©2003   Rusnawir Hamid                                                             Posted July 12, 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juli 2003

Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng

 

 

 

CARUT MARUT PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN

(KALIMANTAN BARAT – SARAWAK)

 

 

 

Oleh :

Rusnawir Hamid

P062024344

E-mail: rusnd@bima.ipb.ac.id

 

 

1.   Pendahuluan

Terdapat empat propinsi di Indonesia yang memiliki perbatasan darat langsung dengan negara lain, yaitu Kalimantan Barat dengan Sarawak – Malaysia, Kalimantan Timur (Sarawak dan Sabah – Malaysia), Nusa Tenggara Timur (Timor Timur), dan Papua dengan PNG.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kawasan perbatasan dan kenapa kawasan perbatasan perlu mendapat perhatian dalam pembangunannya ? Dapatkah kawasan perbatasan dianggap sama dengan kawasan lain yang bukan terletak di perbatasan ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang sebenarnya masih banyak lagi lainnya senantiasa mengusik kita untuk mengkaji secara lebih cermat kenapa pembangunan kawasan perbatasan menjadi penting.

Kawasan perbatasan sebetulnya bukanlah kawasan yang terlalu istimewa, kawasan ini sama saja dengan kawasan yang terletak di inland lainnya, yang mempunyai karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi relatif sama dengan daerah bawahnya, kecuali kawasan ini mempunyai ciri-ciri :

A.     Merupakan daerah dengan batas-batas administrasi atau teritorial negara yang tidak jelas, sehingga menjadi kawasan ini tak bertuan, artinya penguasaan lahan dapat dilakukan kedua masyarakat negara tanpa mengindahkan batas-batas negara. Hubungan kekerabatan antar masyarakat kedua negara telah menafikan batas-batas negara.

B.     Tempat berlangsungnya kegiatan ilegal (pencurian, penyelundupan, dsb).

C.     Masyarakat negara yang tingkat kesejahteraannya lebih rendah cenderung lebih menghargai masyarakat, negara, dan pimpinannya yang mempunyai tingkat kesejahteraan lebih tinggi.

D.     Orientasi pembangungan cenderung pada kawasan yang tingkat kesejahteraannya lebih baik.

E.      Masyarakat perbatasan sangat menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, karenanya kurang mendapat perhatian, bahkan ada ‘image’ wilayah mereka telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak menyisakan “kue” yang dapat mereka gunakan untuk kelangsungan hidup mereka (khususnya perbatasan Kalbar).

F.      Mempunyai historis sebagai daerah ajang konflik antar kedua negara maupun oleh kekuatan-kekuatan “sempalan” lainnya yang dikenal dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

G.     Merupakan pencerminan atau barometer pembangunan nasional dan daerah, yang berarti meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara. Kalau daerah perbatasan semrawut, maka itu kemudian akan mencerminkan kesemrawutan wajah negara secara keseluruhan.

H.     Merupakan kawasan bagi berlakunya hukum-hukum internasional, berkaitan dengan keimigrasian, kepabeanan, karantina, dst.

Apa yang kemudian dapat dirumuskan dari penjelasan-penjelasan di atas adalah, kawasan perbatasan memang bukan merupakan daerah yang terlalu istimewa untuk diperhatikan, walaupun mungkin kemudian kita “terhenyak” oleh hilangnya pulau Sepadan dan Ligitan, meski dengan alasan sebenarnya kita bukan kehilangan tetapi gagal menambah kedua pulau tersebut menjadi bagian dari NKRI.

Jika dengan pengalaman hilangnya pulau Ligitan dan Sepadan dari peta nasional, perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan tetap seperti biasa-biasa saja, maka pertanyaannya kemudian adalah apakah kita masih perlu daerah perbatasan, atau memiliki daerah yang berbatasan dengan negara lain ?.

Nasionalisme dan harga diri sebagai bangsa adalah dua hal yang mungkin dapat menjadi landasan mendasar bagi perlunya diberikan perhatian lebih kepada kawasan perbatasan. Sebab jika kedua rasa tersebut sudah memudar, maka konsep berbangsa dan bernegara Indonesia mungkin perlu ditinjau kembali.

Menjawab pertanyaan di atas, maka setelah setengah abad merdeka, pemerintah pusat (RI) baru mengeluarkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam, dan tiga tahun kemudian (tahun 1997) disusul dengan penetapan Peraturan Pemerintah No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang antara lain menetapkan kawasan-kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) diantaranya di Kalimantan Barat dan salah satunya adalah kawasan perbatasan Kalbar.

Ironinya kedua aturan perundangan tersebut terkesan mandul. Keppres 44 misalnya tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak dalam bentuk konsep. Dengan kata lain, eksistensi tim atau badan ini tidak berpengaruh apa-apa pada pembangunan kawasan perbatasan. Keberadaan Keppres ini justru digunakan sebagai alat legitimasi kelompok-kelompok tertentu mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan.

Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997, hanya sebatas PP tidak ditindak lanjuti dengan aturan-aturan yang lebih operasional. Semua terkesan melupakan kawasan perbatasan, semua sibuk dengan permasalahan sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri, sampai tibanya masa reformasi. Dan ironinya setelah lima tahun masa reformasi pun perhatian terhadap kawasan perbatasan masih belum terasa, sampai munculnya kebijaksanaan pemerintah Malaysia yang memulangkan “pendatang haram” dari Indonesia, yang diantaranya melalui pintu-pintu perbatasan di Kalbar dan Kaltim.

Momen ini meskpun terlambat, kemudian menjadi titik balik mulai seriusnya perhatian pemerintah pusat kepada pengelolaan kawasan perbatasan. Namun, upaya yang terkesan terseok-seok ini pun masih menghadapi banyak hambatan internal. Hampir semua instansi merasa mempunyai kewenangan dan tanggung jawab mengelola kawasan perbatasan, demikian pula antar tingkat pemerintahan – yang masing-masing dengan kepentingannya. Persoalan lain menyangkut ketiadaaan konsepsi pengembangan yang tergantung pula pada sistem data base yang juga tidak tersedia. Pengelolaan kawasan perbatasan kemudian meskipun memasuki era baru – tetapi persoalan mulai dari konsepsi pengembangan, mekanisme, sampai dengan tanggung jawab pengelolaan tetap belum jelas.

Carut marut pembangunan kawasan perbatasan semakin lengkap dengan berjalannya sendiri-sendiri elemen-elemen pembangunan, mulai dari masyarakat, departemen sektor, dan setiap tingkatan pemerintah – baik dalam hubungan dengan masyarakat dan pemerintah Sarawak, maupun dengan pemerintah pusat yang diwakili departemen-departemen teknis.

Makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak, dengan pertimbangan pemahaman penulis tentang kawasan dimaksud, dan kemungkinan menjadikannya sebagai salah satu bahan komparasi melihat permasalahan kawasan perbatasan lainnya yang ada di Indonesia.

2.  Deskipsi Singkat Kawasan Perbatasan Kalbar – Sarawak

Kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak yang membentang sepanjang sekitar 850 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar, atau hampir seluas propinsi Nusa Tenggara Barat, atau propinsi Sulawesi Utara. Secara administratif, kawasan ini meliputi 5 wilayah kabupaten dan 98 buah desa, dengan penduduk berjumlah sekitar 180.000 orang, atau kepadatannya hanya 9 orang per kilometer persegi.

Sumber : Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2000.

 

 

 

Terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak, sementara yang disepakati kedua negara 10 buah desa di Kalbar dan 7 buah kampung di Sarawak - sedang yang ditetapkan sebagai pos lintas batas hanya satu buah, yaitu Entekong (Kalbar) – Tebedu (Sarawak).

Penduduk dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Sarawak, karena akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik. Secara fisik kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak ini dapat digambarkan sebagai berikut :

a.       Secara topografis relatif bergelombang.

b.       Merupakan hulu dari banyak sungai baik di Kalbar maupun Sarawak.

c.       Jenis tanah sebagian besar berupa podsolik merah kuning dan sangat peka erosi.

Kondisi di atas jika digabung dengan curah hujan yang tinggi menjadikan kawasan ini rawan erosi, longsor, dst – dan sekaligus sebagai kawasan konservasi atau pendukung deposit sumber air tanah kawasan bawahannya.

Kawasan perbatasan Kalbar memiliki sejarah perkembangan / pembangunan yang kurang menyenangkan. Sejak awal kemerdekaan kawasan ini jarang tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Pada masa orde lama, kawasan ini menjadi salah satu tempat ajang konflik antara Pemerintah Indonesia – Malaysia. Sedang menjelang berakhirnya orde lama, kawasan ini menjadi ajang konflik antara kedua pemerintah menumpas GPK (Paraku/PGRS). Selanjutnya pada masa orde baru, kawasan ini diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya untuk dikelola hutannya (melalui HPH – sejak tahun 1967). Pengelolaan kawasan perbatasan selama ini lebih ditekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Berdasarkan perjalanan pembangunan selama ini, potret kawasan perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut :

a.    Potensi sumber daya alam : hutan (virgin forest di areal Yamaker, semula sekitar 800.000 Ha – saat ini tinggal sekitar 80.000 Ha atau hanya 10% dan terletak sporadis), Taman Nasional Bentung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang potensial untuk kegiatan wisata alam dan penelitian, tambang (batu bara) belum dimanfaatkan, dll.

b.    Terbelakang dan terisolir (indikator desa tertinggal dan aksesibilitas rendah).

c.    Menjadi hinterland Sarawak.

Kondisi di atas lebih sebagai implikasi dari belum adanya konsepsi pembangunan yang jelas (yang bersifat komprehensif dan integratif). Kalaupun ada biasanya berupa rencana pembangunan parsial dengan pendekatan sangat sektoral (misalnya kehutanan : Yamaker). Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi kawasan hutan (legal dan ilegal) dengan sasaran pokok pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (atau dari pada dicuri “tetangga”). Ini didukung lagi oleh perbedaan kesejahteraan yang menyolok antara Kalbar – Sarawak (tahun 1987 pendapatan per kapita Sarawak 3.640 US$ sedang Kalbar 250 US$), pasar dan aksesibilitas yang tinggi ke Sarawak, sampai dengan lemahnya pengawasan / pengamanan kawasan perbatasan. Padahal sebagian kawasan perbatasan merupakan kawasan berfungsi lindung – dengan hulu-hulu sungai yang sangat penting bagi daerah bawahnya (catchment areas).

Ketiadaan konsep, menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak terencana dengan baik – dengan implikasi degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan, serta tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terjadinya proses dehumanisasi (peminggiran masyarakat), dan dekulturisasi, serta secara makro mengarah pada disintegrasi wilayah – (terutama secara ekonomi).

Tabel berikut menunjukkan tingkat interaksi yang cukup tinggi antara Kalbar dan Sarawak.

 

 

3.        Kebijaksanaan Pembangunan

1.       Tingkat Nasional

¨       Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan diprioritaskan pembangunannya secara nasional.

¨       Sebagai tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam.

¨       Pada tahun 1997 diterbitkan PP No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) di Kalbar dan salah satunya kawasan perbatasan Kalbar.

¨       Tahun 1996 terbit Keppres No. 89 menetapkan KAPET secara nasional, yang untuk Kalbar adalah kabupaten Sanggau. Keppres ini diperbaharui tahun 1998 dengan nomor 9, dimana KAPET Sanggau di Kalbar diperluas meliputi juga Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang sebagai hasil pemekaran kabupaten Sambas) dan satu kecamatan Kabupaten Pontianak (Menyuke).

¨       Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan nasional, yang menyangkut security belt / kawasan sabuk pengaman (Dephankam, 1986) melalui pemahaman lini 1 (9 kecamatan yang berbatasan langsung), dan lini 2 (tidak berbatasan langsung – tetapi mempunyai akses yang tinggi). Selain itu pemberian HPH kepada Jamaker (1967), dan diperpanjang tahun 1989 (SK Menhut No. 1355/Menhut-VI/89).

¨       Baik dalam UU 24/1992 maupun Keppres 44/1994 – secara implisit tersirat harapan upaya pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dalam suatu konsep pembangunan yang jelas dan bersifat komprehensif serta integratif. Sayangnya, Keppres 44 di atas yang telah mengatur secara teknis upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan apa-apa.

¨       Bahkan Keppres tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak Jamaker sebagai penegasan terhadap kewenangannya mengatur pembangunan di daerah perbatasan. Ini didasarkan pada surat Pangdam VI Tanjungpura No. B/575/VIII/1997, yang antara lain mengatakan bahwa untuk pembangunan areal selebar 20 Km sebagai pelaksana Keppres 44 / 1994 diserahkan  kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya, dan PT. Jamaker Kaltim.

¨       Penetapan PT. Jamaker sebagai pelaksana pembangunan di kawasan perbatasan, awalnya mungkin sangat tepat (kondisi kawasan yang rawan konflik, pengamanan sumber daya hutan, pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dst) – dengan penekanan pendekatan keamanan. Namun ironinya setelah 30 tahun mengelola kawasan tersebut, potensi virgin forest tinggal 10%, sedang kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak terangkat. Padahal dalam salah satu klausul MoU antara Jamaker dengan pemerintah (Dephut), ada kewajiban Jamaker untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan kawasannya,dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, termasuk pembangunan prasarana-prasarana dasar yang diperlukan.

¨       Memasuki era globalisasi yang semakin deras melanda seluruh belahan dunia termasuk Indonesia dengan isu sentral demokrasi dan keadilan, pendekatan keamanan dalam arti militer semakin berkurang perannya diganti dengan pendekatan prosperity. Demikian halnya dalam mengantisipasi pembangunan di kawasan perbatasan.

¨       Pengalaman-pengalaman di atas, juga menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang sangat sentralistis dan sektoral – ternyata tidak banyak memberi manfaat bagi perkembangan suatu wilayah, dan kiranya harus segera ditinggalkan. Pemberdayaan pemerintah daerah (apalagi dengan terbitnya UU tentang pemda yang baru) dan masyarakat harus dikedepankan (pendekatan kewilayahan).

¨       Dalam konteks lebih luas benturan kepentingan dalam pengelolaan kawasan perbatasan kiranya masih akan terus berlanjut seandainya tidak dipertegas dalam suatu aturan main yang jelas tentang peran masing-masing lembaga dalam mengelola kawasan dimaksud, misalnya antara Badan Pelaksana Kapet (yang kebetulan wilayahnya juga mencakup kawasan perbatasan) – dengan Perhutani, Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten) dan masyarakat setempat. Hal ini didukung dengan terbitnya Peraturan Menteri Agraria / Ketua BPN No. 5 tahun 1999, tanggal 24 Juni 1999 – tentang pedoman penyelesaian masalah ulayat adat masyarakat hukum adat.

 

  1. Tingkat Daerah

¨       Perda No. 1 tahun 1995 tentang RTRWP Dati I Kalbar : penetapan kawasan perbatasan sebagai kawasan tertentu / strategis yang diprioritaskan pengembangannya – diimbangi dengan penetapan fungsi kawasan sesuai potensi / karakteristik fisik wilayah.

¨       Meskipun tidak atau belum ada rencana detail pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan – namun di dalam RTRWP yang sudah dipaduserasikan dengan TGHK, kawasan perbatasan sudah ditata sedemikian rupa, sehingga ada kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan hutan produksi, dan kawasan non hutan – yang juga sudah diperuntukkan pemda bagi kegiatan non kehutanan.

 

4.        Rumusan Potensi dan Masalah

Potensi

¨       Sumber daya alam tambang, wisata (TNBK dan TNDS), dan hutan (walau sudah menipis / berkurang), ketersediaan lahan (sisi suplai).

¨       Letak strategis, didukung eksistensi Jalan Lintas Kalimantan (sisi akses ke pemasaran).

¨       Kebijaksanaan pembangunan : kawasan strategis yang diprioritaskan pengembangannya secara nasional dan rencana pemanfaatan ruang – hasil paduserasi RTRWP – TGHK (sisi dukungan pemerintah).

¨       Kearifan tradisional masyarakat adat yang masih belum digali tetapi dirasakan pada struktur bawah.

 

Permasalahan

¨       Ketiadaan konsep pengembangan (komprehensif dan integratif).

¨       Kelembagaan dalam pengelolaan (tumpang tindih) :

-          Departemen Hankam : keamanan dan stabilitas dalam dan luar negeri à menggunakan PT. Yamaker – tetapi dengan dicabutnya konsesi HPH PT. Yamaker dan pengembangan pendekatan prosperity – kedudukan Dephankam hanya sebagai penunjang (?).

-          Departemen Kehutanan : sebagian besar kawasan hutan (eks Jamaker) à rencana mau diserahkan kepada Perum Perhutani (?).

-          BP Kapet : merupakan bagian wilayah Kapet.

-          Pemda propinsi telah mengalokasi beberapa kegiatan perkebunan pada kawasan non hutan.

-          Pemda kabupaten : semangat otonomi (UU Pemda).

-          Forum Sosek Malindo (kerjasama sosial ekonomi Malaysia – Indonesia), yang diantaranya mengatur secara bersama rencana pembangunan di kawasan dimaksud.

¨       Disintegrasi wilayah ekonomi :

-          Kecenderungan orientasi kegiatan ekonomi ke Sarawak (termasuk menanam komoditas perkebunan untuk kebutuhan industri Sarawak).

-          Kecenderungan masyarakat perbatasan Kalbar mendapatkan fasilitas pelayanan sosial (juga ekonomi) di Sarawak, karena lebih akses.

Secara keseluruhan kawasan perbatasan Kalbar menjadi hinterland wilayah Sarawak.

¨       Degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan :

-          Pencurian kayu dan hasil hutan lainnya.

-          Indikasi intrusi penambangan batu bara di Senaning (kabupaten Sintang) oleh mitra perusahaan Malaysia dan Korea.

-          Eksploitasi kawasan lindung (TN Gunung Niut dsk).

Dapat menjadi ancaman kawasan bawahannya (air baku, banjir,longsor, dll).

¨       Keterbatasan fasilitas :

-          Letak strategis tetapi kurang didukung fasilitas sosial ekonomi.

-          Di Sarawak terdapat sistem jaringan jalan horizontal perbatasan – sedang di Kalbar berupa jaringan jalan vertikal (Jagoi Babang, Entekong, dan Nanga Badau).

¨       Peran masyarakat yang terpinggirkan selama ini (proses dehumanisasi).

5.        Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan Kalbar – Sarawak memiliki potensi sumber daya alam dan letak strategis yang sangat menguntungkan. Ketiadaan konsep dan lembaga pengelolaan (yang tumpang tindih) menjadikan upaya pembangunan di daerah ini menjadi sangat tidak efisien. Pendekatan sektoral yang sangat eksploitatif dan sangat kurang / miskin mempertimbangkan kepentingan daerah – menyebabkan kawasan ini mengalami proses degradasi (penurunan) kualitas dan kuantitas sumber daya alam serta lingkungan, maupun sumber daya manusianya.

“Potret” kawasan perbatasan saat ini adalah, kesejahteraan penduduk rendah, kegiatan ekonomi tradisional, dampak positip terhadap pembangunan daerah yang lebih luas (misalnya dalam memberi kontribusi) dapat dikatakan tidak ada, sedang dilain sisi kualitas dan kuantitas sumber daya alam, lingkungan, dan sumber daya manusia mengalami penurunan.

Solusi dari permasalahan ini, adalah perlunya disusun segera rancangbangun pembangunan kawasan perbatasan dengan pendekatan komprehensif, integratif, dan partisipatif yang mengedepankan asas keadilan, demokrasi, dan kelestarian  berdasarkan rencana tata ruang yang disusun dengan pendekatan kombinasi regional dan sektoral – yang disusun dari tingkat paling rendah (desa). Akumulasi dari perencanaan yang disusun dari bawah akan menjadi rancangbangun yang diharapkan akan menghasilkan dan menjadi rencana kerja (framework) yang jelas, mulai dari apa yang akan dibangun, kapan dibangun, siapa yang melaksanakan, sampai dengan sumber dananya. Berkaitan dengan pertanyaan siapa, maka beberapa hal berikut harus diklarifikasi, yaitu :

-       Siapa memiliki akses terhadap sumber daya alam dan jenis aturan apa yang berlaku.

-       Siapa yang memegang hak-hak atas SDA – dan apa artinya bagi orang lain yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya.

-       Siapa yang berperan dalam pemanfaatan SDA tersebut.

-       Siapa yang menjadi pengelola SDA.

-       dst.

Selanjutnya keseluruhan proses pembangunan di atas mulai dari perencanaannya – harus dikoordinasikan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah – siapa atau lembaga apa yang paling pas bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan di atas – apakah Pemerintah Pusat (Departemen Hankam ? Departemen Kehutanan ? Bappenas ? Departemen Dalam Negeri ? dst), atau Pemerintah Daerah, atau swasta ? BUMN – misalnya Perum Perhutani ? – atau ada alternatif lain ? Atau diperlukan pembagian kewenangan yang jelas antara seluruh pelaku pembangunan tersebut. Tetapi yang jelas itu semua seperti benang kusut, yang bahkan untuk mencari ujungnya saja sulit – apalagi mencoba menguraikannya, karena begitu banyak konflik kepentingan – atau sebaliknya keengganan mengurus/bertanggung jawab. However, everything is change but change……


 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.       Bendavid-Val, Avron, 1983, “Regional and Local Economic Analysis for Practitions”, Preager Publisher, New York.

2.       Dunn, William N, 1981, “An Introduction: Public Policy Analysis”, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs.

3.       Mahbub ul Haq, 1995, Tirai Kemiskinan : Tantangan untuk Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia.

4.       Mubyarto, 1991, “Perekonomian Rakyat Kalimantan­”, Aitya Media, Yogyakarta.

5.       Prof. Dr. Moeljarto T., MPA, 1993, Politik Pembangunan, Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya.

6.       Rondinelli, Dennis, 1983, “Applied Methods of Regional Planning : the Urban Functions in Rural Development Approach”, Clark Univer - sity, Worcester.

7.       Sadli, Moh, dan Tjiptoherijanto, Prijono, 1987, “Prespektif Daerah Pembangunan Nasional”, Lembaga Penelitian UI, Jakarta.

8.       Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

9.       Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

10.   Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan.

11.   Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 1998 – 2000.

 

 

.