Posted   3  May,  2003

ã 2003  Siti Maryam

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana /S3

Institut Pertanian Bogor

Mei 2003

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

DEFISIENSI  DAN  TOKSISITAS  VITAMIN  A

 

Oleh:

Siti Maryam

St_maryam2003@yahoo.com

 

 

PENDAHULUAN

            Salah satu tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang ditegaskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 adalah untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Peningkatan kualitas manusia berkaitan dengan banyak faktor, dan faktor gizi mempunyai peranan yang sangat strategis. Gizi yang baik merupakan hasil dari konsumsi makanan dengan kecukupan yang dianjurkan dan keseimbangan antar zat-zat gizi tersebut. Jika keseimbangan ini tidak tercapai maka akan timbul berbagai jenis kelainan gizi.

Kelainan gizi dihasilkan dari ketidakseimbangan antara kebutuhan tubuh untuk sumber  zat gizi dan energi dengan penyediaan sunstrat matabolisme. Ketidakseimbangan mungkin terjadi karena kekurangan atau kelebihan yang ditandai dengan intik yang tidak sesuai atau penggunaan yang kurang baik, atau kadang-kadang karena kombinasi keduanya. Terlepas dari kebutuhan manusia untuk mempertahan kesehatan, malnutrisi selanjutnya akan menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian di negara-negara berkembang, khususnya bagi anak-anak.

 Pada masyarakat yang teknologinya sudah maju, gizi kurang sehubungan dengan keterbatasan tidak lagi merupakan bahaya utama bagi kesehatan, tapi tetap terjadi pada pasien di rumah sakit dan khususnya pada kelompok yang rentan. Keadaan kekurangan tetap terjadi dan meningkat pada pasien dengan masalah alkohol dan penyiksaan jangka panjang dan dalam perilaku konsumsi pangan. Gizi kurang skunder yang dihasilkan dari kesalahan absorpsi, kegagalan transportasi,  penyimpanan atau penggunaan seluler, atau kehilangan akibat praktek pengobatan. Penggunaan yang kurang tepat dari suplemen zat gizi menunjukkan berbagai contoh toksisitas vitamin dan mineral, yang sering disebabkan oleh kelalaian pengguna atau kekurangan informasi. Vitamin A merupakan salah satu zat gizi yang mempunyai beragam resiko baik karena defisiensi maupun kelebihan intik.

Anak-anak yang mengalami kurang gizi berat berada pada resiko yang tinggi dari perkembangan  kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A. Selain anak-anak, kelompok yang juga rentan terhadap defisiensi gizi adalah wanita hamil yang selanjutnya akan membahayakan janin yang dikandungnya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena generasi-generasi baru yang akan lahir sangat ditentukan sejak dalam kandungan.

 

 

PEMBAHASAN

Vitamin A

            Vitamin A adalah istilah umum untuk suatu kelompok senyawa yang memiliki aktivitas biologi dari retinol dan merupakan zat gizi esensial untuk penglihatan, reproduksi, pertumbuhan, diferensiasi epitelium, dan sekresi lendir/getah. Sumber utama vitamin A adalah pigmen karotenoid (umumnya β- karetin) dan retinil ester dari hewan. Senyawa ini diubah menjadi retinol dan diesterifikasi dengan asam lemak rantai panjang. Hasil dari retinil ester diabsorpsi bersama lemak dan ditransportasikan ke hati untuk disimpan (Gormall,1986).

            Tergantung  kebutuhan jaringan, retinil ester diubah menjadi retinol dan ditranportasikan oleh retinol-binding protein (RBP), yang membentuk suatu kompleks bersama prealbumin. RBP berfungsi untuk melarutkan retinol yang mengirimkannya ke sel-sel (Ross,1999). Konsentrasi serum RBP berbeda dengan ketersediaan vitamin A, yang akan berkurang ketika defisiensi protein dan penyakit hati dan meningkat ketika penyakit ginjal dan pengaturan estrogen (Gormall,1986). Ketika status vitamin A mencukupi, sekitar 50 hingga 80% total retinol tubuh akan disimpan pada hati dan lebih dari 90% sebagai retinil ester. Tingkat plasma vitamin A dan RBP mungkin ditekan atau tidak pada pecandu alkohol yang kronis. Pada penyakit hati kronis konsentrasi plasma retinol dan RBP biasanya berkurang proporsinya sehubungan dengan penyakit yang berat (Ross,1999).

            Vitamin A berfungsi dalam pertumbuhan terutama dalam menyesuaikan pertumbuhan tulang melalui proses remodeling. Vitamin A penting untuk aktivitas sel-sel dalam tulang rawan epifase yang harus menjadi sustu siklus pertumbuhan normal, pendewasaan dan degenerasi untuk pertumbuhan tulang yang normal, yang dikontrol oleh epifase (Shaw & Sweeney, 1980 dalam Linder, 1992).

Vitamin A mempertahan integritas jaringan epitel melalui pengaruhnya terhadap pemecahan sel, sintesis RNA, glikosilasi protein, stabilitas membran lisosom, dan biosintesis prostaglandin. Melalui mekanisme ini, vitamin A menentukan proses keratinisasi dan diferensiasi lapisan epitel. Hal ini menjalankan peranan penting dalam penglihatan. Retina adalah kelompok prosthetic pigmen fotosensitif pada mata kemungkinan cahaya yang diterima diubah menjadi rangsangan syaraf (Gomall, 1986).

Vitamin A mempunyai peranan penting dalam kesuburan/fertilasi. Dalam keadaan defisiensi vitamin A, spermatogenesis berhenti/ditahan pada tingkat spermatid (pada tikus, ayam dan sapi), dan sebaliknya spermatogenesis akan terjadi apabila diberi vatamin A. Defesiensi vatamin A juga akan mengganggu siklus estrus, perkembangan plasenta dan aspek ini reproduksi betina (tikus dan ayam), yang dapat menyebabkan resorpsi janin (Linder, 1992).

Vitamin A juga memilki peranan penting dalam fungsi normal sistem kekebalan tubuh. Defisiensi vatamin A pada hewan percobaan berkaitan dengan pengurangan proliferasi limfosit, reaksi hipersensitivitas kulit, pengurangan fungsi makrofage, sitotoksik sel-T dan sel NK; dan pengurangan proliferasi sel-β dan produksi antibodi (Wolf & Keusch, 1999).

 

Defisiensi Vitamin A

Tanda-tanda defisiensi vitamin A telah dipelajari secara luas dan rinci dibanding kelainan defisiensi zat gizi lainnya. Mata merupakan organ tubuh yang mengalami gangguan, yang secara dominan terjadi pada anak-anak. Kekeringan (xerisis) dan diakui oleh ketidakmampuan untuk membasahi konjungtiva bulbar. Bitot’s spot (bercak bitot) merupakan keratinisasi lebih lanjut dari sel epitel konjungtif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, Bitot’s spot merupakan cacat dari defisiensi masa lalu. Keikutsertaan komea, dimulai sebagai keratopathy punctate permukaan dan lanjutan dari xerosis dan berbagai tingkat pemborokan dan keratomalasia, yang sering mengakibatkan kebutaan (McLAren, 1999).

            Defisiensi vitamin A yang menunjukkan pengeringan membran konjungtif dan komea (xerosis) dan adanya Bito’s spot merupakan perubahan yang dapat disembuhkan dengan vitamin A. Jika defisensi vitamin A terus berlangsung dan pelunakan komea (keratomalasia) serta pemborokan, maka kebutaan merupakan akibat yang tidak dapat disembuhkan (Ross, 1999).

Perubahan generatif punctate pada retina (puncak xeropthalmia) merupakan tanda yang jarang terjadi dari defesiensi kronik yang sering terlihat pada anak yang lebih besar. Luka kornea (comea scar) mempunyai banyak penyebab, tetapi yang ada pada bagian komea seseorang dengan sejarah masa lalunya mengalami defesiensi gizi dan/atau tanda penyakit campak yang sering pada defesiensi penyakit vatamin A tingkat lebih awal (McLaren,1999).

Manifestasi ekstraokular termasuk hiperkeratosis perifolikular, hiperkeratinisasi kulit epitel di sekitar folikel rambut. Keadaan ini paling sering terlihat pada lengan atas dan siku. Hal ini juga terlihat pada kejadian kelaparan yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B kompleks atan asam lemak esensial. Perubahan lain, yang termasuk kerusakan indera perasa, anoreksea, gangguan vestibular, perubahan tulang dengan tekanan pada syaraf cranial, peningkatan tekanan intracranial, perubahan bentuk congenital dan kemandulan, yang terlihat jelas pada hewan (McLaren, 1999).

Studi mengenai suplementasi vitamin A dan β-karoten terhadap wanita hamil yang mengalami rabun senja di Nepal menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dan β-karoten mengurangi kejadian buta senja sampai 50%.  Intik vitamin A yang mendekati jumlah yang dianjurkan oleh wanita hamil menurunkan tetapi tidak menghilangkan kejadian rabun senja, sehingga intik vitamin A yang lebih besar dari yang disediakan atau dengan zat gizi lain mungkin diperlukan untuk mencegah ibu yang mengalami buta senja ( Christian, et al, 1998).

Defisiensi vitamin A merupakan suatu endemi pada beberapa negara ketiga, yang dapat menyebabkan kebutaan. Defisiensi ini juga terlihat dalam sindrom melabsorpsi lemak. Secara klinis, menurut tipe tanda ocular, dimulai dengan rabun senja dan diakhiri dengan kebutaan. Perubahan secara meluas dari perkembangan epitel (Gomall, 1986).

Dalam tahun-tahun terakhir, percobaan klinis dan masyarakat suplementasi vitamin A pada anak-anak menunjukkan penurunan yang signifikan semua penyebab kesakitan dan kematian (MaLaren, 1999). Studi yang dilakukan di New Delhi mengenai perlakuan selama masa diare akut pada anak usia 12-60 bulan menunjukkan bahwa pemberian vitamin A selama diare akut dapat menurunkan periode diare dan resiko diare yang menetap pada anak-anak yang tidak diberi ASI, tetapi tidak terlihat pada anak yang memperoleh ASI (Bhandari, Bahl, Sazawal & Bhan, 1997).  Studi yang dilakukan pada anak Indonesia (Somer, et al. 1983 dalam Wolf & Keusch, 1999) menemukan bahwa anak dengan xeropthalmia sedang memiliki resiko terkena infeksi pernafasan dan diare relatif lebih tinggi dibanding anak yang tidak mempunyai tanda kelainan di mata.

Studi yang dilakukan di Nepal mengenai dampak suplementasi vitamin A pada masa pertumbuhan awal anak (12-60 bulan) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang relatif pada pertumbuhan jaringan halus yang terjadi selama empat bulan pemberian suplemen vitamin A dan efek terhadap pertumbuhan linear yang berangsur-angsur. Defisiensi vitamin yang agak berat, yang ditandai dengan xeropthalmia, menyebabkan gangguan pada pertumbuhan linear normal, tetapi pada tahap defisiensi yang sedang tidak mempunyai pengaruh (West, 1997).

Studi yang mengenai pertumbuhan linear anak usia 6 bulan hingga 4 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa anak yang memiliki konsentrasi serum retinol yang rendah mencapai peningkatan tinggi badan yang lebih besar secara signifikan (0,39 cm/bulan) setelah suplementasi vitamin A dibanding kelompok kontrol. Anak yang berusia  24 bulan juga mencapai pertambahan tinggi badan yang lebih tinggi dibanding bayi ( Hadi, et. Al, 2000).

Kejadian efidemiologi menunjukkan bahwa adanya kaitan dengan konsumsi makanan yang mengandung karotenoid dengan lebih rendahnya kejadian kanker tipe-tipe tertentu, seperti kanker paru-paru, kanker kolon dan bladder (Brody,1994). Diduga bahwa aktivitas kanker berkaitan dengan pengaruh esensial dari vitamin A dalam diferensiasi sel-sel epitel (Linder,1992). Sebagai contoh konsumsi rutin sayuran hijau tua dan kuning, sayuran crucifera dan tomat berkaitan dengan penurunan  angka kanker paru-paru (Marchand, et.al, 1989 dalam Brody, 1994).

Efek anti kanker dari sebagian besar tanaman tersebut berhubungan dengan β-karoten, dibanding produksi vitamin A dalam tubuh dari karotenoid. Efek anti kanker ari tomat berkaitan dengan Iycopene, dan sayuran hijau tua berkaitan dengan lutein. Pada saat studi  lainnya menunjukkan bahwa kanker berkaitan dengan intik vitamin A sebanyak 5000 IU per hari dan tingkat kejadian yang tinggi berkaitan dengan intik 1700 hingga 2500 IU per hari (Brody, 1994). Pada tingkat pengetahuan saat ini tidak akan disarankan untuk menggunakan dosis dalam bentuk vitamin A, melainkan dalam bentuk karoten dengan dosis seperti yang direkomendasikan untuk konsumsi setiap hari (RDA) untuk pengobatan/pencegahan kanker (Linder,1992)

Studi pada hewan menunjukkan hubungan antara intik tinggi karotenoid dari buah-buahan dan sayur-sayuran dengan pengurangan resiko bebetapa penyakit berbahaya, termasuk kanker prostat. Studi yang dilakukan mengenai efek β-karoten terhadap laju pertumbuhan in vitro menunjukkan bahwa efek biologis invitro β-karoten terhadap sel-sel prostat menghasilkan konversi β-karoten ke retinol atau metabolit lainnya (Williams, Boileau, Zhou, Clinton & Erdman, 2000).

Hasil studi Slattery, et.al (2000) terhadap 1993 subyek berusia antara 30 hingga 79 tahun yang telah didiagnosis menderita kanker usus besar dan kontrol sebanyak 2410 pasien tidak menderita kanker menunjukkan bahwa beberapa jenis karoteoid, yaitu lutein dan zeaxanthin mempunyai efek melawan kanker usus besar, dengan efek yang lebih tinggi pada orang yang lebih muda. Sumber utama lutein yang dikonsumsi berasal dari bayam, brokoli, selada, tomat, wortel, jus jeruk, seledri, sayuran hijau dan telur. Hal ini menunjukkan efek antioksidan dan lutein dan zeaxanthin, yang mempunyai efektifitas biokimia dan reaksinya terhadap membran sel  yang karsinogen pada usus besar.

Kriteria WHO untuk masalah vitamin A kesehatan masyarakat saat ini tidak hanya termasuk prevalensi defisiensi vitamin A yang berat dengan tanda dimata (seperti Xerosis kornea, bitot’s spot) tetapi juga indikator sub-klinis (seperti retinol serum yang rendah, retinol ASI yang rendah). Diperkirakan setiap tahun, 3 hingga 10 juta anak, kebanyakan tinggal di negara berkembang mengalami xeropthamia, dan antara 250.000 hingga 500.000 menjadi buta. Program kesehatan masyarakat internasional untuk menjadikan prioritas utama untuk mengatasi defisiensi vitamin A dan xerothamia. Penyediaan suplemen vitamin A sebanyak 50.000 hingga 200.000 IU (15.000 – 60.000 μg RE, menurut umur) kepada anak-anak yang beresiko mengalami defisiensi vitamin A untuk melindungi selama 4 hingga 6 bulan. Perbaikan intik makanan jelas diperlukan sebagai penyelesaian jangka panjang terhadap defisiensi vitamin A (Ross, 1999).  

Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari keadaan tubuh orang Indonesia (Tabel 1).

 

Tabel 1. Daftar Kecukupan Konsumsi Vitamin A

Golongan Umur

Kebutuhan Vitamin A

(RE)

0-6 bulan

                    7-12 bulan

1-3 bulan

4-6 tahun

7-9 tahun

Pria

10-12 tahun

13-15 tahun

16-19 tahun

20-45 tahun

46-59 tahun

 >60 tahun

Wanita

10-12 tahun

13-15 tahun

16-19 tahun

20-45 tahun

46-59 tahun

  > 60 tahun

                    Hamil

                    Menyusui

0-6 bulan

                    7-12 bulan

350

350

350

460

400

 

500

600

700

700

700

600

 

500

500

500

500

500

500

                        +200

 

                        +350

                        +300

Sumber  : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998)

 

Toksisitas (hiperavitaminosis A)

            Toksisitas akut lebih umum terjadi pada anak-anak. Kebanyakan ciri-cirinya berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial, yaitu nausea, vomitting, sakit kepala, vertigo, iritabilitas, stupor, pontanel bulging (pada bayi), papilledema dan pseudotumor cerebri (pembesaran tumor otak), juga pyreksia dan pengelupasan kulit ( McLaren, 1999).

            Kondisi hiperavitaminosis A meryupakan  hasil dari konsumsi yang berlebihan dari pro-vitamin A (bukan karotenoid) yang berlangsung lama (kronis) maupun akut. Adanya retinol yang teresterifikasi pada plasma fasting (berkaitan dengan plasma lipoprotein) merupakan indikator awal dari hiperavitaminosis A. Umumnya tanda toksisitas berkaitan dengan kelebihan konsumsi 10 kali dari RDA yang merupakan hasil dari perilaku makan (misalnya konsumsi hati yang berlebih atau pengobatan sendiri dengan vitamin A dosis tinggi. Bahkan pada pengguna suplementasi vitamin/mineral yang sehat (dalam jumlah sekitar satu hingga dua kali RDA vitamin A), menunjukkan peningkatan yang signifikan pada plasma fasting retinil ester (Ross,19990. Hasil studi Krasinski, et.al (1989) dalam Ross (1999), pada orang dewasa tua peningkatan plasma retinil ester berkaitan dengan penggunaan suplemen vitamin A jangka panjang (> 5 tahun) dan beberapa mengalami kerusakan hati (peningkatan serum transaminase). Data ini meningkatkan kemungkinan bahwa pada tingkat sedang, suplementasi vitamin A jangka panjang dapat menyebabkan hiperavitaminosis A sedang pada beberapa individu (Kowalski, et,al, 1989 dalam Ross, 1999).

            Toksistas kronis menghasilkan gambaran klinis yang aneh yang sering salah diagnosis karena kegagalan untuk memperkirakan kelebihan intik vitamin A. Hal ini ditunjukkan oleh anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, pandangan yang kabur, diplopia, kulit yang kering dan bersisik, alopecia, rambut yang kasar, hepatomegaly, splenomegaly, anemia, pertumbuhan tulang baru yang subperiosteal penipisan kortikal (khususnya tulang tangan dan kaki), dan perubahan warna gusi (McLaren,1999).

            Toksisitas vitamin A juga menyebabkan sindrom celebral yang mencakup epitel, hati, dan tulang dan meningkatkan konsentrasi serum vitamin A. Hal ini tidak saja terlihat pada bayi tetapi beberapa tahun terakhir menjadi umum karena pengobatan sendiri yang berlebihan. Sindrom lainnya, karotenemia disebabkan oleh intik karoteinoid yang berlebihan (McLaren, 1999).

Vitamin A dan retinoid lainnya merupakan teratogen yang kuat baik pada hewan percobaan yang hamil dan wanita hamil. Kelainan lahir yang dilaporkan pada akhir musim semi pada wanita yang menerima 13-cis-asam retinoic (isotertinoin) selama kehamilan. Peningkatan resiko kelahiran terjadi pada bayi dari wanita yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU per hari suplemen pro-vitamin A tujuh minggu sebelum melahirkan ; laporan lain mengindikasikan bahwa kelainan lahir mungkin terjadi pada tingkat beberapa kali lebih tinggi (McLaren,1999). Sebaliknya, jika pemberian suplementasi vitamin A atau β-karoten sesuai dengan jumlah yang dianjurkan selama masa kehamilan akan menurunkan angka kematian yang berkaitan dengan kehamilan di populasi yang kurang gizi di wilayah pedesaan di Nepal ( West,1999).

            Konsumsi vitamin A dosis tinggi berbahaya. Intik vitamin A sebanyak 10 kali dari RDA atau lebih tinggi oleh wanita hamil dapat menyebabkan kerusakan otak janin. Tingkat intik tersebut akan mengakibatkan symtoms neurologi dan kerusakan pada mata jika dikonsumsi oleh anak atau orang dewasa. Sebaliknya, konsumsi β-karoten dosis tinggi tidak menyebabkan toksistas. Konsumsi β-karoten dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan tingkat β-karoten dalam plasma, walaupun respon tersebut berbeda untuk masing-masing individu. Tingkat plasma karotenoid yang tinggi hanya sedikit atau sama sekali tidak mempengaruhi tingkat vitamin A plasma (Brody, 1994).   

 

Hiperkarotenosis

            Kelebihan intik karotenoid dapat menyebabkan hiperkarotenosis. Perubahan warna kulit menjadi kuning atau orange (xanthosis cutis, carotenoderma) mempengaruhi daerah dimana sekresi sabum terbesar – yaitu lipatan nasolabial, dahi kepala, axillae, dan groin- dan permukaan keranisasi seperti telapak tangan dan kaki. Membran sclerae dan buccal tidak terpengaruh, yang membedakannya dari penyakit kuning, yaitu dimana tanda tersebut berada (McLaren,1999).

 

 

 

Interaksi  dengan Zat Gizi Lain

            Vitamin A mempunyai interaksi dengan vitamin-vitamin larut lemak yang lain, vitamin C dan mineral seng. Interaksi vitamin A dengan seng erat kaitannya dengan efek negatif defisiensi seng terhadap metabolisme vitamin A yaitu defisiensi seng dapat menurunkan tingkat serum vitamin A. Mekanisme yang menyebabkan rendahnya plasma vitamin A di hati. Defisiensi seng dan vitamin A selama masa kehamilan akan menyebabkan efek teratogenik (Lönnerdal,1988).

            Vitamin A juga memilki interaksi dengan besi. Nilai hemoglobin berkurang dengan pola yang sama dengan plasma vitamin A dan vitamin A yang cukup juga meningkatkan nilai hemoglobin seiring dengan kenaikan vitamin A. Mekanisme interaksi antara vitamin A dan besi adalah terjadinya gangguan mobilisasi pada besi dari hati dan/atau penggabungan besi ke eritrosit bila terjadi defisiensi vitamin A (Machlin & Langseth, 1988). Vitamin dan β-karoten dapat membentuk suatu kompleks dengan besi untuk membuatnya tetap larut dalam lumen usus halus dan mencegah efek penghambat dari fitat dan polifenol pada absorpsi besi (Garcia Casal, et.al.,1998).

            Interaksi vitamin A dengan vitamin D yaitu jika terjadi kelebihan tingkat vitamin A dan D mengakibatkan efek antagonis pada plasma kalsium, fosfor dan asam fosfat. Antagonistik vitamin A dan D memperbaiki menurunkan laju pertumbuhan dan mengurangi kandungan mineral tulang ketika pemberian vitamin A atau D saja pada dosis yang tinggi (Marchlin & Langseth, 1988).

            Kebanyakan interaksi vitamin A dan E menguntungkan. Vitamin E melindungi kerusakan oksidatif dari vitamin A. Studi pada hewan menunjukkan bahwa tingkat vitamin A yang tinggi akan meningkatkan kebutuhan vitamin E (Marchlin & dan Langseth, 1988).

            Tingkat intik vitamin A yang tinggi mempunyai efek yang merugikan terhadap aksi vitamin K. Hipoprotthrombinemia telah dipelajari pada manusia dan hewan berkaitan dengan hiperavitaminosis vitamin A (Marchlin & Langseth, 1988).

            Beberapa efek toksik vitamin A tampaknya diperbaiki oleh vitamin C. Pada manusia, ekskresi vitamin C melalui urine meningkat pada kejadian hiperavitaminosis A, yang mengindikasikan pengurangan dalam vitamin A jaringan (Marchlin & Langseth, 1988).

            Studi mengenai diare kronis pada tikus menunjukkan bahwa diare tidak mempunyai pengaruh terhadap vitamin A di hati, tetapi menurunkan konsentrasi serum vitamin A dari tikus yang diberi konsumsi laktosa dibanding tikus yang diberi konsumsi kontrol. Diare kronik berkaitan dengan diet laktosa yang berlebih yang akan memgurangi absorpsi vitamin A dan E dan secara khusus terhadap status vitamin E (Liuzzi, Cioccia & Hevia, 1998).

            Studi pada 219 anak Meksiko usia 18-36 bulan yang menerima 20 mg seng/hari, 20mg besi/hari, keduanya dan plasebo menunjukkan kasil 6 bulan setelah suplementasi seng dan besi, plasma retinol meningkat pada semua kelompok  yang diberi suplemen. Dibandingkan dengan kelompok plasebo, suplementasi seng berkaitan dengan plasma retinol dan transthyretin yang lebih tinggi secara signifikan, tetapi peningkatan retinol-binding protein (RBP) tidak signifikan. Suplementasi besi meningkatkan  plasma retinol, RBP dan transthyretin secara signifikan, sedangkan suplementasi keduanya secara signifikan meningkatkan plasma retinol, tidak pada RBP dan transthyretin. Anak-anak yang mengalami defisiensi seng, besi atau vitamin A (sebagaimana yang diindikasikan oleh konsentrasi zat gizi plasma) pada awal studi memiliki peningkatan retinol yang signifikan dibanding anak dengan status gizi normal. Suplementasi seng, besi atau keduanya akan memperbaiki indikator status vitamin A (Muňoz, et.al.,2000).

Masalah Kekurangan  Vitamin A ( KVA) Di Indonesia

            KVA yang ditunjukkan oleh prevalensi xeropthalmia  (X1B) telah menurun dengan tajam dari 1,3% pada tahun 1978 menjadi 0,33% pada tahun 1992. Dengan keberhasilan ini maka masalah kekurangan vitamin A secara nasional sudah bukan masalah kesehatan masyarakat lagi jika mengacu kepada kriteria WHO (X1B=0,5%). Jika dilihat berdasarkan prevalensi tingkat provinsi, masih terdapat tiga provinsi yang prevalensinya di atas kriteria WHO, yaitu provinsi Sulawesi Selatan (2,9%), Maluku (0,8%) dan Sulawesi Utara (0,6%). Untuk provinsi Sulawesi Utara telah dilakukan pemberian kapsul vitamin A dosis di daerah kantung rawan yang ditemukan xeropthalmia tersebut. Survay ulang yang dilakukan 4 bulan kemudian menunjukkan penurunan prevalensi X1B=0%. Hasil ini menunjukkan pentingnya pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi secara periodik, terutama di daerah terpencil yang sulit terjangkau pelayanan Puskesmas. Tabel 2 menunjukkan prevalensi KVA di Indonesia berdasarkan provinsi.

 

Tabel 2. Prevalensi Xeropthalmia di 15 Provinsi Hasil Survay Nasional                tahun 1978 dan 1992.

 

 

No.

Provinsi

 

1978

1992

N

X1B

X2/X3

XS     

N

X1B

X2/X3

XS

1

DI. Aceh

   620

2.4 

0,484

0.164

566

0

0

0

2

Sumut

   453

0,4

0

0,214

604

0,17

0

0

3

Sumbar

   611

1,3

0,164

0,164

565

0

0

0

4

Sumsel

   606

0,3

0,164

0,495

722

0,14

0

0

5

Bengkulu

   460

0,7

0,217

0,217

529

0

0

0

6

Jabar

4147

1,5

0,096

0,217

3712

0,11

0

0

7

Jateng

4577

1,0

0,044

0,153

3674

0,25

0

0

8

Bali

1326

0,8

0,075

0,226

1641

0,07

0

0

9

NTB

2353

1,6

0,212

0,212

2368

0,13

0

0

10

Kalbar

  460

0,4

0

0,217

518

0,19

0

0

11

Kalteng

450

0,7

0,222

0

410

0,24

0

0

12

Kalsel

680

1,5

0

0,147

619

0

0

0

13

Sulsel

1240

0,4

0,081

0,087

1158

2,9

0

0

14

Sulteng

809

0,6

0

0,037

837

0,6

0

0

15

Maluku

1031

2,0

0

0,194

797

0,8

0

0

Jumlah

19833

1,3

0,112

0,163

18720

0,33

0

0

Sumber : Ditgizi, 1977 dalam Kodyat, Thaha & Minarto (1998).

 

Perawatan

            Anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena alasan ini vitamin A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak yang mengalami gizi kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama telah diberikan pada bulan yang lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut: 50.000 IU untuk bayi berusia < 6 bulan, 100.000 IU untuk bayi berumur 6 - 12 bulan , dan 200.000 IU untuk anak berusia > 12 bulan.  Jika terdapat tanda klinis dari defisiensi vitamin A ( seperti rabun senja, xerosis konjungtiva dengan bitot’s spot, xerosis komea atau ulceration, atau ketomalasia), maka disis yang tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti dosis ketiga sekurang-kurangnya 2 minggu kemudian (Tabel 3) (WHO, 1999).

 

Tabel 3. Perawatan Secara Klinis Defisiensi Vitamin A pada Anak-anak

Waktu

Dosis

Hari 1

 

          Usia < 6 bulan

50.000

          Usia 6 – 12 bulan

100.000

          Usia > 12 bulan

200.000

Hari 2

Dosis sama sesuai kelompok umur

Sekurang-kurangnya 2 minggu kemudian

Dosis sama sesuai kelompok umur

Sumber : WHO. 1999

 

            Perawatan hkusus harus diberikan selama pengujian mata. Mata harus diperiksa secara-hati-hati untuk tanda-tanda seropthalmia, xerosis atau ulceration, melindungi mata dengan kapas 0,9% saline. Tetes mata tetrasiklin (1%) harus diberikan empat kali dalam sehari sampai tanda peradangan atau ulceration sembuh. Tetes mata atropin (0,1%) juga harus dilakukan dan mata yang diobati harus dibalut, karena garukan tangan dapat menyebabkan kerusakan kornea mata (WHO, 1999).

            Program penanggulangan kekurangan vitamin A di Indonesia telah memberikan hasil yang mengembirakan, walaupun masih terdapat tiga propinsi yang masih memiliki prevalensi xeropthalmia di atas kriteria WHO (0,5%). Ketiga pripinsi tersebut memerlukan perhatian khusus dalam penuntasan masalah KVA. Selain itu masih terdapat 50,2% anak balita yang mempunyai kadar vitamin A dalam darah < 20 µg/dl. Prevalensi KVA subklinik yang masih tinggi ini mengisyaratkan bahwa secara nasional masalah KVA harus tetap memperoleh perhatian dalam program-program penuntasan gizi kurang di masa mendatang.

            Sebagian besar ahli gizi setuju bahwa pengukuran jangka panjang untuk meningkatkan status vitamin A populasi yang terbaik adalah dengan menjaga intik makanan yang cukup. Untuk saat ini keuntungan dan prinsip penggunaan suplemen vitamin A masih diperdebatkan, sambil menunggu studi yang terencana dengan baik.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

            Vitamin sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan hidup, tidak hanya pada fungsi penglihatan tetapi juga pada proses perkembangan yang dimulai sejak pembentukan embrio. Vitamin A terus diperlukan untuk mempertahankan diferensiasi sel secara nornal sepanjang hidup. Dapat dipahami pentingnya jika vitamin A digunakan sepanjang waktu untuk pencegahan dan kontrol penyakit kanker. Potensi sifat dari sebagian besar retinod untuk menjadi toksik teratogenik telah dipelajari dalam suatu kondisi yang baru.

 

Saran

            Untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan metabolisme dalam tubuh seseorang sebaiknya mengkonsumsi zat-zat gizi sesuai dengan kecukupannya. Karena vitamin A mempunyai efek yang kurang baik bagi keseimbangan di dalam tubuh, baik jika dikonsumsi dalam jumlah yang kurang maupun berlebihan maka sangat penting untuk dipertimbangkan kembali untuk mengkonsumsinya dalam jumlah yang berlebih (misalnya dengan suplemen).

DAFTAR PUSTAKA

Bhandari, N, R. Bahl, S. Sazawal & M.K.Bahn. 1997. A Treatment During Acute Diarrhea in Children. Journal of Nutrition 127: 59-63.

Brody, T, 1994. Nutritional Biochemistry. Academic Press, New York.

Christian, P., et.al 1998. Vitamin A atau β-Caroten Supplementation Reduces but Not Eliminate Maternal Nigjht Blindness in Nepal. Journal of Nutrition 128:1458-1463.

Garcia-Casal, M.N., 1998. Vitamin A atau β-Caroten can Improve Nonheme Iron Absorption from Rice, Wheat ad Com by Humans. Journal of Nutrition 128: 646-650.

GBHN. 1999.Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 Sinar Grafika, Jakarta.

Gomall, A.G. 1986. Applied Biochemistry of Clinical Disorders. Second Edition, Lippincott Company, Philadelphia.

Hadi, H, et.al. 2000.  Vitamin A and Linear Growth Benefit among Indonesia Children. Am. J. Clin. Nutrition 71: 507-513.

Kodyat, B.A., A.R. Thaha & Minarto. 1998. Penuntasan Masalah Gizi Kurang. Dalam Widyakarya  Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI, Jakarta.

Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme (Parakkasi, A.Pen). UI- Press, Jakarta.

Liuzzi, J.P., A.M. Cioccia & P. Hevia. 1998. In Well-Fed Young Rats, Lactose- Indoced Chronic Diarrhea the Apparent Absorption of Vitamin and E and Effects Preferentialy Vitamin E Status. Journal of Nutrition 128:2467-2472.

Lonnerdal, B. 1988. Vitamin-Mineral Interactions. Dalam Bodwell, C.E, & J.W. Erdman Jr. Nutrient Interactions. Marcel Dekker, New York.

Machlin, L.J. & L. Langseth. Vitamin-vitamin Interactions. Dalam Bodwell, C.E, & J.W. Erdman Jr. Nutrient Interactions. Marcel Dekker, New York.

McLaren, D.S. 1999. Clinical Manifestations of Human Vitamin and Mineral Disorders: A Resume Dalam  Williams & Wilkins. 1999. Modern Nutrition in Health and Disease. Nineth Edition. A Waverly Company, Baltimore.

Munoz, E.C., J.L. Rosado, P Lopez, H.C. Furr & L.H. Allen. 2000. Iron and Zinc Supplementation Imroves Incators of Vitamin A Status of Mexican Preshoolers. Am. J. Clin. Nutrition 71: 789-794.

Ross, A.C. 1999. Vitamin A and Retinoids. Dalam Williams & Wilkins. 1999. Modern Nutrition in Health and Disease. Nineth Edition. A Waverly Company, Baltimore.

Slattery, M.L., et.al. 2000. Some Carotenoids specifically Target Colon Cancer. Am. J.Clin. Nutrition 71: 575-582.

West, K.P, at.al. 1997. Effects of Vitamin A on Growth of  Vitamin A-Deficient Children: Field Studies in Nepal. Journal of Nutrition 127:1957-1965.

West, K.P, at.al. 1999.  Double Blind, Cluster Randomised Trial of Low Dose Suplementation with Vitamin A or β-carotene on Mortality related to Pregnancy in Nepal. British Medical Journal 318:570-575.

WKNPG.1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI, Jakarta.

WHO. 1999. Management of Severe Malnutrition: A Manual for Physicians and Other Senior Health Workers. Genewa.

Williams, A.W., T.W.M. Boileau, J.R. Zhou, S.K. Clinton & J.W. Erdman Jr. 2000. β- Caroten Modulates Human Prostate Cancer Cell Growth and May Undergo Intraceluler Metabolism to Retinol. Journal of Nutrition 130:728-732.

Wolf, L. & G.T. Keusch. 1999. Nutrition and Infection. Dalam Williams & Wilkins. 1999. Modern Nutrition in Health and Disease. Nineth Edition. A Waverly Company, Baltimore.