© 2003Any Fitriani                                                                               Posted: 14 May  2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Mei 2003

 

Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

           Dr Bambang Purwantara

 

 

KANDUNGAN AJMALISIN PADA KULTUR KALUS Catharanthus roseus (L.) G. Don SETELAH DIELISITASI HOMOGENAT JAMUR Pythium aphanidermatum Edson Fitzp.

 

 

Oleh:

 

 

Any  Fitiani

G 361020021

 

E-mail:  anyfitriani@yahoo.com

 

Pendahuluan

 

           Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan tinggi telah lama diketahui mempunyai banyak manfaat bagi manusia, diantaranya sebagai senyawa obat, pewarna, pestisida, pewangi, dan bahan kosmetik. Kecenderungan untuk menggunakan bahan alam menyebabkan kebutuhan bahan untuk obat yang berasal dari tumbuhan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu jenis tanaman obat yang banyak dimanfaatkan untuk kepentingan manusia adalah Catharanthus roseus (L.) G. Don. Tanaman ini dikenal juga dengan nama daerah tapak dara. Tanaman C. roseus secara tradisional sering dimanfaatkan antara lain sebagai obat malaria, diabetes, kanker dan menurunkan tekanan darah tinggi (Eisai Indonesia 1995).

           Hasil penelitian fitokimia menunjukkan bahwa tanaman ini menghasilkan 63 jenis metabolit sekunder, diantaranya ajmalisin (Svoboda et al. 1962). Dinyatakan pula bahwa ajmalisin banyak terdapat di dalam akar. Sebanyak 3500 kilogram ajmalisin per tahun diisolasi dari Rauwolfia atau C. roseus oleh perusahaan farmasi dunia untuk pengobatan penyakit sirkulasi darah dan antihipertensi (Kulkarni&Ravinda 1988).

           Kebutuhan senyawa obat semakin tinggi sementara lahan dan plasma nutfah semakin menyusut, oleh karena itu diperlukan alternatif pemecahan. Teknik kultur jaringan tumbuhan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahn tersebut. Melalui teknik ini, metabolit sekunder yang dihasilkan dalam jaringan tanaman utuh dapat dihasilkan juga dalam sel-sel yang dipelihara pada medium buatan secara aseptic.

           Penerapan kultur jaringan tumbuhan mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan penggunaan konvensional. Keuntungan-keuntungan tersebut, antara lain (a) dengan teknologi kultur jaringan dapat dibentuk senyawa bioaktif dalam kondisi terkontrol dan waktu yang relatif lebih singkat, (b) kultur bebas dari kontaminasi mikroba, (c) setiap sel dapat diperbanyak untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder tertentu, (d) pertumbuhan sel terawasi dan proses metabolismenya dapat diatur secara rasional, (e) kultur jaringan tidak bergantung kepada kondisi lingkungan seperti keadaan geografi, iklim dan musim (Fowler 1983).

           Mantell dan Smith (1983) menyatakan bahwa pada umumnya kandungan metabolit sekunder dalam kultur relatif rendah. Akhir-akhir ini telah banyak penelitian dengan menggunakan teknik elisitasi untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder dalam kultur jaringan. Elisitasi merupakan metode yang mengacu pada fenomena alam dalam mekanisme pertahanan inang terhadap patogennya. Dalam hal ini adanya interaksi patogen dengan inang akan menginduksi pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk pada tumbuhan tinggi sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan antibody yang terbentuk sebagai rspons imun pada hewan (Yoshikawa&Sugimito 1993). Elisitor selain dapat menginduksi sentesis fitoaleksin, ternyata dapat juga menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur kalus dan sel (Eilert et al 1986).

           Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Elisitor terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik dan elisitor biotik (Logemann 1995). Elisitor abiotik dapat berasal dari senyawa anorganik, radiasi secara fisik seperti ultraviolet, logam berat dan deterjen (Robins 1994).

           Elisitor biotik dapat dikelompokkan dalam elisitor endogen dan elisitor eksogen. Elisitor endogen umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari dinding sel (oligogalakturonat) yang rusak oleh suatu serangan patogen melalui aktivitas enzim hidrolisis atau membran plasma yang mengalami kerusakan karena luka. Elisitor eksogen berasal dari dinding jamur misalnya kitin atau glukan. Selain itu dapat berupa suatu senyawa yang disintesis oleh patogen misalnya protein (Esyanti 1995).

           Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa metode elisitasi dapat meningkatkan kandungan fitoaleksin dan metabolit sekunder lain pada tumbuhan tertentu. Kandungan fitoaleksin kapsidiol pada kultur sel Capsicum annuum dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan ekstrak dari spora dan miselium Gliocladium deliquescens (Watson et al 1986). Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida albicans (Survanalatha et al 1994).

           Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi peningkatan kandungan ajmalisin pada kultur kalus C. roseus setelah dielisitasi dengan homogenat jamur Pythium aphanidermatum.

 

Pertumbuhan Kalus

           Potongan daun C. roseus yang ditanam pada medium dengan penambahan 2,5 mM NAA dan 10 mM BAP mulai menunjukkan pertumbuhan kalus pada hari ketujuh. Pada awal pertumbuhan kalus berwarna putih kemudian setelah 24 jam berubah menjadi coklat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan terjadi sebelum adanya sintesis metabolit sekunder. Diduga nutrien yang diperoleh dari medium digunakan untuk pembelahan sel terlebih dahulu, tetapi karena adanya cekaman, nutrien selanjutnya digunakan untuk sintesis metabolit sekunder. Warna coklat pada kalus menandakan terjadinya sintesis senyawa fenolik. Dalam penelitian ini, sel mengalami cekaman karena luka pada jaringan, selain cekaman dari medium. Vickery&Vickery (1980) menyatakan bahwa sintesis senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Setelah disubkultur pertumbuhan kalus lebih cepat dan pencoklatan berkurang. Hasil ini memperlihatkan bahwa sel sudah mulai beradaptasi dengan lingkungannya.

           Pertumbuhan kalus pada medium Zenk dengan penambahan 2,5 mM NAA dan 10 mM BAP setelah disubkultur tiga kali dapat dilihat pada Gambar 1. Kalus mengalami fase lag pada umur 0 sampai 4 hari. Pertumbuhan sel meningkat masuk pada fase eksponensial pada umur 4 sampai 28 hari, dan fase stasioner pada umur 28 sampai 40 hari. Pertumbuhan sel lambat, terlihat dari kecilnya pertambahan berat kering kalus setiap selang dua hari. Hal ini disebabkan nutrien yang tersedia tidak hanya digunakan untuk pertumbuhan kalus tetapi juga untuk kepentingan lain, seperti sintesis metabolit sekunder.

 

Gambar1. Kurva pertumbuhan kalus C. roseus pada medium Zenk dengan

penambahan 2,5 mM NAA dan 10 mM BAP

          

Kandungan Ajmalisin

           Berdasarkan hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan larutan pengembang etil asetat:methanol (9:1), ajmalisin mempunyai Rf 0,586. Setelah dilakukan pengukuran kadar ajmalisin dengan spektrofotodensitometer, maka diperoleh kulrva kandungan ajmalisin (Gambar 2).

 

Gambar 2. Kurva kandungan ajmalisin pada kalus C. roseus

 

Berdasarkan kurva tersebut, sintesis ajmalisin sudah terjadi sejak hari ke-0 dan terus meningkat sampai hari ke-12. Setelah hari ke-12 terjadi penurunan kandungan ajmalisin. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim yang terlibat langsung dalam sintesis ajmalisin. Menurut Shlatmann et al (1995) konsentrasi sumber karbon yang ditambahkan pada medium akan mempengaruhi kandungan ajmalisin dalam kultur sel C. roseus dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas enzim antranilat sintase (AS) dan triptofan dekarboksilase (TDC). Robins (1994) menyatakan bahwa kandungan metabolit sekunder dalam kultur kalus atau sel sangat dipengaruhi oleh sintesis dan degradasi senyawa tersebut. Pada penelitian ini, penurunan akumulasi ajmalisin kemungkinan disebabkan oleh konversi ajmalisin menjadi serpentin. Hal ini didukung oleh Zenk (1977) yang menyatakan bahwa pengurangan 4 atom hydrogen ajmalisin dapat membentuk serpentin. Kemungkinan penurunan akumulasi ajmalisin lain dapat disebabkan oleh adanya perubahan ajmalisin menjadi 3,4-dehidro-ajmalisin (Dos Santos 1994).

 

Hubungan Pertumbuhan Kalus dengan Kandungan Ajmalisin

           Hubungan pertumbuhan kalus dengan kandungan ajmalisin dapat dilihat pada Gambar3.

 

 

Gambar 3. Kurva hubungan pertumbuhan kalus dan kandungan ajmalisin

 

Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada waktu pertumbuhan sangat lambat, terjadi sintesis ajmalisin cukup tinggi. Lindsey&Yeoman (1983), mengemukakan bahwa dalam kultur terjadi persaingan untuk memperoleh prazat untuk metabolit primer dan metabolit sekunder. Pada hari ke-4 sampai ke-28 kalus mengalami pertumbuhan relatif cepat daripada sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kalus sudah mampu mengatasi cekaman lingkungan sehingga proses fisiologi kembali normal dan nutrien digunakan untuk metabolisme primer. Sintesis metabolit sekunder kemungkinan masih berlangsung, tetapi karena aktivitas enzim menurun atau proses degradasi lebih tinggi dari proses sintesis maka ajmalisin total menurun dengan cepat (Lindsey&Yeoman 1983).

 

Pengaruh Konsentrasi Elisitor dan Waktu Pemanenan terhadap Kandungan Ajmalisin dalam Kultur Kalus C. roseus

           Pemberian elisitor sampai pada konsentrasi tertentu dapat meningkatkan kandungan ajmalisin, tetapi pada konsentrasi lebih tinggi dapat menurunkan kandungan ajmalisin. Kandungan ajmalisin tertinggi didapat setelah pemberian 0,5 mg BK/ml elisitor, pada pemanenan 36 jam, yaitu sebesar 440,572 + 9,687 mg/g BK.

           Peningkatan kandungan ajmalisin setelah diberi elisitor kemungkinan disebabkan oleh peningkatan sintesis protein atau enzim yang terlibat langsung dalam sintesis ajmalisin. Pasquali et al (1992) melaporkan bahwa penambahan elisitor ragi dan P. aphanidermatum pada kultur sel C. roseus pada medium LS dengan penambahan NAA dan Kinetin meningkatkan transkripsi mRNA untuk enzim striktosidin sintase (SS) dan triptofan dekarboksilase (TDC). Kedua enzim ini sangat penting dalam sintesis ajmalisin. Peningkatan kedua enzim ini dapat meningkatkan sintesis ajmalisin.

           Konsentrasi elisitor dan waktu pemanenan atau waktu kontak antara elisitor dengan kalus mempengaruhi kandungan ajmalisin dalam kultur kalus C. roseus. Selain itu penambahan elisitor pada kultur kalus C. roseus yang ditanam pada medium produksi (Zenk) mampu meningkatkan kandungan ajmalisin. Asada&Shuler (1989) melaporkan hal serupa, yaitu elisitasi kultur sel C. roseus pada medium produksi (MS+8% sukrosa) dengan homogenat Phytophtora cactorum mampu meningkatkan serpenti dan ajmalisin sampai 60%.

 

Kesimpulan

           Elisitasi kultur kalus C. roseus dengan homogenat (elisitor) P. aphanidermatum dapat meningkatkan kandungan ajmalisin. Konsentrasi elisitor 0,5 mg BK/ml merupakan konsentrasi terbaik yang dapat meningkatkan kandungan ajmalisin pada pemanenan36 jam.

 

Pustaka

 

Asada, M, Shuler, M.L.. 1989. Stimulation of ajmalicine production and excretion from Catharanthus roseus : Effects of adsorption in situ, elicitors and alginate immobilization. Applied of Microbiology Biotechnology, 30:475-481.

 

Dos Santos, R.I., Schripsema, J., Verpoorte, R. 1994. Ajmalicine metabolism in Catharanthus roseus cell cultures. Phytochemistry. 15 (3). 677-681.

 

Eilert, U., Constabel, F., Kurz, W.G.W. 1986. Elicitor-stimulation of monoterpene indole alkaloids formation in suspension cultures of Catharanthus roseus. Journal of Plant Physiology. 126: 11-22.

 

Eisai Indonesia. 1995. Medicinal herb index in Indonesia. Indek Tumbuh-tumbuhan Obat di Indonesia. Edisi Kedua. 196.

 

Esyanti, R.R.1995. Biologi molekul pada system pertahanan tumbuhan terhadap penyakit. Seminar Biologi Molekul. Jurusan Biologi. Institut Teknologi Bandung.

 

Fowler, M.W., 1983. Commercial application and economic aspects of mass plant cell culture, dari Mantell, S.H., Smith, H. (Eds.), Plant Biotechnoligy. Cambridge University Press, London, 3-38.

 

Kulkarni, R.N., Ravinda, N.S. 1988. Resistance to Pythium aphanidermatum in diploids and induced autotetraploids of Catharanthus roseus. Planta Medica. 356-359.

 

Lindsey, K., Yeoman, M.M., 1983. Novel experimental system for studying the production of secondary metabolite by plant tissue cultures, dari mantel, S.H., Smith, H. (Eds.). Plant Biotechnology, Cambridge University Press, London, 39-66.

 

Logemann, E., Wu, S., Schroder, J., Schmelzer, E., Sommissich, I.E., Hahlbrock, K., 1995. Gene activation by uv light, fungal elicitor or fungal infection in Petroselinum crispum in correlated with repression of cell cycle-related genes. The plant Journal, 8(6): 865-876.

 

Mantell, S.H.,Smith, H.1983. Cultural factor that influence secondary metabolite accumulation in plant cell and tissue cultures, dari Mantell, S.H., Smith, H. (Eds.) Plant Biotechnology, Cambridge University Press, New York, 75-108.

 

Pasquali, G., Goddjin, O.J.M., de Waal, A., Verpoorte, R., Schhilperoort, R.A. Hog, J.H.C., Memelink, J. 1992. Coordinated Regulation of two indole alkaloid biosynthetic genes from Catharanthus roseus by auxin and elicitors. Plant Molecular Biology. 18 : 1121 –1131.

 

Robins, R.J. 1994. Secondary products from cultured cell and organs : I. Molecular and cellular approaches, dari Dixon, R.A. Gonzales, R.A. (Eds.). Plant Cell Cultures, A practical approach, second edition, Oxford University press, New York, 169-198.

 

Shlatmann, J.E., Koolhaas, C.M.A. vinke, J.L., Ten Hoopen, H.J.G., Heijnen, J.J.1995. The role of glucose in ajmalicine production by Catharanthus roseus cell cultures. Biotechnology and Bioengineering, 47, 525-534.

 

Survanalatha, G., Rajendran, L., ravishankar, G.A., Venkataraman, L.V.1994. Elicitation of anthocyanin production in cell cultures of carrot (Daucus carota L.) by using elicitors and abiotic stress. Biotechnology Letters, 16 (12) : 1275-1280.

           

Svoboda, G.H., Johnson, I.S., Gorman, M., Neuss, N.1962. Current status of research on alkaloids of Vinca roesa Linn. (Catharanthus roseus G. Don). Journal of Pharmaceutical Sciences, 51(8):707-720.

 

Vickery, M.L., Vickery, B.1981. Secondary plant metabolism, The Macmillan Press, London, 255-288.

 

Watson,D.G., Brookes, C.J.W. Freer, I.M. 1986. The elicitation of phytoalexin in cultures of Capsicum annum and Nicotiana tabacum, dari Morris, P., Scraag, A.H., Stafford, A., Fowler, M.W. (Eds.) Secondary metabolism in plant cell cultures. Cambridge University Press. Cambridge, 128-131.

 

Yoshikawa, M., Sugimoto, K., 1993. A specific binding site on soybean membranes for a phytoalexin elicitor released from fungal cell walls by b-1,3-endoglucanase. Plant Cell Physiology. 34(8):1229-1237.

 

Zenk, M.H., El-Shagi, H., Stockigt, E.W., Weiler, E.W., Deus, B. 1977. Formation of indole alkaloids serpentin and ajmalicine in cell suspension cultures of Catharanthus roseus, dari Barz, W. Reinhard, E. Zenk, M.H. (Eds.) Plant tissue culture and its biotechnological application. Sringer-Verlag Berling Heidelberg. New York. 27-43.