©
2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted 23 October 2003
Makalah Kelompok 9, Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Oktober 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
KEBAKARAN
HUTAN INDONESIA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Oleh Kelompok 9:
Ai Nurhayati (GMK-A 561030031)
Esi Emilia (GMK-A 561030071)
Herman
(PSL-P 062030161)
Joko Sutrisno (PSL-P 062020071)
Kudrat
Sunandar (TEP-F 161030081)
Laode Rijai (PSL-P 062020111)
Nonon
Saribanon (PSL-P 062024081)
Rahmat
Mulyana (PSL-P 062030031)
Sulistijorini
(PSL-P 062030011)
Totok
Prasetyo (TEP-F 161030031)
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kebakaran
hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan
ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan
produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya
mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat,
sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia
akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan
kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum
(undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil
yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang
cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin
sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup
besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam
untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis
terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar
secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran
besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering
dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10
ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian.
Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang
tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi
hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh
munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun
1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP,
1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan
penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir
di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di
lahan non hutan.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini
masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan
manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab
utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau
permasalahan sebagai berikut:
Perladangan berpindah merupakan upaya
pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu
dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun
pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan
terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran
liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari
penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan
perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan
umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara
tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah,
mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya
terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau
perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya
berawal dari suatu konflik antara para
pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang
merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai
oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara.
Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi
mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini
kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat
tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
3.1.
Areal hutan yang terbakar
Beberapa tahun
terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim
kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun
1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun
1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di
Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah
kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963
(Soeriaatmadja, 1997).
Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh
kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas
11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan
terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa
masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu
hektar (Tacconi, 2003).
Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun
meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif
kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar
Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran
hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat
berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal
Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).
3.2.
Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
3.3.
Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran
hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan
dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi
isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara.
Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan
gas rumah kaca.
Asap tebal dari kebakaran hutan
berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama
gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi
khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan
laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan
terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai,
danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan
hilangnya nyawa dan harta benda.
Kerugian karena terganggunya
kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan
transportasi di darat, dan di air
memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup
besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia
berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai
Darussalam, Malaysia dan Thailand.
Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.
Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.
4.1. Upaya Pencegahan
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran
hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997):
(a)
Memantapkan kelembagaan
dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga
non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta
Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
(b)
Melengkapi perangkat
lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan;
(c)
Melengkapi perangkat
keras berupa peralatan pencegah dan pemadam
kebakaran hutan;
(d)
Melakukan pelatihan
pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan
kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
(e)
Kampanye dan penyuluhan
melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;
(f)
Pemberian pembekalan
kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan
jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
(g)
Dalam setiap persetujuan
pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan
pembukaan hutan tanpa bakar.
4.2. Upaya
Penanggulangan
Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga
nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono,
1997):
(a)
Memberdayakan
posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan
mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
(b)
Mobilitas semua
sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran
Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.
(c)
Meningkatkan koordinasi
dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat
daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.
(d)
Meminta bantuan luar
negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia
untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari
Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker,
obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan
lain-lain.
4.3. Peningkatan
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah
dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran
hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan
oleh berbagai faktor antara lain:
(a)
Kemiskinan dan ketidak
adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
(b)
Kesadaran semua lapisan
masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.
(c)
Kemampuan aparatur
pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran
masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan
masih rendah.
(d)
Upaya pendidikan baik
formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.
Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan
menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan
faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan,
pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka
untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait
dengan faktor-faktor tersebut.
Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran
disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran
masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk
penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:
a.
Melakukan pembinaan dan
penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam
kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.
b. Memberikan
penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum
negara dengan mengadopsi hukum adat.
c.
Peningkatan kemampuan
sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal.
Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif
yang bisa ditawarkan.
d.
Melengkapi fasilitas
untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat
kerasnya.
e.
Penerapan sangsi hukum
pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab
langsung terjadinya kebakaran.
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
2. Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.
Danny, W., 2001. Interaksi
Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di Hutan Propinsi Kalimantan Timur,
Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.
Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan Menurut
Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Dove,
M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi-kasus dari Kalimantan Barat.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal.
Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan
Hutan di Indonesia (Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan).
Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan
Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14.
Soeriaatmadja, R.E.
1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran
Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:
36-39.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup
Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21.
Tacconi, T., 2003. Kebakaran
Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Center for
International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 22 hal. http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional
paper no 38 (i)/html