ã 2003  Pujiono Wahyu Purnomo                                                                        Posted   19 April, 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)                

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2003

 

Dosen :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Dr Bambang Purwantara

 

 

PERANAN PROSES SIMBIOSIS ZOOXANTHELLAE DAN KARANG

SEBAGAI INDIKATOR BAGI EVALUASI

KUALITAS  EKOSISTEM TERUMBU KARANG

 

 

 

Oleh :

Pujiono Wahyu Purnomo

Nrp : C661020071

 

Program Studi Ilmu Kelautan (IKL)

 

 

 

PENDAHULUAN

 

Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem dasar laut yang penghuni utamanya berupa karang batu.  Berbagai spesies dan bentuk karang batu ini bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya membentuk suatu ekosistem.  Proses pembentukan terumbu karang memakan waktu yang lama dan selama itu pula ia dihuni oleh berbagai makhluk hidup lainnya. Arsitektur terumbu karang yang mengagumkan dibentuk oleh ribuan binatang kecil yang disebut dengan polip.  Dalam bentuk sederhananya karang dapat terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Dalam banyak spesies karang, individu polip berkembang menjadi banyak individu yang disebut dengan koloni.

Menurut Veron (1995), terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik. Terbatasnya penyebar-an terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface sirculation) air.  Sementara itu, penyebaran secara longitudinal akan sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones.  Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Kini, hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok schlerakctinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya di Indonesia dan Philipina (Burke, Selig dan Spalding, 2002) dan dengan pertimbangan luasan kawasannya sebesar 34% (51% kontribusi kawasan terumbu karang Indonesia) dari total luas kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai center of origin karang di dunia (Veron, 1995).

Menurut Burke et al. (2002),  ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah Asia Tenggara merupakan yang paling terancam di dunia.  Besarnya ketergantungan manusia terhadap sumberdaya laut di seluruh Asia Tenggara telah menyebabkan eksploitasi yang berlebih sehingga banyak terumbu karang yang terdegradasi, khususnya di dekat pusat kepadatan penduduk.  Sekitar 70% penduduk di kawasan ini hidup di sekitar 50 km pesisir.  Ancaman-ancaman terhadap terumbu karang termasuk penangkapan berlebihan (over fishing), penangkapan ikan dengan metode yang merusak, sedimentasi dan pencemaran dan pembangunan pesisir.  Selain itu meningkatnya suhu global (global warming) juga telah menyebabkan sumberdaya yang sangat vital ini dalam bahaya. 

  Secara umum terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes).  Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metode yang merusak, (3)  penangkapan yang berlebih, (4) pencemaran perairan, (5) kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu.  Sementara itu, degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain oleh predator, pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir dan tsunami serta bencana alam lainnya seperti El-Nino dan La-Nina (Westmacott, Teleki, Wells dan West, 2000; COREMAP, 2001; Burke et al., 2002).

Menurut Moosa dan Suharsono (1995), kegiatan merusak yang dilakukan oleh manusia akan lebih bersifat kronis, tidak bersifat sementara seperti halnya yang disebabkan oleh musibah alami.  Karena terumbu karang mempunyai arti ekonomis yang cukup penting, maka kepulihannya dalam waktu yang lama merupakan suatu hal yang perlu dipikirkan. 

Dewasa ini, khususnya di kawasan Asia Tenggara setelah diketahui statusnya atas dasar monitoring yang telah lama dilakukan (sebagaimana diinformasikan oleh Burke et al, 2002 di atas) maka dilanjutkan dengan upaya penanganannya melalui proyek TKTAT (Terumbu Karang yang terancam di Asia Tenggara). Model TKTAT bertujuan untuk membuat indikator-indikator yang distandarisasi yang dapat meningkatkan kesadaran mengenai ancaman terhadap terumbu karang, mengidentifikasi area yang terancam serta menekankan hubungan antara aktivitas manusia dengan terumbu karang. Model TKTAT sebagaimana diinformasikan oleh Burke et al (2002) di atas secara skematik adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1

Tinjauan Model Ancaman dari Terumbu yang Terancam

 

Berkenaan dengan hal tersebut kiranya proses simbiosis antara zooxanthellae dengan karang dapat memberikan suatu support terhadap faktor penyesuai dalam hal ini adalah dari segi kriteria kerentanan alami. Pertimbangan yang diajukan adalah bahwa simbiosis antara karang dengan zooxanthellae memberikan konstribusi fenomenal dalam proses evolusi karang dan kedua bahwa kriteria yang dipergunakan saat ini dari analisis Gomez, Alcala and San Diego (1981) yang hanya didasarkan atas tutupan karang hidup. Teori evaluasi ini sampai sekarang menjadi acuan bagi evaluasi tingkat status kesehatan terumbu. Teori ini dipandang mengalami kelemahan karena mengabaikan sifat hubungan intra dan ekstraspesifik dari biota karang itu sendiri. Atas dasar hal tersebut, maka penggunaan hubungan simbiosis zoxanthellae dan karang dipandang dapat melengkapi evaluasi kualitas terumbu karang oleh sebab informasinya dapat menjelaskan sifat hubungan intra dan ekstra spesifik, disamping atas dasar respon terhadap strees lingkungan.

 

PROSES SIMBIOSIS DAN PERAN FUNGSIONALNYA ANTARA

ZOOXANTHELLAE DENGAN KARANG

Sejak berabad-abad lalu dan bahkan hingga saat ini, karang (Scleractinia) dianggap sebagai batu atau tumbuhan walaupun sesungguhnya mereka merupakan hewan. Karang itu sendiri merupakan salah satu kelompok Coelenterata berbentuk polyp yaitu semacam bentuk tabung dengan mulut di bagian atas yang dikelilingi oleh tentakel. Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan lainnya (species); pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentukkannya. Oleh sebab itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampu-annya ini maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa konsekuensi terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya.

Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya proses simbiosis dengan zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni apakah terbentuknya endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh induknya atau melalui infeksi dari lepasan planula yang keluar tanpa pembekalan (Veron, 1995). Apabila teori pertama yang terjadi maka bagaimanapun juga awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian secara turun temurun mengalami proses pembekalan sebagaimana teori pertama diterima kebenarannya. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa pada kenyataannya terdapat endosimbiosis dengan perannya yang besar dalam mekanisme kehidupan fungsional binatang karang.

Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara zooxanthellae dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu kejadian yang diawali oleh adanya bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan peluang yang tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat planktonik. Bertemunya keduanya merupakan mendapat peluang yang besar oleh adanya kondisi dinamik air laut. Oleh Perez (1982)  dikemukakan bahwa proses recognisi dan pada akhirnya relokasi zooxanthellae pada karang merupakan fenomena respon biotik sebagai turunan dari aktivitas fisik dinamik air laut dan proses interkoneksitas kimiawi. Dengan demikian peluang bertemunya keduanya sangat dimungkinkan terjadi di laut dengan dua pertimbangan tersebut.

Pada kebanyakan karang, relokasi zooxanthellae umumnya terdapat pada jaringan mesoglea dan gastrodermis baik di tentakel maupun mesentrinya. (Veron, 1995). Untuk  menempuh ini diperlukan tahapan-tahapan endosimbiosis. Tahapan endosimbiosis tersebut oleh Lenhoff dan Muscatine (1974) diterangkan melalui 4 mekanisme, yaitu :

1.      Kontak dan Pengenalan (Recognition). Meskipun terdapat argumentasi  bahwa infeksi zooxanthellae pada jaringan seluler inangnya terjadi pada saat pelepasan planula, namun tahap ini diperlukan pada setiap perkembangan dari binatang karang. Proses ini merupakan proses yang transport yang tidak saja mencakup proses fisik akan tetapi juga biokomiawi.

2.      Endocytosis. Merupakan proses pemasukan suatu algae selular ke dalam jaringan inang. Prosesnya dilakukan setelah mengalami tahap pengenalan dengan kecepatan dan jumlah yang bergantung kepada jenis dan kapasitas dari binatang karang.

3.      Relokasi intraselluler dari simbiont, ini berkaitan dengan sistem endoskeleton dari binatang karang. Proses enzymatik yang membantu pelaksanaannya ditentukan oleh fluktuasi pH seluler.

4.      Pertumbuhan dan regulasi kuantitasnya. Proses ini terjadi setelah relokasi dan berlangsung dengan bergantung kepada perubahan faktor-faktor eksternal penentu (khususnya faktor limiting) pertumbuhan. Bleaching merupakan salah satu fenomena regulasi dari zooxanthellae dalam jaringan binatang karang.

Profil relokasinya oleh Lenhoff dan Muscatine (1974) diperlihatkan sebagaimana disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2

Penampang Lintang Jaringan karang dan Konsentrasi zooxanthellae

di dalamnya

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Keterangan :

Epi       =          epiderm lapisan permukaan jaringan polip karang

M         =          mesoglea

En        =          endodermis lapisan dalam jaringan polip karang

Zx         =          zooxanthellae

 

Terapan fungsional simbiosis pertama-tama dapat ditinjau dari kaitannya dengan transfer nutrisi diantara keduanya. Dalam memenuhi nutrisinya semua karang dapat menggunakan tentakel-nya untuk menangkap mangsa (plankton). Proses penangkapannya memper-gunakan bantuan nematocyte suatu bentuk protein spesifik yang mampu kemampuan proteksi dan melumpuhkan biomassa tertentu seperti zooplankton. Meskipun mempunyai kemampuan feeding active,  akan tetapi kebanyakan proporsi terbesar makanan karang berasal dari simbiosis yang unik, yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae ini merupakan algae uniselluler yang bersifat mikroskopik hidup dalam berbagai jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan energi langsung dari cahaya matahari melalui fotosintesis.

Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah yang besar dalam setiap polyp hidup bersimbiosis dan memberikan warna pada polyp, energi dari fotosintesis dan 90% kebutuhan karbon polyp (Sebens, 1997). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang (polyp) dan memberikan sebanyak 95% hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada polyp (Muscatine, 1990). Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan ini dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al., 2002).

Berdasarkan transfer nutrisi ini maka dapat dinyatakan bahwa karang dapat menyediakan nutrisinya baik melalui feeding active dan feeding passive. Feeding active dilakukan dengan menembakkan nematocyte ke arah mangsa dan mentransfernya melalui mulut yang terdapat di bagian atas; sedangkan feeding passive diperoleh melalui transfer hasil fotosintesis zooxanthellae. Sejauh diketahui hampir semua karang dapat melakukan melalui feeding passive.

Karang mempunyai bentuk rangka untuk menyokong badannya yang sederhana. Karang pembentuk terumbu mempunyai kerangka dari kalsium karbonat yang proses pembentukannya memerlukan waktu lama sebagai hasil dari simbiosisnya dengan zooxanthellae (Goreou, 1961 dalam Lenhoff dan Muscatine, 1974). Karang ini kebanyakan dari kelompok schleractinia yang dikenal sebagai hermatipik atau pembentuk terumbu.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa simbiosis mempunyai peran penting dalam proses kehidupan karang. Adanya simbiosis, maka secara phototropikal dapat memperpanjang kehidupan karang dalam suatu periode tertentu. Apabila dikaitkan dengan konsep spesiasi binatang karang (Veron, 1995), maka peran aktif simbiosis zooxanthellae dalam jaringan karang dan biogeografinya bahwa bersama dengan faktor lingkungan dapat dinyatakan sebagai penggerak dalam proses microevolusi dalam kehidupan karang. Ini dapat dipandang dalam beberapa skala :

1.      Dalam skala ekologi : bahwa cahaya bertanggung jawab atas pembatasan kedalaman untuk semua karang dan terumbu karang sehingga secara prinsipil cahaya merupakan parameter lingkungan yang dapat mengendalikan morfologi serta hubungan intra spesifik yang pada gilirannya dapat menentukan diversitas species;

2.      Dalam skala geografis : bahwa ketergantungannya terhadap simbiosis menjadikan karang dengan mudah tumbuh melampaui makroalgae; faktor inilah yang kemungkinan besar menyebabkan terhalangnya karang/terumbu karang dari pengaruh faktor-faktor fisika lingkungan di lintang tinggi.

3.      Dalam skala geologi : bahwa gangguan terhadap simbiosis oleh sebab kekurangan cahaya menjadikan suatu peranan pokok dalam kepunahan massa (yang dibentuk oleh karang dan terumbu karang).

Secara nyata keadaan yang merugikan dari ketergantungan terhadap cahaya timbul karena kebutuhan dari simbiosis alamiah. Sejauh diketahui, hanya sedikit sekali species karang dapat eksis secara fakultatif (karang yang dapat hidup untuk jangka waktu tak terbatas dengan atau tanpa adanya zooxanthellae atau yang biasa disebut aposymbiosis), yakni hanya Astrangia danae (Jasques, 1983) dan mungkin Madracis Sp, nampaknya termasuk dalam kelompok ini. Kemudian memunculkan pertanyaan mengapa terjadi simbiosis fakultatif pada karang. Hal ini mungkin dapat dterangkan dalam kejadian dua tahap, yaitu pertama adanya hubungan yang sederhana dengan rantai secara fisiologis (kemungkinan masih dapat menggantungkan dari nutrisi eksternal), kedua adanya bentuk simpanan dari dasar genetis tiap jenis karang yang terjadi dari evolusi multispecies yang sinkron yang kemungkinan paralel dengan evolusi metochondria dari protozoa.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa konsep simbiosis menjadi demikian penting dalam kehidupan karang dan kelestarian ekosistem bentukannya. Hubungan intra maupun ekstraspesifik yang terus berlangsung dalam proses pembentukan kestabilan ekosistem terumbu karang secara filosofis termasuk dalam konsep microevolusi yang ditampilkan oleh hubungan simbiosis antara zooxanthellae dan binatang karang.

TERAPAN ENDOSIMBIOSIS BAGI EVALUASI KUALITAS

TERUMBU KARANG

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ancaman terhadap ekosistem terumbu karang terjadi baik secara anthropogenic maupun secara alamiah. Turunan dari keduanya baik yang bersifat eksploitatif secara langsung maupun tidak langsung adalah adanya penurunan kualitas air laut di wilayah perairan ekosistem terumbu karang. Ini berarti bahwa air merupakan polutan bagi binatang karang. Di laut yang sangat dinamis penyebaran polutan menjadi efektif dengan cakupan wilayah dampak yang luas. Di pihak lain, karang sebagai binatang yang bersifat sessile; oleh adanya sebaran polutan menyebabkan karang sebagai biota dengan potensi kerentanan yang tinggi.

Apabila karang tidak dapat bergerak secara bebas akibat tekanan lingkungannya, maka beberapa biota penghuni ekosistem bentukannya dapat berpindah ataupun tinggal bergantung kepada jenis biota. Di sini memunculkan pertanyaan, apakah ekosistem terumbu karang dapat pulih kembali ? Ini sangat bergantung kepada kemampuan mengendalikan sumber-sumber destruktifnya. Dengan asumsi dapat dikendalikannya faktor polutif/destruktif maka penentu perubahan ekosistem adalah biota karang itu sendiri, meskipun mengalami suksesi yang sangat lama dengan tahap-tahap dominasi oleh kelompok-kelompok lain non karang (Colhan, 1981; Suharsono dan Kiswara, 1984 dan sebagainya). Ini yang nampaknya menjadi dasar ditentukannya binatang karang sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kondisi ekosistem terumbu karang.

Penggunaan analisis Cover life (tutupan karang hidup) dalam kaitan trsebut memang benar. Kriteria yang pada awalnya dimunculkan oleh Gomez et al. (1981) adalah :

1.      Kategori miskin atau rusak adalah 0-24%

2.      Kategori sedang adalah 25-49,9%

3.      Kateori baik adalah 50-74,9% dan

4.      Kategori sangat baik (excellent) adalah 75-100%

Namun pada kenyataannya (mengacu kepada fenomena suksesi sebagaimana diinformasikan Colhan, 1981; Suharsono dan Kiswara, 1984 dan sebagainya) memunculkan beberapa kerancuan :

1.      Pertama, apakah dibenarkan dari sisi ekologis bahwa dominansi menjadi ukuran kestabilan ekosistem;

2.      Kedua, apabila nilai keragaman diperoleh, berapakan nilai nyata sebagai tolok ukur strata kesatuan kategori, mengigat bahwa sifat perkembangan ekosistem terumbu karang mengenal adanya suksesi; 

3.      Ketiga, dengan imbangan nematocyt yang berbeda antar biota karang (Lenhoff dan Muscatine, 1974) dapat diabaikan dalam penentuan penguasaan space oleh perkembangan masing-masing koloni karang dan

4.      Keempat, dimungkinkannya terjadinya sibling species karena kenyataan ditemukannya sifat inbreding sehingga akan mengacaukan taksonomi dan perhitungan keragaman.

Dengan adanya faktor-faktor tersebut maka menyebabkan penggunaan analisis tutupan karang hidup perlu diperlengkapi dengan kajian simbiosis.

Peran endosimbiosis saat ini nampaknya menjadi unsur yang sering dipergunakan sebagai tolok ukur bagi penipisan penyebaran karang secara latitude. Dalam hal ini mempergunakan peubah pembatas (limiting factor) yaitu suhu dan cahaya. Oleh Veron (1995) diterangkan bahwa pandangan yang telah bertahan lama dimana saat ini tidak banyak didukung adalah bahwa distribusi terumbu karang dibatasi oleh distribusi karang; dan bahwa hal ini secara umum menyangkut proses fisiologi khususnya dalam hal penangkapan pakan dan reproduksi. Logika alternatifnya adalah bahwa temperatur membatasi keduanya baik terumbu karang dan karang melalui proses interaksi ekologi, dimana kebutuhan energi (cahaya dan hubungan simbiosis) dari terumbu karang secara progresif menjadi kurang kompetitif melawan dominasi makroalgae dalam ekosistem.

Sejak diawali penelitian oleh Dana (1843); Vaughan (1918 dan 1919), Davis (1928) dan Yonge (1940) kemudian berturut-turut Vaughan dan Wells (1943), Wells (2954a dan 1957), Stoddart (1969), Rosen (1971 dan 1984) (kesemuanya disitir dalam Veron, 1995); temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu masih dapat bertahan hidup normal. Korelasi ini baru-baru ini diuji ulang dalam cahaya dalam rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan ditemukan benar. Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang di Teluk Teluk (Arab dan Parsia) (Coles, 1988; Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai suhu minimum secara global. Dalam hal ini sangat sedikit zooxanthellae diketahui mentolerir temperatur di bawah 11oC pada kondisi alamiah.

Stress temperatur panas tidak seperti stress yang dialami oleh karang pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah bleaching. Meskipun stress temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles, 1990; di Bermuda, Cook, 1990) itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator dimana secara umum ini berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada skala biogeografi, stress temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO) telah diketahui pengaruhnya yang sangat penting (Glynn, 1990; Guzman dan Cortes, 1992).

Dari kajian lain seperti dilakukan oleh Suharsono dan Kiswara (1984) bahwa pada saat karang mengalami tekanan ditemukan adanya indikasi pelepasan zooxanthellae. Pada kondisi dilepaskannya zooxanthellae maka akan dapat ditemukan adanya perbedaan signifikan rasio chlorophyl a : chlorophyl c serta adanya sock protein sebagaimana diinformasikan oleh Nganro (1992) pada biota simbion soft coral. Keduanya secara metodologis dapat dilakukan pengukurannya. Di samping itu, proses relokasi zooxanthellae dalam jaringan karang akan berbeda pembelahannya (mitotic indeks) pada kondisi alamiah maupun tertekan (Zamani, 1991 dan Nganro, 1992).

Atas dasar indikasi-indikasi tersebut, maka kiranya kajian tentang endosimbiosis perlu dipertimbangkan sebagai salah satu indikator evaluasi kualitas ekosistem terumbu karang. Dengan mengkorelasikan diantara kajian tutupan karang hidup dan beberapa indeks biologi endosimbiosis dimungkinkan diperoleh kriteria klasifikasi kualitas ekosistem terumbu karang sekaligus sebagai informasi penting dalam menyusun indeks ancaman kualitas ekosistem terumbu karang.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Burke, L., E. Selig and M. Spalding.  2002.  Reef at risk in South East Asia. www.wri.org/reefatrisk.  Dikunjungi tanggal 2 Maret 2002.

Coles, S.L.1988. Limitation of reef coral development in the Arabian Gulf : temperatur or algal competition. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp., Australia.

Coles, S.L. and Fadlallah Y.H. 1991. Reef coral survival dan mortality at low temperatures in arabian Gulf : a new species-specific lower temperature limits. Coral Reefs 9 : 231-7.

Colhan, M.W. 1981. Succession and Recovery of a coral reef after predation by Acanthaster planci (L). Proc. 4th Int. Coral Reef Symp., Philippines.

Cook, C.B., 1990. Elevated temperaturs and bleaching on a high latitude coral reef : the 1988 Bermuda event. Coral reefs 9 ;45-9

COREMAP.  2001.   Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang di Indonesia.  Coral Reef Rehabilitation and Management Program, Jakarta.

Glynn, P.W. 1990. Global ecological consequences of the 1982-1983 El Nino southern oscillation. Elsevier Oceanography Series 52. 

Gomez, E.D., A.C. Alcala and A.C. San Diego. 1981. Status of Philippine coral reefs. Proc. 4th Int. Coral Reef Symp., Philippines. 

Guzman, H.M. and J. Cortes, 1992. Coral reef community structure at Cano Island, Pacific Costa Rica. Mar. Ecol. 10 : 23-41.

Jasques, T.G. 1983. Experimental ecology of the temperate schleractinia coral Astrangia danae. II. Effect of temperature, light intensity and symbiosis with zooxanthellae on metabolic rate and calcification. Mar. Biol. 76 : 135-48.

Jokiel, P.L. and S.L. Coles, 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific reef corals to elevated temperaturs. Coral Reefs 8 : 155-62.

Lenhoff, H.M and L. Muscatine, 1974. Coelenterate biology : Review and new perspective. Academic Press. London.

Moosa, M dan Suharsono.  1995.  Rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang: suatu usaha menuju ke arah pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara lestari.  Pros. Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang, Jakarta 10-12 Oktober 1995: 189-200

Muscatine, L.1990. The role of symbiotic algae in carbon and energy flux in reef coral. In. Dubinsky Z. (Ed). Coral Reefs, ecosystem in the world. Elsevier. Amsterdam.

Nganro, N.R. 1992. Development of a tropical marine water quality bioassay using symbiotic coelenterata. Ph.D. Thesis, the Univ. of Newcastle upon tyne, UK., 225p.

Perez, J.M., 1982. Structure and dynamics of assemblages in the pelagial. Ed. By O. Kinne. In Marine Ecology : A comprehensive, integrated tretise on life in oceans and coastal waters Vol. 1. John Wiley & Sons, Ltd. New York.

Sebens, K.P.1987. Coelenterata. In T.J. Pandian and F.J. Vernberg (eds). Animal energetics. Academic Press, San Diego California.

Suharsono dan W. Kiswara. 1984. Kematian alami karang di Laut Jawa. Oseana, X:31-40.

Veron, J. E. N.  1995.  Coral in space and time.  Australian Institute of Marine Science Cape Ferguson, Townsville, Quensland.

Veron, J.E.N and P.R. Minchin. 1992. Correlation between sea surface temperature, circulation patterns and the distribution of hermatypic corals of Japan. Continental Self Res. 12 : 835-57.

Westmacott, S., K. Teleki., Wells, S. and J. West.  2000.  Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak.  IUCN, Switzerland and Cambridge.

Zamani, N.P. 1991. The use and measurement of mitotic index of zooxanthellae as a bioassay tools. M.Sc. thesis in tropical coastal management. The Univ. Newcastle Upon Tyne, UK., 49 p.