ă 2003  Program Pasca Sarjana IPB                                                         Posted   19 April, 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2003

 

Dosen :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

 

 

PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH

 

 

 

Oleh:

 

Kelompok 3

 

UMAR HAMZAH;  GATOT;  NITA. N;  FERRIANTO

 

 

I.        Latar Belakang

 

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka setiap Pemerintah Kabupaten/ Kota sebagai daerah otonom dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan semua potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Pada hakekatnya otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Dalam hal ini kewenangan pemerintah daerah mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, system administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

 

Pada otonomi daerah, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota meliputi bidang : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

 

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat  dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan dan sumber dana lain (pinjaman/ bantuan LN).

 

Dengan kewenangan yang ada sesuai dengan UU No 22 tahun 1999, maka Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat serta menjaga dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

 

Pemberlakuan otonomi daerah mempunyai suatu konsekuensi bahwa, diperlukan kesiapan sumber daya manusia serta perangkat-perangkat lainnya untuk melaksanakan pemerintahan. Kesiapan sumberdaya manusia yang melaksanakan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat memerlukan suatu tingkat pendidikan, keterampilan dan wawasan. Perlu  disadari bahwa, kemampuan sumberdaya manusia yang ada di tingkat Kabupaten/Kota masih perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahan kabupaten/kota.

 

BAB II        LANDASAN TEORITIS

 

II. 1.     Pemahaman Dasar Terhadap Otonomi Daerah

 

Otonomi  mempunyai arti pemerintah sendiri (Amrah M,  1986)  - dimana auto berarti sendiri dan nomes berarti pemerintahan. Lebih spesifik lagi Bagir Manan (1994) mengemukakan bahwa otonomi mengandung arti   ‘’kemandirian’’ untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri – dimana beliau mendefinisikan sebagai ‘’ Kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian  urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi’’. Perlu ditekankan kembali disini bahwa arti kebebasan dan kemandirian disini adalah dalam arti ikatan kesatuan yang lebih besar.

 

Pada  dasarnya penyelenggaraan azas desentralisasi akan menghasilkan ‘’daerah otonomi’’  - sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom yang menjadi hak atau kewenangannya di sebut ‘’ otonomi daerah’’ atau otonomi saja ( A  Mustari Pide, 1999).

 

II. 2.     Otonomi dan Pembangunan Daerah.

 

Akhir-akhir ini “otonomi dan pembangunan daerah” sangat menarik untuk diamati dan dibahas secara ilmiah. Pada dasarnya konsep otonomi lebih merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi (Laode Ida, 2000) dibanding dengan tuntutan demokrasi masyarakat. Industrialisasi di Negara Inggris pada awal abad ke- 19  merupakan tonggak sejarah dari awal berkembangnya “pemerintahan daerah otonom”. Pesatnya pertumbuhan industri ternyata memberikan dampak negative yang cukup besar  terhadap masalah social, ekonomi dan politik.  Hal tersebut menuntut agar pemerintah daerah atau kota untuk segera tanggap dalam mengatasi masalah-masalah diwilayah kerjanya.

 

Indonesia selama ini dikenal dengan system pemerintahan yang “sentralistis” –  dimana  peranan Pemerintah Pusat sangat dominan dalam memberikan arahan atau sentuhan pembangunan. Disatu sisi, yakni pada tingkat perkembangan tertentu – system sentralistis mempunyai keunggulan tersendiri. Namun dengan semakin berkembangnya jumlah penduduk, meningkatnya tuntutan masyarakat, dan semakin kompleksnya permasalahan social-ekonomi & politik yang dihadapi  kiranya system sentralistis dirasakan tidak lagi cukup efektif pelaksanaannya.

 

Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi, kecepatan pengambilan keputusan menjadi suatu kebutuhan – untuk itulah peningkatan peran pemerintah daerah menjadi  sangat penting.  Alangkah tidak efektifnya bila masalah-masalah yang segera harus ditangani menunggu keputusan atau arahan dari Pemerintah Pusat dengan mata rantai birokrasi yang demikian panjang.

 

Uraian di atas menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan ini bukanlah merupakan proses yang sederhana.  Di Indonesia proses tersebut dikenal dengan istilah “reformasi total”. Diawali dengan adanya krisis ekonomi dan kepercayaan  telah membuka jalan bagi munculnya  reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa yang ditujukan untuk mewujudkaan masyarakat madani, terciptanya good governance, serta mengembangkan pendekatan pembangunan yang berkeadilan. Disamping itu juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas system politik dan kelembagaan social, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai bidang kehidupan ( Mardiasmo, 2002).

 

Perwujudan dari reformasi tersebut dituangkan dalam bentuk pemberian otonomi  kepada daerah kabupaten dan kota. Pada dasarnya,  desentralisasi bukanlah merupakan system yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan  rangkaian kesatuan dari suatu system yang lebih besar ( Koswara, 2001). Jadi desentralisasi tidaklah didikotomikan dengan sentralisasi namun merupakan  sub-sub system dalam kerangka system organisasi Negara. Terjemahan operasionalnya dapat dilihat  dalam bentuk proporsi peranan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.

 

Bila peranan Pemerintah Pusat lebih besar  atau sentralistis  akan menimbulkan  dampak terhadap  rendahnya kapabilitas dan efektivitas dari pemerintah daerah  dalam melaksanakan dan mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi.  Namun disisi lain ada beberapa alasan yang dijadikan sebagai dasar berpijak untuk dilaksanakannya sentralisasi, yakni: pertama, adalah karena alasan  untuk menjamin  stabilitas nasional dan kedua, adalah karena alasan sumberdaya manusia di daerah dipandang kurang atau belum mampu.

 

Bila peranan pemerintah daerah lebih besar  diharapkan proses demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga  dapat meningkatkan “rasa memiliki” dari masyarakat nya. Sense of belonging ini mempunyai arti yang sangat penting karena akan dapat lebih mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan daerahnya – namun masalahnya sekarang adalah sampai seberapa jauh pemerintah daerah saat ini telah siap menerima pelimpahan wewenang yang cukup berat ini.

 

Pada tahun 1999 telah dikeluarkannya Undang-Undang No 22 tentang Pemerintahan Daerah dimana merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Ada beberapa persyaratan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut , yakni pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan  dengan memperhatikan: (1). Prinsip-prinsip demokrasi, (2). Peran serta masyarakat, (3). Pemertaan, (4). Keadilan, (5). Serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman daerah.  Disamping itu ada beberapa persyaratan lainnya, yakni: dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional.

 

Pada hakekatnya  uraian di atas dapat diartikan sebagai suatu bentuk pelimpahan tanggung jawab yang diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta mengikuti prinsip perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan melalui undang-undang no 22 ini pemerintah daerah kabupaten dan   kota diberi kewenangan yang utuh dan bulat untuk (1). Merencanakan, (2). Melaksanakan, (3). Mengawasi, (4). Mengendalikan, (5). Dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Fungsi dan peran yang diberikan ini pada hekekatnya akan merubah paradigma pelaksanaan kepemerintahan dari “control dan command” menjadi berorientasi pada “tuntutan dan kebutuhan publik” -  dan pada akhirnya peran pemerintah akan menjadi: stimulator; fasilitator; koordinator dan entrepreneur dalam proses pembangunan.

 

II.3.      Arah Pengembangan Manajemen Pembangunan.

 

Pada dasarnya pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan professional. Dalam hal ini perubahan merupakan kata kunci bila eksistensi pemerintah daerah masih ingin dapat dipertahankan. Perubahan lingkungan strategis akan lebih bergejolak dengan berbagai ketidak pastian. Pengaruh globalisasi yang sarat dengan persaingan akan mewarnai dinamika perubahan birokrasi – untuk itu para birokrat dituntut untuk lebih tanggap. Masalahnya akan menjadi semakin kompleks karena masyarakatnya semakin cerdas  (knowledge based society) dan tuntutannya semakin banyak (demanding community).

 

Dengan adanya otonomi daerah serta terjadinya perubahan lingkungan global  menyebabkan munculnya era baru dalam sistem manajemen pembangunan. Perubahan yang mendasar dirasakan pada saat ini adalah adanya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat , pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat , serta pengembangan peran  dan fungsi DPRD – momentum ini hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pembangunan daerahnya.     

 

Perubahan yang diharapkan lebih mengarah kepada pembenahan manajemen sektor publik  yang cukup drastis – dimana awalnya dicirikan oleh system manajemen ‘’tradisional’’ yang mempunyai karakteristik: kaku, birokratis, dan hierarkhis menjadi sistem manajemen sektor publik yang fleksibel, dan lebih akomodatif terhadap pasar.  Dominasi pelaku pembangunan tidak saja oleh pemerintah namun telah bergeser melibatkan pihak terkait  (stakeholder)  lainnya, yakni: masyarakat dan swasta. Kedua stakeholder inilah yang sebenarnya sangat  berperan dalam mewujudkan pembangunan yakni sekitar 70% - 80%. Sedangkan pemerintah hanya berperan sekitar 20% - 30% dan umumnya dalam bentuk penyediaan fasilitas umum; sarana; prasarana; dan utilitas lainnya.

 

Pengembangan manajemen pembangunan yang diharapkan kiranya mempunyai karakteristik yang berfokus pada tiga hal pokok yakni: (1). Manajemen, (2). Penilaian kinerja, (3). Dan efisiensi  - bukan berorientasi lagi pada kebijakan (Osborne & Gaebler, 1992).  Hal tersebut dalam  sisi praktisnya akan menimbulkan beberapa konsekwensi sebagai berikut : pertama, adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi. Kedua, adalah   meningkatkan kompetisi. Pembenahan terhadap  aspek manajerial tersebut  akan berimplikasi terhadap perubahan manejerial terutama sekali menyangkut perubahan personnel dan struktur organisasi.

 

Bila ditelaah secara lebih mendasar, kiranya dapat terlihat bahwa idea dasar dari pembenahan manajemen  pembangunan dipicu oleh merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan – dimana dicirikan atau dikenal sangat birokratis. Dalam hal ini birokrasi dianggap sebagai penyebab inefisiensi  dan penghambat pembangunan dan bukan sebagai fasilitator pembangunan. Ini merupakan ciri atau tanda dari kegagalan birokrasi itu sendiri – karena tujuan birokrasi pada awalnya adalah untuk menciptakan efisiensi organisasi dan memfasilitasi pembangunan.

 

II.4.      Pembangunan Yang Berkelanjutan

 

Pada  hakekatnya pembangunan berkelanjutan adalah  pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat  kini tanpa mengurangi atau menghancurkan  kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk itu pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai pembangunan yang tidak menghancurkan suatu wilayah. Didalam melakukan kegiatan sosial maupun ekonomi  pada umumnya akan terjadi proses pemanfaatan sumberdaya alam. Kegiatan sosial-ekonomi inilah yang berkembang secara eksponensial sedangkan sumberdaya alam yang ada dibatasi dengan berbagai keterbatasan.

 

Ada berbagai suplai yang diberikan  alam kepada manusia, yakni diantaranya adalah sumberdaya ; life support ; dan ruang. Namun disisi lain manusia  mengembalikannya dalam bentuk : waste ;  over exploitation of resources ; physical degradasi ; landscape modification.  Hubungan antara manusia dan lingkungannya  berada dalam suatu proses mencari keseimbangan  - dimana bila kapasitas daya dukung lingkungan masih berada jauh di atas kegiatan sosial-ekonomi yang ada, maka secara alamiah lingkungan  masih mempunyai kemampuan untuk melakukan proses netralisasi (Clapham,  1973). Dampak yang terjadi akan menjadi lain apabila kegiatan sosial-ekonomi yang ada berada jauh di atas  daya dukung lingkungannya.

 

Terdapat beberapa alasan terjadinya kerusakan lingkungan  dan sumberdaya alam yakni (Dahuri, 2003) :

·        Terus meningkatnya permintaan akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan kualitas hidup manusia.

·        Terjadinya praktek-praktek pengelolaan yang tidak mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan.

·        Ketidak tahuan manusia akan akibat kerusakan lingkungan

·        Keterpaksaan karena kemiskinan absolut dan tidak ada alternatif  lain untuk mencari nafkah

·        Keserakahan

·        Kegagalan pasar dan hak kepemilikan

·        Kegagalan kebijakan

·        Kegagalan informasi

 

II. 5. Pembangunan Partisipatif

Sejak bergulirnya reformasi di Negara kita, telah terjadi berbagai perubahan dan tuntutan dari berbagai pihak sebagai wujud dari proses pelaksanaan demokrasi, hal ini ditandai dengan tuntutan dari masyarakat untuk terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance). Karena tuntutan itulah maka disetiap tingkatan pemerintahan baik di Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kelurahan/Desa terjadi berbagai upaya dan tindakan untuk menuju proses tersebut. Dengan demikian setiap Pemerintah Daerah telah berupaya secara serius untuk melaksanakan demokratisasi apalagi dengan nuansa otonomi daerah yang menuntut setiap daerah untuk bersaing dalam mendayagunakan potensi yang dimilikinya.

Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi yang kuat dari masyarakat terhadap pembangunan daerah, maka masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan termasuk pada tahapan perencanaan pembangunan diberbagai tingkatan. Dengan demikian diharapkan akan timbul suatu rasa memiliki dan rasa tanggungjawab bersama seluruh masyarakat terhadap pembangunan di daerahnya.  Pembangunan yang mendapatkan dukungan dan partisipasi  yang kuat dari masyarakat dapat kita sebut  pembangunan partisipatif.

 

Dalam aplikasinya, pembangunan partisipatif seringkali diidentikan sebagai pemberdayaan masyarakat. Salah satu prinsip penting dalam pemberdayaan masyarakat  adalah adanya keharusan  untuk membiarkan  struktur-struktur dan proses-proses untuk membangun itu secara organic berasal dari komunitas itu sendiri. Hal ini sama dengan prinsip keanekaragaman dalam ekologi, sehingga segala sesuatu dilaksanakan secara berbeda pada komunitas yang berbeda-beda tergantung kepada budaya local yang dianut, ekonomi, sosial dan  faktor-faktor politik ( Ife, J.W, 1946).

A.        Arti Perencanaan Partisipatif

Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan arahan tentang bagaimana pembangunan dikelola oleh semua unsur yaitu pemerintah dan masyarakat sebagai mitra sejajar. Perubahan paradigma ini perlu kesiapan dari semua pihak. Pemerintah disatu sisi harus merelakan sebagian kewenangannya untuk dikelola oleh masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaannya serta evaluasinya. Sebagai konsesi dari penyerahan sebagian kewenangan tersebut, masyarakat harus menyiapkan diri untuk terlibat pada peran baru tersebut tidak saja dari segi teknis tetapi juga dari segi pemahaman tentang arah dan kebijakan pembangunan yang disepakati.

Pola perencanaan daerah yang berjalan saat ini telah ditentukan dalam sistem perundang-undangan seperti P5D (Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian di Daerah) dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, yang mana mengatur tentang perlunya melakukan penjaringan aspirasi masyarakat untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam proses penganggaran daerah dalam penyusunan konsep arah dan kebijakan umum APBD. Partisipasi mengandung pengertian lebih dari sekedar peran serta. Partisipasi memiliki peran yang lebih aktif dan mengandung unsur kesetaraan dan kedaulatan dari para pelaku partisipasi. Sedangkan peran serta bisa diartikan sebagai pelengkap dan tidak harus ada kesetaraan.

B.        Sepuluh  Prinsip Dasar Partisipasi

  1. Ajakan berpartisipasi disosialisasikan.
  2. Tujuan dari partisipasi senantiasa diuraikan sejelas mungkin pada tahap awal.
  3. Akses terhadap seluruh dokumen dan berbagai informasi terkait yang menjadi agenda pembahasan dan pengelolaan pembangunan harus terbuka secara transparan.
  4. Semua fihak mempunyai fungsi sebagai pengambil keputusan.
  5. Setiap fihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan pembangunan harus memiliki hak yang seimbang untuk menyalurkan aspirasinya pada tingkatan proses pengambilan keputusan.
  6. Setiap aspirasi harus diperhatikan tanpa adanya diskriminasi terhadap sumber aspirasi tersebut.
  7. Pendanaan yang memadai untuk sebuah proses partisipasi harus disepakati bersama, disediakan dan dipublikasikan.
  8. Diperlukan fasilitator yang profesional dalam proses pengambilan keputusan.
  9. Kesepakatan akhir dari kebijakan yang dihasilkan harus dapat dipahami berikut alasannya.

10. Proses partisipasi dalam penentuan kebijakan harus dievaluasi secara berkala.

C.            Lima Prinsip Dasar Pembangunan Berbasis Masyarakat

Menurut Rubin (1993) dalam Hidayat dan Syamsul Bahri (2001), secara konseptual, sedikitnya ada lima prinsip dasar dan konsep pembangunan berbasis masyarakat (community based development – CBD). Kelima Prinsip dasar tersebut yaitu:

1).   Untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break-even dalam setiap kegiatan yang dikelola.

2).   Konsep CBD selalu melibatkan partisipasi masyarakat  baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.

3).   Dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan pelatihan dan pembangunan fisik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

4).   Dalam mengimplementasikan CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya (resources), khususnya dalam hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun sumber-sumber lainnya, seperti dana dari sponsor pembangunan social.

5).   Organisasi CBD harus lebih memfungsikan diri sebagai “katalis” yang menghubungkan antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro, dan kepentingan masyarakat yang lebih bersifat mikro.

 

BAB   III         IMPLIKASI OTONOMI  TERHADAP  PEMBANGUNAN DAERAH

 

Dengan diaplikasikannya Undang-undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi – dimana pembenahan struktur organisasi dan capacity building menjadi salah satu prioritas utamanya. Dalam masa transisi inilah banyak berbagai permasalahan yang timbul – terutama sekali berkenaan dengan persepsi/pemahaman  yang belum sama terhadap  otonomi dan pembangunan daerah.

 

Ada  tiga hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan masa transisi tersebut, yakni : (1). Pemanfaatan sumberdaya alam, (2). Pengembangan sumberdaya manusia, (3). Pengembangan kelembagaan dan partisipasi masyarakat.

 

III.1.     Implikasi Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Alam

 

Penerapan otonomi mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap pemanfaatan sumberdaya alam – terutama sekali berkaitan dengan upaya meningkatkan  ‘’ pendapatan asli daerah ‘’ sebagai refleksi dari pada kurang  fahamnya terhadap otonomi daerah. Tanggung jawab atau beban yang diberikan kepada pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dirasakan cukup berat  - dalam arti membiayai kebutuhan rumah tangganya.

 

Secara normatif, peningkatan pendapatan daerah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi daerahnya – sehingga ‘’revenue’’ yang diperoleh sebagian dapat dimanfaatkan sebagai  ‘’pendapatan’’ yang dapat dimanfaatkan  untuk operasionalisasi pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pada kenyataannya tidak semua pemerintah daerah  telah siap  dengan dukungan kegiatan ekonominya, sehingga upaya yang dilakukan adalah langsung memanfaatkan sumberdaya alam yang dimilikinya. Pada umumnya  ‘’kegiatan ekstraktif’’ yang dilakukan adalah dalam rangka  mendapatkan atau meningkatkan  ‘’pendapatan asli daerah’’.

 

Dalam hal ini kiranya perlu disampaikan bahwa ‘’sumberdaya alam’’ memilikii berbagai keterbatasan – dimana tidak semua kegiatan soial-ekonomi dapat didukung oleh sumberdaya alam tersebut. Semakin cepat pertumbuhan ekonomii akan semakin banyak sumberdaya yang diperlukan dalam proses produksi yang pada gilirannya akan mengurangi  ketersedian sumberdaya alam yang ada. Hubungan yang terjadi dapat dipandang sebagai ‘’negative correlation’’ antara pertumbuhan ekonomi dengan tersedianya sumberdaya alam ( Suparmoko, 1989).

 

Upaya untuk memacu percepatan peningkatan ‘’pendapatan asli daerah’’ – disatu sisi akan menjadi tekanan/presure yang sangat berat terhadap lingkungan. Sebagai contoh : kabupaten Karimun, dalam tahun anggaran 2002 telah menetapkan 70% dari pendapatan daerahnya yang berasal dari penambangan ‘’pasir laut’’. Dampak  negatif  yang terjadi  adalah sangat luas, yakni diantaranya : meningkatnya pengikisan pantai di pulau-pulau kecil ;  rusaknya terumbu karang dan mangrove ; meningkatkan kekeruhan air laut sehingga kehidupan biotanya sangat terganggu. Bebarapa pemerintah Propinsi dan Kabupaten melakukan eksploitasi hutan dengan mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan.

 

Dengan ditambangnya pasir laut,  jelas terjadi peningkatan pendapatan asli daerah – namun bila dilihat dalam konteks yang lebih luas kabupaten Karimun harus mengkompensasi biaya lingkungan (environmental cost) dan  biaya sosial (social cost) untuk dapat menjamin keberlanjutan pembangunnya. Setiap pilihan pembangunan akan memiliki keuntungan dan kerugiannya. Pada umumnya phenomena yang terjadi pada masa transisi ini  pilihan pembangunan lebih ditekankan pada upaya  percepatan peningkatan pendapatan asli daerah  yang berasal dari sumberdaya alamnya dan bukan dari pertumbuhan dan perkembangan kegiatan produksinya.

 

Uraian di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini digunakan tidaklah menjamin akan terjadinya  pembangunan yang berkelanjutan – environment cost dan social cost  belum diperhitungkan. Bahkan mungkin, bila diperhitungkan akan menghasilakn pertumbuhan ekonomi daerah yang negative. Phenomena ini menunjukkan  adanya suatu gejala untuk mengalihkan ‘’ environment burden’’ untuk generasi yang akan datang. Sebenarnya masih terdapat pilihan pembangunan ekonomi yang lain  dimana tidak ditekankan pada  kegiatan ekstraktif akan tetapi pada upaya mendorong kegiatan produksi atau pengembangan jasa (seperti misalnya perdaganagan, jasa pelayanan , perbankan, dsb) Namun pilihan pembangunan ini membutuhkan waktu akan tetapi aman dari sisi lingkungan dimasa yang akan datang.

        

Upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang bijak kiranya merupakan suatu tantangan dalam menerapkan otonomi daerah. Ketidak tepatan dalam mengambil pilihan pembangunan akan berdampak fatal terhadap generasi mendatang. Untuk itu – kapasitas daya dukung lahan  dan ruang merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan  dalam mengarahkan pemanfaatan sumberdaya alamnya. Terdapat hubungan yang erat antara kegiatan sosio-ekonomi dengan geographic environmentnya. Sekali terlampauinya kapasitas daya dukung geographic environmentnya – dalam banyak hal akan mengakibaktan menurunnya   produktivitas kegiatan ekonomi daerah/regionalnya.

 

III.2.     Implikasi Terhadap Sumberdaya Manusia

 

A.     Kondisi Sumber Daya Manusia Indonesia dan  Kaitannya dengan   Pendidikan

                                                               

Dalam menghadapi era otonomi daerah peningkatan mutu  pendidikan adalah tantangan penting.  Pemeringkatan internasional menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia Indonesia berdaya saing rendah secara global, sehingga perlu memperoleh perhatian yang seksama.

Upaya untuk meningkatkan mutu Pendidikan di Indonesia sebenarnya  telah dilakukan sejak tahun 1969 dalam Pelita I (Suderajat, 2000).  Dalam GBHN dan REPELITA selanjutnya selalu tercantum bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu prioritas pembangunan di bidang pendidikan.  Berbagai inovasi dan program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru melalui berbagai pelatihan, peningkatan manajemen pendidikan, serta pengadaan alat peraga dan fasilitas lainnya. Namun berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan belum meningkat secara  nyata. 

Dari dalam negeri diketahui bahwa Nilai Ebtanas Murni  (NEM)  SD sampai SLTA masih relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti.  .  Menurut Blazely dkk (1997, dalam Depdiknas, 2001) pembelajaran di sekolah cenderung teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana anak berada.  Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan obyek yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan keseharian.  Pendidikan seakan mencabut anak didik dari  lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri.

Dari dunia usaha muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik.  Ketidakpuasan berjenjang juga terjadi.    Kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa bekal lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran SLTA, dan kalangan Perguruan Tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan ( Depdiknas,  2001).

 

Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia juga turut memperparah kondisi pendidikan .  Hal ini ditunjukkan dengan ketidak mampuan orang tua menyekolahkan anaknya sehingga diperkirakan 6 juta siswa di Jawa Tengah tidak dapat melanjutkan sekolah (Suryanto, 2003).  Sedangkan Edi (2003) mengungkapkan di Indonesia 6 juta anak tidak mengenyam pendidikan dan 18,5 juta penduduk dalam kategori buta huruf.  Kenyataan lain yang memprihatinkan adalah hanya 12 % dari lulusan SMU yang mampu melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi (Depdiknas, 2001).  Ada suatu gejala di pedesaan yaitu lulusan SLTP dan SLTA memiliki keengganan  untuk membantu orang tua yang bekerja sebagai petani dan pedagang di pasar yang disebabkan perasaan malu.  Fenomena ini dapat menimbulkan masalah pengangguran dan dampak-dampak sosial lainnya.

Menurut Biro Pusat Statistik (1997, dalam Suryadi, 2001) jumlah pengangguran lulusan setiap jenjang pendidikan meningkat 4 juta orang pada tahun 1997 dan menjadi 6 juta orang pada tahun 2001.  Jumlah pengangguran lulusan sekolah menengah terus meningkat dari 2.1 juta pada tahun 1997 menjadi 2.5 juta orang pada tahun 2000.  Peningkatan jumlah pengangguran juga terjadi pada jenjang perguruan tinggi.  Sekitar 250 ribu pengangguran lulusan sarjana, 120 ribu lulusan Diploma III, dan 60 ribu lulusan Diploma I dan II.  Pada tahun 2002 angka pengangguran di Indonesia mencapai 40 juta orang.     

Dari komparasi Internasional, menunjukkan bahwa mutu pendidikan Indonesia kurang menggembirakan.  Human Development Index (HDI) menyatakan Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvey dan satu peringkat di bawah Vietnam.  Survey the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan Indonesia berada di peringkat 12 dari 12 negara yang disurvey, juga satu peringkat di bawah Vietnam.  Hasil studi the Third International Mathematics and Science Study Repeat (TIMSS-R, 1999) melaporkan siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika, dari 38 negara yang distudi di Asia, Australia, dan Afrika (Depdiknas, 2001).

Hasil penilaian HDI, TIMSSR, PERC, serta fenomena yang ditemukan di tanah air menunjukkan upaya peningkatan mutu pendidikan yang selama ini dilakukan belum mampu memecahkan masalah mendasar pendidikan di Indonesia.  Menghadapi fenomena ini sudah selayaknya Pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit yang mudah dilaksanakan dengan dana yang efisien dan berhasil guna, terutama dalam menghadapi siswa yang putus sekolah baik dari lulusan SD, SMP, SMU. 

 

Persoalan lain adalah pada tahun 2003 dimulainya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) yang menyebabkan persaingan tenaga kerja semakin terbuka.  Sumberdaya manusia harus mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang dating ke Indonesia.

 

B.               Otonomi Daerah dan Kurikulum Berbasis Kompetensi

 

Kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam UU No.22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000 menyebutkan bahwa sebaiknya kabupaten/kota yang secara operasional  menangani pendidikan dasar dan menengah.  Oleh karena itu program-program tersebut seyogyanya ditangani oleh kabupaten/kota, sementara peran Pemerintah Pusat lebih banyak sebagai inisiator dan pendamping.  Terbitnya Undang-undang Otonomi Daerah merupakan momen yang tepat untuk membenahi kurikulum pendidikan di Indonesia.

 

Kebijakan pemerintah membuka peluang untuk mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang ada.  Dalam rangka membangun daerah telah dibuat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).  Kurikulum ini menitikberatkan pada kecakapan hidup (life skill) yang bertujuan untuk:

1.      Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi.

2.      Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad base education).

3.      Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (School Based Management)

 

Bertolak dari perubahan paradigma pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup diharapkan lulusan suatu jenjang pendidikan memiliki kompetensi dasar yaitu kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan.  Kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global (Gafur, 2002).

 

Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 5 (lima), yaitu:

1.      Kecakapan mengenal diri (Self Awardness) yang juga sering disebut kemampuan personal (Personal Skill)..

2.       Kecakapan berpikir rasional (Thingking Skill)

3.      Kecakapan sosial (Social Skill)

4.      Kecakapan akademik (Academic Skill)

5.      Kecakapan Vokasional (Vovational Skill)

 

 

Kelima kecakapan tersebut tidak berfungsi secara terpisah, tetapi setiap sumberdaya manusia memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual

 

Bertolak dari perubahan paradigma pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup, maka masalah putus sekolah pada murid SD, SLTP, dan SMU dapat diantisipasi dengan memberikan pembekalan untuk kehidupaannya.

 

III.3.  Implikasi Terhadap Pemberdayaan Masyarakat

  

 

Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan kerapkali dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Rencana program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat pusat (atas) dan dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten. Masyarakat sering kali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan atau berperan. Hal ini biasanya disebabkan adanya anggapan untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan bagi masyarakat serta masyarakat tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam visi ini masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar. Program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering tidak berhasil dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat, karena masyarakat kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab terhadap rencana program danpelaksanaannya.
 

Kata 'partisipasi' sering sekali dipakai dalam panduan-panduan yang diterbitkan  oleh DELIVERI, dan juga di beberapa buku lain, dimana muncul beberapa pengertian terhadap istilahnya. Dalam panduan-panduan seri ini, pengertian terhadap 'partisipasi' adalah sebagai berikut:

Masyarakat bebas untuk ikut kegiatan-kegiatan, dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat dan berperan serta dalam setiap tahapan, mulai dengan analisa secara bersama, yang menuju pada rencana tindakan, penerapannya dan pemantauannya, termasuk pengambilan keputusan disetiap tahap

Dari kondisi ini, pendekatan dikembangkan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan. Pendekatan tersebut lebih bersifat memberdayakan masyarakat, yaitu model 'Pemberdayaan Masyarakat' (PM). Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Perencanaan partisipatif adalah satu tahap dalam proses pemberdayaan masyarakat, di mana proses memulai dengan tahap kajian keadaan pedesaan secara partisipatif. Tahap perencanaan partisipatif melanjutkan dari informasi yang dikumpulkan pada kajiannya. Perencanaan partisipatif bermanfaat kepada masyarakat untuk mengarahkan kegiatan atau program mereka dan juga untuk mengukur keberhasilan kegiatan atau program tersebut (monitoring dan evaluasi). Kalau masyarakat sendiri berpartisipasi, yaitu melaksanakan proses perencanaan partisipatif, kegiatan selanjutnya akan dilaksanakan atas kemauan masyarakat sendiri yang menjadi satu faktor sangat mempengaruhi dalam minat dan kesuksesan pelaksanaannya.

Komitmen Pemerintah Daerah untuk merevitalisasi penyelenggaraan perencanaan partisipatif 

 

IV.             KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

 

Undang-undang no:22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang 25 tahun 1999 tentang  Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah merubah pelaksanaan mekanisme pembangunan di Indonesia. Walaupun dilandasi dengan pemikiran yang cukup baik  - namun di dalam pelaksanaannya dituntut suatu bentuk persiapan yang comprehensive. Pelaksanaan dari otonomi daerah mempunyai implikasi yang sangat significant terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di seluruh kabupaten/kota.

 

Dalam masa transisi, dimana pemerintah kabupaten/kota sedang mempersiapkan diri – banyak terjadi “pengurasan “ sumberdaya alam yang dapat dikatakan berlebihan sehubungan dengan adanya  upaya meningkatkan ‘’pendapatan asli  daerah’’.  Sebenarnya, tujuan yang ingin dicapai dari otonomi daerah adalah sangat baik  - dimana ingin meningkatkan pelayanan dan mengakomodasi keinginan masyarakat guna dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

 

Upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang tanggap terhadap permasalahan pembangunan serta berdaya saing tinggi merupakan suatu kebutuhan yang segera harus dipenuhi dalam menghadapi era otonomi. Cara berpikir yang selama ini diwarnai dengan kekakuan birokrasi kiranya perlu bergeser kepada pemikiran yang akomodatif dan dinamis. Disamping itu stakeholder dalam pembangunan tidak lagi didominasi oleh pemerintah namun keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi penting artinya.  Konsekwensi logis dari phenomena di atas kiranya menuntut adanya suatu bentuk pergeseran dari pendekatan yang selama ini didominasi oleh pendekatan sektoral menjadi pendekatan pembangunan yang sifatnya regional.

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Co, Inc, New York.

Community Alternatives, vision, Analysis and Practice. Longman Australia Pty Ltd.

Kemandirian Rakyat. Sembrani Aksara Nusantara, Jakarta

Andi Offset, Yogyakarta.

Indonesia – Pasca Krisis Ekonomi. BPFE, Yogyakarta

Memasuki Abad XXI.  Gaya Media Pratama, Jakarta.

Based Development. Dalam Hidayat dan Syamsul Bahri (2001). Pemberdayaan Ekonomi Rakyat  - Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development (CBD). PT. Pustaka Quantum. Jakarta.

·        Sitorus, S. (2003).  Pengelolaan Sumberdaya Lahan.  Institut

Pertanian Bogor.

Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life Skill).  CV Cipta Cekas Grafika.

Lingkungan. Pusat Antar Universitas – Studi Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Dalam Era Desentralisasi Pendidikan.  Semiloka Nasional Pendidikan Menengah Umum Plus SMU Swasta yang Berorientasi pada Mutu dan Ciri Khas Tahun 2002.

Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) Education) Buku 1.  Departemen Pendidikan Nasional.