© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                                                 Posted   29 October 2003

Makalah Kelompok 10  (Materi diskusi kelas)

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober 2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 
 
 
 
 
 
PENGEMBANGAN KOTA YANG HUMANIS DAN BERKELANJUTAN
 
 
Oleh:
 
 
 
1. Arie Chandra Setiawan  G 261030041            AGK
2. Abd. Qadim                     P 062030101     PSL
3. Eddi Husni                       C 561030091     TKL  (Ketua) 
4. Frida Purwanti              P 062030121            PSL
5. Marganof                         P 062030111     PSL
6. Nanti Kasih                      P 062030141     PSL   
7. Nolli Barri                        G 261030031    AGK
8. Seftifitri                            C 561024021     TKL
9. Tidar Hadi Purnomo         A 161020111     EPN
 
 
 
 
I. PENDAHULUAN
 
Masyarakat perkotaan, dimana sejumlah besar penduduk hidup bersama secara berdesakan, menunjukkan adanya langkah baru dan mendasar di dalam evolusi sosial manusia. Semakin meluasnya kota dan semakin tingginya angka kepadatan penduduk menciptakan berbagai permasalahan kota.  Manajemen kota sehari-hari merupakan pekerjaan yang lebih rumit, dengan sebagian besar upaya ditujukan untuk menyediakan berbagai pelayanan dasar kota yang penduduknya meningkat dengan cepat. 
 
Semakin besar ukuran kota, semakin banyak orang terkena dampak apabila penyediaan pelayanan mengalami kekurangan atau kegagalan; pengaruh kegagalan tersebut dapat menyebabkan berbagai kekacauan, saling berebut untuk mendapatkan pelayanan yang sama, dan biasanya terjadi pada daerah-daerah yang penghasilan penduduknya rendah. Angka kriminalitas rata-rata lebih tinggi di kota-kota besar. Dan jurang pemisah antara tingkat kehidupan yang kaya dan yang miskin menjadi lebih nyata.
 
Pembenahan kota yang kurang memadai atau agak dilalaikan selama ini banyak menimbulkan gejolak sosial. Kota seolah kebingunan menghadapi berbagai tekanan dan tantangan baru. Kota-kota di Indonesia tidak mempunyai cukup bangunan perkantoran, pegawai, jenis dan jumlah sekolah atau pendidikan termasuk guru-guru, perumahan penduduk, jalan (baik kualitas maupun kuantitasnya), sarana angkutan umum, air minum, listrik, telepon, pertamanan, rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, tempat hiburan, tempat pemakaman dan berbagai sarana lainnya. Kota seakan-akan belum siap menerima dan menampung perkembangan politik, cita-cita kemerdekaan, ekonomi baru seperti yang hendak dilaksanakan dalam era pembangunan dan globalisasi ini.
 
Sementara kekurangan prasarana dan sarana tersebut belum sempat dipenuhi, telah muncul pula berbagai masalah baru seperti peningkatan populasi, masalah urbanisasi, kenakalan remaja, narkotika, krisis moral dan lainnya. Dan yang paling krusial pada saat ini adalah masalah kemiskinan penduduk perkotaan, perkampungan kumuh, sanitasi dan lingkungan hidup perkotaan, sistem transportasi umum serta pencemaran air, udara dan tanah di perkotaan. Pembangunan kota yang berlangsung dengan menggusur warga jelas menimbulkan kekerasan, kecemburuan sosial dan keberingasan. Kelompok masyarakat perkotaan yang tunawisma, tunakarya dan tunaharapan, sangat mudah disulut dan terbakar emosinya tanpa kendali. Dalam jangka panjang kondisi ini akan berdampak negatif dalam wujud kekacauan suasana, rasa tidak aman penanam modal, terhambatnya lalulintas, dan ketidakpastian masa depan ekonomi perkotaan. 
 
Kehidupan di kota mempunyai dua sisi yang saling bertolak belakang, di satu pihak merupakan sorga bagi mereka yang punya uang dan kesempatan, dipihak lain merupakan neraka yang nyata dan langsung dirasakan pahit dan getir bagi mereka yang miskin dan tidak punya kesempatan. Kota merupakan tempat kemudahan hidup dan modernisasi, serta pusat kemegahan, tetapi dalam waktu dan ruang yang sama merupakan pusat kebengisan dan kepahitan hidup (Marbun;1996).
 
Dari kondisi ini, semakin hari  kualitas hidup dan kehidupan di kota menjadi terdegradasi, kenyamanan dan kemanan menjadi berkurang. Pembangunan kota di masa depan pasti akan lebih mahal dan lebih sulit lagi. Apakah para pemimpin kota dan masyarakat pada umumnya telah siap menghadapi tantangan masalah kota yang semakin berat ? 
 
Sudah sejak dahulu berbagai ramalan, prediksi dan antisipasi dilakukan terhadap perkembangan kota (polis). Mulai dari awal terbentuknya kota sampai menjadi metropolis (kota raya), megalopolis (kota mega), ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati melakukan pengelolaan akan berakhir dengan necropolis (kota mayat).
 
Penanganan permasalahan kota merupakan tugas kita semua, karena menyangkut kepentingan kita bersama, dan untuk negara berkembang seperti Indonesia, jumlah kota cenderung bertambah dan semakin membesar dari hari ke hari dengan berbagai persoalannya.  Dimasa depan, kita semua tentunya mengharapkan kota-kota di Indonesia baik yang telah berkembang maupun yang sedang berkembang tidak terjebak dalam kekalutan, kesengsaraan, kemiskinan dan slum, akan tetapi kota-kota di Indonesia merupakan kota impian yang penghuninya dapat hidup aman, nyaman, damai, manusiawi, lestari dan berkelanjutan. Dalam makalah ini akan di bahas falsafah tentang kota yang manusiawi (humanopolis) dan berkelanjutan (sustainable).
 
 
II. DEFINISI KOTA, KLASIFIKASI KOTA DAN KOTA BERKELANJUTAN
 
2.1. Definisi Kota
 
Kota adalah kelompok orang-orang dalam jumlah tertentu, hidup dan bertempat tinggal bersama dalam satu wilayah geografis tertentu, berpola hubungan rasional, ekonomi dan individualistis.
 
Memang diakui definisi tentang kota tidak selalu tepat, dan tergantung dari fokus pendekatan. Pendekatan geografis-demografis melihat kota sebagai tempat pemusatan penduduk, sedangkan pendekatan ekonomis melihat kota sebagai pusat pertemuan lalu lintas ekonomi dan perdagangan dan kegiatan industri serta tempat perputaran uang yang bergerak dengan cepat dan dalam volume yang tinggi. 
 
Fungsi dasar kota secara ekonomi adalah untuk menciptakan penghasilan yang cukup melalui produksi barang dan jasa, untuk mendukung lehidupan penduduknya dan untuk keberlansungan kota itu sendiri. Kemampuan suatu kota menyediakan lapangan kerja dan peluang usaha, maka akan terbentuk multiplier effect barang dan jasa yang dibeli dengan upah dan gaji yang didapatkan oleh para pekerja di kota. Pendekatan dari segi sosio-antropologis melihat hubungan antar manusia yang tinggal di kota sudah renggang dan heterogen, egois dan tidak lagi seperti keadaan masyarakat yang terdapat di desa yang biasanya masih akrab dan homogen. 
 
Jika dilihat secara fisik, kota adalah area terbangun yang terletak saling berdekatan, meluas dari pusatnya hingga ke daerah pinggiran, yang terdiri dari bangunan-bangunan permukiman, komersial, industri, pemerintahan, prasarana transportasi, dan lain-lain.
 
2.2. Klasifikasi dan Fungsi Kota 
 
Doxiadis dalam Jayadinata (1992) mengemukakan mengenai pembagian kota berdasarkan jumlah penduduk, sebagai berikut :
 
 
Tabel 1. Perkotaan Menurut Jumlah Penduduk Oleh Doxiadis
 
Kelompok
Jumlah Penduduk
1.
Dwelling group
40
2.
Small neighborhood  
250
3.
Neighborhood
1.500
4.
Small town
9.000
5.
Town
50.000
6.
Large city
300.000
7.
Metropolis
2.000.000
8.
Conurbation
14.000.000
9.
Megalopolis
100.000.000
10.
Urban region
700.000.000
11.
Urban continent
5.000.000.000
12. 
Ecumenepolis
30.000.000.000
 
 
Pembagian kota juga dilakukan oleh beberapa negara untuk menentukan jenis kota. Di Jepang batasan kota adalah jumlah penduduk di atas 30.000 jiwa, di negeri Belanda 20.000, untuk India, Belgia dan Yunani angka 5.000 menjadi batasan kota. 
 
National Urban Development Strategy Project (NUDS) pada tahun 1990 membuat klasifikasi 384 kota di seluruh Indonesia yang berpenduduk 10.000 ke atas, sehingga pada tahun tersebut dihasilkan bahwa hanya terdapat 6 kota metropolitan dengan penduduk 1 juta atau lebih, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang  dan Semarang, selanjutnya berupa kota besar, sedang dan kecil. Penggunaan jumlah penduduk lebih bertujuan untuk membedakan antara apa yang disebut kota dan apa yang disebut desa. Pembagian ini tidak menunjukan kepadatan, perbedaan budaya, dan perbedaan pemanfaatan teknologi. 
 
Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Kota harus berkembang terus secara berkelanjutan, melalui saling kebergantungan dan saling mendukung antara elemen alam dan elemen buatan manusia. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang sama.
 
Kota merupakan sistem dari beragam sarana fisik dan non fisik yang diadakan oleh dan untuk warga masyarakat, serta untuk merangsang dan memfasilitasi aktivitas, serta kreatifitas warga, dalam mewujudkan cita-cita politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidupnya. Kota membuka dan memberi peluang yang sama bagi semua lapisan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang sesuai dengan cita-citanya secara adil dan demokratis.
 
2.3. Kota Berkelanjutan
 
Definisi kota berkelanjutan mengadopsi definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi secara sukses dalam pertarungan ekonomi global dan mampu pula mempertahankan vitalitas budaya serta keserasian lingkungan. Keberlanjutan pada hakikatnya adalah suatu etik, suatu perangkat prinsip-prinsip, dan pandangan ke masa depan. Konsep kota yang berkelanjutan merupakan konsep global yang kuat yang diekspresikan dan diaktualisasikan secara lokal.(Budihardjo & Sujarto;1999).
 
Memang kota-kota besar di segenap pelosok tanah air Indonesia tidak akan pernah sepi dari perbagai permasalahan, baik yang menyangkut aspek tata-ruang, transportasi dan infrastruktur (fisik); aspek-aspek yang berkaitan dengan lapangan kerja, kesenjangan, ketidakadilan dan kecemburuan (sosial-ekonomi-budaya), maupun aspek-aspek yang berkaitan dengan banjir, kekeringan, kepadatan, kesumpekan dan pencemaran (lingkungan).  Hall (1991) mengatakan bahwa bila kecenderungan perkembangan dan pembangunan kota yang merusak sistem daya dukung lingkungan dan komunitas warganya, bila dibiarkan berlarut-larut tanpa pengendalian yang ketat dan perbaikan, maka kota-kota tersebut tidak memiliki masa depan.
 
Dalam masa  depan, kota-kota di tanah air seyogyanya harus berpegang pada kaidah-kaidah panca faktor dan berskala global, yaitu employment atau lapangan kerja, environment atau keseimbangan lingkungan/ekologi, equity atau pemerataan/keadilan, engagement atau peranserta masyarakat maupun swasta, dan tersedia energy yang terbarukan.
 
Kota yang berkelanjutan mesti memiliki ekonomi yang kuat, lingkungan yang serasi, tingkat sosial yang relatif setara dan penuh keadilan, mencegah disparitas dan ekslusivisme, kadar peran serta masyarakat yang tinggi, dan konservasi energi yang terkendali dengan baik. 
 
Keberlanjutan suatu kota menghubungkan kesehatan budaya, sosial, ekonomi, politik dan lingkungan jangka panjang. Keberlanjutan berarti memuaskan kebutuhan kita sekarang tanpa mengorbankan kepentingan dan kemampuan dari generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.             
 
 
III. PERKEMBANGAN KOTA dan PERKIRAAN KOTA MASA DEPAN
 
3.1. Perkembangan Kota
 
Dalam sejarah kehidupan manusia, kota atau embrio kota dimulai ketika warga masyarakat mulai mengakhiri hidup mengembara dan mulai menetap pada suatu tempat tertentu. Dalam uraian sejarah perkotaan, tercatat bahwa kota mulai berkembang pada kira-kira 4000  tahun SM (sebelum masehi) di Mesopotamia, di muara sungai Tigris dan Eufrat. Kota yang mereka bangun berupa benteng dan tempat pemasaran bagi produk pertanian dari daerah sekitarnya. Salah satu sisa kota tua yang paling awal adalah Babilon (dekat Kota Bagdad sekarang). Sedangkan kota tertua yang sampai sekarang terus bereksistensi ialah kota Damaskus di Syria. Selain itu terdapat juga di Mesir, India dan Cina, Amerika Tengah dan Selatan. Selanjutnya kota-kota di Yunani dan Romawi berkembang yang direncanakan oleh para arsitek, dibangun 3 abad SM. (Marbun;1994-9).
 
Sedangkan kota-kota di tanah air berkembang awalnya di daerah pesisir dan pinggiran sungai. Sebelum kedatangan kolonialisme Portugis dan Belanda,  di Indonesia hampir tidak ditemukan kota atau bekas kota yang berarti. Yang ada ialah kota pantai atau bandar sebagai pusat lalu lintas perdagangan terbatas seperti Palembang, Barus di pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya dan beberapa kota bekas kerajaan di Jawa. Selanjutnya kota-kota di Indonesia berkembang dengan pengaruh kolonial Belanda, yang pada waktu itu untuk kepentingan Pemerintah Kolonila Belanda.
 
Gist dan Fava (1996) menunjukkan bahwa kehadiran kota dalam kehidupan manusia disebabkan oleh adanya fungsi-fungsi pelayanannya. Kota, sebagai suatu satuan kehidupan memiliki setidak-tidaknya satu fungsi yang dominan yang ditunjang oleh fungsi-fungsi lainnya yang kurang signifikan. Semakin besar dan kompleksnya kota maka makin banyak fungsi dominannya. Pada prinsipnya, fungsi-fungsi yang mendasari keberadaan, perkembangan dan kelestarian kehidupan kota serta kehidupan warga perdesaan yang berbatasan dengan kota mencakup: (1) perdagangan dan bisnis;(2) manufactur dan produksi; (3) politik dan administrasi pemerintahan; (4) pendidikan dan kebudayaan; (5) hiburan, rekreasi serta wisata dan (6) militer.
 
Cakupan fungsi kota di atas, menunjukkan bahwa proses pertumbuhan kota tidak hanya ditandai oleh peningkatan industrialisasi, pembangunan berbagai kompleks perumahan dan permukiman baru, kemunculan pusat perdagangan barang dan jasa, perbankan dan perkantoran, pendidikan dan rekreasi disamping peningkatan sarana transportasi, tetapi juga ditandai oleh adanya perluasan kota ke daerah sekitarnya baik secara ekonomis dan kultural maupun secara administrasi.
 
Hauser dkk (1985) mengatakan bahwa pertumbuhan kota yang demikian pesatnya tidak hanya mengundang migrasi besar-besaran, baik pendatang yang memiliki ketrampilan dan keahlian maupun hanya mengandalkan tenaga dari perdesaan dan kota-kota kecil, sehingga penduduk kota-kota besar meningkat secara cepat, tetapi juga menuntut tersedianya sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih banyak dan cepat serta pelayanan publik yang lebih besar baik jumlah maupun kualitasnya.
 
Pertumbuhan kota yang demikian ini, menjadikan kota berkembang sebagai sentral segala kegiatan perekonomian dan perdagangan, industri, politik dan pemerintahan, pendidikan dan rekreasi, keuangan dan jasa serta informasi dan budaya. Tidak heran jika kemudian  kota-kota besar menjadi magnet raksasa yang mampu menyedot sumberdaya sosial, budaya dan ekonomi serta politik, tidak hanya dari daerah sekitarnya namun dari daerah lain atau bahkan antar pulau.
 
3.2. Prakiraan  perkembangan  kota masa depan
 
Prakiraan tentang anatomi kota masa depan memang sulit dilakukan, mengingat begitu banyaknya aktor-aktor pembangunan yang terlibat. Dilandasi asumsi bahwa salah satu kelompok aktor tertentu akan lebih dominan ketimbang yang lain, Hall dalam Sudjarto (1999) menguraikan  beberapa kemungkinan alternatif  kota masa depan sebagai berikut: 
(1). Bila yang mendominasi adalah rekayasawan dan teknolog, maka yang tercipta adalah technopolis, yaitu kota modern yang mengkaitkan dengan perkembangan ekonomi. Menurut Gibson, teknopolis itu dapat juga disebut pusat teknologi atau kompleks berorientasi teknologi. Wujudnya dapat berupa kota yang sarat dengan gedung jangkung, kompak dan berorientasi kecanggihan teknologi; 
(2). Manakala yang berperan adalah pengusaha atau sektor swasta yang muncul adalah profitopolis. Wujudnya berupa kota yang sangat efektif dan efisien, biasanya dengan pola papan catur, dan potongan atau profil kota mirip piramid. Penataan kota seperti itu dilandasi perhitungan ekonomi atau analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) yang sangat cermat, namun mengabaikan aspek sosial budaya; 
(3). Bila penentu kebijakan atau pengelolaan perkotaan, dalam hal ini pimpinan pemerintah daerah, seperti Gubernur, Bupati atau Walikota, yang mendominasi pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pembangunan kota, yang akan tercipta adalah marxopolis. Kota-kota akan tampak seragam, serba rapi, teratur, menyiratkan kedisiplinan, namun akan terlihat kaku, monoton, tidak ada keberagaman atau variasi. Persepsi dan aspirasi rakyat yang memberagam tidak diserap apalagi diwadahi; 
(4). Kalau yang berperan adalah dari kalangan ilmuwan dan pakar lingkungan, maka yang akan tercipta adalah ecopolis. Lingkungan binaan, termasuk karya arsitekturnya akan menyatu, selaras, serasi dan seimbang dengan lingkungan alamnya. Konservasi energi dan pelestarian keseimbangan ekologis menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan kota; 
(5). Jika yang berperan dalam menentukan wajah kota adalah segenap partisipasi masyarakatnya, maka yang tercipta adalah humanopolis. Keterlibatan warga kota dalam pembangunan kota yang humanis tidak sekadar terbatas pada pemberian informasi, penyelenggaraan diskusi dan konsultasi, tetapi pada tahap citizen power. Rakyatlah yang lebih berperan dalam menentukan wajah kota masa depan.
 
Tentunya kota-kota yang kita inginkan untuk berkembang di Indonesia di masa depan tidak pada salah satu jenis saja. Bahkan tidak juga terbatas pada sekadar pilihan lima bentuk seperti kota-kota di atas, namun diharapkan berkembang dengan penuh variasi atau keberagaman, sesuai dengan potensi dan peluang dan masalah atau kendala yang dihadapi. Kota yang berkelanjutan adalah kota yang merupakan perpaduan antara ecopolis, humanopolis dan technopolis.
 
 
IV.  PARADIGMA PERKEMBANGAN KOTA MASA DEPAN
 
4.1. Kota yang Humanis (Humanopolis)
 
Dewasa ini semakin banyak kota-kota besar Indonesia tumbuh pesat sebagai kota yang tidak manusiawi. Bangunan-bangunan baru yang mencakar langit dengan teknologi canggih, bermunculan tanpa mempedulikan terciptanya ruang sosial, ruang untuk publik atau komunitas. Masing-masing hanya memikirkan kepentingannya  sendiri. 
 
Pembangunan  kota yang sepotong-potong tanpa koordinasi menyeluruh, jika tidak dibenahi akan menyengsarakan penduduknya. Menurut Budiharjo (1993) paling tidak ada empat penyebab pokok dalam terciptanya keberantakan wajah dan tata ruang kota-kota di Indonesia, yaitu:
1.      Adanya kesenjangan antara perencanaan kota yang dua dimensi dengan perancangan arsitektur kota yang tiga dimensi . Perancangan kota di Indonesia masih merupakan barang baru dan aneh di Indonesia.
2.      Membengkaknya pengaruh kendaraan bermotor (khususnya mobil pribadi) dalam jaringan kegiatan perkotaan. Pejalan kaki dan pelanggan kendaraan umum masih dilihat sebagai warga negara kelas dua.
3.      Curahan perhatian yang terlalu ditekankan pada aspek keuntungan ekonomis dan kecanggihan teknologis dengan melecehkan manfaat sosial atau kepentingan masyarakat banyak, khususnya pada pembangunan fasilitas komersial oleh pihak swasta. 
4.      Lemahnya aparat dan mekanisme kontrol pembangunan. Atau memang sengaja dibikin tidak jelas aturan permainan dan sangsinya.
 
Selanjutnya kota-kota modern yang berorientasi pada pertumbuhan industri manufaktur, jasa dan informasi, cenderung menampilkan jati dirinya sebagai “teknologis”, yaitu kota yang keras, mendewakan teknologi, memerangi alam dan mengerdilkan manusia.
 
Menyadari gejala perkotaan yang meruyak semacam itu, Peter Hall dalam Budiharjo (1993) mengajukan perencanaan yang “humanis”, yaitu kota yang lembut dan manusiawi, dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antara manusia dan lingkungan binaanya secara lebih akrab.
 
Penciptaan ruang perkotaan yang bersifat publik, dengan jaringan pedestrian atau pejalan kaki yang terstruktur, seyogyanya lebih di galakkan. Bangunan-bangunan tinggi yang cerdas dengan segenap perangkat mekanikal dan elektrikalnya,  perlu dimanusiawikan terutama pada lantai-lantai bagian bawahnya dengan peralatan terbuka ataupun “pedestrian mall”  yang dilengkapi dengan perabot seperti bangku, patung, lampu hias, jam, telepon umum, kaki lima, air mancur, pepohonan atau taman buatan dengan tanaman hidup.
Ruang-ruang perkotaan yang pribadi, sepatutnya saling dihubungkan dengan ruang perkotaan yang bersifat sosial. Ruang sosial itulah yang akan menjadi perekat bagi tumbuhnya rasa kebersamaan dan kekentalan komunitas perkotaan.
 
Konteks sejarah dan budaya lokal yang mengejawantah dalam bentuk tata ruang, ornamen dan detail yang unik sesungguhnya akan memberikan pengayaan nilai dan makna pada kota-kota Indonesia sebagai perwujudan kota yang manusiawi atau humanopolis.
 
 
4.2. Kearifan Ekopolis
 
Ecopolis adalah upaya mensenyawakan pola pemukiman penduduk ke dalam pola kehidupan alam, sehingga kota-kota itu akan menjadi tempat pelestarian daya dukung lingkungan dan sekaligus peningkatan aktifitas ekonomi. Ecopolis menganut paham kearifan ekologis.
 
Lahan-lahan yang terletak di daerah pantai, hutan bakau, rawa-rawa, tambak, daerah resapan air, dan kawasan lindung semacam itu merupakan tempat-tempat yang harus dihindari bagi pembangunan fisik, dengan maksud untuk mempertahankan daur hidrologi dan daur kehidupan. 
 
Manakala kebanyakan orang merusak kehidupan di kota, dengan cara memadati lahannya dengan bangunan masif dan perkerasan yang kedap air, ecopolis akan memperbaiki sistem kehidupan dengan bahan yang porus, menanam pepohonan, dan mendaur ulang air. Jika secara tradisional strategi perencanaan kota dikendalikan secara top-down, perkembangan kota ekologi berawal dari grass roots. Partisipasi masyarakat menjadi bagian integral dari program kota ekologi.
 
Sementara orang sibuk mencari privacy, ecopolis mencari kebersamaan yang kental, mendistribusikan penduduk ke daerah pinggir (suburb), sehingga menjadi lebih seimbang dan lebih berorientasi pada masyarakat. Konsep ecopolis membiarkan lebih banyak lahan kembali ke fungsi alaminya, dengan membuat kebun dan taman kota yang luas sebagai penangkal polusi udara, debu, bising dan angin, sekaligus sebagai tempat rekreasi gratis bagi penduduknya. Alam menjadi bagian integral dari sebuat kota.
 
4.3. Green Plan
 
 “Green plan” adalah konsep kota yang mencanangkan tujuan pokok yang cukup ambisius, yaitu: “to find an environmentally sound, economically productive, behaviorally acceptable and systematically responsible way to achieve sustainable development”. Dengan kata lain, tujuan pokok ini berarti mencari suatu kehidupan yang aman dan nyaman di dalam konteks daya dukung ekosistem yang seimbang, dengan suatu keyakinan, bahwa pertumbuhan yang dicapai hari ini tidaklah dengan mengorbankan kesempatan yang dapat di raih untuk masa nanti.
 
Bentuk-bentuk kegiatan yang mendukung pembangunan kota yang bersahabat dengan lingkungan ini, misalnya penghijauan kota, pembentukan desa ekologi (eco-villages), pemukiman dengan sistem pendaurulangan limbah dan pengelolaan sampah, penggunaan energi matahari, penggunaan bahan bangunan yang dapat didaur ulang, konservasi lahan kritis, teknologi bersih limbah, perlindungan ekosistem, pola pemukiman dengan pedestrian dan sepedanisasi, dan lain sebagainya.
 
Secara ideal, suatu kota dapat mengubah masalah-masalah laten yang dihadapinya menjadi peluang dan potensi untuk menciptakan sumber daya yang baru. Ini adalah salah satu bentuk ecopolis, yang menunjukkan kepada kearifan dari “acting locally, thinking globally”, yang sekaligus juga berarti tidak hanya memerlukan kecerdikan, tetapi juga kearifan. Konsep ini mengisyaratkan pendekatan yang komprehensif dan multidisiplin, dengan manajemen lingkungan yang profesional.
 
4.4. Menuju Kota yang berkelanjutan
 
1. Tata Ruang Kota dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
 
Penataan ruang kota yang baik dapat memberikan berbagai kenyamanan bagi penghuninya. Hidup yang bahagia, sehat serta mampu mengembangkan diri secara optimal merupakan bagian dari hasil kenyamanan tersebut. Dalam perwujudannya, kenyamanan tersebut dapat ditandai dengan: a. Tempat untuk hidup dan mencari penghidupan; b. Aksesibiltas dan transportasi; c. Kondisi lingkungan; d. Hubungan antara lingkungan fisik dan sosial; e. Privacy and neighborlines; f. Kelenturan (flexibility).
 
Barangkali tidak berlebihan bila masalah kota dilukiskan sebagai sangat berkaitan dengan soal ruang. Surbakti (1996) mengemukakan alasan-alannya; Pertama, karena kota sebagai unit politik yang relatif otonom memiliki lingkup ruang lebih terbatas dan penduduknya padat; Kedua, karena hampir semua masalah kota mempunyai dimensi ruang. Berbagai konflik dan perebutan lahan di kota-kota besar kesemuanya berdimensi ruang.
 
Demikian juga masalah sosial, seperti ketidak merataan pelayanan publik, sektor ekonomi informal, kepadatan penduduk, permukiman kumuh dan liar, segregasi pemukiman menurut etnik dan atau ekonomi, kriminalitas, lokalisasi pelacuran, kemacetan lalulintas, pembuangan sampah dan kebersihan, dan lain-lain sangat kental berdimensi ruang. Selanjutnya, dalam upaya mewujudkan gagasan tentang pembangunan kota yang berkelanjutan, diperlukan peran serta dari segenap lapisan masyarakat dalam penyusunan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. 
 
Penataan ruang kota sungguh rumit dan pelik karena mau tidak mau menyangkut benturan antara pendekatan-pendekatan teknokratik, komersial dan humanis. Pernyataan yang terus terngiang adalah : untuk melayani siapa sebetulnya tata ruang kota dan lingkungan hidup dan bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk pengelolaannya.
Perencanaan Tata Ruang Kota harus dapat mengakomodasi perkembangan masyarakatnya. Penduduk selalu berubah dan bergerak, seringkali susah ditebak. Karena itu pola tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku tidak bisa tanggap terhadap perubahan. Tata Ruang kota terentang antara homogenitas yang kaku seragam dan heterogenitas yang kenyal memberagam. Dalam hal ini perencana tata ruang dan pengelola lingkungan hidup mesti memiliki tingkat kepekaan sosio-kultural yang tinggi. Tanpa itu, maka kota-kota di Indonesia akan menjadi kota yang serba seragam, tidak memiliki jati diri, kepribadian, kekhasan, atau karakter yang spesifik. Keseragaman kota akan sangat membosankan. Kota yang berkelanjutan, ibarat mosaik yang penuh keberagaman, tidak pernah tunggal atau seragam.
 
Lebih lanjut Eko Budihardjo dan Joko Sujarto (1999) memberikan usulan atau rekomendasi untuk peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup dimasa mendatang agar dapat berkelanjutan, sebagai berikut :
 
1.      Agar pengelolaan dan tata ruang kota tidak lagi sekedar dilihat sebagai management of growth atau management of changes melainkan kebih sebagai management of conflicts. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat incremental.
2.      Mekanisme development control yang ketat agar ditegakkan, lengkap dengan sanksi (dis-insentif) bagi yang melanggar dan bonus (insentif) bagi mereka yang taat peraturan.
3.      Penataan ruang kota secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral sudah dilakukan secara konsekwen dan berkesinambungan.
4.      Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan para profesional khususnya dibidang tata ruang kota dan lingkungan hiduo seyogyanya lebih ditingkatkan melalui forum-forum pertemuan/diskusi/cerama/publikasi, penataran dan pelatihan baik secara formal maupun informal.
5.      Dalam setiap perencanaan tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan hidup agar diperhatikan perihal kekayaan khasanah lingkungan alam termasuk iklim tropis yang bersahabat, yang selain akan memberikan kenyamanan biologis tersendiri juga akan lebih menghemat energi (BBM atau Listrik) yang sekarang sudah semakin mahal.
6.      Peran serta penduduk dan kemitraan dengan baik swasta agar lebih digalakkan untuk bisa memecahkan masalah tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan hidup dengan prinsip win-win solution, tanpa ada yang merasa terlalu dirugikan.
7.      Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pada kepentingan rakyat khususnya yang masih dalam kondisi ekonomi yang lemah, agar dijabarkan dalam rencana dan tindakan nyata, tidak sekadar berhenti sebagai slogan semata-mata.
 
2. Kota yang demokratis
 
Kota yang berkelanjutan mesti berlandaskan prinsip pemerataan, mewadahi aneka ragam kegiatan, baik yang tradisional maupun yang modern, baik yang bergerak di sektor formal maupun informal yang, berarti harus demokratis.
 
Bila diamati situasi dan kondisi kota-kota besar di Indonesia, kita disuguhi berbagai paradoks perkotaan. Yang paling kasat mata dan menonjol adalah dalam bidang perumahan dan sistem transportasi perkotaan. Pembangunan apartemen dan kondominium mewah merebak dengan gegap gempita, mewadahi kepentingan mereka yang justru kebanyakan sudah memilik rumah pribadi, dilain pihak pembangunan Rumah Sederhana dan Rumah Susun murah bagi rakyat yang membutuhkan perumahan tersendat-sendat dan menghadapi berbagai kendala. Kaum berpunya yang sudah mapan menempati lokasi strategi yang sarana dan prasarananya serba lengkap, sedangkan kaum papa yang masih rawan terperas atau terlempar jauh ke pinggiran dengan sarana dan prasarana yang serba marjinal dan dibawah standar kelayakan.
 
Sistem transportasi perkotaannya pun tidak jauh berbeda, terkesan memanjakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum massal. Jalan tol, arteri, jalan layang, simpang susun dan semacamnya dibangun terus untuk kepentingan kalangan yang mempunyai mobil pribadi, sedangkan Mass rapid transit (MRT) tetap hanya menjadi perbincangan hangat diseluruh kota-kota besar di Indonesia, sehingga tidak heran kemacetan lalu lintas juga terjadi di hampir semua sudut kota, tidak hanya kota besar namun juga sudah merambah ke kota-kota sedang dan kota kecil.
 
Dalam bidang perdagangan, kita dapat melihat hampir diseluruh pelosok tanah air menjamurnya pembangunan plaza, pusat pertokoan, mall bahkan super mall yang diikuti oleh berkurangnya toko-toko kecil atau warung-warung pojok dan pasar tradisional. Dominasi sektor formal terhadap sektor informal sungguh terasa. Bangunan baru yang  serba modern bermunculan dengan terlebih dahulu membongkar bangunan kuno yang bersejarah. 
 
Salah satu tugas para pemikir, perencana, dan pengelola atau penentu kebijakan pembangunan perkotaan adalah mengubah kecenderungan yang tidak menguntungkan semacam itu agar kota-kota Indonesia tampil lebih demokratis, lebih mengakomodasi kepentingan mayoritas warga kotanya.
 
Selanjutnya untuk memecahkan krisis persoalan kota McDonald (1996) merekomendasikan melalui gagasan urbanisme baru yang berupa beberapa butir sebagai berikut : 
 
1)       Setiap warga mesti diberi kesempatan ikut bicara tentang nasib dan masa depan kotanya. Kait mengait antara city dengan citizen wajib diakomodasi dengan baik. Tidak ada gunanya kota yang nampak indah berseri, bila sebagian besar warganya tetap sengsara.
2)      Keberagaman mosaik masyarakat perkotaan harus diwadahi dan tercermin dalam tata ruangnya. Kota selalu  bersifat jamak (plural), tidak pernah tunggal (singular). Rakyat mesti diberi pilihan alternatif secara terbuka, tanpa diskriminasi atau dikotomi seperti sektor formal versus informal; 
3)      Pusat-pusat lingkungan yang sekaligus merupakan simpul jasa transportasi (umum) seyogyanya masih dalam jarak jangkau jalan kaki, dengan jalan-jalan yang ramping (skinny streets). Paradigma kota berwawasan automobilitas mesti diubah menjadi kota berwawasan aksesibilitas. Pejalan kaki dan pengendara sepeda wajib dilindungi, tidak dikorbankan demi kenyamanan pengendara mobil; 
4)      Perlu digalakkan pelestarian taman atau pengadaan ruang-ruang terbuka untuk umum, sebagai wahana kontak sosial, dalam berbagai skala, mulai dari skala RT, RW sampai skala kota. Taman mesti selalu dilihat sebagai sorga perkotaan, seperti yang disebutkan oleh Tom Turner (1996). Pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan ekologi ibarat dua sisi mata uang yang sama; 
5)      Perencanaan tata lingkungan perumahan dan permukiman agar diarahkan untuk mendukung terciptanya rasa tempat dan semangat komunitas yang akan menumbuhkan rasa memiliki dan tekad untuk memelihara lingkungan karena solidaritas sosial yang tinggi; 
6)      Sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, kota memang membutuhkan peran serta aktif dari kalangan swasta, namun sepatutnya di arahkan dan dikendalikan dengan baik oleh manajer pembangunan kota; 
7)      Pola-pola advokasi untuk menjembatani perbedaan kepentingan dan untuk menyelesaikan konflik seyogyanya mulai dicoba untuk diterapkan, dengan orientasi pada kesejahteraan mayoritas kaum papa.
 
V. Penutup
               
Dalam perkembangan kota-kota modern termasuk kota-kota besar di Indonesia, terlihat kesan bahwa kepedulian terhadap pelestarian keseimbangan alam kian menipis. Slogan yang dikumandangkan pun, yaitu–bersih, manusiawi, berwibawa dan kota pelayanan- tampak lebih menekankan pada aspek keindahan kota dan fungsinya. 
 
Kota sebagai cerminan peradaban manusia merupakan senyawa kontekstual dari lingkungan fisik (alam maupun buatan), fungsi pelayanan dan jasa, estetika, dan implikasi politik-sosial-ekonomi-budaya-pertahanan-keamanan, dengan tujuan akhir berupa peningkatan kesejahteraan terhadap warganya.
 
Kota yang baik harus memakai kaidah sapta-E, yaitu; Ecology,Economy, Energy, Employment, Equity, Ethic dan Estetic. Yang lebih disoroti dalam makalah ini adalah E yang pertama, yaitu Ecology. Dengan harapan kota-kota masa depan di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan konsep kota-kota yang humanis dan berkelanjutan, seperti yang terjadi di berbagai negara maju dewasa ini yang telah mengembangkan gerakan kembali ke alam, antara lain melalui upaya mengembangkan desa dan kota yang menyatu dengan alam, yang disebut dengan ecovillage dan ecopolis.
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Adiseno.2003.Pemusatan Kawasan Gedung Tinggi di Jakarta.
 
Branch,.C.Melville.1985.Comprehensive City Planning:Introduction and Explanation.The Planners Press of the American Planning Association. Chicago. USA.
 
Davis, Kingsey. 1965. The Urbanization of the Human Population”, Scientific American.
 
Budiharjo,Eko dan Hardohubojo, Sudanti.1993. Kota berwawasan Lingkungan.Penerbit Alumni, Bandung.
 
Budiharjo, Eko dan Sujarto, Joko (1999). Kota Berkelanjutan.Penerbit Alumni. Bandung.
 
Jayadinata, Johara T.1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan wilayah. ITB – Bandung.
 
Komaruddin. 1999.Pembangunan Perkotaaan Berwawasan Lingkungan.Dirjen Ciptakarya.Departemen Pekerjaan Umum dan BPPT. Jakarta
 
Marbun,B.N,.SH.1994. Kota Indonesia Masa Depan: Masalah dan prospek.Erlangga.Jakarta.
 
Surbakti,Ramlan. 1995. Ekonomi Politik Pertumbuhan Kota. Majalah Prisma N0 1-1995, hal 51 - 69. LP3ES.
 
Sutomo,Hedi.1996.Jakarta sebagai kota “Tertutup”, dampaknya terhadap Kota yang lebih kecil.
 
Suyanto, Bagong.1996.Pembangunan Kota dan Sengketa Tanah; Study kasus kota Surabaya. Majalah Prisma N0 9 – September 1996. Hal 37 – 49. LP3ES
 
Tjahjati,.Budhy.SS. dan Kusbiantoro,.BS.1997. Bunga Rampai Perencanaan pembangunan di Indonesia; Mengenang Prof.Dr.Sugijanto Soegijoko.Grasindo.Jakarta.