekaragaman jenisnya. Jika dibandingkan dengan pulau lain penelitian dan publikasi tentang flora  Sulawesi masih sangat kurang. Publikasi terhadap flora Kalimantan , Jawa dan Sumatera sudah cukup banyak, misalnya : Dipterocarp of Borneo, Tree and Schurbs of Borneo, Orchids of Borneo. Nepenthes of Borneo, Nepenthes of Sumatera, Orchids of Sumatera, Tree of Sumatera, Flora of Java, Orchid of Java dan masih banyak publikasi lainnya yang melengkapi publikasi tentang Flora dari wilayah tersebut. Sampai saat ini publikasi tentang flora Sulawesi hanya berupa checklist yaitu : Checklist of Tree Sulawesi yang ditulis oleh Whitmore et al (1980),  pada tahun 2002 telah diluncurkan sebuah buku yang berjudul “ The Checklist of Woody Plant Sulawesi Indonesia yang ditulis oleh Paul J.A Kessler dari National Herbarium of Nederland Leiden, yang berkolaborasi dengan Ramadhanil Pitopang ( Herbarium Celebense, Universitas Tadulako) dan S.R. Gradstein (Herbarium Goetingen, University of Goetingen, Germany). Publikasi lain tentang flora  seperti Anggrek Sulawesi juga sudah pernah ditulis oleh Ramadhanil Pitopang (2001) yang memperkirakan paling sedikit  terdapat 300 spesies anggrek alam di Sulawesi dan hampir 30 jenis bersifat endemik  Penelitian ini berdasarkan kepada “Curation” yang tersimpan di Herbarium Bogoriense, Bogor.  

 

 

V. HERBARIUM DAN MUSEUM  ZOOLOGI SEBUAH BENTUK KONSERVASI EKS-SITU YANG DIPERLUKAN DI SULAWESI

 

Herbarium adalah sebuah istilah yang pertama sekali digunakan oleh Turnefor (1700) untuk tumbuhan obat yang dikeringkan sebagai koleksi. Luca Ghini (1490-1550) seorang Professor Botany di Universitas Bologna, Italia adalah orang pertama yang mengeringkan tumbuhan di bawah tekanan dan melekatkannya di atas kertas serta mencatatnya sebagai koleksi ilmiah (Arber,1938) . Pada awalnya banyak  specimen herbarium disimpan di dalam buku  sebagai koleksi pribadi  tetapi pada abad ke XVII praktek ini telah berkembang dan menyebar di Eropah. Carrollus Linneaus (1707-1778) adalah orang berjasa dan mengembangkan teknik ini secara baik pada periode tersebut  ( See De Wolf, 1968; 70-71; Radford et al, 1974; 751-752 dalam Bridson and Forman, 1998).

Pada saat ini istilah Herbarium  digunakan untuk sebuah lembaga yang mengelola koleksi specimen tumbuhan, mempelajari keanekaragaman serta men’database’kannya, sedangkan Museum Zoologi khusus mengelola koleksi hewan.

Sulawesi sangat terkenal dengan “Wallacea region”nya karena posisi biogeografinya yang unik sehingga banyak terdapat flora dan fauna yang bersifat endemic, akan tetapi di wilayah tersebut (belum terdapat ) terutama Museum yang mengkoleksi contoh-contoh specimen hewan, banyak contoh-contoh specimen hewan yang berasal dari Sulawesi di koleksi di bawa dan di koleksi di tempat lain, misalnya tersimpan di Museum Natural History, England dan di Museum Zoological Bogoriense, tentulah hal ini sangat disayangkan sekali. Disisi lain  dibidang flora  telah terbentuk/ didirikan sebuah Herbarium pada tahun 1999 di Universitas Tadulako Palu yang bernama “ Herbarium Celebense” yang menyimpan contoh-contoh flora dari Sulawesi. Pada saat ini Herbarium Celebense telah terdaftar secara resmi di International Indek Herbariorum di Bronx, New York. Diperkirakan sebanyak lebih dari 3000 contoh-contoh specimen tumbuhan terkoleksi di sana. Banyak dari  specimen herbarium tersebut terdiri atas tumbuhan tingkat tinggi ( Spermatophyta) seperti rotan, anggrek, pohon, rumput-rumputan dan beberapa contoh paku-pakuan.

 

 

VI. TAMAN NASIONAL LORE LINDU , SEBUAH CONTOH EKOSISTEM HUTAN HUJAN TROPIS DI SULAWESI

 

 

6.1. Sejarah Taman Nasional Lore Lindu

         

     Lore Lindu adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang luasnya 229.177,5 ha. Taman ini berlokasi di Propinsi Sulawesi Tengah yang dapat dicapai dengan bus yang jaraknya kira-kira 50 km ke arah tenggara dari kotamadya Palu. Menurut WWF dan laporan Yayasan lokal (1983) bahwa pertama diusulkan kawasan ini   bernama Lore Kalamanta  berdasarkan SK.No.522/Kpts/Um/10/1973 ditambah dengan hutan wisata / hutan lindung danau Lindu berdasarkan SK.No.46/Kpts/Um/1/1978, akan tetapi nama dan statusnya berganti  menjadi Taman Nasional Lore Lindu.

6.2.      Topografi

           Lore Lindu adalah sebuah daerah pegunungan yang diselingi oleh 3  lembah yaitu Lembah Besoa, Lembah Bada dan lembah Palolo-Sopu. Pada bagian utara terdapat puncak gunung tertinggi yaitu Rorekatimbu (2.610 m dpl) dan Gunung Nokilalaki (2.355 m dpl). Kawasan ini  terbentang secara melebar  dari ketinggian 200 m ( dekat Irigasi Gumbasa/ Pakuli) hingga 2.610 m ( G. Rorekatimbu).

Wilayah Taman Nasional ini mencakup 6 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Donggala dan Poso, yakni :

 

·                                Kecamatan Sigi Biromaru Kab. Donggala

·                                Kecamatan kulawi Kab. Donggala

·                                Kecamatan Palolo Kab. Donggala

·                                Kecamatan Lore Utara Kab. Poso

·                                Kecamatan  Lore Tengah, Kab. Poso

·                                Kecamatan Lore Selatan Kab. Poso

 

Lokasi proyek secara geografis terletak sedikit di sebelah Selatan khatulistiwa dan memiliki iklim tropis luas dengan ciri utamanya variasi iklim yang ada sepanjang tahunnya sangat kecil, hal ini dicirikan antara musim hujan dan musim kemarau tidak jauh berbeda.  Rata-rata curah hujan yaitu berkisar antara 1.700 mm/tahun (lembah napu) sampai 2.400 mm/tahun.  Rata-rata tahunan terendah yaitu terdapat diujung paling Utara lokasi proyek, dimana pengaruh daerah bayangan hujan berpengaruh pada penurunan curah hujan sekitar 1.000 mm/tahun.  Curah hujan akan lebih tinggi di lokasi yang berada di punggung-punggung yang berada di TNLL

 

Patahan-patahan lereng yang terletak di bagian sisi sebelah Timur (lembah Napu) kurang begitu terjal, hal ini disebabkan karena ketinggian dari lembah Napu, yaitu berkisar 1.100 m diatas permukaan laut (d.p.l.) berada sedikit lebih tinggi dari ketinggian lembah-lembah lainnya yang ditempati baik yang berada disebelah Utara, Selatan dan Barat yang berada pada kisaran ketinggian antara 100 - 500 m d.p.l.  Dibagian tengah lokasi proyek ini terdapat TNLL yang berada pada ketinggian anatara 200 - 2.500 m d.p.l. dan sebagian besar dari TNLL ini terletak pada ketinggian anatara 1.000 m d.p.l.

 

Lokasi kegiatan proyek ini mempunyai lingkup wilayah yaitu 60 desa di sekitar TNLL, seperti terlihat pada Tabel 2.2. dan peta lokasinya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

 

 

Kabupaten

Kecamatan

Jumlah

Desa

Proyek

Desa

Donggala

Sigi Biromaru

24

5

 

Palolo

19

9

 

Kulawi

38

23

Poso

Lore Utara

22

16

 

Lore Selatan

14

7

Total

117

60

 

 

6.3.           Sumber Daya Flora

 

Ciri utama vegetasi yang terdapat dalam TNLL terdapat pada vegetasi penutup yang didominasi berbagai jenis rotan (Calamus, sp) yang tingkat bervariasi.  Hingga saat ini lebih dari 20 jenis telah dikenal, dan beberapa diantaranya mungkin penting secara ekologis sebagai jenis khas dari tipe vegetasi tertentu atau sebagai indikator dari habitat yang spesifik.  Sampai taraf tertentu ini juga berlaku  bagi pinanga serta berbagai jenis tumbuhan terna dan paku-pakuan.  Walaupun masih memerlukan penyelidikan yang lebih dalam, sementara ini tipe vegetasi utama di Taman Nasional ini dapat dikatakan memiliki penyebaran menurut ketinggian.

 

Dua zonasi vegetasi uatama yang dijumpai dikawasan hutan hujan tropika ini terdiri dari hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan.  Pohon ini terdapat pada kedua zona yang meiliki tajukyang tertinggi mempunyai mempunyai ukuran yang sama , tingginya mempunyai ukuran yang sama , tingginmya mencapai ukuran 30-40 meter dengan diameter 70-80 cm . Struktur vegetasinya pun mirip satu  sama lain , serta sering kali tidak memilki batas-batas yang agak jelas terdapat pada ketinggian  1.000 m . Disini epifit dan lumut menjadi lebih lazim dijumpai dan jenis-jenis tumbuhan pegunungan secara bertahap menggantikan jenis tumbuhan dataran rendah , walaupun beberapa jenis tumbuhan dataran rendah yang masih dapat dijumpai sampai ketinggian 1.500 m . Didalam tipe hutan hujan pegunungan juga mudah  dikenali suatu sub-zona , yaitu hutan hujan pegunungan bawah .

Vegetasi pada hutan hujan dataran rendah ini meliputi kurang dari 10 % dari luas TNLL dan terutama dapat dijumpai pasa jalur sempit yang terbentang sepanjang batas utara dan barat pada ketinggian antara 200 sampai 1.000 m komposis tumbuhan dari zona ini agak beraneka ragam , tidak dijumpai jenis tertentu yang dominan . Ciri vegetasi ini ditandai oleh adanya pohon yang dikenal sebagai "PAWA" (Rubiaceace ) ntrode ( Pterospermun celebicum )  Ndolia (Cananga odorata) , Ngkera (Horsfieldia sp ) Lawedaru (Knema atau Myristica) dan juga palma saguer (Arenga pinata) dan take (Arenga undulatifolia) , Mpire ( Caryota sp) pada umumnya jenis tumbuhan disebut diatas tidak terdapat pada ketinggian lebih dari .1.000 m .    

Jenis tumbuhan lain yang diketemukan dalam zona vegetasi ini adalah  'Tahiti   " ( Disoxyllum sp) , “Uru” (Elmerillia atau Manglietia) , Luluna  {Celtis sp } , Maro (Garcinia sp), kaupahi , “Dango” (Carralia brachiata) , “Palili” (Lithocarpus spp) , "Nuncu"( Ficus sp) ,Tingaloko ( Leea sp) “Tea, Tea Uru” ( Artocarpus spp ) , Huka (Gnetum  gnemon ), “Pangi” ( Pangium edule ) , “Kau mpangana” (Ardisia) di beberapa tempat juga terdapat Vatica  sp  (Dipterocarpaceae)  Durio zibethinus (durian), Duabanga moluccana ( Lekotu) dan Octomeles sumatrana (benoang)

 

Vegetasi ini bergabung dengan vegetasi sekunder yang tumbuh setelah hutan asli dibuka untuk perladangan dan kemudian ditinggalkan.  Komposisi tumbuhan dari vegetasi sekunder ini bervariasi menyryt umur serta lokasi tegakan.  Secara umum dalam tahun pertama setelah ladang ditinggalkan munculah rumput-rumput dan jenis tumbuhan yang tak berkayu.  Pada tahun kedua atau ketiga, herba penutup ini akan diganti oleh semak belukar yang lebat, yang didominasi oleh 'walobira' (Melastoma malabathricum)  dan atau  'hinduru' (Villebrunnea sp).  Jenis pohon yang kelak menggantikan semakbelukar ini diantaranya 'wulaya' (Trema orientalis), 'hinanu' (Callicapra), 'kuo' (Alphitonia zizyphoides), 'paili' (Lithocarpus).  Jenis-jenis ini dapat membentuk suatu tegakan campuran, atau tegakan yang didominasi oleh beberapa jenis saja, tetapi bisa juga  masing-masing menguasai areal tertentu untuk membentuk suatu tegakan murni.  Sebagai tambahan dapat diutarakan bahwa tanah terbuka yang dibiarkan sesudah longsor terjadi, mungkin langsung seluruhnya diambil alih oleh (Casuarina sumatrana atau Pigaffeta elata.

 

Pada vegetasi hutan hujan pegunungan, karena lebih dari 90 % dari TNLL ini berada pada ketinggian di atas 1.000 m (antara 1.000 - 2.600 m), maka bagian terbesar vegetasi yang menutupi Taman ini adalah hutan hujan pegunungan.  Vegetasi di zona ini ditandai oleh adanya dominasi dari jenis pohon tertentu seperti 'kaha' (Castanopsis argentea), 'palili bohe', palili nete', palili pence' (Lithocarpus spp) dan berbagai jenis Syzigium.   Jenis lain yang juga terbesar tetapi kurang begitu umum ditemukan adalah jenis-jenis dari Podocarpus, Elaeocarpus, Adinandra, Lasianthus, Cinnamomum, Letsea, Callophylium.  Salah satu pohon yang tajuknya terbesar yaitu Aghatis celebica dan Agathis philippinensis biasanya terdapat dalam suatu tegakan atau sebagai individu-individu yang tersebar pada punggung bukit di atas ketinggian 1.500 m, bersama-sama dengan Phyllocladus hypophyllus dan Pandanus sp, Litsea sp. Vegetasi jenis terna  lain yang mendominasi kawasan ini adalah Rhododendron spp ( R. malayanum, R.celebicum dan R. Zollingerii), dan Vaccinium spp.

 

Pada hutan hujan pegunungan bawah karena masih merupakan bagian dari hutan hujan pegunungan, vegetasi hutan hujan pegunungan bawah yang berada pada ketinggian antara 1.000 - 1500 m ini didominasi juga oleh jenis-jenis khas dari vegetasi pegunungan.  Hal ini terutama sekali dapat dilihat pada pegunungan bukit yang baik drainasenya serta lereng sebelah atas dimana jenis tumbuhannya dataran rendah tidak begitu lazim diketemukan.  Sedangkan pada lereng bawah yang drainasenya sedang sampai kurang, kaki lereng serta didaerah banjir - didominasi jenis khas pegunungan menjadi kurang nyata, diganti oleh jenis tumbuhan yang terdapat dihutan hujan dataran rendah.  Marga tertentu berkembang biak sekali di sub zona ini.  Sebagai contoh, didataran rendah terdapat 1 atau 2 macam 'uru' (Ellemerillia atau Manglietia).  Tetapi di sub zona pegunungan bawah terdapat 5 macam , diantaranya 'uru ronto', uru tonu', dan 'uru kasa',.  Pohon-pohon yang lazim dijumpai adalah jenis-jenis Turpinia, Stercularia, Vernomia, Engelhardtia, Canarium, Artocarpus, Semecarpus, Knema, Myristica  Horsfieldia dll.  Juga umum ditemukan jenis bambu merambat Dinochola scandeus.  Ditempat-tempat terbuka di dataran banjir yang berbasah, Eucalyptus deglupta yang pertumbuhannya cepat, dapat tumbuh dengan mapan.  Tegakan murni dari jenis ini dapat dijumpai disepanjang sungai-sungai Sopu, Saluki, dan Lamea.  Komponen vegetasi dari sekunder dalam sub zona ini pada hakekatnya serupa dengan yang dijumpai dalam zona dataran rendah.  Pada daerah ini dimana sering terbakar, terutama pada abatas tmur  TNLL dapat dipertahankan adanya padang rumput  yang didominasi oleh Themeda, Setaria, Rottboelia, dan lain.lain.

 

6.4. Sumber Daya Fauna

 

Mamalia Besar

 

Sulawesi yang terpisah secara fisik dari dua daratan yaitu Asia dan Australia  dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan kurangnya jenis satwa dibnding dengan pulau lain. Dibanding dengan pulau jawa, Pulau Sulawesi hanya memiliki 114 jenis binatang menyusui dan 263 jenis burung penghuni tetap (resident), jika dibandingkan dengan pulau jawa yang lebih kecil yang ternyata mempunyai 133 jenis binatang menyusui dan 362 jenis burung. Namun demikian kondisi ini menyebabkan pula adanya jenis satwa yang ditemukan di Pulau Sulawesi tapi tidak ditemukan ditempat lain.

 

Anoa dan kerbau cebol yang umumnya diketemukan di TNLL jarang dapat dilihat.  Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang lebih suka menjauhkan diri dari manusia serta satwa ini nokturnal.  Batas penyebaran di dalam taman tidak ada. Faktor pembatas yang mungkin adalah gangguan yang terus menerus dari manusia terutama pemburu terhadap satwa ini.  Di kawasan TNLL mereka mempunyai reputasi yang  buruk oleh sifatnya yang suka menyerang orang atau binatang lain dalam hutan tanpa suatu alasan.  Klasifikasi Anoa di TNLL seluruhnya terdapat dua jenis, yaitu Bubbalus quarlesii dan Bubbalus depressicornis. Tipe populasi Anoa Di TNLL adalah tipe Bubbalus quarlesi.  Satwa ini memiliki tanda-tanda berupa perawakan yang kecil, rambut wol yang berwarna hitam, tidak terdapat banyak bercak putih pada kaki, serta memiliki tanduk yang terhitung kecil.

 

Babirusa (Babyrousa sp) adalah binatang menyusui di Sulawesi yang paling banyak mengandung teka-teki.  Sementara ini dia tidak memiliki kerabat dekat. Dahulu ia merupakan sanak primitif dari babi, dimana penampilan luarnya memiliki ciri cukup mirip, tetapi Babirusa hampir-hampir tanpa rambut dan jantannya mempunyai dua pasang taring yang mengesankan.  Di seluruh TNLL, Babirusa terdapat dalam kapasitas yang amat rendah, kecuali di daerah dasar lembah, seperti Sopu, Lamea serta sebelah Timur Danau Lindu di mana mereka lebih banyak dijumpai.  Binatang ini jarang dijumpa di TNLL.  Besar kemungkinan karena Babirusa pada dasarnya satwa yang beradaptasi di hutan hujan dataran rendah.  Oleh karena itu TNLL tidak dapat dianggap sebagai areal konservasi yang tepat bagi perlindungan Babirusa.  Suatu kemungkinan lain adalah disebabkan adanya persaingan yang tidak menguntungkan dengan Babi Celebes (Sus celebensis) yang umumnya dijumpai di seluruh taman.  Walaupun Babi Celebes (Sus celebensis) ukurannya lebih kecil, ia dapat berkembang biak lebih cepat dari pada Babirusa.  Sekali beranak, Babirusa hanya satu atau dua ekor, sedangkan babi Celebes dapat mencapai empat sampai delapan ekor.  Kera hitam Sulawesi Macaca tonkeana umumnya dijumpai di dalam taman, terutama di sekitar tepi hutan yang telah rusak.  Beberapa kelompok penghuni daerah pegunungan sampai ketinggian lebih dari 2.000 m.

 

Jenis kuskus Sulawesi juga dapat diketemukan di TNLL.  Kuskus beruang Phalanger ursinus tidak jarang dijumpai pada ketinggian 1.200 m.  Namun ia agak sulit diketemukan karena ia sering makan dengan diam-diam di pucuk-pucuk pohon.  Mereka pada umumnya hidup berpasangan.   Hanya varietas hitam yang tampak terlihat dalam TNLL,tetapi bentuk abu-abu pun bisa dijumpai tidak jauh dari sebelah utara TNLL, yaitu di lembah Palolo. Kuskus Celebes yang lebih kecil Phalanger celebensis mempunyai sifat yang sangat nokturnal.  Statusnya tidak jelas, namun ada kemungkinan mereka juga umumnya terdapat di dalam TNLL.

 

Binatang pemangsa terbesar di Sulawesi, Musang Coklat sulawesi Macrogalidia musschenbroeki umumnya di jumpai di Lore Lindu.  Dia hanya hidup nokturnal dan merupakan pemanjat pohon yang cukup tangkas.  Makanannya terdiri dari buah-buahan terutama palm dan berbagai jenis tikus.  Walaupun dia adalah penghuni hutan, kadang-kadang dia menjarah kandang ayam di desa-desa yang letaknya cukup jauh dari hutan.  Musang Malaya  yang di introduksinya, Viverra tangalunga,  hidupnya tidak jauh dari desa-desa.  Tetapi ia juga dapat diketemukan jauh di dalam hutan.  Musang biasa Paradoxurus hermaphroditus tidak dijumpai di Lore Lindu. Rusa (Cervus timorensis), umumnya dijumpai di bagian-bagian taman yang berupa padang atau rawa seperti di Besoa, Napu dan Lindu.

 

Jenis-jenis Burung

 

Sebanyak 66 jenis atau 83 % dari seluruh jenis burung endemik yang terdapat di Sulawesi dapat diketemukan di Lore Lindu atau daerah sekitarnya.  Diantaranya termasuk jenis-jenis yang paling jarang di Sulawesi seperti Rallus plateni, Scolopax selebensis, Tyto insexspectata dan Geomalia heinrichi.  Tercatat 194 jenis burung yang terdapat dalam kawasan ini.  Namun jumlah tersebut merupakan 73 % dari jumlah burung yang hidup di dataran Sulawesi.

 

Dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) juga terdapat paling tidak enam tempat burung Maleo (Macrocephalon maleo) bertelur.  Kesemuanya mendapatkan panas yang berasal dari sumber air panas yang terdapat disekitarnya.  Di Taweki, tempat bertelor burung endemik Sulawesi ini berada pada ketinggian 1.000 m dpl.  Sedangkan di Pakuli berada pada ketinggian antara 500 sampai 800 m dpl.  Populasinya umumnya rendah, sehingga jarang terlihat.

 

Reptilia, Amfibi dan Ikan

 

Ular sanca Phyton raticulatus hanya umum diketemukan di bawah ketinggian 1.000 m dpl.  Ia dapat mencapai ukuran tubuh yang besar, lebih dari 6 m.  Ular belang  yang sering terlihat oleh masyarakat adalah jenis  racer erythrura dan elaphe (Gonyosoma) janseni, Mok viper Psammodynastes pulverulentus dan Xenopeltis unicolor.  Raja kobra Ophiphagus hannan sering juga diketemukan, terutama di dekat-dekat air.  Cylindrophis celebiensis adalah ular yang tidak banyak dikenal, kehadirannya hanya diketahui dari satu spesies yang pernah dikoleksi.  Dari 68 jenis ular yang tercatat ada di Sulawesi, 21 diantaranya adalah endemik.

 

Sebelas jenis kadal telah berhasil diidentifikasi dari TNLL, satu diantaranya yaitu Liolopisma  tidak ada deskripsinya.  Sphenomorphus nigrolabris adalah satwa endemik yang semi-akuatik dan sering dijumpai duduk diatas batu di sungai-sungai kecil.  Dia segera melompat kedalam air, berenang menyelamkan diri jika didekati.  Tokek besar Gekko gecko hanya dijumpai pada ketinggian yang paling rendah.  Karena merupakan penghuni hutan dan belukar yang sejati, dia tidak dijumpai sekitar rumah-rumah.

Ada 12 jenis amfibi yang dikenal di TNLL, diantaranya adalah Oreophryne sp, yang tidak ada deskripsinya.  Danau lindu memiliki enam jenis ikan, hanya satu diantaranya yaitu Anabas testudius yang merupakan penghuni asli.  Di pinggir-pinggir TNLL hanya sungai-sungai besar saja yang mengandung ikan.  Tetapi ikan belut sangat umum didapat sampai ke sungai dari yang paling kecil sekalipun.

 

6.5. Iklim

 

Lore Lindu adalah pusat dari Pulau Sulawesi yang kurang dipengaruhi oleh laut dibandingkan kebanyakan bagian-bagian lain dari Sulawesi. Kawasan konservasi  mempunyai iklim tropis yang kering dengan curah hujan tahunan 2- 3000 mm dibagian utara (Agroklimat  Zone E1 menurut Oldeman dan Darmiyati, 1977). Kenaikan 3-4000 mm dibagian selatan (Agroclimat zone C1) kebanyak terkonsentrasi pada periode musim barat yang kering dari bulan November sampai April. Sangat jarang lebih dari 1 atau 2 secara komplit bulan-bulan kering dalam tahun   selama musim Barat. Hal ini ditandai dengan variasi lokal dalam curah hujan. Palu , contohnya yang hanya berjarak 50 km dari bagian utara taman  adalah daerah kering di Indonesia dengan curah hujan  500 mm. Hal ini disebabkan karena terbentang dalam bayang-bayang hujan dari pegunungan tinggi di Timur dan Barat.

 

6.6. Kehadiran Manusia

1 abad yang lalu masyarakat Toraja bagian barat hidup di dalam dan disekitar Taman sekarang. Hanya pada  dekade pertama abad ini mereka dibawah pengendalian pemerintah, dan sejak waktu itu, utamanya dibawah pengaruh Misionaris Kristiani mereka telah berhasil membuat sebuah perobahan yang hampir lengkap  dan sukses yaitu dengan mendirikan  perkampungan yang mempunyai system pertanian sawah.

Pada tahun 1981 diperkirakan 30.000 orang hidup di sekeliling Taman  termasuk 4.550 yang tiggal di dalam 2 enklav. Kehadiran mereka di dalam Enklav membuat kawasan ini terancam.  Sekarang ini semakin banyak datangnya imigran yang bermukim di pinggir Taman Nasional.

 

 

 

VII. MASALAH DAN ANCAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI SULAWESI

 

Pengaruh aktivitas manusia terhadap laju kepunahan spesies di dunia telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, tetapii beberapa abad terakhir ini pengaruh tersebut meningkat secara dramatis. Laju kepunahan burung dan mamalia pada saat ini mungkin 100 hingga 1000 kali dibandingkan laju kepunahan yang terjadi di ekosistem tidak terganggu ( Reid dan Miller, 1989).

Spesies yang hidup di Pulau merupakan komponen keanekaragaman hayati yang paling terancam. Contoh yang paling dramtis tentang hal ini dapat dipelajari dari kasus di Pulau Madagascar. Tumbuhan dan hewan di Pulau Madagascar  merupakan komunitas yang paling unik di dunia; lebih kurang 93% dari 28 spesies primata, 80% spesies tumbuhan, 64% dari 197 spesies asli, 99% dari 144 spesies ampibi adalah endemik pulau tersebut (Davis et al ,1986; Jenkins, 1987 dalam Reid dan Miller, 1989).

 

Lore Lindu  National Park adalah contoh kawasan konservasi di Sulawesi yang mempunyai luas  229.177,5 ha yang dapat dijadikan sebagai contoh tentang ancaman dan permasalahan yang dihadapi terhadap keanekaragaman hayati di Sulawesi.

Akhir-akhir ini akspansi dari kegiatan pertanian di sekeliling Taman Nasional mengalami tekanan yang serius. Beberapa areal Taman punya perubahan yang tinggi akibat tekanan penduduk yang bertempat tinggal di pinggiran Taman. Kasus yang paling besar terjadi  di kawasan ini adalah “KASUS DONGI_DONGI” yang telah berlangsung sejak 1998  hingga sekarang. Ancaman yang terjadi adalah pembukaan kawasan oleh masyarakat yang diikuti oleh “ILLEGAL LOGGING”, diperkiran lahan yang dibuka oleh masyarakat sudah mencapai 2 % dari luas Taman Nasional. Penjarahan kayu oleh masyarakat telah menyebabkan terganggunya fungsi Taman   seperti sirkulasi air terganggu, hilangnya habitat satwa liar  dan jenis flora tertentu. Dongi-dongi merupakan salah habitat untuk Eucalyptus (Eucalyptus forest”) dan terjadinya konflik social.

Aktifitas lain dari masyarakat adalah Konversi lahan menjadi kebun coklat dan kopi serta pengambilan rotan (“Rattan extraction”).

Pada dasarnya ancaman oleh masyarakat ini disebabkan  oleh faktor keterpurukan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Pada kasus Dongi-dongi terjadi kesalahan kebijakan pemerintah dalam pemilihan relokasi (”Resettlement”) penduduk yang ditempatkan di pinggir kawasan , ditambah dengan adanya faktor politik sehingga kasus ini menjadi berlarut-larut dan ekosistem di sekitar semakin parah. Pada kasus yang lain konservasi lahan menjadi kebun coklat dan kopi disebabkan  krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya harga coklat, hal ini telah merangsang masyarakat untuk membuka hutan untuk di konversi menjadi Kebun coklat dan kopi. Sulawesi  merupakan pulau terbesar penghasil coklat di Indonesia . Kasus yang lainnya yang juga sering terjadi adalah perburuan liar (melalui pemasangan jerat dan ”animal hunting”) serta pengambilan rotan serta tumbuhan lain di dalam kawasan.

 

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN  

 

       Pengelolaan dan konservasi keanekaragaman hayati baik di Indonesia ataupun di Sulawesi sangat mutlak diperlukan baik dipandang dari segi politik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Untuk pengelolaan ini diperlukan upaya-upaya sebagai berikut :

1.                  Peningkatan perekonomian masyarakat lokal yang bertempat tinggal di sekitar ekosistem , habitat flora dan fauna.

2.                  Merubah persepsi yang salah tentang konservasi lingkungan melalui penyuluhan dan pendidikan konservasi kepada masyarakat, yang sebaiknya dimulai dari sejak dini. Penggalian ”sistem kearifan lokal masyarakat ” (”Indigenous Knowledge System”) yang sudah dimiliki perlu di optimumkan.

3.                  Penegakan hukum ( ”Law enforcement”) dengan sejujur-jujurnya dan adil. Disamping itu Hal ini perlu juga di rangsang dengan sistem ”reward” (penghargaan kepada masyarakat).

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bass P, Kalkman K and  Geesink R (eds.) 1990. Plant Diversity of Malesiana. Dordrect:Kluwer

Bridson and Forman. 1998. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Garden, KEW.England

Kantor Menteri Negara LH, 1993. Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati.

Kessler, P J A, Bos, M, Ramadhanil P and Gradstein. 2002. Checklist of Woody Plant of Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia”. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Kinnaird M F, 1877. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan Sejarah Alam . Yayasan Pengembangan Wallacea.

Mc Neely , J A. 1988. Economics and Biological Diversity; Developing and Using Economic Incentives to Conserve Biological Resource, IUCN, Gland, Switzerland.

Mc Neely , J A, Miller K, Reid W, Mittermeier, R Werner. 1990. Conserving the World’s Biological Diversity. World Bank, WRI, IUCN, Conservation International, WWF.

Ministry of State for Population and Environmental Republic Indonesia. 1992. Indonesia Study on Biological Diversity. Prepared for UNEP under The work Programme for Environment Coorperation between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Norway, Jakarta.

Primack R B. 1993. Essential of Conservation Biology. Sinauer Association, Inc. Sunderland, Massachussets.

Ramadhanil P. 2001. Anggrek Sulawesi. Sebuah Studi Berdasarkan Curation Specimen . Journal Agroland. September 2001

Ramadhanil P, Kessler, P J A, S R Gradstein, E. Guhardja, C.H. Leuschner, H. Wiriadinata, S. T. Sudirdjo. 2002. Tree Composition In Secondary Forest of Lore Lindu National Park Central Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Ramadhanil P dan Z. Basri. 2002. Rattan Inventory In The Margin of  Lore Lindu National Park Central Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conseravtion and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Reid W V, and K R. Miller. 1989. Keeping Option Alive. The Scientific Basis for Conserving Biodiversity.WRI

Veldkamp J F, Ross, M C and Rifai M A, 1977. Flora Malesiana Bulletin, 12 (1-2). Leiden: Rijksherbarium.

Whitmore, T C, I G M Tantra, 1989. Tree Flora of Indonesia. Checklist for Sulawesi Published By Agency for Research and Development Forest Research and Development Center Bogor. Indonesia.

Wilson E O.1992. The Diversity of Life. Allen Lane . The Penguin Press.

Wirawan N, 1981. Ecological survey of the Proposed Lore Lindu National Park Central Sulawesi. Prepared for The Wordl Wildlife Fund Project. Universitas Hassanuddin .Ujung Pandang.

WWF and Directorat of Nature Conservation Republic Indonesia. 1981. Lore Lindu  Management Plant 1981-1986. Produced by WWF and Indonesia Programe for DNC Directorate General of Forestry. Republic Indonesia. Bogor.