© 2003 Mohd. Agus
Nashri Abdullah Posted: 4 November
2003
Pengantar Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
November 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof.
Dr. Ir. Zahrial Coto
KELENTURAN FENOTIPIK
TERNAK SEBAGAI RESPONS TERHADAP LINGKUNGAN
Oleh:
D061030081/PTK
E-mail: agus_nashri@yahoo.com
Kenaikan
angka laju pertumbuhan penduduk disertai dengan tingkat pengetahuan dan
pendapatan masyarakat yang semakin membaik menuntut ketersediaan pangan
berprotein tinggi dari produk ternak (daging, susu dan telur) berkualitas yang
semakin meningkat pula. Pada sisi lain, sumbangan peternakan terhadap pemenuhan
kebutuhan daging nasional masih saja kekurangan sampai saat ini. Pemerintah
masih melakukan impor daging segar atau beku bahkan mendatangkan ternak-ternak
unggul dari daerah temperate yang iklimnya sangat berbeda dengan iklim
Program mengimpor ternak, embrio
transfer dan semen beku telah banyak menguras devisa negara. Disamping itu, ada
kemungkinan kita akan kehilangan kekayaan plasma nutfah ternak-ternak lokal
Demikian juga dalam kegiatan
perpindahan ternak lokal dari suatu tempat ke tempat lain. Perpindahan ternak
tidak lagi menjadi hambatan karena perkembangan sarana transportasi. Begitu
tiba di lokasi yang berbeda, secara umum ternak akan memperlihatkan penurunan
performans. Semakin besar pengaruh lingkungan yang berbeda dengan lokasi
hidupnya semula, maka semakin besar pula terjadi penurunan tingkat
produktivitasnya bahkan bisa mencapai batas ketahanannya (vigouritas)
yang menyebabkan ternak mengalami kematian.
Secara alami,
ternak-ternak yang mengalami perubahan lingkungan akan ada respons dari dalam
tubuhnya untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang baru sampai pada
keadaan yang ekstrim sekalipun dan apabila keadaan ini relatif berlangsung
lama, maka timbul reaksi berupa penurunan tingkat status fisiologis pada
ternak. Tubuh ternak mempunyai mekanisme stabilitas atau homeostasis dan
kerja di dalam tubuhnya diatur oleh gen-gen dan ternyata ada peran gen-gen
kelenturan. Keberadaan gen-gen kelenturan telah dilaporkan pada tanaman, ikan,
serangga, amfibi (Noor, 2000), mencit (Mus musculus) (Noor, 2000;
Abdullah, 2003) dan ternak itik (Dewantari, 1998; Sukada, 1999).
Kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) adalah kemampuan suatu individu atau genotipe untuk menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologis dan atau tingkah laku sebagai respons terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kelenturan fenotipik ini mencerminkan kepekaan fenotipe terhadap lingkungan (Noor, 2000). Sultan (1987), mendefinisikan kelenturan fenotipik yaitu variasi ekspresi fenotipe suatu genotipe sebagai respons terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk dapat bertahan hidup dan bereproduksi pada kondisi lingkungan tersebut. Kelenturan fenotipik menunjukkan besarnya tingkat ekspresi fenotipe suatu genotipe bervariasi berdasarkan kondisi lingkungan yang berbeda.
Fenomena kelenturan fenotipik sering diasumsikan sebagai peredam pengaruh-pengaruh seleksi alam sehingga bertindak sebagai penghambat proses evolusi. Namun secara berangsur-angsur pengertian ini berubah, sebab kelenturan fenotipik merupakan komponen utama dalam proses evolusi (Noor, 2000). Mekanisme evolusi adalah menemukan suatu teori yang dapat menjelaskan evolusi, yang dapat menjelaskan adaptasi, dan yang sesuai dengan fakta heriditas (Ridley, 1991). Fakta kelenturan fenotipik penting jika suatu ternak akan memperlihatkan fenotipe yang berbeda sebagai respons terhadap variable lingkungan. Suatu aspek kelenturan fenotipe dapat menghasilkan nilai heritabilitas yang berbeda apabila ternak berada dalam lingkungan yang berbeda (Gebhardt dan Stearns, 1993).
Dari hasil-hasil penelitian pada beberapa spesies tanaman dan hewan, dapat disimpulkan bahwa kelenturan fenotipik merupakan fenomena genetik, karena: (1) kelenturan fenotipik adalah suatu sifat yang menjadi subjek seleksi alam dan perubahan secara evolusi; (2) terdapat variasi genetik pada arah dan besarnya respons terhadap perubahan lingkungan; (3) telah dideteksi adanya respons seleksi terhadap kelenturan fenotipik (Noor, 2000).
Ada tiga hipotesis kelenturan fenotipik yaitu: (1) hipotesis ekologi menunjukkan bahwa spesies dengan ekologi berbeda akan memiliki nilai dan pola kelenturan yang berbeda; (2) hipotesis heterogenetis yang menggambarkan kelenturan fenotipik dan keragaman genetis sebagai perubahan adaptasi terhadap lingkungan yang bervariasi dan spesies dengan keragaman genetik kecil akan lebih lentur; dan (3) hipotesis kekerabatan adalah spesies yang hubungan kekerabatannya jauh akan mempunyai nilai dan pola kelenturan yang berbeda (Schlichting dan Levin, 1984).
Ada tiga teori yang mendasari aspek genetik tentang kelenturan fenotipik, yaitu: (1) kelenturan fenotipik sebagai suatu sifat yang dikontrol oleh gen-gen pada lokus yang berbeda dengan gen-gen yang mengontrol rataan suatu sifat pada lingkungan tertentu; (2) kelenturan fenotipik digambarkan sebagai suatu fenomena seleksi untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan yang berbeda; (3) menggambarkan kelenturan fenotipik sebagai fungsi homosigositas dan mengasumsikan bahwa jumlah perubahan fenotipe pada lingkungan yang berbeda merupakan suatu fungsi menurun dari jumlah lokus heterosigot (Via, 1993; Noor, 2000).
Pengukuran kelenturan harus
menunjukkan jumlah perubahan fenotipe pada lingkungan yang berbeda-beda dengan
penurunan kualitas lingkungan secara bertahap. Jika kualitas lingkungan dapat
dibuat menurun secara bertahap, maka bentuk fungsi perubahan (linier,
monotonik, kuadratik, dan seterusnya) dapat ditentukan. Fungsi norma reaksinya dapat diestimasi sebagai
derajat polinomial ke m dari bentuk persamaan:
Z(a) = b0 +
b1a + b2a2 + … + bmam
Keterangan: Z(a) =
ekspresi fenotipe pada lingkungan yang diukur sebagai a, m = jumlah lingkungan
dikurangi dengan 1 dan b0, b1, b2, …bn
= koefisien polinomial. Kelenturan diukur sebagai urutan dari koefisien dari
yang tertinggi sampai yang terendah.
Heritabilitas
kelenturan suatu sifat dapat diestimasi dengan cara berikut:
h2m
= G0 σ2P dan h2pl = G1
σ2P
Keterangan: G0 =
σ2G, Gl = variasi genetik dari
kelenturan, σ2P = adalah total keragaman fenotipik pada
seluruh lingkungan, h2m = heritabilitas rataan suatu
sifat pada lingkungan yang berbeda dan h2pl =
heritabilitas kelenturan suatu sifat.
Seleksi
terhadap kelenturan suatu sifat memerlukan beberapa bentuk grup seleksi atau
evolusi pada populasi yang terstruktur. Untuk seleksi buatan, seleksi keluarga
pada suatu indeks kelenturan sudah dilakukan. Estimasi heritabilitas kelenturan
suatu sifat berdasarkan metode seleksi keluarga adalah:
h2pl
= σ2l σ2P
Keterangan: σ2l = variasi genetik antarkeluarga untuk indeks
kelenturan, σ2P= adalah total keragaman fenotipik indeks. Jika
hanya dua lingkungan, maka indeksnya adalah perbedaan rataan keluarga. Keragaman
fenotipik total harus dikoreksi untuk error dalam mengestimasi rataan tersebut
(Noor, 2000).
Genotipe adalah
susunan gen dari suatu individu yang tidak tampak dari luar (Pane, 1986). Penampakan
suatu karakter pada individu hewan atau ternak disebut fenotipe. Dalam hal ini
fenotipe tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik atau genotipe dan faktor
lingkungan (Pallawarukka, 1999). Lingkungan dapat berpengaruh langsung terhadap
fenotipe seekor hewan melalui makanan, penyakit, dan pengelolaan, tetapi tidak
dapat mempengaruhi genotipe hewan. Pengaruh yang mungkin terjadi terhadap
genotipe tidak terjadi secara langsung tetapi melalui seleksi alam atau buatan
yang terjadi terhadap individu-individu yang mengakibatkan perubahan frekuensi gen-gen
tertentu dalam populasi (Martojo, 1992).
Performans ternak
dipengaruhi oleh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe dengan lingkungan,
sedang interaksi genotipe dengan lingkungan dapat merupakan faktor yang
berakibat baik (positif) terhadap performans hewan dan dapat pula buruk
(negatif), hal ini khas untuk lingkungan dan genotipe tertentu (Martojo,
1992). Interaksi genotipe dengan
lingkungan merupakan masalah yang sangat serius di bidang peternakan pada
umumnya dan impor-ekspor ternak pada khususnya. Interaksi ini dikatakan ada
jika ternak-ternak yang dipelihara pada lingkungan tertentu akan berubah
tingkat produksinya saat dipelihara di lingkungan yang berbeda (Noor, 2000).
Jika dua atau lebih
individu berkembang dan tumbuh dari lingkungan yang sama dan memperlihatkan
fenotipe yang berbeda, maka dapatlah disimpulkan bahwa kedua individu tersebut
mempunyai genotipe yang berbeda. Sebaliknya,
meskipun ada dua atau lebih individu yang bergenotipe sama, tetapi berkembang
dalam lingkungan yang berbeda, maka fenotipe mereka kemungkinan besar tidak
akan sama (Pane, 1986). Perbedaan
genotipe dapat berupa perbedaan antarbangsa (rumpun), galur, kelompok-kelompok
keturunan pejantan-pejantan (Sudono, 1981).
Interaksi genotipe dan lingkungan
akan sangat penting peranannya bila hewan yang dipelihara dalam dua lingkungan
yang berbeda serta dilakukan seleksi pada masing-masing lingkungan tersebut,
dengan mengetahui adanya interaksi genotipe dan lingkungan, maka hal ini dapat
menentukan lingkungan yang mana hewan hasil seleksi tersebut harus dipelihara
(Sudono, 1981).
Jika kelenturan
fenotipik dikendalikan oleh gen pada populasi yang bervariasi genotipenya, maka
mungkin terjadi interaksi genotipe dan lingkungan. Interaksi genotipe dan
lingkungan di dalam populasi diperlukan untuk evaluasi kelenturan fenotipik
(Via dan Lande, 1987).
Hubungan fenotipe dengan lingkungan disebut norma reaksi (reaction norms) (Noor, 2000). Norma reaksi merupakan suatu cermin yang merefleksikan lingkungan ke dalam distribusi fenotipe. Norma reaksi ditunjukkan dalam bentuk garis atau kurva pada grafik yang memplot fenotipe dengan lingkungan. Norma reaksi dari populasi yang berbeda genotipenya biasanya berbeda kemiringan dan bentuknya. Untuk sifat yang fitnesnya hampir sama, norma reaksi tidak akan bersilangan. Persilangan norma reaksi menunjukkan ada interaksi genotipe dan lingkungan (Stearns, 1989). Persilangan norma reaksi merubah dua distribusi lingkungan yang berbeda ke dalam dua distribusi fenotipe yang berbeda. Kedua genotipe dapat dibedakan dari kedua fenotipe yang berbeda nyata pada lingkungan satu dan dua. Pada daerah di mana norma reaksi bersilangan yaitu berada di titik antara kedua lingkungan tersebut, maka kedua fenotipe tidak berbeda nyata. Kedua Fenotipe dari genotipe pada lingkungan yang satu akan berubah urutannya jika berada dalam lingkungan dua atau sebaliknya (Griffiths et al., 1993).
Perkembangan teori genetika lingkungan yang terakhir menunjukkan bahwa gen-gen yang mengatur kelenturan fenotipik suatu sifat secara langsung mengatur derajat interaksi antara genotipe dengan lingkungan dimana hewan itu berada. Dengan menggunakan teori genetik ini dapat diidentifikasi gen-gen mana yang bertanggung jawab terhadap daya tahan lingkungan (Noor et al., 1997).
Seleksi Gen Kelenturan Fenotipik
Selama
ini pemecahan masalah interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan
didekati dari segi manajemen. Beberapa
pendekatan genetik untuk memecahkan masalah ini mulai dilakukan, seperti dengan
menyilangkan ternak impor dengan ternak lokal.
Jika program perbaikan mutu genetik ternak lokal
Dalam menentukan kebijakan persilangan ternak, terutama pada ternak
ruminansia besar, maka harus dipertimbangkan antara bentuk tubuh dengan
pengadaan atau ketersediaan pakan yang ada.
Kalau bangsa ternak impor tidak diperlukan maka untuk memperbaiki mutu
ternak harus dilakukan seleksi terhadap ternak lokal yang ada. Apabila bangsa ternak impor diperlukan maka
bangsa ternak apa yang diimpor dan seberapa besar komposisi darah bangsa impor
ini dapat diterima dalam kondisi setempat harus menjadi bahan pertimbangan (Hardjosubroto,
1994).
Gen kelenturan dapat diseleksi, sehingga diperoleh ternak-ternak yang tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan tanpa terlalu banyak mengurbankan aspek produksi dan reproduksinya. Gen kelenturan dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Seleksi ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan sesuai dengan pendapat Noor (2000) bahwa, program seleksi tidak saja ditujukan pada gen-gen yang mengontrol kualitas sifat produksi, tetapi juga pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat produksi tersebut pada lingkungan yang berbeda.
Seleksi terhadap gen-gen yang mengatur rataan suatu sifat akan memberikan respons yang berbeda dengan seleksi terhadap gen-gen yang mengatur kelenturan fenotipik sifat tersebut. Disamping itu dapat digambarkan tata hubungan kerja antargen yang mengatur kelenturan fenotipik. Kelenturan fenotipik sifat-sifat morfologi, misalnya bobot badan, tinggi badan, laju pertumbuhan dan bobot dewasa kelamin diatur oleh gen-gen yang berbeda dengan gen-gen yang mengatur rataan sifat tersebut. Akan tetapi gen-gen yang mengatur kelenturan sifat-sifat ‘life history’ seperti misalnya umur dewasa kelamin, daya hidup dan mortalitas tidak memiliki lokus yang berbeda dengan gen-gen yang mengatur rataannya. Gen-gen yang mengatur kelenturan fenotipik sifat-sifat morfologi juga mengatur kelenturan fenotipik sifat-sifat life history (Noor et al., 1997).
Tekanan penduduk dan industri yang semakin besar terhadap udara, lahan, air, energi dan sumberdaya utama lainnya dapat mengancam produktivitas ternak lokal. Dewasa ini, lahan untuk beternak itik yang diusahakan petani peternak umumnya semakin sempit karena masa penanaman kembali setelah panen semakin cepat dan juga pencemaran air karena penggunaan pestisida, sehingga beberapa petani peternak mulai beralih dari sistem pengembalaan ke sistem peternakan intensif dengan aspek penyediaan pakan 70-100% dari seluruh pakan yang dibutuhkan ternak itik. Biasanya pakan disediakan dan disimpan selama beberapa hari. Pada sistem ini, pakan ternak itik sering mengalami penjamuran (aflatoksin) yang berakibat keracunan pada itik piara. Aflatoksin dapat menurunkan produktivitas itik. Hasil beberapa penelitian (Dewantari, 1998; Sukada, 1999) menunjukkan bahwa terdapat fenomena kelenturan fenotipik bobot badan pada itik Tegal dan itik Mojosari maupun silangannya dalam merespons kandungan aflatoksin yang berbeda. Bobot badan itik Tegal lebih lentur jika dibandingkan dengan bobot badan itik Mojosari. Menurut Noor (2000), berdasarkan hasil penelitian ternyata selain gen-gen yang mengatur rataan produksi, terdapat juga gen-gen yang mengontrol seberapa jauh sifat produksi tersebut dapat dilenturkan. Dalam keadaan normal, gen-gen kelenturan bersifat statis, tetapi begitu ternak mengalami cekaman yang ditimbulkan dari lingkungan, maka gen-gen tersebut menjadi aktif berperan.
Sampai sejauh ini belum ada laporan
yang aktual tentang kelenturan fenotipik pada ternak ruminansia di
Salah satu fenomena
ini dapat juga dijelaskan pada ternak-ternak ruminansia yang hidup di daerah
yang mengalami cekaman karena pakan berkualitas rendah (serat kasar tinggi dan
kandungan protein kasar rendah) pada musim kemarau. Sapi Bali (Bos banteng) misalnya, di mana dahulu pada mulanya
didomestikasi di pulau
Fenomena kelenturan fenotipik pada hewan amfibi di alam pernah dilaporkan oleh Gebhardt dan Stearns (1993) yang melakukan penelitian pada katak di suatu tempat dengan predator berupa capung-capung. Kelompok pertama sebagai kontrol tidak ada predator, sedangkan kelompok kedua dilepaskan capung-capung, dan katak dikawinkan sampai beberapa generasi. Hasilnya menunjukkan bahwa apabila lingkungannya banyak terdapat organisme pemangsa (capung), maka setiap generasi anak (berudu) memperlihatkan performans yang berbeda dengan setiap generasi tetuanya. Katak kelompok kedua memiliki generasi anak yang mempunyai ukuran badan lebih kecil dan ekor yang lebih pendek dibandingkan kontrol. Apabila keadaan ini dilanjutkan sampai beberapa generasi, maka setiap generasi anak akan mempunyai badan yang semakin kecil dan ekor yang semakin pendek pada setiap generasi tetuanya. Keadaan ini ternyata untuk menghindari diri dari serangan musuh, yaitu capung. Berudu yang mempunyai badan lebih kecil dan ekor yang lebih pendek memperlihatkan gerakan-gerakan tubuh yang lebih lincah dan gesit, sehingga tidak mudah diincar capung. Peristiwa ini merupakan kelenturan fenotipik. Katak-katak percobaan tersebut mengalami seleksi alam. Alam menghendaki gen-gen tertentu pada setiap individu katak. Katak-katak yang sesuai dengan lingkungannya melalui ekspresi gen-gennya akan terus hidup dan berkembang biak, sedangkan yang tidak sesuai akan mati dan punah. Oleh karena itu, jumlah dan pola kelenturan suatu sifat bukanlah sesuatu yang statis. Dari hasil-hasil penelitian telah dibuktikan bahwa kedua parameter kelenturan ini bervariasi dari suatu populasi ke populasi lainnya.
Pada daerah tertentu, dapat dijumpai kasus penyempitan lahan usaha
peternakan di lahan produktif menyebabkan populasi ternak menurun dan kadang
ternak berpindah ke tempat lain dengan kondisi salinitas air tanah yang tinggi
bahkan ke lahan kritis. Keadaan ini
dapat dijumpai pada peternakan rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam. Pada sistem pengembalaan, ternak ruminansia
daerah pesisir di
Terdapat perbedaan kelenturan fenotipik antardua populasi mencit yang berbeda secara genetik (mencit putih dan mencit agouti) dalam merespons perbedaan kadar garam dalam air minum. Mencit agouti (hasil persilangan mencit laboratorium dan mencit liar) mempunyai daya produksi dan reproduksi yang lebih baik terhadap perubahan kadar garam dalam air minum sampai dengan konsentrasi 2,8% (tingkat salinitas 22 ‰, kandungan natrium 97,231 mg/l, magnesium 0,622 mg/l dan kalium 0,653 mg/l) dibandingkan mencit putih. Pada generasi kedua (F2) dan keadaan lingkungan yang sama dengan generasi pertama (F1), ternyata kedua populasi memperlihatkan kemampuan yang lebih baik dibandingkan tetuanya (generasi F1) dan mencit agouti tetap memperlihatkan keunggulan dibandingkan mencit putih. Apabila mencit yang telah dewasa tubuh dikawinkan sesuai masing-masing populasi dan lingkungan yang berbeda, maka diketahui data rataan fertilitas induk mencit putih sebesar 97,50% dan 100% bagi mencit agouti. Menurut Martojo (1992), fungsi normal seluruh alat reproduksi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kenyataan ini makin banyak ditemukan pada ternak yang didatangkan dari lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan lokal dan mengakibatkan gangguan fungsi reproduksinya seperti terlihat pada ternak betina yang terganggu bahkan terhenti siklus birahinya dan pada jantan yang tidak memperlihatkan libido sama sekali.
Secara alami hewan-hewan liar lebih dapat menerima perubahan keadaan lingkungan yang berfluktuasi, karena keadaan alamnya yang demikian dan alam ikut menyeleksi, sehingga hewan-hewan yang lebih dapat menerima keadaan alam akan dapat hidup berbiak dan berkembang. Menurut Martojo (1992), seleksi alam terjadi melalui suatu proses “survival of the fittest” dalam suatu lingkungan tertentu. Proses seleksi alam merupakan perpaduan yang rumit dari berbagai faktor yang menentukan hewan-hewan mana yang akan dapat bertahan dan terpilih untuk dapat bereproduksi. Individu yang paling baik daya penyesuaiannya dengan lingkungan tertentu akan dapat menghasilkan keturunan yang terbanyak. Sebaliknya yang kurang daya tahannya akan mati atau majir. Di sini terlihat pentingnya reproduksi dalam pemuliaan. Seekor hewan yang tidak dapat bereproduksi dalam suatu lingkungan tertentu, baik gangguan reproduksi tersebut bersifat sementara atau tetap, tidak ada manfaatnya lagi dari segi pemuliaan. Di Indonesia karena peternakan terbanyak masih dilakukan di pedesaan dengan cara-cara sederhana atau tradisional maka seleksi alam masih berjalan, bahkan masih berperanan lebih besar dibandingkan dengan seleksi buatan.
Berdasarkan teori kelenturan fenotipik dan hasil penelitian pada hewan model yang telah dilakukan, maka ada peluang kemungkinan pengembangan ternak ruminansia di daerah pesisir pantai. Membentuk ternak-ternak yang tahan terhadap kualitas air minum atau ternak-ternak yang tahan dan lebih toleran terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan bukan hal yang tidak mungkin dilakukan dan kemungkinan ini perlu ditelaah serta ditindaklanjuti. Prospek pengembangan usaha ternak pada lingkungan yang kurang optimal mutunya bisa dilakukan, karena mengingat kemampuan daya tampung lahan produktif untuk usaha peternakan semakin menyempit sehingga cara ini merupakan salah satu alternatif pemecahannya.
Kesimpulan
1. Pengembangan usaha peternakan di daerah-daerah yang mengalami hambatan karena lingkungan yang kurang optimal, maka dapat dikembangkan ternak-ternak lokal yang telah lama beradaptasi dengan iklim setempat atau ternak-ternak hasil persilangan ternak lokal dengan ternak impor dan melakukan seleksi ke arah ternak yang memiliki nilai kelenturan yang rendah terhadap lingkungan.
2. Sebelum melakukan pengembangan usaha ternak di suatu tempat dengan maksud untuk memperoleh produktivitas ternak yang optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya, maka faktor lingkungan harus diperhatikan.
3. Ternak-ternak yang memiliki genotipe sama (tingkat keragaman populasi ternak yang rendah), apabila dipelihara pada daerah-daerah yang berbeda akan memperlihatkan fenotipe yang berbeda, karena kemampuan ternak untuk mengekspresikan gen-gennya berbeda pada lingkungan yang berbeda.
4. Gen kelenturan fenotipik pada ternak dapat diseleksi, baik melalui seleksi alam maupun buatan dan hasil seleksi tersebut ditujukan untuk membentuk populasi ternak yang lebih tahan dan toleran terhadap cekaman lingkungan.
Daftar
Pustaka
Abdullah, M.A.N. 2003.
Kelenturan fenotipik sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Mencit (Mus
musculus) sebagai respons terhadap air minum yang mengandung tingkat garam
berbeda. [tesis].
Dewantari, M. 1998. Kelenturan fenotipik
sifat-sifat produksi pada itik lokal dan silangannya sebagai respons terhadap
ransum dengan kandungan aflatoksin yang berbeda. [tesis].
Gebhardt, M.D. dan
Hardjosubroto, W.
1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di
Lapangan. Gramedia Widiasarana
Martojo, H. 1992.
Peningkatan Mutu Genetik Ternak.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor,
Moriwaki, K., T. Shiroishi and H. Yonekawa. 1994. Genetics in Wild Mice, Its Application to Biomedical Reserch.
Noor, R.R. 2000. Genetika
Ternak. Cetakan ke-3. Penebar Swadaya,
Noor, R.R., R.R.A. Maheswari dan L.O. Nafiu. 1997. Identifikasi dan
karakterisasi gen-gen pengatur kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity)
sifat-sifat produksi dan reproduksi tikus sawah sebagai suatu cara untuk
menekan perkembangbiakannya secara biologis. Fakultas Peternakan, IPB.
Pallawarukka. 1999. Ilmu Pemuliaan Ternak Perah. Diktat Kuliah.
Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Pane,
Ridley, M.
1991. Masalah-masalah Evolusi. Penerbit Universitas
Schlichting, C.D. and D.A. Levin. 1984. Phenotypic plasticity of annual Phlox: tests of some hypothesis. Amev. J. Bol. 71 : 252-260.
Stearns, S. C.1989. The evolutionary significance of phenotypic
plasticity. Bio Sci. Vol. 39. No.7.
Sudono. A.
1981. Pengaruh interaksi antara
genotipe dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya
reproduksi dan produksi susu mencit
[disertasi].
Sukada, I.K. 1999. Aspek genetik kelenturan
fenotipik bobot badan itik Tegal dan Mojosari sebagai respons terhadap
perubahan aflatoksin dalam ransum. [tesis].
Sultan, S.E. Evolutionary implication of phenotypic plasticity in plants. J. Evol. Biol., 20: 127-178.
Via, S. 1993. Regulatory genes and reaction norms. Amer. Nat., 374-378.
Via, S. and R. Lande. 1987. Evolution of genetic variability in a spatially heterogeneous environment: effects of genotype-environment interaction. Genet. Res., 49 : 197- 256.