© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                   Posted  9 January 2004

Makalah Diskusi, Kelompok 2

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana,   Program S3

Institut Pertanian Bogor

 

Januari 2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

 

 

 

 

PENGEMBANGAN DAN  PROMOSI INVESTASI DI PULAU-PULAU KECIL DALAM UPAYA PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

 

 

 

 

 

Oleh Kelompok 2:

 

ADI WIYANA (C.561030234)

HERIYANTO MARWOTO (C.561030184)

 MARWAN SYAUKANI (C.561030174)

FERRIANTO DJAIS (C.561030194)

YULISTIO (C.561030154)

 

 

 

 

I.       PENDAHULUAN

 

Indonesia yang wilayah lautnya mencapai tiga perempat bagian dari luas wilayah secara keseluruhan, wilayah daratnya terdiri dari pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil.  Tercatat ada 17.805 buah pulau-pulau kecil (sekitar 10.000 buah di antaranya tidak berpenghuni) yang hingga saat ini belum digarap dan dikembangkan sehingga dapat mempunyai andil bagi perekonomian nasional.

 

Saat ini pulau-pulau kecil tersebut sedang diposisikan untuk menjadikannya sebagai “masa depan” pembangunan,  dimana berbagai potensi yang dimilikinya dipandang sebagai peluang untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sehingga berperan dalam mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Negara republik Indonesia. Rencana tersebut merupakan suatu tantangan yang “tidak” kecil, karena banyak sekali factor yang mempengaruhinya dan hingga saat ini belum ditemukenali secara jelas.

 

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah munculnya berbagai pertanyaan yang sangat mendasar, yakni layakkah pulau-pulau kecil untuk dikembangkan dan dijual atau dipromosikan ?. Memang dalam upaya membangun dan mengembangkan pulau-pulau kecil di Indonesia dibutuhkan suatu pendekatan pemikiran yang agak sedikit “meloncat”. Pendekatan dan pemikiran yang terjadi saat ini dinilai tidak akan mampu untuk menjawab  ke arah perkembangan pulau-pulau kecil tersebut.

 

Jika hanya berdasarkan atas kekuatan faktor internal saja, kiranya   tidak ada daya untuk dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Akan tetapi dengan bantuan derivative factor eksternal kiranya dapat diperoleh peluang-peluang pengembangan di masa yang akan datang. Dalam kaitan  ini, pemahaman terhadap peluang-peluang “pasar” menjadi sangat penting dalam menentukan produk “barang atau jasa” yang seyogyanya harus dihasilkan oleh pulau-pulau kecil tersebut.

 

Disisi lain, karakteristik pulau-pulau kecil yang ada menjadikan permasalahan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, dimana keterbatasan daya dukung lingkungannya mempunyai konsekwensi terhadap terbatasnya “skala ekonomi  dari kegiatan yang akan dikembangkan dan produk yang dihasilkan, dan sekaligus  menjadi pembatas terhadap jenis-jenis kegiatan yang dapat dikembangkan (Clark J, 1996). Faktor keterisolasian sangat mewarnai ciri dari pulau-pulau kecil. Sebaliknya bila kita ingin melakukan pembangunan di pulau-pulau kecil – pertimbangan kelestarian lingkungan menjadi salah satu faktor utamanya dan didasarkan pada kondisi pulau-pulau kecil tersebut pada saat ini. Pengelolaan pulau-pulau kecil sangat berbeda perlakuannya dan nilai sebuah pulau tidak ditentukan oleh besar-kecilnya, tetapi ditentukan oleh manfaat pulau tersebut dalam menghasilkan nilai ekonomi ( Kay and Alder, 1999).

 

 

II. STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL

 

Pulau-pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 17.000 buah memiliki potensi sektor kelautan dan perikanan yang cukup besar.    Jenis usaha yang dapat dikembangkan di pulau-pulau kecil, antara lain : (1) usaha perikanan tangkap, (2) usaha perikananbudidaya; (3) industri tinggi non ekstraktif; (4) industri manufaktur dan pengolahan yang ramah lingkungan; (5) usaha pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga; (6) pertambangan; (7) pariwisata bahari; (8)jasa angkutan; (9) bangunan laut; (10) industri maritim, dan (11) jasa kelautan lainnya.

 

Pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil merupakan  upaya pembangunan yang tidak sederhana.  Dalam hal ini, di pulau-pulau kecil private investment atau investasi yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan investasi dari pemerintah.

 

Kemudahan atau dukungan kebijakan terhadap akses pasar marupakan prasyarat yang seyogyanya harus dilakukan pemerintah agar tercipta iklim investasi yang kondusif bagi masyarakat dan pihak swasta.  Disamping itu,  tersedianya sarana dan prasarana  juga perlu memdapatkan perhatian.

 

Keterpaduan atau sinergisitas dari berbagai kegiatan yang tersebar pada beberapa pulau-pulau kecil akan sangat mempengaruhi pola investasi yang akan dilakukan, dan   ini sangat berpengaruh terhadap “skala ekonomi” –nya. Untuk itu pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil perlu diawali dengan suatu “strategic plan atau master plan”  sehinga efisiensi pola investasi dapat tercapai. Selanjutnya strategi tersebut dijabarkan ke dalam pembangunan dan pengembangan sarana & prasarana  guna dapat lebih merangsang atau mendorong  hadirnya investasi yang akan dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat.

 

Informasi potensi yang telah dikemas ke dalam business plan merupakan langkah penting yang harus dilakukan . Disamping itu, pemantauan terhadap perubahan perilaku konsumen,  baik di dalam negeri maupun di luar negeri, perlu dilakukan secara lebih cermat dan terus menerus agar dapat selalu dihasilkan “barang dan jasa” yang mempunyai nilai tinggi.

 

Penyiapan investasi dalam upaya mendukung pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil  tidak saja ditujukan untuk dapat menghasilkan produk “barang & jasa” dengan nilai yang tinggi,  akan tetapi juga sebagai pada upaya pelibatan masyarakat lokal; upaya menjaga kelestarian lingkungan, serta mempertahankan budaya setempat.

 

III.    PENDEKATAN PENGEMBANGAN DAN KEGIATAN DI PULAU-PULAU KECIL

 

Pengembangan dan pembangunan pulau - pulau kecil akan sangat tergantung dari kondisi eksistingnya, dimana dalam hal ini  ada empat kategori atau karakteristik yang dapat ditemui pada pulau-pulau Cecil (Dahuri R, 1998), yaitu :

  1. Pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni dan tidak pernah dikunjungi manusia
  2. Pulau-pulau kecil yang tak berpenghuni tetapi masih dikunjungi manusia;
  3. Pulau-pulau kecil yang berpenghuni dengan tingkat perkembangan kegiatan ekonominya terbatas.
  4. Pulau-pulau kecil yang berpenghuni dan sudah memiliki perkembangan kegiatan ekonomi antar pulau atau eksport.  

 

Menurut Kamaluddin (2003), berdasarkan tingkat pemanfaatannya, pulau-pulau kecil dapat digunakan sebagai :

  1. Pulau-pulau kecil untuk kawasan pertumbuhan, misalnya Batam.  Pulau-pulau untuk kawasan pertumbuhan sebaiknya menggunakan pulau-pulau kecil yang strategis, baik yang berada di perbatasan dengan negara lain maupun perbatasan antar provinsi.  Menempatkan kawasan pertumbuhan di pulau perbatasan, memungkinkan pulau-pulau kecil tersebut cepat tumbuh karena adanya tarikan keluar atau adanya interaksi ekonomi. Pulau Batam cepat tumbuh karena ditarik oleg Singapore.
  2. Pulau-pulau kecil yang dikembangkan sebagai pulau pariwisata bahari.  Pulau-pulau ini harus memiliki keindahan dan estetika laut yang unik, seperti di kepulauan Wakatobi (Buton), Tulamben (Bal;i), Likuan dan Bunaken (Manado), Takabonerate (Selayar, dan lain-lain.
  3. Pulau-pulau kecil yang tertinggal infrastrukturnya tetapi memiliki prospek dan bentuk fisik yang unik sehingga dapat dijadikan sebagai pulau yang digunakan untuk kepentingan pengembangan keilmuan atau sebagai zona penelitian ilmiah.
  4. Pulau-pulau kecil yang dipergunakan sebagai kawasan konservasi karena keunikan dan keragaman biodiversitinya yang sangat tinggi.

 

Dalam menghadapi perkembangan dimasa akan datang yang semakin kompleks dan ditambah lagi dengan adanya proses globalisasi, kiranya kesebelas kegiatan yang diduga mempunyai peluang untuk dikembangkan di pulau-pulau kecil perlu dijabarkan ke dalam strategi bisnis tersendiri. Hal ini menjadi sangat penting oleh karena adanya : (1) kelompok kegiatan yang mempunyai skala kegiatan tingkat nasional dan bahkan dunia (seperti misalnya : wisata bahari). (2) kelompok kegiatan yang mempunyai skala antar pulau,  dan (3) kelompok kegiatan yang mempunyai skala lokal.

 

Dalam merencanakan pengembangan kegiatan di pulau-pulau kecil membutuhkan “kejelian tersendiri” atau dikenal dengan istilah terobosan – karena kemampuan atau kepekaan terhadap pengenalan  “pasar nasional dan  dunia”  menjadi salah satu faktor keberhasilannya. Sebaliknya, setting pembangunan nasional yang saat ini masih bias pada kepentingan daratan besar sehingga belum mengakomodasikan kebutuhan pembangunan daerah kepulauan, perlu dirubah dan disesuaikan ( Dahuri Rokhmin, 2003).

 

Hal startegis yang perlu dipikirkan dalam upaya pengembangan kegiatan di pulau-pulau kecil adalah bagaimana dapat menghasilkan “barang & jasa” dari pulau-pulau kecil tersebut yang memiliki nilai tinggi. Pemikiran ini menjadi sangat penting karena ada dua pertimbangan, yakni: pertama, adalah kekuatan atau kemampuan serap pasar internal sangat terbatas, dan kedua adalah  biaya transportasi (transportation cost) dari dan ke pulau-pulau kecil yang relatif sangat tinggi. Namun demikian upaya untuk merebut pasar nasional dan dunia kiranya menjadi sesuatu yang cukup menjanjikan bila ingin mewujudkan pembangunan sosial-ekonomi di pulau-pulau kecil.

 

Berdasarkan atas pengamatan sementara terhadap peluang perkembangan ekonomi dalam waktu  dekat, ada beberapa kelompok kegiatan yang cukup menjanjikan, yakni :

a.       Kelompok kegiatan wisata bahari

b.      Kelompok kegiatan budidaya mutiara

c.       Kelompok kegiatan budidaya rumput laut,

d.      Keleompok kegiatan penangkapan ikan dengan bagan, dan

e.       Kelompok kegiatan budidaya ikan di karamba jaring apung

 

Kelompok kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan pengembangan pulau-pulau kecil, akan tetapi mempunyai karakteristik segmentasi investor yang berbeda serta membutuhkan dukungan kebijakan, dukungan sarana dan prasarana, serta keterlibatan masyarakat yang berbeda pula.

 

a.      Kegiatan Wisata Bahari

 

Pada hakekatnya pengembangan wisata bahari merupakan respon dari perkembangan demand wisatawan pada skala dunia.  Hal ini disebabkan karena adanya pertumbuhan populasi dunia yang relatif cukup tinggi serta meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, sehingga berpengaruh terhadap adanya peningkatan jumlah wisatawan international yang cukup besar. Disamping itu terjadi pula peningkatan minat para wisatawan yang mengarah kepada “bahari”.

 

Data tahun 2000 menunjukkan bahwa international tourist  mencapai  sebanyak 697 juta orang dengan pertumbuhan selama sepuluh tahun rata-rata sebesar 4,3% per tahun. Pada tahun 2000 tersebut jumlah wisatawan yang berpesiar dengan menggunakan  kapal pesiar mencapai 10 juta buah kapal dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 10%. Pada tahun 2005 diprediksikan jumlah kapal pesiar di dunia akan terus meningkat hingga mencapai 14 juta buah.

 

Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan kegiatan wisata bahari – dengan 17.000 buah pulaunya yang sangat indah seharusnya  dapat menarik wisatawan dunia yang ada. Dari pulau-pulau tersebut ditetapakan sebagai pulau pariwisata bahari karena memiliki keindahan dan estetika laut yang unik, sebagaimana beberapa contoh pula yang disebutkan di atas.

 

Saat ini kegiatan wisata bahari di Indonesia  belum menggembirakan – dimana jumlah kapal pesiar yang berlabuh di kawasan Asean masih didominasi oleh Singapura (58,7%); Malaysia (16,3%); Thailand (16,1%); dan negara Asean lainnya (7,5%). Indonesia hanya mampu menyerap sekitar 1,4%, padahal  keindahan alam dan pulau-pulau kecilnya dimiliki oleh Indonesia. Mampukah kita bersaing ?.

 

Pada tahun 2000, jumlah wisatawan dengan kapal pesiar yang berkunjung ke Indonesia adalah sebanyak 8.020 orang. Indonesai mulai dikunjungi kapal pesiar sejak tahun 1980-an. Angka kunjungan tertinggi adalah pada tahun 1988, yaitu sebanyak 20.164 orang.  Namun karena krisis ekonomi dan polotik, banyak kapal pesiar yang hanya melewati perairan Indonesia tanpa berlabuh. Jumlah kapal pesiar yang berlabuh di Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 mengalami penurunan yang cukup drastis,  dimana pada tahun 1998, terdapat 32 buah  kapal yang berlabuh dan menurun menjadi 14 buah kapal pada tahun 2000.

 

Ada empat masalah utama yang kurang mendukung pengembangan wisata bahari di Indonesia, yakni:

·        Belum adanya perencanaan terpadu antar berbagai sektor;

·        Belum tersedianya infrastruktur pelabuhan khusus untuk kapal pesiar;

·        Belum adanya tour operator yang khusus menangani wisata kapal pesiar,

·        Kurangnya promosi obyek wisata bahari, dan

·        Prosedur birokrasi yang panjang untuk mendapatkan “Cruising Approval for Indonesian Territory – CAIT” (political clearance; security clearance; and sailing permit).

 

Padahal di sisi lain, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan mengembangkan wisata bahari di Indonesia, yakni: pertama, dapat mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar, yang berarti mendatangkan devisa bagi negara. Kedua, mempromosikan Indonesia dengan memanfaatkan potensi wisata bahari. Ketiga, membuka akses ke objek-objek wisata -  terutama yang marine-based. Keempat, adalah dapat mengembangkan potensi ekonomi pulau-pulau kecil. Khusus, terhadap aspek ekonomi akan dapat meningkatkan ekonomi lokal dan nasional, terjadinya peningkatan kesempatan kerja; mempercepat pertumbuhan kawasan Timur Indonesia – karena memiliki potensi wisata bahari yang sangat besar; dan pada umumnya tidak membutuhkan infrastruktur pendukung yang kompleks.

 

Mmenurut Kamaluddin (2003), nilai ekonomi pariwisata bahari di lokasi seperti Tulamben (Bali) dapat memperoleh pendapatan tiap tahunnya sebesar Rp. 29,39 miliar, Likuan2 (Sulawesi Utara) dengan pendapatan sebesar Rp. 22,04 miliar, dan Wakatobi (Buton) dengan pendapatan sebesar Rp. 14,70 miliar.

 

b.      Kegiatan Budidaya Mutiara

 

Usaha budidaya mutiara di Indonesia merupakan kegiatan yang relatif baru, dan  kegiatan ini lebih diminati oleh para investor asing, terutama Jepang dan  Australia. Perkembangan budidaya mutiara mulai pesat sejak tahun 1998,  dimana sebagian besar usaha tersebut berstatus sebagai Usaha Patungan (PMA), dan kemudian disusul oleh usaha PMDN dan Usaha Swasta Nasional.

 

Di Indonesia kawasan yang mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya mutiara cukup tersebar, terutama sekali di wilayah Indonesia Bagian Timur, yakni:  Papua, Maluku, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTB, Bali, Madura, dan Lampung.

 

Total nilai ekspor mutiara dari Indonesia sejak  tahun 1993 ampai dengan 1998 sangat fluktuatif – dimana pada tahun 1993 dapat mencapai US$ 53 juta  dan pada tahun 1996 menurun tajam menjadi US$ 40 juta  dan kembali menguat pada tahun 1998 hingga mencapai nilai US$ 51 juta. Pada hakekatnya fluktuasi harga  sangat ditentukan oleh faktor besarnya volume supply dan tingkat mutu mutiara yang dihasilkan .

 

Ditinjau dari sisi peluang  pasar, dapat dikenali bahwa permintaan pasar mutiara dunia pada tahun 1993 adalah sebesar US$ 10 milyar, sementara  Jepang sebagai pemasok terbesar mutiara di pasar dunia hanya mampu berperan sebesar US$ 4,3 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar mutiara dunia masih cukup besar dan terbuka lebar.

 

Pada kenyataannya pengembangan budidaya mutiara yang ada pada saat ini menghadapi berbagai kendala, dimana kendala utamanya adalah “tidak adanya supremasi dan kepastian hukum serta stabilitas politik”. Secara garis besar kendala yang dihadapi  adalah mencakup:

·        Peraturan Perundang-Undangan

·        Ganguan alam dan penyakit

·        Belum adanya tata ruang lahan budidaya

·        Ketrampilan sumberdaya manusia yang masih terbatas

·        Terbatasnya penguasaan teknologi

·        Permodalan

·        Gangguan keamanan dan sekaligus penjarahan

 

Usaha budidaya mutiara mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan apabila kendala-kendala yang dihadapi saat ini dapat diatasi, terutama faktor yang berkaitan dengan tidak adanya supremasi dan kepastian hukum serta gannguan keamanan.

 

c.       Kegiatan Budidaya Rumput Laut.

 

Rumput laut sebagai salah satu sumber daya ikan yang dapat dibudidayakan merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan di pulau-pulau kecil mengingat nilai ekonomi yang cukup tinggi dan manfaat yang cukup banyak. Rumput laut dapat dijadikan bahan makanan seperti agar-agar, sayuran, kue, dan menghasilkan bahan algin, keragian, dan furcelaran yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, tekstil dan lainnya.

 

Secara ekolog, komunitas rumput laut dapat memberikan banyak manfaat terhadap lingkungan sekitarnya. Komunitas ini berperan sebagai pembesaran dan perlindungan bagi jenis-jenis ikan tertentu dan merupakan makanan alami ikan-ikan dan hewan herbivore lainnya.

 

Sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2000, volume ekspor rumput laut Indonesia meningkat cukup tinggi, yakni dari 18.689 ton pada tahun 1994 meningkat menjadi 38.425 ton pada tahun 2000. Sedangkan nilai ekspornya menunjukkan perkembangan yang cukup significant, yakni dari US$ 9,03 juta pada tahun 1994 naik menjadi US$ 24,9 juta pada tahun 2000.

 

Sementara itu, dari hasil penelitian lapangan di pulau Pari menunjukkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut dapat memberikan peluang pendapatan masyarakat yang cukup menjanjikan – dimana rata-rata pendapatan petani  “pembudidaya” adalah sebesar Rp 5,1 juta per bulan.  Rata-rata setiap petani pembudidaya memiliki 4 petak dengan rata-rata produktivitas sebesar 400 kg per petak dan dapat dipanen sebanyak 6 kali dalam satu tahun.

 

Rata-rata pengeluaran untuk bibit dan persiapan usaha adalah sebesar Rp 4,8 juta untuk 4 petak dalam satu tahun  - di luar biaya tenaga yang dikeluarkan dan biasanya dilakukan oleh kelompok keluarga.

 

Produktivitas sebesar 400 kg per petak/panen  adalah merupakan kondisi yang optimal dimana kapasitas daya dukung lingkungannya tidak terlampaui oleh berbagai kegiatan budidaya yang berada di perairan. Gangguan atau penurunan produktivitas akan terjadi bila kapasitas daya dukungnya terlampaui – sehingga banyak terjangkitnya “virus”. Penurunan produktivitas dapat mencapai 100 kg per petak/panen.  Hal ini menunjukkan bahwa  kontrol terhadap lingkungan menjadi sangat penting dalam upaya pengembangan budidaya rumput laut.

 

 

IV.  KESIMPULAN

 

Bentuk promosi investasi dalam menunjang pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil perlu dibedakan dengan promosi investasi untuk sektor riil lainnya – dimana  komoditi dan kegiatan di pulau-pulau kecil perlu dikenali dari segi jenisnya,  target groupnya, segmentasi pasarnya, dan dampaknya terhadap lingkungan. Setting perencanaan yang berbasis daratan kurang mengena untuk diterapkan dalam rencana pengembangan pulau-pulau kecil.

 

Kelompok kegiatan yang dapat dikembangkan di pulau-pulau kecil sangat bervariasi, ada yang membutuhkan investasi yang cukup tinggi, seperti misalnya: pengembangan wisata bahari dan  budidaya mutiara. Namun ada juga yang dapat dikembangkan dengan skala investasi tidak terlalu besar, sehingga dapat dilakukan oleh masyakarat setempat, seperti misalnya budidaya rumput laut, budidaya ikan di keramba jaring apung, dan penangkapan ikan dengan bagan.

 

Keterbatasan daya dukung lingkungan, skala ekonomi, dan keterisolasian di pulau-pulau kecil menyebabkan perlu kehati-hatian dalam pemilihan jenis komoditi dan kegiatan yang akan dikembangkan sehingga dapat menembus pasar di tingkat nasional dan international.  Dalam hal ini pertimbangan terhadap factor competitive menjadi sangat penting. Untuk itu pengembangan sumberdaya manusia, kelembagaan, dan net-working melalui e-busines perlu dilakukan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Clark, John R., 1996. Coastal Zone Management; Handbook; Lewis Publishers, New

York.

Dahuri Rokhmin, 1998. “Pendekatan Ekonomi – Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau

Kecil Berkelanjutan”, Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia, Seminar BPP Teknologi Pulau Matahari – Kepulauan Seribu, Jakarta.

Dahuri Rokhmin,2003. ”Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan”,

Orasi Ilmiah – Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Kamaluddin, Laode.M., 2003.  Sistem Kemanan, Perencanaan dan Pengembangan Provinsi Berbasis Maritim di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Prospek Provinsi Maritim di Di Indonesia pada tanggal 17 – 18 Desember 2003 di Jakarta.

Kay Robert and Alder Jackie., 1999. Coastal Planning and Management, E & FN Spon, London.