ă 2003  Amin Retnoningsih   

ă 2003  Amin Retnoningsih                                                       Posted   6  May,  2003

Term paper

Intoductory Science Philosophy (PPS702)                     

Graduate Program / S3

Institut Pertanian Bogor

Mei  2003

 

Instructors :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

 

TAKSONOMI DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA GENETIKA TUMBUHAN DI INDONESIA

 

 

 

 

 

 

OLEH :

AMIN RETNONINGSIH

G.361020031

 

 

 

 

 

Pendahuluan

           Keanekaragaman sifat dan ciri yang dimiliki suatu makhluk hidup sesungguhnya menggambarkan keanekaragaman potensi dan manfaat yang dapat digali. Bila data dan informasi ilmiah mengenai sumber daya hayati belum sepenuhnya dapat diungkap maka kepunahan suatu makhluk hidup sama artinya dengan kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki makhluk hidup tersebut. Seperangkat gen yang ikut hilang bersama peristiwa kepunahan itu mungkin memiliki potensi dan manfaat yang tidak akan dijumpai lagi pada makhluk hidup yang lain.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dikenal memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa, baik flora, fauna maupun mikroba yang sebagian diantaranya bersifat endemik. Dengan teknik biologi molekuler, rahasia potensi yang dimiliki setiap makhluk hidup dapat diungkap secara lengkap sehingga kekayaan sumber daya hayati menjadi sangat berharga terutama sebagai sumber gen. Bila setiap gen dapat diperjualbelikan maka keanekaragaman biota yang hidup di Indonesia ini merupakan aset yang luar biasa besar. (Muladno 2002).   Namun kenyataan menunjukkan bahwa potensi kekayaan tersebut belum optimal dimanfaatkan.  Negeri ini masih merupakan negara miskin dengan pendapatan kotor nasional (GNP) per kapita sedikit lebih tinggi dari Zimbabwe, negara termiskin di Afrika.  Keadaannya makin memprihatinkan karena Indonesia dikategorikan sebagai wilayah Hot Spot, kaya dengan sumber daya hayati tetapi kondisimya terancam punah (Sukara 2002). Di mata internasional Indonesia juga dianggap kurang serius dalam menangani kelestarian sumber daya hayati.  Anggapan ini rasanya tidak berlebihan karena terbukti emas hijau yang terhampar di hutan-hutan di wilayah republik ini dari waktu ke waktu jumlahnya makin menurun dengan laju  yang semakin cepat, beberapa jenis dan varietas mulai langka bahkan ada yang  telah punah sama sekali.

Kehidupan manusia sangat bergantung kepada  sumber daya hayati sebagai sumber bahan pangan, sandang, papan dan bahan penunjang pengembangan industri.   Peningkatan jumlah, jenis maupun kualitas  kebutuhan manusia mendorong upaya pemanfaatan sumber daya hayati secara terus menerus, oleh karena itu kekayaan tersebut harus diamankan (Rifai 1989). Dalam pengamanannya dituntut perubahan sikap dari defensif yaitu melindungi alam dari pengaruh pembangunan menjadi upaya ofensif untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya hayati sekaligus mempertahankannya untuk kehidupan di masa yang akan datang (Anonim 1992). 

           Pengelolaan sumber daya hayati termasuk sumber daya genetika yang ada didalamnya  menjadi tanggung jawab yang berat terutama bagi pengambil keputusan, lembaga riset, perguruan tinggi maupun para intelektual. Dalam kegiatan ini masyarakat perlu  dilibatkan agar mereka menyadari ketergantungan hidupnya kepada kekayaan biota tersebut.  Dengan mengetahui potensi dan manfaatnya diharapkan penghargaan terhadap sumber daya hayati dan keanekaragaman genetikanya semakin meningkat sehingga  tingkat kerusakan yang terjadi  dapat ditekan.

 

Kondisi Sumber Daya Genetika Tumbuhan Indonesia

Potensi kekayaan sumber daya hayati dan genetika tidak cukup berhenti hanya untuk dikagumi saja.  Persoalan rawan pangan yang menimpa penduduk negara-negara berkembang termasuk Indonesia perlu segera ditangani dan diantisipasi karena proyeksi penduduk pada tahun 2030 nanti ternyata memperlihatkan jumlah yang cukup fantastis, naik kurang lebih 160% dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1990 (Brown & Kane 1994). Keanekaragaman genetika merupakan bahan mentah terpenting untuk mengembangkan bioteknologi modern terutama untuk perakitan tanaman transgenik (Suwanto 1998; Setyowati 2002) yang dipandang mampu menyelesaikan problematika pangan (Zohrah 2001; Suranto 1999).  Sumber daya   genetika yang ada saat ini merupakan anugerah terakhir yang memberikan harapan untuk mengubah nasib bangsa ini menuju kecukupan pangan, mengentaskan kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.

Wilayah Indonesia merupakan tempat tinggal berbagai macam suku bangsa dengan beranekaragam tradisi dan budaya, sehingga tidak mengherankan bila lebih dari 6000 tumbuhan dari 28.000 jenis tumbuhan di dunia telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari (Rifai,1994).  Dalam memenuhi kebutuhan  pangan seperti karbohidrat, protein dan vitamin telah dimanfaatkan tidak kurang dari 900 jenis tumbuhan. Indonesia juga dikenal kaya dengan keanekaragaman jenis rotan, bambu, dan bahan baku obat-obatan. Lebih dari 122 jenis bambu dari 1200 bambu di dunia ada di Indonesia, 56 jenis di antaranya memiliki nilai ekonomi penting.  Di Kabupaten Sorong misalnya, dijumpai 16 jenis rotan, 15 jenis di antaranya dari marga Calamus dan 1 jenis dari marga Korthalsia.  Dari 15 jenis rotan marga Calamus, 8 jenis diantaranya belum diidentifikasi (Hilman & Sutisna 1997).   Dari tumbuhan obat dapat ditemukan bermacam-macam jenis anggota Piperaceae  seperti Piper betle, P. nigrum, P. retrofractum, P. sarmentosum dan P. cubeba yang secara morfologi sangat mirip tetapi dalam pemanfaatannya sangat berbeda (Wardana 2002).

Dilihat dari jumlah jenis makhluk yang mendiami kawasan ini dunia mengakui Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati. Keanekaragaman jenis  tumbuhan  yang besar pada umumnya diiringi dengan keanekaragaman genetika yang besar pula (Rifai 1994).  Kawasan Malesia  yang meliputi Indonesia, malaysia, Filipina dan Papua Nugini antara lain merupakan pusat keanekaragaman genetika terpenting untuk Dipterocarpaceae, Zingiberaceae, Piperaceae, Myrtaceae, Sapindaceae dan Apocynaceae (Rifai 1981; Sastrapadja et al 1989).  Nasution dan Yamada (2001) menambahkan bahwa Indonesia juga merupakan tanah tumpah darah keluarga Musaceae sehingga keanekaragaman pisang di kawasan ini sangat melimpah, baik pisang yang dibudidayakan maupun pisang liar.  Sebagian besar kultivar pisang dari 500 kultivar pisang di dunia ada di Indonesia. 

           Kondisi sumber daya genetika sangat dipengaruhi proses pembangunan. Pembangunan di sektor pertanian seperti ”revolusi hijau” di kawasan Asia telah berhasil melipat gandakan produksi padi, namun keuntungann dari kebijakan ini lebih banyak dikecap oleh orang-orang yang memiliki lahan, modal dan akses (Ali, 2000). Sistem penanaman monokultur yang uniform lebih memberikan keuntungan bagi produsen benih, pupuk dan pestisida. Dampak lain dari kebijakan ini adalah terjadinya erosi genetik terutama kultivar lokal tradisional yang terpinggirkan karena penanaman kultivar modern secara besar-besaran (Brown,1978).  Keadaan ini makin buruk dengan kebijakan pemerintah untuk menfasilitasi eksploitasi dan ekstrasi sumber daya hayati hutan melalui HPH (Hak pengusahaan hutan). Proses penggundulan telah mengikis habis jutaan hektar lahan hutan (Wiradi 2000). Kekayaan flora dan fauna yang ada didalamnya ikut hilang untuk selamanya.  Kerusakan hutan di Indonesia kini  diperkirakan  mencapai 1,6 juta hektar per tahun.  

           Banyak sumber daya hayati khususnya sumber daya genetika Indonesia yang semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlebihan sehingga tidak mengherankan bila kita memiliki daftar kepunahan tumbuhan yang terpanjang di dunia. Populasi ramin menipis, kayu gaharu dan kayu cendana terancam punah (Sukara 2002).  Berkaitan dengan kekayaan keanekaragaman genetika  tumbuhan asli Indonesia kegiatan bioprospecting semakin meningkat, perlombaan pencarian bahan obat baru semakin intensif dan diperkirakan akan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan melebihi bisnis dotcom.  Modal dasar pencarian bahan obat baru adalah sumber daya hayati dan genetika sehingga dengan kekayaan biota yang tersisa, Indonesia masih mempunyai peluang memanfaatkannya dengan syarat segera menghentikan semua bentuk ekstraksi sumber daya yang berlebihan melalui kegiatan pengelolaan sumber daya genetika yang terencana dengan baik.

          

Peran Taksonomi

           Erosi genetika pada jenis-jenis yang dieksploitasi tanpa dasar ilmiah memberikan dampak yang memprihatinkan.  Fragmentasi dan kerusakan habitat, pengurasan populasi alaminya dan  penanaman kultivar unggul yang terus menerus sehingga mendesak kultivar lokal akan menyebabkan keanekaragaman genetika makin lama makin menipis dan akan berakhir dengan kepunahan gen-gen yang berpotensi (Sastrapradja et al 1989).  Solusi yang paling realistis untuk menanggulangi erosi sumber daya genetik yang terus terjadi adalah dengan melakukan konservasi genetika. Kegiatan ini berupa pengelolaan koleksi dan pemeliharaan pusat-pusat sumber daya daya genetik yang mewakili spektrum keanekaragaman genetik, termasuk didalamnya koleksi kultivar lokal tradisional dan  kerabat liarnya.(Brown,1978).

Pengelolaan sumber daya genetika tumbuhan meliputi upaya untuk melestarikan, mengamankan sekaligus memanfaatkan keanekaragaman genetika seoptimal mungkin sehingga berguna bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Langkah-langkah operasioal dalam pengelolaan sumber daya genetika yang lengkap (Sumarno 2002), meliputi: 1) kegiatan eksplorasi, inventarisasi, dan identifikasi sumber daya genetika, 2) melakukan koleksi secara ex situ dan in situ, 3) pasporisasi dan dokumentasi, 4) evaluasi, karakterisasi, dan katalogisasi, 5) pemanfaatan, seleksi, hibridisasi, dan perakitan varietas, 6) konservasi dan rejuvinasi, serta 7) pertukaran materi, perlindungan, dan komersialisasi.

Dari kegiatan-kegiatan operasional di atas, pakar dan peminat taksonomi dapat terlibat dan berperan langsung dalam kegiatan eksplorasi, inventarisasi, identifikasi sumber daya genetika, pasporisasi,  dokumentasi, evaluasi, karakterisasi, dan katalogisasi.  Ini bukan tugas yang mudah mengingat objek yang dihadapi cukup besar meliputi sumber daya genetika yang terdapat dalam jutaan hektar hutan yang akan dikonservasi.  Aktivitas floristik yang dilakukan di wilayah tropis seperti di Indonesia masih jauh dari selesai.  Kita sedang berpacu dengan ulah manusia yang menyebabkan kepunahan sumber daya genetika.  Jutaan hektar hutan punah akibat kegiatan illegal loging, pembukaan lahan baru dan penambangan yang merupakan pemicu utama  kepunahan keanekaragaman biota.  Tidak lama lagi kita juga akan kehilangan sumber daya genetika yang terdapat di pulau Nipah yang segera akan tenggelam akibat kegiatan penambangan pasir laut.

           Penyelesaian sensus keanekaragaman hayati seluruh wilayah Indonesia tidak dapat ditunda lagi (Rifai 1995; Kostermans 2002). Flora Melaesiana harus diselesaikan secara tuntas; meskipun demikian bukan berarti bidang penelitian taksonomi lain harus menunggu eksplorasi, inventarisasi dan identifikasi selesai. Pakar dan peminat taksonomi perlu mendukung dan melakukan penelitian yang sesuai dengan kebutuhan para pengguna.. Penelitian-penelitian eksplorasi, inventarisasi dan identifikasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit (diperkirakan 12 juta dollar per tahun) dan hasilnya terkesan tidak berdampak langsung pada proses  pembangunan, sehingga jarang sekali pengambil keputusaan yang bersedia memberikan dana yang memadai. Keadaan ini menjadi kendala untuk penyelesaian sensus keanekaragaman genetika di kawasan ini.

           Penelitian-penelitian yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya genetika  seperti evaluasi, karakterisasi dan katalogisasi lebih banyak diperhatikan oleh pengambil keputusan. Dana yang disediakan cukup besar dan memadai. Misalnya penelitian RUT (Riset Unggulan Terpadu) untuk Jakstra  2000-2004. Pada bidang pertanian penelitian difokuskan pada  kegiatan pemberdayaan sumber daya alam hayati Indonesia dalam rangka mencari terobosan ilmiah mendasar untuk memecahkan berbagai permasalahan di bidang pertanian. Lingkup penelitian dibatasi untuk tema penelitian penanda molekuler dan analisis genom. Peluang-peluang yang diberikan melalui penawaran pendanaan ini ataupun pendanaan lain (seperti Hibah Tim) perlu direspon positif oleh pakar dan peminat taksonomi. Disamping tetap melanjutkan sensus keanekaragaman genetika, penelitian-penelitian biosistematika juga perlu digalakkan terutama untuk tumbuhan yang telah memiliki informasi flora cukup lengkap seperti tumbuhan tinggi.  Apabila tidak ingin dipandang sebelah mata oleh pakar-pakar bidang lain, taksonomi mau tidak mau harus dapat menyelesaikan penanganan keanekaragaman hayati dan genetikanya selaras dengan kemajuan perkembangan ilmu dan teknologi.  Teknologi yang telah ada harus dimanfaatkan. Data dan informasi yang diperoleh dengan teknik-teknik konvensional tetap dan pasti sangat berguna namun pakar taksonomi juga harus menyadari bahwa saat ini  informasi dan data molekular sangat dibutuhkan oleh pengguna khususnya para pemulia tanaman. Evaluasi dan karakterisasi yang menghasilkan data keanekaragaman genetika berdasarkan marka-marka molekuler  seperti RFLP, RAPD dan mikrosatelit, pemetaan gen maupun sidik jari DNA ditunggu para pemulia tanaman sebagai modal dasar dalam perakitan kultivar baru.  Data dan informasi yang telah terakumulasi kemudian disintesis untuk memata-matai proses evolusi dan hubungan kekerabatan dan hasilnya dapat digunakan  sebagai acuan dalam kegiatan rekayasa genetika.

Perlu dipahami bahwa taksonomi dan biosistematika bukan ilmu yang dapat menyelasaikan semua permasalahan dalam lingkup biologi. Dalam hal pengelolaan sumber daya genetika ini sudah semestinya taksonomi dan biosistematika bekerjasama dengan disiplin ilmu yang lain.  Ilmu itu berkembang sehingga pusat kepentingan akan berubah bergantung pada arah perkembangan dan kebutuhan terhadap ilmu.  Pada awal perkembangan biologi, taksonomi menempati garis depan karena prioritas ilmu pada waktu itu adalah mengenali unit-unit hayati.  Sekarang kebutuhannya berbeda, oleh karena itu taksonomiwan (termasuk didalamnya biosistematikawan) harus menyadari pergeseran nilai ini dan menyesuaikan posisinya dengan perkembangan yang ada (Adisoemarto & Suhardjono 1997).

 

Pustaka acuan

 

Adisoemarto, S. dan Y.R. Suhardjono. 1997.  Arah pengembangan biosistematika di Indonesia.  Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3 (1):48-53.

 

Ali,M.S.S. 2000. Pengetahuan lokal & Pembangun Pertanian Berkelanjutan :Prekpektif dari Kaum Marginal. Pidato Peresmian Jabatan Guru Besar Tetap . F Pertanian dan Kehutanan, UNHAS,  Makasar.

 

Anonim. 1992.  Strategi Keanekaragaman Hayati Global. WRI. IUCN.UNEP.

 

Brown A.H.D, 1978. Isozymes, Plant Population Genetik Strukture And Genetic Conservation. Theor.Appl. Genet.52:145-157.

 

Brown, T.A. & Kane, H. 1994. Reassesing the Earth’s Population Carrying Capacity.  Di dalam : S.Linda (ed). The Wordwatch Environmental  Alert Series.  W.W. Northon & Company, London.

 

Hilman, I. &  M.U. Sutisna. 1997.  Studi keanekaragaman hayati dan potensi jenis rotan di Kabupaten Sorong, Propinsi irian Jaya. Makalah Seminar Nasional Biologi XV.

 

Kostermans, A.J.G.H. 2002. Rambling Thoughts on Weakness in Tropical Plant Taxonomy. Floribunda 2(2):50-55.

 

Muladno. 2002.  Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda Bogor.

 

Nasution, R.E. dan I. Yamada. 2001.  Pisang-pisang Liar di Indonesia.  Seri panduan lapangan LIPI. Puslitbang Biologi LIPI.

 

Rifai, M.A. 1981. Plasma nutfah, erosi genetika dan usaha pelestarian tumbuhan obat Indonesia.  Makalah dalam Pertemuan  Konsultasi Penyuluhan Pengadaan Tanaman Obat, Ditjen POM, Jakarta, 6-8 April 1981Rifai, M.A. 1989. Quo Vadis Taksonomi di Indonesia. Sisipan Floribunda 1: 26-28

 

Rifai, M.A.1994 A Discourse On Biodiversity Utilization In Indonesia. Tropical Biodiversity 2(2) :334-349.

 

Rifai, M.A.1995. UT Taxonomiam Defendamus. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Luar Biasa. F MIPA.Universitas Indonesia.

 

Sastrapradja, D.S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M.A. Rifai. 1989.  Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa.  Bogor.

 

Setyowati, K. 2002. Implementasi sistem hak kekayaan intelektual (HKI) pada pengelolaaan plasma nutfah.  Makalah Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma nutfah. IPB Bogor, 3-4 September 2002.

 

Sukara, E. 2002. Kondisi Sumber Daya Genetik, Potensi dan Peran Lembaga Riset dan Perguruan Tinggi. Makalah dalam Workshop Molekular Genetic Application In Biological Sciences. 15-24 July 2002. LIPI Zoology. Cibinong.

 

Sumarno. 2002. Paenggunaan Bioteknologi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nutfah Tumbuhan Untuk Peningkatan Varietas Unggul. Makalah Seminar Nasional Pemanfaatann & Pelestarian Plasma Nutfah. 3-4 September 2002. IPB.

 

Suranto, S. 1999. Krisis Pangan Dunia dan Prospek Pendekatan Biologi Molekul untuk Mengatasinya. Hayati. 6(2): 47-50.

 

Suwanto, A. 1998.  Bioteknologi Molekuler: mengoptimalkan manfaat keanekaan hayati melalui teknologi DNA rekombinan.  Hayati 5:25-28.

 

Wardana, H.D. 2002.  Pemanfaatan plasma nutfah dalam industri jamu dan kosmetika alami. Makalah Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma nutfah. IPB Bogor, 3-4 September 2002

 

Wiradi, G. 2000.  Reforma Agraria-Perjalanan yang Belum Berakhir.  Insist. Press, KPA & Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

 

Zohrah. 2001. Bioteknologi dan Biosefti. Dalam Rampak Serantau. Sariyan, A (Ed.).   Pusat Fotostat. Hulu Kelang. Brunei Darussalam