© 2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted
26 September 2003
Makalah Kelompok 13
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
September 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Pembangunan
Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat dan Tantangannya
(Studi kasus Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai)
Oleh:
A Munisa G361030071
Abd Hafiz Olii C561030081
Abd Kadir Palaloang A262030051
Erniwati E061030091
Golar E061030081
Gufran Darma Dirawan P062030071
Marini Susanti Hamidun P062030181
Ruqiah Ganda Putri Panjaitan G361030051
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejak diberlakukannya undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
telah terjadi banyak perubahan pola kebijakan daerah terkait dengan
pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Hal
ini dimungkinkan karena SDA merupakan modal penting dalam menggerakkan
pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, propinsi maupun kabupaten.
Oleh karenanya, aspek pemanfaatannya merupakan suatu yang sangat strategis
dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusinya dalam pembentukan
modal pembangunan.
Pengelolaan SDA dalam prespektif otonomi
daerah (Otda) pada dasarnya adalah power
sharing kewenangan pengelolaan SDA
antara pemerintah pusat dengan propinsi dan kabupaten/kota. Terkait dengan sistem pembagian inilah yang
memiliki potensi timbulnya masalah.
Masalah termaktub diantaranya:
1.
Timbulnya
daerah miskin dan kaya, disebabkan tidak meratanya penyebaran SDA di Indonesia, sehingga akan
terdapat daerah yang kaya dan miskin potensi SDA.
2.
Konflik
pemanfaatan sumberdaya lintas kabupaten/kota disebabkan pendekatan administratif yang
digunakan, padahal ditinjau aspek teori ekosistem SDA tidak mengenal batas
administratif.
3.
Konflik pemanfaatan sumberdaya ”open
access”, misalnya sumberdaya laut menimbulkan conflic of interst, diantara masyarakat pengguna.
4.
Terjadinya Pengurasan SDA. Untuk mengejar
ketertinggalannya, suatu kabupaten/kota akan mengeksploitasi SDA secara
besar-besaran untuk mendapatkan dana pembangunan, mengorbankan kepentingan
jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek.
5.
Potensi
sumberdaya manusia
yang belum merata sehingga mempengaruhi produktivitas, efektifitas, dan
efisiensi pemanfaatan SDA.
Kesalahan, kekurangcermatan atau
ketidakakuratan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengeloloaan SDA,
memberikan dampak negatif yang
signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan mahluk hidup di
dalamnya (termasuk masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara
langsung terhadap SDA tersebut. Bila
kondisi ini tetap dipertahankan, maka laju degradasi SDA akan semakin cepat.
Saat ini telah banyak model pendekatan
pengelolaan SDA. Salah satunya adalah pendekatan pengelolaan yang
berbasis masyarakat (Community-based
natural resources management/CBNRM).
CBNRM merupakan salah satu
alternatif bagi pengelolaan SDA yang selama ini tidak berpihak kepada
masyarakat atau pun kepada pelestarian SDA.
Selama ini, kebijakan pengelolaan SDA
dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada
pengusaha besar, amat jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah nampaknya kurang percaya bahwa rakyat mampu mengelola
sumberdaya alam yang ada di lingkungannya.
(Sallatang dalam Golar, 2002)
Makalah ini mencoba mengidentifikasi
situasi masalah (symtom) yang
menyebabkan munculnya conflic of intrest dalam
pola pengelolaan SDA (hutan mangrove), melalui studi kasus pemanfaatan hutan
mangrove di Desa Tongke-tongke kabupaten Sinjai sebagai upaya dalam mencari
rumusan masalah yang tepat masalah, guna pemecahannya dikemudian hari.
B. Beberapa Tinjauan Teoritis
1. Mangrove dan Ekosistemnya
Menurut Steenis
(1978), yang dimaksud dengan “mangrove” adalah vegetasi hutan yang tumbuh di
antara garis pasang surut. Nybakken
(1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dalam perairan asin. Hutan mangrove
disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest”
(hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang
karakteristiknya terdapat di daerah tropika (Saenger, 1983)
Soerianegara (1990)
dan Irwan (1980) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di
daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang
dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3)
tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai
struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia
sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora sp), lacang (Bruguiera
sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain.
Dahuri dkk (1996)
menyatakan, terdapat tiga parameter lingkungan yang menentukan kelangsungan
hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: (1) suplai air tawar dan salinitas,
dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas)
mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove.
Ketersediaan air tawar tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari sistem
sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang
surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. (2) Pasokan nutrien: pasokan
nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling
terkait, meliputi input dari ion-ion mineral an-organik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien. Secara internal
melalui jaringan-jaringan makanan berbasis detritus (detrital food
web).
2. Fungsi dan Manfaat Hutan mangrove
Saenger (1983);
Salim (1986); Irwan (1990) dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem
mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai dari erosi laut (abrasi)
dan intrusi air laut; mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan
limbah. Fungsi biologis ; tempat
pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat
bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi, sebagai sumber bahan
bakar (arang kayu bakar), pertambakan,
tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll.
Studi lain menunjukkan bahwa sekitar 80%
dari ikan komersial yang tertangkap diperairan lepas / dan pantai ternyata
mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem
mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi kawasan
tempat breeding dan nurturing bagi ikan-kan dan beberapa biota laut lainnya (
Wada 1999: 4).
Menurut Hardjosento
(1981), hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu
bakar, arang kulit kayu yang menghasilkan tanin
(zat penyamak) dan lain-lain.
Selanjutnya oleh saenger, dkk (1981) dalam
Whitten, dkk (1984) merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan
mangrove berupa :
a. Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol.
b. Bahan bangunan; balok
perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak
dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari
hutan mangrove.
c. Makanan;
obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obat-obatan dsb.
d. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan,
pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai.
e. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb.
f. Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove
merupakan sumber daya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari
aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan
mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang
hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau
manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut. (Naamin, 1991).
Sumarna dan Abdullah
(1993), menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi
penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung,
adalah sebagai berikut :
1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove
menjamin terpeliharanya:
a.
Lingkungan fisik, yaitu
perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan
sedimen, pencegahan dan pengendalian intrusi air laut ke wilayah daratan serta
pengendalian dampak pencemaran air laut.
b.
Lingkungan biota, yaitu sebagai
tempat berkembang biak dan berlindung biota perairan seperti ikan, udang,
moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta mamalia.
c.
Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi (khususnya
iklim makro).
2. Fungsi Sosial dan ekonomis,
yaitu sebagai:
a.
Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil
hutan dan hasil hutan ikutannya.
b.
Tempat rekreasi atau wisata alam.
c.
Obyek pendidikan, latihan dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya Dahuri (1998), menyatakan
bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama,
yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi.
Fungsi
ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
- Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi
mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem
lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.
- Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi,
gelombang pasang dan taufan.
- Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove
yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi
bencana banjir.
- Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai
penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan
organik.
- Sebagai penghasil bahan organik yang
merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir,
serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang
baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun
tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi
hewan pemakan seperti : cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini
akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.
- Merupakan daerah asuhan (nursery ground)
hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi
hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground)
beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
4. Property Right SDA dan Permasalahannya
Pemberian
property rights kepada seseorang akan
memberikan insentif baginya untuk
menggunakan SDA secara efisien, melakukan investasi bagi konservasi dan
peningkatan kualitas SDA. Dalam
perkembangannya, banyak common property,
seperti communal land cenderung
menjadi private land akibat adanya
tekanan pertambahan penduduk dan komersialisasi lahan (Fedel, G dan Feeny, D,
1991 dalam Golar 2002).
Hal yang terpenting dari masalah property rights adalah masalah bagaimana
penegakannya dapat dilakukan. Penegakan
property rights dapat dilakukan
melalui sistem hukum formal (formal
procedurs) dan penegakan aturan yang ada dalam masyarakat (social customs) (Taylor, 1988 dalam Golar 2002). Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan,
misalnya karena biaya enforcement
atau exclution terlalu mahal
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh, maka sumberdaya akan menuju ke “open access”.
C. Gambaran Umum Lokasi Studi
Ekosistem mangrove yang menjadi pokok
perhatian dalam paper ini adalah
kawasan hutan mangrove di daerah Tongke-tongke yang berada di pulau Sulawesi.
Tongke-tongke adalah sebuah desa yang berada pada bagian Barat teluk Bone.
Lokasi ini dilalui oleh dua buah sungai
yaitu sungai Baringeng dan sungai Tui, yang membawa sedimen dari gunung
Bawakaraeng hingga ke pesisir pantai, sehingga tanah yang berada pada kawasan
tersebut merupakan campuran antara pasir dan lumpur sungai.
Secara administratif dusun Tongke-tongke
merupakan bagian dari sebuah desa Samaritang
yang berada pada kecamatan Sinjai Timur. kabupaten Sinjai yang berjarak
sekitar 20 km dari Balanipa (ibukota kabupaten Sinjai) yang dapat dijangkau
dengan menggunakan kendaraan bermotor dalam waktu 30 menit. Daerah yang
memiliki luas 2,25 km2, secara umum merupakan kawasan konservasi
hutan Mangrove dan daerah pertanian.
Tongke-tongke mempunyai populasi penduduk sekitar 1.809 orang yang dapat
dibagi atas 2 (dua) golongan, golongan pertama adalah penduduk lokal yang
kebanyakan adalah petani sawah dan palawija, sedangkan golongan kedua adalah
pendatang yang umumnya adalah nelayan.
Sebagian besar pendatang berasal dari
daerah Mare kabupaten Bone yang memiliki keahlian dalam penangkapan ikan tuna
dan pencarian terumbu karang (coral reef)
yang oleh masyarakat ini disebut dengan “taka-taka”. Pendatang inilah yang kemudian mengolah
kawasan hutan mangrove menjadi empang-empang. Selain itu, mereka juga menanami
kembali kawasan mangrove tersebut.
1. Kronologis Terjadinya Kerusakan Hutan Mangrove
Sejak awal
kedatangan mereka (pendatang) pada tahun 60an, mereka membuka kawasan hutan
mangrove untuk dikonversi menjadi pertambakan sebagai mata pencahariannya. Untuk memperoleh lahan mangrove, mereka
membelinya dari seorang tuan tanah (kaum Bangsawan dan para ketua Hadat) di
daerah tersebut yang notabene menguasasi mangrove tersebut.
Secara intensif mereka melakukan
pengkonverisan menjadi tambak dan empang.
Namun, pada tahun 80an, mereka
mulai merasakan dampak negatif yang dihasilkan oleh kegiatan pengkonverisan
tersebut. Dampak termaksud diantaranya
abrasi air laut yang kian terus berjalan dimana setiap tahunnya diperkirakan
terjadi penggerusan sekitar 10 hingga 30 meter ke daerah tambak penduduk.
Kondisi ini menurut mereka disebabkan oleh hilangnya penghalang ombak (green belt).
Selain ancaman abrasi air laut, ternyata
terumbu karang di wilayah ini juga mengalami kerusakan, disebabkan kebiasaan
masyarakat nelayan yang menggunakan bom sebagai metode penangkapan ikan. Dampak
lain yang juga dirasakan adalah besarnya tiupan angin darat (berasal dari laut
menuju darat) yang menghantam rumah-rumah penduduk, mengakibatkan banyak rumah
penduduk rusak pada masa tersebut. Dan
yang lebih meresahkan mereka adalah semakin sulitnya menemukan sumber mata air
tawar, dikarenakan intrusi air laut
sudah mencapai sumur-sumur mereka.
2. Upaya Masyarakat : revitalisasi kondisi hutan mangrove berbasis
masyarakat
Pada mulanya, upaya yang dilakukan oleh
nelayan untuk mengahadapi kerusakan yang terjadi pada kawasan tersebut adalah
dengan membuat dam-dam penahan ombak
dari terumbu karang (Tajing batu )
yang diambil di perairan teluk Bone, dengan panjang sekitar 30 meter dan
kedalaman sekitar 1 meter. Mereka
membangun secara bersama-sama. Namun upaya tersebut gagal, dimana abrasi
pantai terus berlangsung.
Upaya kedua adalah melakukan penanaman
jenis Rhizophora macronata (kayu Bakko) sepanjang pantai
dan sepanjang bibir sungai. Hal ini didasari atas keberhasilan yang mereka
lihat di daerah lain dalam menerapkan
metode ini. Penanaman dilakukan oleh berbagai kelompok secara terpisah sejak
1984/1985. Beberapa nelayan
mengumpulkan benih pohon bakau dari daerah Maroanging dan Pangasa yang ditanam
di sepanjang bibir pantai dan sepanjang alur sungai. Kelompok lain yang disebut
dengan Pa’bagang juga melakukan hal
yang sama. Walaupun kedua kelompok tersebut melakukan penanaman akan tetapi
mereka melakukannya secara independen dan tidak terikat satu dengan yang
lainnya, dengan berbagai motivasi yang berbeda.
Untungnya, kondisi lingkungan dan iklim mendukung
usaha mereka, sehingga sangat membantu pertumbuhan tanaman tersebut. Badan
Metreologi dan Geofisika (BMG) menyatakan bahwa kawasan Tongke-tongke memiliki
intensitas curah hujan yang tinggi antara bulan April-september, dengan
temperatur berkisar antara 20-30 0C, merupakan kondisi yang baik
dalam menunjang pertumbuhan. Selain itu Paloloang (2001) menyatakan bahwa
pantai yang tenang dan berlumpur, serta saltasi
(pelumpuran) yang terjadi akibat dari sedimentasi sungai yang ada diatasnya
sangat sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Karakterisitik seperti ini terdapat
juga pada hutan mangrove di Tongke Tongke.
3. Indegenious Knowladge
Dalam tulisan ini, indegenipus knowladge diartikan sebagai pengetahun lokal yang
dimiliki oleh masyarakat dalam menanam mangrove, melalui sejumlah simbolisasi
alam.
Penanaman banyak dilakukan pada musim
barat antara bulan Oktober hingga Maret,
karena pada saat itu, ombak di teluk Bone relatif tenang dan didukung
oleh waktu jatuhnya benih dari pohon mangrove ke lumpur dankemudian akan tumbuh
akar. Tanda-tanda alam yang
digunakannya adlah bintang yang disebut dengan arung Porong, yang muncul
di arah Selatan. Bila bintang ini
muncul, dengan serempak penduduk mulai menanam mangrove.
Empat Belas tahun kemudian, ketinggian
pohon mangrove tersebut telah mencapai ketinggian 5 meter. Dengan diameter
batabang ± 20 meter. Saat ini, mangrove yang tumbuh menutupi areal seluas 650
ha, dengan ketebalan antara 200- 700 meter dati bibir pantai. Dengan demikian, hutan mangrove sebagai barier terhadap angin dan abrasi air
laut telah berfungsi dengan baik.
4. Problem dari “Tragedy of The
Common”
Ketika
Garret Harding dalam sebuah thesis menyatakan Tragedy of The Common dengan melihat over eksploitasi sumber daya
milik umum atau coomon goods, walaupun
terjadi sharing dari berbagai
individu didalamnya. Dia menggambarkan konsep tersebut dengan melihat para
peternak berpindah dimana jika seorang individu ingin menambah hewan piarannya
maka setiap peternak akan berusaha untuk mendapatkan daerah kekuasaan yang
besar di dataran stepa dan savana. Sehingga persepsi yang dimiliki masing-masing peternak adalah bagaimana
untuk terus berusaha meningkatkan daerah kekuasaannya .
Kondisi ini juga berlaku pada ekosistem mangrove
di Tongke-tongke, dimana tidak sedikit dari mereka (pendatang) yang telah
menjual lahannya. Hal ini didasari
pemahaman mereka dimana bila seorang menanam pohon tersebut maka dengan leluasa
dapat memindahkan haknya kepada orang lain.
Transfer
right juga terjadi ketika
seorang pengusaha yang telah memperoleh izin penebangan dari pihak Kabupaten,
ingin mengebang pohon tersebut. Konflik ini kemudian diperumit oleh beberapa
pihak yang mengklaim hak atas tanah tempat ditanami mangrove berdasarkan hak
ulayat adatnya sebagai pemilik kawasan tersebut sebelumnya. Belum lagi pihak Departemen Perikanan
kabupaten yang telah memplot sebuah kawasan yang telah dijadikan sebagai pilot
project untuk pengembangan pertambakan di hutan mangrove hingga kini belum pernah
memeperlihatkan hasil dari usaha tersebut.
Selain itu, Konflik yang terjadi adalah
dengan adanya pemberian hak atas beberapa kelompok tertentu oleh pemerintah
daerah. Seperti pemberian hak kepada kelompok ACI ( Aku Cinta Indonesia ) yang dianggap sebagai kelompok masyarakat
yang telah mempelopori penanama kawasan mangrove tersebut. Dengan pemberian hak dan legitimasi ini
tentunya akan memperuncing konflik yang terjadi di masyarakat.
Kondisi di atas memperlihatkan bagaimana demand yang terjadi pada hutan mangrove
di Tongke-tongke. Kawasan yang dulunya menjadi daerah yang sangat rentan secara
ekologis kemudian menjadi daerah yang terjaga ekosistemnya, namun diikuti
konflik setelah nampak titik terang keberhasilan penanamannya .
Berdasarkan deskripsi di atas, nampak bahwa
situasi masalah (symtom) dapat
dikelompokkan kedalam 4 kelompok, yaitu (1) Kebijakan pemerintah yang tidak
mendukung (2) ketidakjelasan tanggung jawab dan wewenang (3) kualitas
sumberdaya manusia yang rendah (4) Tidak jelasnya kelembagaan pengelolaan.
Secara skematis dapat dilihat sebagai berikut:
Kondisi siatuasi masalah di atas, menunjukkan bahwa
titik sentral yang perlu dikaji adalah Aspek
kebijakan dan sumberdaya manusia. Kedua main aspect
ini harus ditelusuri secara mendalam, melalui suatu studi yang
terintegrasi ditinjau dari berbagai aspek (multy
aspect). Melalui suatu tahapan metodologi perumusan dan pemecahan masalah
yang benar, sehingga mampu menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian
rupa. Dengan harapan dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan
dalam mengambil suatu keputusan pengelolaan SDA dengan lebih bijaksana.
Daftar Pustaka:
Berkes , F., 1994 . Property Rights and Coastal Fisheries , in Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pacific , Concept , Method and Experience , R.S.Pomeroy , ed Manila , ICLARM
BRLKT wilayah IX, nd . Rencana Pengembangan Hutan Bakau
Rakyat di Sulawesi Selatan
Dahuri, R. 1996. Pengembangan Rencana
Pengelolaan Pemanfaatan Berganda Hutan Mangrove di Sumatera.
PPLH Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara
Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dirawan,
Gufran Darma., 2001. Data Lapangan : Penelitian hak hak Ulayat pada hutan
mangrove, The Australian
National university, Canberra
Golar, 2002. Presfektif
Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan dan Kenyataan .
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi
Tengah.
Irawan, B. 1990. Prospek Pengembangan
Hutan Mangrove dengan Azas Pelestarian di Propinsi Lampung.
Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Bandung.
Naamin, N. 1991. Penggunaan Hutan Mangrove
untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugian. Dalam Prosiding Seminar IV
Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung.
Nikijuluw,V.P.
1995. Extended Benefit Cost Analisis dalam Perencanaan dan Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir. Makalah pada Pelatihan Terpadu Perencanaan dan
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Planning And Management), 3 April – 9 September 1995. PPLH-IPB,
Bogor. Bakosurtanal, Jakarta.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu
Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Odum,
E.P. 1983. Basic Eccology, Sounders College Publishing.
Paloloang, A.K, 2000. Evaluasi Kesesuaian
Lahan Pantai, Fakultas Pertanian Untad Palu
Samin. B. 1996. Teknik Valuasi Ekonomi
Sumberdaya dan Jasa-jasa Lingkungan Wilayah Pesisir.
Materi Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu
Angkatan VI. PPLH LP IPB, Ditjen Bangda Depdagri dan ADB. Bogor.
Saenger
at.al., 1983. Global Status ol Mangrove Ecosystem, IUCN Commossion on
Eccology Papers, No. 3. 1983
Salim, E.
1986. Pengelolaan Hutan Mangrove Berwawasan Lingkungan: Makalah yang disampaikan
Dalam Pidato Pengarahan Pada Diskusi Panel “Daya Guna dan Batas Lebar Jalur
Hijau Hutan Mangrove, Ciloto 27 Pebruari 1986.
Soerianegara, I. & Indrawan. 1982. Ekologi
Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan
IPB, Bogor.
Steenis,V.C.CT.G.I.1978.
Flora. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Suparmoko, Maria R. 2000. Ekonomika Lingkungan. BPFE-
Yogyakarta.
Wada, 1999. Mangrove
and its’ conflict paper submitting to The Australian National
university , Canberra .