© 2003  Mohd. Agus Nashri Abdullah                                                              Posted:  4 November 2003

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

KELENTURAN FENOTIPIK TERNAK SEBAGAI RESPONS TERHADAP LINGKUNGAN

 

 

Oleh:

 

 

Mohd. Agus Nashri Abdullah

D061030081/PTK

E-mail: agus_nashri@yahoo.com

 

Pendahuluan

Kenaikan angka laju pertumbuhan penduduk disertai dengan tingkat pengetahuan dan pendapatan masyarakat yang semakin membaik menuntut ketersediaan pangan berprotein tinggi dari produk ternak (daging, susu dan telur) berkualitas yang semakin meningkat pula. Pada sisi lain, sumbangan peternakan terhadap pemenuhan kebutuhan daging nasional masih saja kekurangan sampai saat ini. Pemerintah masih melakukan impor daging segar atau beku bahkan mendatangkan ternak-ternak unggul dari daerah temperate yang iklimnya sangat berbeda dengan iklim Indonesia dengan maksud untuk memecahkan masalah kekurangan pasokan daging yang bersumber dari ternak lokal. Demikian juga didatangkan embrio transfer dan semen beku untuk tujuan perbaikan kualitas dan kuantitas produk ternak-ternak lokal ataupun ternak impor yang ada dan telah lama di Indonesia.

Program mengimpor ternak, embrio transfer dan semen beku telah banyak menguras devisa negara. Disamping itu, ada kemungkinan kita akan kehilangan kekayaan plasma nutfah ternak-ternak lokal Indonesia jika terjadi persilangan yang kurang bahkan tidak terencana. Kenyataan, banyak ditemukan ternak-ternak impor yang kemampuan produksi dan reproduksinya tidak seperti yang diharapkan bahkan kadang lebih rendah dibandingkan dengan ternak-ternak lokal. Ternak-ternak impor tidak mampu memperlihatkan kemampuan produktivitas yang unggul seperti di negara asalnya. Menurut Noor (2000), ternak-ternak impor, begitu tiba di Indonesia akan mengalami berbagai stres (stres lingkungan, manajemen dan makanan) yang berakibat pada tingkat produksi yang rendah. Jika ternak-ternak itu dipelihara oleh peternak di pedesaan maka sering terjadi perlakuan khusus yang diperlukan ternak, sehingga tidak dapat diberikan dengan alasan ekonomi. Pada program pengimporan embrio, selama sel telur dan spermanya berasal dari luar, maka masalah interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan tetap akan ada. Masalah ini akan timbul setelah embrio tumbuh dan berkembang menjadi ternak, sebab materi genetiknya tetap berasal dari luar yang akan menjadi subjek cekaman lingkungan. Hal ini juga yang menjadi masalah penggunaan bibit unggul atau semen beku ternak-ternak impor oleh petani peternak yang umumnya berada di pedesaan dengan tingkat pendidikan yang terbatas.

Demikian juga dalam kegiatan perpindahan ternak lokal dari suatu tempat ke tempat lain. Perpindahan ternak tidak lagi menjadi hambatan karena perkembangan sarana transportasi. Begitu tiba di lokasi yang berbeda, secara umum ternak akan memperlihatkan penurunan performans. Semakin besar pengaruh lingkungan yang berbeda dengan lokasi hidupnya semula, maka semakin besar pula terjadi penurunan tingkat produktivitasnya bahkan bisa mencapai batas ketahanannya (vigouritas) yang menyebabkan ternak mengalami kematian.

Secara alami, ternak-ternak yang mengalami perubahan lingkungan akan ada respons dari dalam tubuhnya untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang baru sampai pada keadaan yang ekstrim sekalipun dan apabila keadaan ini relatif berlangsung lama, maka timbul reaksi berupa penurunan tingkat status fisiologis pada ternak. Tubuh ternak mempunyai mekanisme stabilitas atau homeostasis dan kerja di dalam tubuhnya diatur oleh gen-gen dan ternyata ada peran gen-gen kelenturan. Keberadaan gen-gen kelenturan telah dilaporkan pada tanaman, ikan, serangga, amfibi (Noor, 2000), mencit (Mus musculus) (Noor, 2000; Abdullah, 2003) dan ternak itik (Dewantari, 1998; Sukada, 1999).

 

Kelenturan Fenotipik

Kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) adalah kemampuan suatu individu atau genotipe untuk menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologis dan atau tingkah laku sebagai respons terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kelenturan fenotipik ini mencerminkan kepekaan fenotipe terhadap lingkungan (Noor, 2000). Sultan (1987), mendefinisikan kelenturan fenotipik yaitu variasi ekspresi fenotipe suatu genotipe sebagai respons terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk dapat bertahan hidup dan bereproduksi pada kondisi lingkungan tersebut. Kelenturan fenotipik menunjukkan besarnya tingkat ekspresi fenotipe suatu genotipe bervariasi berdasarkan kondisi lingkungan yang berbeda.

Fenomena kelenturan fenotipik sering diasumsikan sebagai peredam pengaruh-pengaruh seleksi alam sehingga bertindak sebagai penghambat proses evolusi.  Namun secara berangsur-angsur pengertian ini berubah, sebab kelenturan fenotipik merupakan komponen utama dalam proses evolusi (Noor, 2000). Mekanisme evolusi adalah menemukan suatu teori yang dapat menjelaskan evolusi, yang dapat menjelaskan adaptasi, dan yang sesuai dengan fakta heriditas (Ridley, 1991). Fakta kelenturan fenotipik penting jika suatu ternak akan memperlihatkan fenotipe yang berbeda sebagai respons terhadap variable lingkungan. Suatu aspek kelenturan fenotipe dapat menghasilkan nilai heritabilitas yang berbeda apabila ternak berada dalam lingkungan yang berbeda (Gebhardt dan Stearns, 1993).

Dari hasil-hasil penelitian pada beberapa spesies tanaman dan hewan, dapat disimpulkan bahwa kelenturan fenotipik merupakan fenomena genetik, karena:             (1) kelenturan fenotipik adalah suatu sifat yang menjadi subjek seleksi alam dan perubahan secara evolusi;  (2) terdapat variasi genetik pada arah dan besarnya respons terhadap perubahan lingkungan; (3) telah dideteksi adanya respons seleksi terhadap kelenturan fenotipik (Noor, 2000).

Ada tiga hipotesis kelenturan fenotipik yaitu: (1) hipotesis ekologi menunjukkan bahwa spesies dengan ekologi berbeda akan memiliki nilai dan pola kelenturan yang berbeda; (2) hipotesis heterogenetis yang menggambarkan kelenturan fenotipik dan keragaman genetis sebagai perubahan adaptasi terhadap lingkungan yang bervariasi dan spesies dengan keragaman genetik kecil akan lebih lentur; dan (3) hipotesis kekerabatan adalah spesies yang hubungan kekerabatannya jauh akan mempunyai nilai dan pola kelenturan yang berbeda (Schlichting dan Levin, 1984).

Ada tiga teori yang mendasari aspek genetik tentang kelenturan fenotipik, yaitu: (1) kelenturan fenotipik sebagai suatu sifat yang dikontrol oleh gen-gen pada lokus yang berbeda dengan gen-gen yang mengontrol rataan suatu sifat pada lingkungan tertentu; (2) kelenturan fenotipik digambarkan sebagai suatu fenomena seleksi untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan yang berbeda; (3) menggambarkan kelenturan fenotipik sebagai fungsi homosigositas dan mengasumsikan bahwa jumlah perubahan fenotipe pada lingkungan yang berbeda merupakan suatu fungsi menurun dari jumlah lokus heterosigot (Via, 1993; Noor, 2000).

            Pengukuran kelenturan harus menunjukkan jumlah perubahan fenotipe pada lingkungan yang berbeda-beda dengan penurunan kualitas lingkungan secara bertahap. Jika kualitas lingkungan dapat dibuat menurun secara bertahap, maka bentuk fungsi perubahan (linier, monotonik, kuadratik, dan seterusnya) dapat ditentukan. Fungsi norma reaksinya dapat diestimasi sebagai derajat polinomial ke m dari bentuk persamaan:

Z(a) = b0 + b1a + b2a2 + … + bmam                 

Keterangan: Z(a) = ekspresi fenotipe pada lingkungan yang diukur sebagai a, m = jumlah lingkungan dikurangi dengan 1 dan b0, b1, b2, …bn = koefisien polinomial. Kelenturan diukur sebagai urutan dari koefisien dari yang tertinggi sampai yang terendah.

Heritabilitas kelenturan suatu sifat dapat diestimasi dengan cara berikut:

h2m = G0 σ2P     dan       h2pl = G1 σ2P                

Keterangan: G0 = σ2G, Gl = variasi genetik dari kelenturan, σ2P = adalah total keragaman fenotipik pada seluruh lingkungan, h2m = heritabilitas rataan suatu sifat pada lingkungan yang berbeda dan h2pl = heritabilitas kelenturan suatu sifat.

            Seleksi terhadap kelenturan suatu sifat memerlukan beberapa bentuk grup seleksi atau evolusi pada populasi yang terstruktur. Untuk seleksi buatan, seleksi keluarga pada suatu indeks kelenturan sudah dilakukan. Estimasi heritabilitas kelenturan suatu sifat berdasarkan metode seleksi keluarga adalah:

h2pl = σ2l σ2P                                                    

Keterangan: σ2l = variasi genetik antarkeluarga untuk indeks kelenturan,  σ2P= adalah total keragaman fenotipik indeks. Jika hanya dua lingkungan, maka indeksnya adalah perbedaan rataan keluarga. Keragaman fenotipik total harus dikoreksi untuk error dalam mengestimasi rataan tersebut (Noor, 2000).

 

Interaksi Genotipe-Lingkungan dan Norma Reaksi

Genotipe adalah susunan gen dari suatu individu yang tidak tampak dari luar (Pane, 1986). Penampakan suatu karakter pada individu hewan atau ternak disebut fenotipe. Dalam hal ini fenotipe tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik atau genotipe dan faktor lingkungan (Pallawarukka, 1999). Lingkungan dapat berpengaruh langsung terhadap fenotipe seekor hewan melalui makanan, penyakit, dan pengelolaan, tetapi tidak dapat mempengaruhi genotipe hewan. Pengaruh yang mungkin terjadi terhadap genotipe tidak terjadi secara langsung tetapi melalui seleksi alam atau buatan yang terjadi terhadap individu-individu yang mengakibatkan perubahan frekuensi gen-gen tertentu dalam populasi (Martojo, 1992).  

Performans ternak dipengaruhi oleh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe dengan lingkungan, sedang interaksi genotipe dengan lingkungan dapat merupakan faktor yang berakibat baik (positif) terhadap performans hewan dan dapat pula buruk (negatif), hal ini khas untuk lingkungan dan genotipe tertentu (Martojo, 1992).  Interaksi genotipe dengan lingkungan merupakan masalah yang sangat serius di bidang peternakan pada umumnya dan impor-ekspor ternak pada khususnya. Interaksi ini dikatakan ada jika ternak-ternak yang dipelihara pada lingkungan tertentu akan berubah tingkat produksinya saat dipelihara di lingkungan yang berbeda (Noor, 2000).

Jika dua atau lebih individu berkembang dan tumbuh dari lingkungan yang sama dan memperlihatkan fenotipe yang berbeda, maka dapatlah disimpulkan bahwa kedua individu tersebut mempunyai genotipe yang berbeda.  Sebaliknya, meskipun ada dua atau lebih individu yang bergenotipe sama, tetapi berkembang dalam lingkungan yang berbeda, maka fenotipe mereka kemungkinan besar tidak akan sama (Pane, 1986).  Perbedaan genotipe dapat berupa perbedaan antarbangsa (rumpun), galur, kelompok-kelompok keturunan pejantan-pejantan (Sudono, 1981).

Interaksi genotipe dan lingkungan akan sangat penting peranannya bila hewan yang dipelihara dalam dua lingkungan yang berbeda serta dilakukan seleksi pada masing-masing lingkungan tersebut, dengan mengetahui adanya interaksi genotipe dan lingkungan, maka hal ini dapat menentukan lingkungan yang mana hewan hasil seleksi tersebut harus dipelihara (Sudono, 1981).

Jika kelenturan fenotipik dikendalikan oleh gen pada populasi yang bervariasi genotipenya, maka mungkin terjadi interaksi genotipe dan lingkungan. Interaksi genotipe dan lingkungan di dalam populasi diperlukan untuk evaluasi kelenturan fenotipik (Via dan Lande, 1987).

Hubungan fenotipe dengan lingkungan disebut norma reaksi (reaction norms) (Noor, 2000).  Norma reaksi merupakan suatu cermin yang merefleksikan lingkungan ke dalam distribusi fenotipe. Norma reaksi ditunjukkan dalam bentuk garis atau kurva pada grafik yang memplot fenotipe dengan lingkungan. Norma reaksi dari populasi yang berbeda genotipenya biasanya berbeda kemiringan dan bentuknya. Untuk sifat yang fitnesnya hampir sama, norma reaksi tidak akan bersilangan. Persilangan norma reaksi menunjukkan ada interaksi genotipe dan lingkungan (Stearns, 1989). Persilangan norma reaksi merubah dua distribusi lingkungan yang berbeda ke dalam dua distribusi fenotipe yang berbeda. Kedua genotipe dapat dibedakan dari kedua fenotipe yang berbeda nyata pada lingkungan satu dan dua. Pada daerah di mana norma reaksi bersilangan yaitu berada di titik antara kedua lingkungan tersebut, maka kedua fenotipe tidak berbeda nyata.  Kedua Fenotipe dari genotipe pada lingkungan yang satu akan berubah urutannya jika berada dalam lingkungan dua atau sebaliknya (Griffiths et al., 1993).

            Perkembangan teori genetika lingkungan yang terakhir menunjukkan bahwa gen-gen yang mengatur kelenturan fenotipik suatu sifat secara langsung mengatur derajat interaksi antara genotipe dengan lingkungan dimana hewan itu berada. Dengan menggunakan teori genetik ini dapat diidentifikasi gen-gen mana yang bertanggung jawab terhadap daya tahan lingkungan (Noor et al., 1997).

 

Seleksi Gen Kelenturan Fenotipik

Selama ini pemecahan masalah interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan didekati dari segi manajemen.  Beberapa pendekatan genetik untuk memecahkan masalah ini mulai dilakukan, seperti dengan menyilangkan ternak impor dengan ternak lokal.  Jika program perbaikan mutu genetik ternak lokal Indonesia dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap gen-gen yang mengontrol kelenturan fenotipik, maka seleksi terhadap gen-gen inilah yang merupakan pemecahan paling tepat untuk masalah interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan.  Sebab gen-gen ini secara langsung mengatur seberapa jauh tingkat produksi suatu sifat itu bisa dilenturkan (Noor, 2000).

Dalam menentukan kebijakan persilangan ternak, terutama pada ternak ruminansia besar, maka harus dipertimbangkan antara bentuk tubuh dengan pengadaan atau ketersediaan pakan yang ada.  Kalau bangsa ternak impor tidak diperlukan maka untuk memperbaiki mutu ternak harus dilakukan seleksi terhadap ternak lokal yang ada.  Apabila bangsa ternak impor diperlukan maka bangsa ternak apa yang diimpor dan seberapa besar komposisi darah bangsa impor ini dapat diterima dalam kondisi setempat harus menjadi bahan pertimbangan (Hardjosubroto, 1994).

Gen kelenturan dapat diseleksi, sehingga diperoleh ternak-ternak yang tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan tanpa terlalu banyak mengurbankan aspek produksi dan reproduksinya.  Gen kelenturan dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Seleksi ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan sesuai dengan pendapat Noor (2000) bahwa, program seleksi tidak saja ditujukan pada gen-gen yang mengontrol kualitas sifat produksi, tetapi juga pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat produksi tersebut pada lingkungan yang berbeda.

Seleksi terhadap gen-gen yang mengatur rataan suatu sifat akan memberikan respons yang berbeda dengan seleksi terhadap gen-gen yang mengatur kelenturan fenotipik sifat tersebut. Disamping itu dapat digambarkan tata hubungan kerja antargen yang mengatur kelenturan fenotipik. Kelenturan fenotipik sifat-sifat morfologi, misalnya bobot badan, tinggi badan, laju pertumbuhan dan bobot dewasa kelamin diatur oleh gen-gen yang berbeda dengan gen-gen yang mengatur rataan sifat tersebut. Akan tetapi gen-gen yang mengatur kelenturan sifat-sifat ‘life history’ seperti misalnya umur dewasa kelamin, daya hidup dan mortalitas tidak memiliki lokus yang berbeda dengan gen-gen yang mengatur rataannya. Gen-gen yang mengatur kelenturan fenotipik sifat-sifat morfologi juga mengatur kelenturan fenotipik sifat-sifat life history (Noor et al., 1997).

 

Kelenturan Fenotipik pada Ternak

Tekanan penduduk dan industri yang semakin besar terhadap udara, lahan, air, energi dan sumberdaya utama lainnya dapat mengancam produktivitas ternak lokal. Dewasa ini, lahan untuk beternak itik yang diusahakan petani peternak umumnya semakin sempit karena masa penanaman kembali setelah panen semakin cepat dan juga pencemaran air karena penggunaan pestisida, sehingga beberapa petani peternak mulai beralih dari sistem pengembalaan ke sistem peternakan intensif dengan aspek penyediaan pakan 70-100% dari seluruh pakan yang dibutuhkan ternak itik. Biasanya pakan disediakan dan disimpan selama beberapa hari. Pada sistem ini, pakan ternak itik sering mengalami penjamuran (aflatoksin) yang berakibat keracunan pada itik piara. Aflatoksin dapat menurunkan produktivitas itik. Hasil beberapa penelitian (Dewantari, 1998; Sukada, 1999) menunjukkan bahwa terdapat fenomena kelenturan fenotipik bobot badan pada itik Tegal dan itik Mojosari maupun silangannya dalam merespons kandungan aflatoksin yang berbeda. Bobot badan itik Tegal lebih lentur jika dibandingkan dengan bobot badan itik Mojosari. Menurut Noor (2000), berdasarkan hasil penelitian ternyata selain gen-gen yang mengatur rataan produksi, terdapat juga gen-gen yang mengontrol seberapa jauh sifat produksi tersebut dapat dilenturkan. Dalam keadaan normal, gen-gen kelenturan bersifat statis, tetapi begitu ternak mengalami cekaman yang ditimbulkan dari lingkungan, maka gen-gen tersebut menjadi aktif berperan.

Sampai sejauh ini belum ada laporan yang aktual tentang kelenturan fenotipik pada ternak ruminansia di Indonesia. Ada kemungkinan ternak sapi, kerbau, kambing dan domba juga akan mengalami kelenturan fenotipik sebagai respons terhadap lingkungan. Indonesia merupakan  salah satu negara tropika dan usaha peternakan umumnya (90%) masih berada di tangan rakyat dengan sistem manajemen pemeliharaan masih tradisional, sehingga fenomena kelenturan fenotipik menjadi penting dan perlu diperhitungkan.

Salah satu fenomena ini dapat juga dijelaskan pada ternak-ternak ruminansia yang hidup di daerah yang mengalami cekaman karena pakan berkualitas rendah (serat kasar tinggi dan kandungan protein kasar rendah) pada musim kemarau.  Sapi Bali (Bos banteng) misalnya, di mana dahulu pada mulanya didomestikasi di pulau Bali yang merupakan ternak asli Indonesia dan mempunyai keunggulan tinggi. Sapi ini dapat dikembangkan di semua wilayah Indonesia. Sapi Bali yang masih murni hanya terdapat di pulau Bali, sedangkan sapi Bali yang berada di luar pulau Bali dikuatirkan telah terjadi persilangan-persilangan dengan bangsa sapi lain. Populasi sapi Bali di wilayah timur seperti NTT, NTB dan Sulawesi Selatan ada yang ditemukan ukuran tubuhnya kecil-kecil. Walaupun demikian, belum tentu sapi-sapi Bali yang kecil-kecil itu telah mengalami kemunduran genetik atau akibat kawin silang yang tidak terencana, tetapi kemungkinan memperlihatkan kelenturan fenotipik terhadap agro-ekosistem yang kering sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Tingkat mortalitas anak sapi Bali yang tinggi juga belum tentu disebabkan oleh kemunduran genetik, tetapi kemungkinan karena kekurangan produksi dan kualitas susu induk akibat mutu pakan yang rendah pada musim-musim tertentu ataupun masih kurang penanganan peternak terhadap anak sapi yang masih dalam  tahap transisi.

Fenomena kelenturan fenotipik pada hewan amfibi di alam pernah dilaporkan oleh Gebhardt dan Stearns (1993) yang melakukan penelitian pada katak di suatu tempat dengan predator berupa capung-capung. Kelompok pertama sebagai kontrol tidak ada predator,  sedangkan kelompok kedua dilepaskan capung-capung, dan katak dikawinkan sampai beberapa generasi. Hasilnya menunjukkan bahwa apabila lingkungannya banyak terdapat organisme pemangsa (capung), maka setiap generasi anak (berudu) memperlihatkan performans yang berbeda dengan setiap generasi tetuanya. Katak kelompok kedua memiliki generasi anak yang mempunyai ukuran badan lebih kecil dan ekor yang lebih pendek dibandingkan kontrol. Apabila keadaan ini dilanjutkan sampai beberapa generasi, maka setiap generasi anak akan mempunyai badan yang semakin kecil dan ekor yang semakin pendek pada setiap generasi tetuanya. Keadaan ini ternyata untuk menghindari diri dari serangan musuh, yaitu capung. Berudu yang mempunyai badan lebih kecil dan ekor yang lebih pendek memperlihatkan gerakan-gerakan tubuh yang lebih lincah dan gesit, sehingga tidak mudah diincar capung. Peristiwa ini merupakan kelenturan fenotipik. Katak-katak percobaan tersebut mengalami seleksi alam. Alam menghendaki gen-gen tertentu pada setiap individu katak. Katak-katak yang sesuai dengan lingkungannya melalui ekspresi gen-gennya akan terus hidup dan berkembang biak, sedangkan yang tidak sesuai akan mati dan punah. Oleh karena itu, jumlah dan pola kelenturan suatu sifat bukanlah sesuatu yang statis. Dari hasil-hasil penelitian telah dibuktikan bahwa kedua parameter kelenturan ini bervariasi dari suatu populasi ke populasi lainnya.

Pada daerah tertentu, dapat dijumpai kasus penyempitan lahan usaha peternakan di lahan produktif menyebabkan populasi ternak menurun dan kadang ternak berpindah ke tempat lain dengan kondisi salinitas air tanah yang tinggi bahkan ke lahan kritis. Keadaan ini  dapat dijumpai pada peternakan rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam.  Pada sistem pengembalaan, ternak ruminansia daerah pesisir di sana akan kembali mengalami penurunan produksi  dan ini kemungkinan karena kadar garam air tanah yang meningkat pada musim kemarau.  Abdullah (2003), telah memodelkan fenomena kelenturan fenotipik pada ternak di daerah pesisir melalui hewan mencit (Mus musculus). Pemodelan ini kemungkinan dapat mendukung penerapannya pada ternak ruminansia yang hidup di daerah pesisir pantai Indonesia. Menurut Sudono (1981), banyak ahli mengemukakan bahwa penelitian dengan hewan laboratorium, misalnya tikus atau mencit, sangat bermanfaat guna mendapatkan keterangan dasar mengenai cara-cara perbaikan mutu genetik ternak. Kemudian keuntungan memakai hewan laboratorium yaitu biaya penelitian lebih murah dengan pemakaian banyak hewan dan selang generasinya pendek yaitu tiga bulan apabila dibandingkan dengan ternak ruminansia.  Moriwaki et al. (1994) berpendapat bahwa, hewan mencit memiliki jumlah anak yang banyak per kelahiran, sifat-sifat produksi dan reproduksi menyerupai hewan mamalia.

Terdapat perbedaan kelenturan fenotipik antardua populasi mencit yang berbeda secara genetik (mencit putih dan mencit agouti) dalam merespons perbedaan kadar garam dalam air minum. Mencit agouti (hasil persilangan mencit laboratorium dan mencit liar) mempunyai daya produksi dan reproduksi yang lebih baik terhadap perubahan kadar garam dalam air minum sampai dengan konsentrasi 2,8% (tingkat salinitas 22 , kandungan natrium 97,231 mg/l, magnesium 0,622 mg/l dan kalium 0,653 mg/l) dibandingkan mencit putih. Pada generasi kedua (F2) dan keadaan lingkungan yang sama dengan generasi pertama (F1), ternyata kedua populasi  memperlihatkan kemampuan yang lebih baik dibandingkan tetuanya (generasi F1) dan mencit agouti tetap memperlihatkan keunggulan dibandingkan mencit putih. Apabila mencit yang telah dewasa tubuh dikawinkan sesuai masing-masing populasi dan lingkungan yang berbeda, maka diketahui data rataan fertilitas induk mencit putih sebesar 97,50% dan 100% bagi mencit agouti. Menurut Martojo (1992), fungsi normal seluruh alat reproduksi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kenyataan ini makin banyak ditemukan pada ternak yang didatangkan dari lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan lokal dan mengakibatkan gangguan fungsi reproduksinya seperti terlihat pada ternak betina yang terganggu  bahkan terhenti siklus birahinya dan pada jantan yang tidak memperlihatkan libido sama sekali.

Secara alami hewan-hewan liar lebih dapat menerima perubahan keadaan lingkungan yang berfluktuasi, karena keadaan alamnya yang demikian dan alam ikut menyeleksi,  sehingga hewan-hewan yang lebih dapat menerima keadaan alam akan dapat hidup berbiak dan berkembang.   Menurut Martojo (1992), seleksi alam terjadi melalui suatu proses “survival of the fittest” dalam suatu lingkungan tertentu. Proses seleksi alam merupakan perpaduan yang rumit dari berbagai faktor yang menentukan hewan-hewan mana yang akan dapat bertahan dan terpilih untuk dapat bereproduksi. Individu yang paling baik daya penyesuaiannya dengan lingkungan tertentu akan dapat menghasilkan keturunan yang terbanyak.  Sebaliknya yang kurang daya tahannya akan mati atau majir.  Di sini terlihat pentingnya reproduksi dalam pemuliaan.  Seekor hewan yang tidak dapat bereproduksi dalam suatu lingkungan tertentu, baik gangguan reproduksi tersebut bersifat sementara atau tetap, tidak ada manfaatnya lagi dari segi pemuliaan.  Di Indonesia karena peternakan terbanyak masih dilakukan di pedesaan dengan cara-cara sederhana atau tradisional maka seleksi alam masih berjalan, bahkan masih berperanan lebih besar dibandingkan dengan seleksi buatan.

Berdasarkan teori kelenturan fenotipik dan hasil penelitian pada hewan model yang telah dilakukan, maka ada peluang kemungkinan pengembangan ternak ruminansia di daerah pesisir pantai. Membentuk ternak-ternak yang tahan terhadap kualitas air minum atau ternak-ternak yang tahan dan lebih toleran terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan bukan hal yang tidak mungkin dilakukan dan kemungkinan ini perlu ditelaah serta ditindaklanjuti. Prospek pengembangan usaha ternak pada lingkungan yang kurang optimal mutunya bisa dilakukan, karena mengingat kemampuan daya tampung lahan produktif untuk usaha peternakan semakin menyempit sehingga cara ini merupakan salah satu alternatif pemecahannya.

           

Kesimpulan

1.      Pengembangan usaha peternakan di daerah-daerah yang mengalami hambatan karena lingkungan yang kurang  optimal, maka dapat dikembangkan ternak-ternak lokal yang telah lama beradaptasi dengan iklim setempat atau ternak-ternak hasil persilangan ternak lokal dengan ternak impor dan melakukan seleksi ke arah ternak yang memiliki nilai kelenturan yang rendah terhadap lingkungan.

2.      Sebelum melakukan pengembangan usaha ternak di suatu tempat dengan maksud untuk memperoleh produktivitas ternak yang optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya, maka faktor lingkungan harus diperhatikan.

3.      Ternak-ternak yang memiliki genotipe sama (tingkat keragaman populasi ternak yang rendah), apabila dipelihara pada daerah-daerah yang berbeda akan memperlihatkan fenotipe yang berbeda, karena kemampuan ternak untuk mengekspresikan gen-gennya berbeda pada lingkungan yang berbeda.

4.      Gen kelenturan fenotipik pada ternak dapat diseleksi, baik melalui seleksi alam maupun buatan dan hasil seleksi tersebut ditujukan untuk membentuk populasi ternak yang lebih tahan dan toleran terhadap cekaman lingkungan.

 

Daftar Pustaka

Abdullah, M.A.N. 2003. Kelenturan fenotipik sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Mencit (Mus musculus) sebagai respons terhadap air minum yang mengandung tingkat garam berbeda. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak.

 

Dewantari, M. 1998. Kelenturan fenotipik sifat-sifat produksi pada itik lokal dan silangannya sebagai respons terhadap ransum dengan kandungan aflatoksin yang berbeda. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak.

 

Gebhardt, M.D. dan Stearns, S.C. 1993. Phenotypic plasticity for life history traits in Drosophila melanogaster. I. Effect on phenotypic and environmental correlations. J.evol.Biol. 6:  1-16.

 

Griffiths, A.J.F., J.H. Miller, D.T. Suzuki, R.C. Lewontin and W.M. Gelbart. 1993. An Introduction to Genetics Analysis. W. H. Freeman and Company, New York.

 

Hardjosubroto, W. 1994.  Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan.  Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

 

Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu  Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

 

Moriwaki, K., T. Shiroishi and H. Yonekawa. 1994.  Genetics in Wild Mice, Its    Application to Biomedical Reserch.  Japan Scientific Societies Press, Karger, Tokyo.

 

Noor, R.R. 2000.  Genetika Ternak.  Cetakan ke-3. Penebar Swadaya, Jakarta.

 

Noor, R.R., R.R.A. Maheswari dan L.O. Nafiu. 1997. Identifikasi dan karakterisasi gen-gen pengatur kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) sifat-sifat produksi dan reproduksi tikus sawah sebagai suatu cara untuk menekan perkembangbiakannya secara biologis. Fakultas Peternakan, IPB.

 

Pallawarukka. 1999. Ilmu Pemuliaan Ternak Perah. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

 

Pane, I. 1986.  Pemuliabiakan Ternak Sapi.  Gramedia, Jakarta.

 

Ridley, M. 1991.  Masalah-masalah Evolusi.  Penerbit Universitas Indonesia.  UI-Press, Jakarta.

 

Schlichting, C.D. and D.A. Levin. 1984.  Phenotypic plasticity of annual Phlox: tests of some hypothesis. Amev. J. Bol. 71 : 252-260.

 

Stearns, S. C.1989. The evolutionary significance of phenotypic plasticity.  Bio Sci. Vol. 39. No.7.

 

Sudono. A. 1981.  Pengaruh interaksi antara genotipe dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit  [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.  Program Pascasarjana. Program Studi  Ilmu Ternak.

 

Sukada, I.K. 1999. Aspek genetik kelenturan fenotipik bobot badan itik Tegal dan Mojosari sebagai respons terhadap perubahan aflatoksin dalam ransum. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak.

 

Sultan, S.E. Evolutionary implication of phenotypic plasticity in plants. J. Evol. Biol., 20: 127-178.

 

Via, S. 1993. Regulatory genes and reaction norms. Amer. Nat., 374-378.

 

Via, S. and R. Lande. 1987.  Evolution of genetic variability in a spatially heterogeneous environment: effects of genotype-environment interaction.  Genet. Res., 49 : 197- 256.