Oleh:
Adi Wiyana
Abstrak. Program pengelolaan pesisir terpadu (P2T) di Indonesia masih terhitung
baru, program ini baru dimulai pada Repelita VI, tahun 1993/94 dengan proyek
Marine Resource Evaluation and Planning (MREP). P2T, yang bertujuan untuk
mengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan, hanya dapat mencapai tujuannya
secara optimal apabila para perencana dan pengelola/pelaksana program
memasukkan faktor-faktor penentu keberlanjutan program P2T dari awal
perencanaan. Hasil studi pustaka menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan program P2T. Di antara faktor yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan tersebut adalah: (1) tingkat kesejahteraan
masyarakat pesisir;(2) proses perencanaan dan
pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, transparan, akuntabel, dan
didukung dengan informasi ilmiah sebagai prasarat untuk menciptakan parameter berkelanjutan P2T, yaitu,(a) kesesuaian dengan
kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal, (b)
kesesuaian dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (c) dukungan
ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan, (d) keterlibatan aktif para
pemangku kepentingan, (e) adanya rencana dan program yang jelas, (f) berdampak
terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat, dan (g) dukungan riset,
informasi ilmiah, dan pengalaman empiris; (3) proses penutupan proyek secara tepat; (4) kerangka hukum yang memadai; dan (5)
desain proyek yang fleksibel yang memenuhi prinsip-pinsip P2T.
1. PENDAHULUAN
Diyakini bahwa ada faktor-faktor utama yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan pesisir terpadu (P2T). Makalah
ini adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut agar
menjadi perhatian dan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama para perencana dan pelaksana serta para pemerhati P2T di Indonesia.
Untuk itu, perlu dipahami dari awal beberapa pengertian atau istilah penting
mengenai P2T dan arti penting faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
P2T.
1.1 Wilayah
Pesisir
Secara
umum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai wilayah pertemuan antara
ekosistem darat, ekosistem laut, dan ekolosistem udara yang saling bertemu
dalam suatu keseimbangan yang rentan.[1] Batasan wilayah pesisir tampak
sederhana namun perlu diingat bahwa pada kenyataannya para ilmuwan dan praktisi
pembangunan di berbagai negara tidak memiliki pengertian yang seragam mengenai
batas-batas fisik wilayah pesisir, seberapa jauh ke arah darat dan seberapa
jauh ke arah laut. Oleh karena itu, pada akhirnya penentuan batas-batas fisik
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya ditentukan sesuai dengan kebutuhan
setempat.[2]
Departemen
Kelautan dan Perikanan dalam rancangan undang-undang pengelolaan wilayah
pesisir terpadu mendefinisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang
menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas
sempadan ke arah darat sejauh sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh
pengaruh aktivitas dari daratan.[3]
1.2 Mengapa
Wilayah Pesisir?
Wilayah
pesisir adalah unik, memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam
keberlanjutannya.[4] Dengan mengutip Scura (Scura et al.
1992, 17), Cincin-Sain mengatakan bahwa di wilayah pesisir terdapat berbagai
babitat dan ekosistem -- seperti estuari, terumbu karang, padang lamun, hutan
bakau -- yang berfungsi sebagai penyedia bahan (seperti ikan, minyak, mineral,
kayu, dll.) dan penyedia jasa (seperti rekreasi, perlindungan alamiah terhadap
bahaya alam seperti angin taufan dan ombak) kepada komunitas yang tinggal di
wilayah pesisir. Wilayah pesisir juga ditandai dengan kompetisi antar pemangku
kepentingan mengenai wilayah dan sumber daya yang ada yang sering berujung pada
konflik dan kerusakan integritas fungsi ekosistem sampai parah. Selain itu,
wilayah pesisir sering menjadi tulang punggung ekonomi pemerintah dari berbagai
kegiatan ekonomi yang ada seperti pelabuhan dan perkapalan, pertambangan minyak
dan gas bumi, serta wisata bahari. Wilayah ini juga menjadi tempat pilihan bagi
banyak anggota masyarakat sebagai tujuan urbanisasi. Dengan potensi yang unik
dan bernilai ekonomi begitu tinggi namun dihadapkan pada ancaman yang tinggi
pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini
dapat dikelola secara berkelanjutan.
Bengen
menekankan perlunya menyelenggarakan program P2T di Indonesia secara
berkelanjutan karena, di samping alasan-alasan tersebut di atas, di Indonesia
terjadi degradasi dan deplisi sumber daya namun masyarakat pesisirnya (terutama
nelayan) tetap miskin di satu pihak, namun di lain pihak kecenderungan
pemanfaatan yang tidak mengindahkan keberlanjutan mendapatkan momentumnya
ketika Indonesia berada pada kondisi krisis ekonomi. Dengan dalih untuk cepat
keluar dari krisis, banyak pembangunan sektoral, regional, swasta dan
masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budidaya perikanan,
resort wisata, industri, pertambangan, pelabuhan laut, dan reklamasi pantai
untuk perluasan kota, yang penyelenggaraannya sering kurang memperhatikan
faktor keberlanjutan.[5]
1.3 Pengelolaan
Pesisir Terpadu
Pengelolaan pesisir
terpadu (P2T) adalah proses, yang dinamis yang berjalan secara terus menerus,
dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan, dan
perlindungan wilayah dan sumber daya pesisir dan lautan. … Bagian penting dalam
pengelolaan pesisir terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk
mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis.[6] Dilihat dari definisi P2T
tampak sederhana, namun aplikasi pelaksanaan P2T di lapangan sangat rumit
karena meliputi proses 5 (lima) keterpaduan, yaitu: keterpaduan perencanaan
antar sektor secara horizontal, keterpaduan perencanaan secara vertical,
keterpaduan ekosisem darat dan ekosistem laut, keterpaduan sains dan manajemen,
dan keterpaduan antar negara.
1.4
Keberlanjutan
Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan P2T karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 di mana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam – untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang[7]. Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sember daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumber daya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (demokrasisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.[8] Dengan demikian jelas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanya bisa dilaksanakan apabila pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkena dampaknya.
2. PERMASALAHAN
Di Indonesia sering dikeluhkan
adanya banyak proyek atau program bagai pasar malam; begitu proyek atau program
selesai dilaksanakan habis pula dampak dari proyek atau program tersebut. Program tidak berbekas bak pasar malam
yang hanya meninggalkan sampah di lapangan. Terjadinya fenomena seperti ini
tidak terlepas dari peran para perencana dan pengelola proyek atau program yang
gagal mempertimbangkan faktor-faktor keberlanjutan proyek atau program dalam
desain awal. Apabila para perencana program secara sadar memasukkan
faktor-faktor keberlanjutan ke dalam desain program dan para pengelola dan
pelaksana dengan seksama berusaha seoptimal mungkin mencermati aplikasi
faktor-faktor tersebut dalam melaksanakan programnya, niscaya hasil akhir dari
program akan lebih berkelanjutan. Makalah ini mencoba mencari jawaban mengenai
permasalahan ini dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap keberlanjutan program pembangunan, program pengelolaan pesisir
terpadu (P2T) pada khususnya. Diharapkan
faktor-faktor berpengaruh terhadap P2T yang diidentifikasi dalam makalah ini
akan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang berkepintingan (perencana,
pengelola dan pelakasana, serta para pemerhati) dalam penyelenggaraan P2T di
mana saja.
3. METODE
PENELITIAN
Telah cukup banyak literatur tersedia
mengenai hasil evaluasi proyek atau program pembangunan. Literatur khusus
mengenai hasil evaluasi program P2T pun kini telah mulai berkembang. Oleh
karena itu, untuk mencari jawaban dari persoalan di atas, cukuplah kiranya
dilakukan telaah literatur yang ada, baik literatur yang ditulis di negara lain
terutama literature mengenai emaluasi program P2T di Indonesia. Dari literatur
yang ada diharapkan dapat diidentifikasi cukup banyak faktor-faktor
keberlanjutan P2T yang nantinya niscaya akan bermanfaat baik bagi para
perencana dan pengelola program maupun para pemerhati.
4. TEMUAN-TEMUAN
Pada
paragraf-paragraf di bawah disajikan hasil-hasil temuan dari telaah beberapa
dokumen mengenani program P2T di Indonesia maupun di luar negeri. Kasus di
Indonesia terkonsentrasi di Sulawesi Utara (Taman Nasional Bunaken) dan di Jawa
Tengah (Segara Anakan). Kasus-kasus di dua lokasi ini terdokumentasi secara
rapih di Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Edisi
Khusus, No. 1, 2003. Kasus lain di Indonesia adalah hasil evaluasi the
Coastal Resouce Management Project (CRMP) yang dilaksanakan di
propinsi-propinsi Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kasus
di luar negeri diambil dari buku Cincin-Sain dan Knecht yang merangkum
pengalaman pelaksanakan program pengelolaan pesisir dan lautan terpadu di 58
negara di dunia. Selain itu, buku tulisan Beatly et al. (2002) dan Clark (1996)
memuat kasus-kasus internasional yang menarik. Di bawah dipaparkan beberapa
temuan-temuan tersebut.
4.1 Kesejahteraan
Komunitas Pesisir
Christie (2003) menemukan kasus yang
menarik di Taman Nasional Laut Bunaken di propinsi Sulawesi Utara. Dia
membandingkan dua lokasi di Taman Nasional Laut Bunaken, yaitu perairan di
selatan Pulau Nain dan perairan Alung Banoa dan lainnya di sebelah selatan
Pulau Bunaken. Ada perbedaan yang cukup tajam antara dua lokasi ini. Di sekitar
Pulau Nain tidak ada zona larang tangkap dan belum terdapat kegiatan
pengelolaan kawasan konservasi atau zonasi. Sebaliknya, di Pulau Bunaken dan
wilayah perairan lautnya telah dilakukan zonasi secara partisipatif dan telah
ditetapkan dua zona larang tangkap. Di lokasi ini juga telah lama dilaksanakan
program pengelolaan kawasan konservasi, yaitu Natural Resource Management
Program. Di samping itu penduduk Pulau Nain dikenal sebagai penangkap ikan
illegal dan pembudi-daya rumput laut yang kurang memperhatikan kelayakan
lingkungan.
Hasil studi di dua lokasi menunjukkan
bahwa secara umum kondisi terumbu karang dan jumlah ikan di selatan Pulau Naim
lebih baik dari wilayah selatan Pulau Bunaken. Salah satu kemungkinan
penyebabnya adalah bahwa penduduk Pulau Naim, walaupun masih meneruskan
kegiatan penangkapan ikan, telah memiliki kesibukan lain yaitu budidaya rumput
laut yang secara ekonomi menghasilkan tambahan penghasilan keluarga yang
signifikan. Dengan demikian tekanan penduduk terhadap terumbu karang dan
komunitas ikan semakin menurun.[9]
Hal ini tampaknya sangat sederhana dan obvious, namun
kebenarannya tidak perlu diragukan. Orang yang kelaparan cenderung untuk
menggunakan berbagai cara untuk mengatasi kelaparannya, termasuk cara-cara yang
kurang bersahabat terhadap alam. Kefakiran mendekati kekufuran.
Dalam hal suatu program P2T yang
menyediakan jasa dan sarana kepada komunitas pesisir yang tingkat ekonominya kurang
memadai, Beatly (2002) mengingatkan bahwa pengalaman di Amerika Utara faktor
pemerataan dan keterjangkauan (equity dan affordability)
merupakan faktor yang sangat penting terhadap kelanjutan keberhasilan program.[10] Pembangunan rumah-rumah sederhana yang
ramah lingkungan dengan harga terjangkau untuk masayarakat pesisir di pantai
timur Virginia menunjukkan tingkat keberhasilan yang sangat bagus.
4.2 Proses
Perencanaan dan Pengambilan Keputusan yang Inklusif, Transparan, dan Didukung
oleh Pengetahuan Ilmiah
Pollnac et
al. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di
wilayah Cilacap, Jawa Tengah, sehubungan dengan Coastal Resources Management
(CRM) dan Segara Anakan Conservation and Development Project, dan di
Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan dengan Natural
Resource Management Project (NRMP-1) menemukan bahwa peranserta pihak-pihak
yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara
individu maupun secara bersama-sama, berperan sangat penting sebagai faktor
utama penentu keberlanjutan program P2T[11]. Peranserta tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan
bersedia untuk berperanserta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan
akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan
manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat
setelah proyek selesai. Oleh karena para pemangku kepentingan berperanserta
dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya
proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan
demikian mereka merasa memiliki proyek tersebut. Dengan proses seperti itu,
bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan
keinginan anggota masyarakat. Juga, peranserta dalam perencanaan dan
pelaksanaan proyek P2T tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan
masyarakat.
Christie[12] (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan
seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap
keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi,
di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan,
pejabat pemerintah, LSM, dan konsevasionis) akan memelihara ketidakpuasan di
antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di
antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang
bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan P2T karena mereka
akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati.
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan
bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam P2T, baik secara individu atau
secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan
keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta seperti
ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan
meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan
dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian kegiatan P2T
dengan kondisi lokal tampak telah berdampak pada keberlanjutan kegiatan P2T
oleh masyarakat pesisir sendiri setelah proyek selesai.
Seluruh proses perencanaan dan pengambilan
keputusan mengenai P2T hendaknya didukung dengan informasi ilmiah yang
diperoleh melalui riset dan pengalaman empiris. Informasi ilmiah sangat
diperlukan untuk membantu memahami permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan
untuk memberi arah P2T, karena begitu kompleksnya permasalahan yang ada di
wilayah pesisir. Kaitan antara lingkungan hidup, sumber daya alam, dan faktor
sosial-ekonomi masyarakat pesisir merupakan hubungan yang sangat kompleks yang
memerlukan penjelasan ilmiah dari ilmu-ilmu yang terkait. Tanpa dukungan
informasi ilmiah, mustahil untuk dapat memahami penyebab-penyebab mendasar yang
mengakibatkan timbulnya permasalahan-permasalahan di wilayah pesisir. Begitu
pentingnya dukungan ilmu pengetahuan terhadap penyelenggaraan P2T, Cincin-Sain
dan Knecht (1998) menguraikan permasalahan ini dalam satu bab khusus dalam
bukunya.[13]
Proses perencanaan dan pengambilan
keputusan yang yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah
ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh
terhadap keberlanjutan kegiatan P2T. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan
dan pengambilan keputusan ini tampak sejalan dengan yang dianggap sebagai 6
(enam) parameter berkelanjutan P2T oleh Bengen sebagai berikut[14]: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan
setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumber daya
manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki
rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan
termasuk sosial budaya dan ekonomi
masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan
tambahan faktor ketujuh (7), yaitu dukungan informasi ilmiah.
Sievanen
(2003) dalam studinya mengenai Komunitas Berpindah dan Implikasi Keberlanjutan[15] memberi catatan khusus, yaitu bahwa
wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan
negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumber daya
pesisir yang telah ada. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa wisata bahari
secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumber
daya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal.
Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas “komunitas” yang hendak
dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program P2T, karena sering
dijumpai ketidak-jelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu
program P2T. Kedua, kemitraan antara
sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam
rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya
mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan lautan
(coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka
yang termaginalkan.
4.3 Penutupan
Proyek secara Tepat
Satu faktor yang tampak kecil namun penting dan sering terlupakan oleh para penyelenggara program P2T adalah cara penutupan suatu program. Hanson (2003) mengatakan “the ability to wind down activities is about as important as the capacity to start new initiatives in a project that seeks to …”[16] Penyelesaian suatu proyek harus benar-benar memperhatikan keberlanjutan dari apa-apa yang telah dicapai oleh proyek. Apabila tidak, bisa jadi suatu proyek yang telah dianggap sangat berhasil, baik dalam pengertian ekologi maupun ekonomi, akan berhenti seperti pasar malam, tidak meninggalkan dampak yang berlanjut.
4.4 Kerangka Hukum yang Memadai
Begitu pentingnya kerangka hukum dalam P2T, Patlis (2003) mengatakan “perhaps no field more than the management of coastal resources requires a well functioning legal system for its success.” [17] Lebih lanjut ia mangatakan bahwa keberlanjutan P2T terhalangi oleh “systemic issues” yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundangan (statutory drafting) serta interpretasi dan pemecahan masalah (interpretation and resolution) dalam sistem hukum, terlepas dari penerapan dan penegakan hukum yang sering dijadikan sebagai alasan kegagalan. Hukum hendaknya dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk P2T secara berkelanjutan. Oleh karena itu, kerangka hukum perlu mendapat perhatian dalam keseluruhan proses penyelenggaraan P2T dari awal hingga akhir. Dengan pola pikir bahwa “creating an integrated system is not about drafting laws and regulations that look good on paper but rather about designing norms that are rooted in people’s beliefs…” (De Soto 2000) dan “…law is better viewed as a process for decision making” (Reisman 1987), Patlis (2003) mengatakan bahwa peranserta menjadi fungsi sistem hukum, transparansi dan akses terhadap informasi menjadi fungsi sistem hukum, akses terhadap keadilan dan alokasi yang merata menjadi fungsi sistem hukum.[18]
Apa yang dikatakan Patlis di atas telah diupayakan pelaksanaannya di tiga lokasi di Sulawesi Utara (Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak) oleh the Coastal Resources Management Project (CRMP). Program P2T di tiga lokasi tersebut dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai mulai dari tingkat desa (Perdes), tingkat kabupaten (Perda Kabupaten), dan tingkat propinsi (Perda Propinsi), yang kesemuanya disusun secara transparan dan partisipatif. Perda Kabupaten Minahasa telah menetapkan sebesar prosentasi tertentu dari APBD-nya untuk dialokasikan di Kabupaten Minahasa setiap tahunnya guna pendanaan program P2T. Di samping perangkat hukum di tingkat daerah tersebut, kini Pemerintah sedang menyusun rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara nasional.
4.5
Desain Program yang Fleksibel dan Memuat
Prisip-Prinsip P2T
Selain
faktor-faktor di atas, desain program P2T juga turut berpengaruh terhadap
keberlanjutan. Hanson (2003) menemukan salah satu faktor yang ikut menentukan
keberhasilan Coastal Resources Management Project di Indonesia, dilihat
hari visibilitas dan pengaruhnya, adalah desainnya yang fleksibel yang bisa
beradaptasi dengan perubahan sosial politik yang terjadi di sekitarnya[19]. Dapat diumpamakan bahwa suatu proyek
atau program sebagai sebuah senapan yang didesain untuk menembak suatu sasaran
tertentu, maka apabila tata-letak sasaran yang akan ditembak berubah maka
senapannya pun harus ikut beradaptasi dengan tata-letak tersebut, apabila tidak
maka tembakannya akan meleset dari sasarannya. Apabila suatu proyek atau
program pembangunan tidak bisa berubah mengikuti perubahan sosial politik yang
ada, maka besar kemungkinan proyek atau program tersebut akan gagal memecahkan
persoalan yang ingin diselesaikannya.
Yang lebih penting barangkali bahwa desain
program P2T hendaknya memenuhi prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir
terpadu. Cincin-Sain (1998) merangkum prinsip-prinsip P2T yang telah disepakati
secara internasional, yaitu prinsip pemerataan antar generasi (intergenerational
equity), kehati-hatian (precautionary), pencemar membayar (polluters
pay), menyeluruh atau holistik, dan antar disiplin ilmu (interdisciplinary).[20] Aplikasi prinsip-prinsip ini dalam desain
program atau proyek, selain akan membantu keberhasilan program atau proyek
tersebut dalam mencapai keluaran-keluaran yang diinginkan, akan membantu
keberlanjutan kegiatan P2T setelah proyek selesai.
5. Kesimpulan
Dari temuan-temuan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada beberapa faktor penting yang berpengaruh besar terhadap
keberlanjutan keberhasilan proyek dan program, yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir;
b. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, transparan, akuntabel, dan didukung dengan informasi ilmiah sebagai prasarat untuk menciptakan parameter berkelanjutan P2T, yaitu,
· kesesuaian dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal;
· kesesuaian dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;
· dukungan ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan;
· keterlibatan
aktif para pemangku kepentingan;
· adanya
rencana dan program yang jelas;
· berdampak
terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat; dan
· dukungan riset, informasi ilmiah, dan
pengalaman empiris.
c.
Penutupan proyek secara tepat
d. Kerangka hukum yang memadai, dan
e. Desain proyek yang fleksibel yang memenuhi prinsip-pinsip P2T
Diharapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan P2T yang teridentifikasi di atas bisa memberi sedikit manfaat bagi para perencana, pengelola dan pelaksana, serta para pemerhati pembangunan, terutama pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir terpadu. Juga diharapkan bahwa peneliti lain bisa melengkapi daftar faktor berpengaruh terhadap keberlanjutan P2T yang masih sederhana ini agar keberlanjutan program dan kegiatan P2T di Indonesia lebih terjamin.
Referensi:
Beatly,
T., D. J. Brower, and A. K. Schawab. An Introduction to Coastal Zone
Management. Second Edition. Island Press,
Bengen, D. G., “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003.
Christie, P.,
D Makapedua, and L.T.X. Lalamentik. “Bio-Physical Impacts and Links to
Integrated Coastal Management Sustainability in
Cincin-Sain,
B., and R. W. Kneck. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and
Practices. ISLAND PRESS,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Pokok-Pokok Pikiran Rancanan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP). Jakarta 2003.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelaautan dan Perikanan. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta 2001.
Fauzi, A., and S. Anna. “Assessment of Sustainability of Integrated Coastal Management Project: A CBA-DEA Approach” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.
Hanson
J., A.,
Kay,
R and Jacqueline Alder. Coastal Planning and Management. E&FN SPON,
Knight,
M., and K. Lowry. “Institutional Arrangements for Decentralized Coastal
Management in
Lowe
C. “Sustainability and the Question of “Environment” in Integrated Coastal
Management: the Case of Nain Island,
Patlis, J. “The Role of Law and Legal Institutions in Determining the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.
Pollnac R., R. Pomeroy, and L. Bunce. “Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.
Sievanen L. “Shifting Communities and Sustainability Implications” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.
[1] Timothy
Beatly, David J. Brower, dan Anna K. Schwab, An Introduction to Coastal Zone
Management (
[2] Contoh penentuan batas-batas fisik wilayah pesisir di banyak negara dapat dilihat di Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 50–52.
[3] Departemen Kelautan dan Perikanan, “Pokok-Pokok Pikiran Rancanan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP),” hlm. 10.
[4] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 15-18.
[5] Dietriech G. Bengen, “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia” makalah disampaikan dalam “Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003, hlm. 13.
[6] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 39.
[7] Dietriech G. Bengen, “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia” makalah disampaikan dalam “Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003, hlm. 15.
[8] Ibid., hlm. 17.
[9] Patrick Christie, Daisy Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik, “Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, 2003), hlm. 8.
[10] Timothy
Beatly, David J. Brower, dan Anna K. Schwab, An Introduction to Coastal Zone
Management (
[11] Richard Pollnac et al., “Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Projects in Central Java and North Sulawesi, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, 2003), hlm. 33.
[12] Patrick Christie, Daisy Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik, “Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, 2003), hlm. 17.
[13] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 171-196.
[14] Dietriech G. Bengen, “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia” makalah disampaikan dalam “Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003, hlm. 18.
[15] L. Sievanen, “Shifting Communities and Sustainability Implications” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.
[16] Arthur J. Hanson et al., An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia (CRC/URI 2003), hlm. 8.
[17] Jason Patlis, “The Role of Law and Legal Institutions in Determining the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003, hlm. 73.
[18] Ibid, hlm. 92-93.
[19] Arthur J. Hanson et al., An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia (CRC/URI 2003), hlm. 8.
[20] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 108.