© 2003  Enni Suwarsi Rahayu                                         Posted:  16 November 2003

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

PERANAN  PENELITIAN  ALELOPATI  DALAM  PELAKSANAAN   LOW EXTERNAL INPUT AND SUSTAINABLE AGRICULTURE (LEISA)

 

 

Oleh :

 

 

Enni Suwarsi Rahayu

A361020041/AGR

E-mail: enni_s_rahayu@yahoo.com

 

 

 

Abstrak

 

Dalam pertanian mekanisme alelopati diterapkan terutama untuk mengendalikan gulma melalui penggunaan jenis tanaman non-produksi yang alelopatik terhadap gulma tanaman produksi sebagai cover crop, tanaman sela atau mulsa, atau sebagai tanaman kedua dalam sistem rotasi tanam . Selain itu juga dengan mengisolasi alelokimia untuk digunakan sebagai bahan aktif pestisida alami, dan mengembangkan  tanaman produksi yang bersifat alelopatik terhadap gulma pesaingnya. Pemanfaatan ini mendukung perwujudan ciri-ciri dan sebagian besar prinsip dasar LEISA, dan dapat dilaksanakan setelah dilakukan serangkaian penelitian yang relevan.  

 

 

Pendahuluan

            Pertanian di daerah tropis pada mulanya bergantung pada sumber daya alam, pengetahuan, keterampilan dan institusi lokal sehingga tercapai keseimbangan antara masyarakat dengan basis sumber daya alam. Akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat pula, sistem pertanian cenderung berubah ke salah satu dari dua arah, yaitu HEIA atau LEIA. HEIA  (High External Input Agriculture) merupakan  sistem pertanian yang menggunakan input luar secara  berlebihan, sedangkan LEIA (Low External Input Agriculture) merupakan sistem yang  memanfaatkan sumber daya lokal yang sangat intensif dengan sedikit atau sama sekali tidak menggunakan input luar sehingga terjadi degradasi sumber daya alam  (Reijntjes et al. 1999) .

            LEIA dan HEIA  merupakan dua sistem pertanian yang bersifat ekstrem dan keduanya mempunyai sejumlah dampak yang merugikan. LEIA  pada umumnya dipraktekkan di wilayah miskin, bermasalah,  dengan lingkungan fisik serta infrastruktur yang kurang berkembang sehingga tidak memungkinkan pemanfaatan input luar secara luas.   Dalam sistem LEIA yang berfungsi baik, tumbuhan dan hewan tidak hanya memiliki fungsi produktif melainkan juga fungsi ekologis, yaitu menghasilkan bahan organik, memompa hara, mengendalikan erosi dan sebagainya sehingga menjamin ketersediaan input dalam. Tetapi fungsi ekologis ini sering lebih rendah dari yang seharusnya karena manusia mengambil bagian produksi dari ekosistem tersebut.  Akibatnya produksi tanaman menurun, dan untuk mengimbanginya petani mengeksploitasi lahan mereka sampai melampui kapasitas lahan.    Di pihak lain HEIA  sangat tergantung pada input luar berupa senyawa kimia sintetis (pupuk, pestisida), benih hibrida, irigasi dan mekanisasi yang membutuhkan bahan bakar minyak. Sistem ini hanya mungkin diterapkan pada daerah yang kondisi ekologinya relatif seragam, berpotensi besar dan mudah dijangkau sistem komunikasi serta transportasi. Pemanfaatan input luar yang berlebihan, walaupun dapat meningkatkan produksi secara signifikan,  mengakibatkan pengaruh negatif terhadap kondisi ekologi, ekonomi dan sosial. Revolusi hijau yang merupakan menifestasi dari sistem ini mengakibatkan peningkatan harga pupuk, pestisida kimia dan bahan bakar, namun sebaliknya menurunkan harga komoditas pertanian akibat produksi yang berlebihan. Hal ini tentu saja sangat merugikan petani. Selain itu ketergantungan akan pupuk dan pestisida sintetis semakin meningkat terus menerus dan menimbulkan pengaruh buruk pada keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia.   

Adanya  sejumlah kelemahan pada dua sistem pertanian di atas mengakibatkan keduanya tidak dapat berkelanjutan, oleh karena itu diusulkan sistem LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) atau pertanian berkelanjutan dengan input luar yang rendah yang   mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam (tanah, air, tumbuhan, tanaman dan hewan) dan manusia (tenaga, pengetahuan dan ketrampilan) yang tersedia di tempat; dan yang  layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya.    

 

Sistem LEISA

            LEISA menurut Reijntjes et al. (1999) dan Plucknert dan Winkelmann (1995) tidak bertujuan untuk  mencapai produksi maksimal dalam jangka pendek, melainkan untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Sistem ini mengacu  pada ciri-ciri :

1.       berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal  dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usaha tani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang besar,

2.       berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar ditekankan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan

 Prinsip-prinsip dasar ekologi pada LEISA berdasarkan Reijntjes et al. (1999) dikelompokkan sebagai berikut:

1.       menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah

2.       mengoptimalkan ketersediaan dan menyeimbangkan arus unsur hara, khususnya melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap

3.       meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan pengelolaan iklim mikro, pengeloaan air dan pengendalian erosi

4.       meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan melalui pencegahan dan perlakuan yang aman

5.       saling melengkapi dan sinergis dalam penggunaan sumber daya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi. 

            Perwujudan pertanian ideal semacam itu akan dipercepat dengan partisipasi bersama antara ilmuwan dan petani. Ilmuwan menyumbangkan hasil pengkajian dan penelitian yang relevan untuk pelaksanaan sistem tersebut, dan petani mengembangkan pengalaman yang dinilai efektif. Selama ini banyak petani yang melakukan kegiatan usaha tani tertentu yang mungkin tidak mereka pahami aspek ilmiahnya, namun  secara turun temurun dilakukan karena menunjukkan hasil yang efektif.  Petani dan ilmuwan  harus bekerja sama agar pengalaman praktis dan pemahaman ilmiah dapat dipadukan sehingga diharapkan efektivitasnya meningkat. Misalnya, salah satu kebiasaan petani mengendalikan gulma dengan memberi mulsa menggunakan organ-organ tumbuhan tertentu sebenarnya merupakan aplikasi dari mekanisme fisiologi tumbuhan, yaitu alelopati, yang mempunyai peluang besar untuk dikembangkan melalui penelitian.

 

Mekanisme Alelopati

 Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan,antar mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme  (Einhellig, 1995a). Menurut Rice (1984) interaksi tersebut meliputi penghambatan dan  pemacuan secara langsung atau tidak langsung suatu  senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan atau mikrobia) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Senyawa kimia yang berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Pengaruh alelokimia bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme  tertentu namun tidak terhadap organisme lain (Weston, 1996).  

Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, mungkin di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Organ pembentuk  dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino non protein, sulfida serta nukleosida. (Rice,1984; Einhellig, 1995b). Pelepasan alelokimia  pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Einhellig, 1995b).    

Alelokimia pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan mencapai organisme sasaran melalui penguapan, eksudasi akar, pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelokimia dilepas dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya dan bentuk atau sifat kimianya  (Rice, 1984; Einhellig, 1995b).

Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang menghambat) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995b) proses tersebut diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis.  Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian  bermuara pada terganggunya  pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.   

 

Penerapan Alelopati dalam Pertanian

             Pada ekosistem pertanian alelopati dapat menurunkan atau meningkatkan produktivitas lahan, tergantung pada pembentuk alelokimia (tanaman atau gulma), organisme sasaran dan aktivitasnya.  Oleh karena itu penerapannya memerlukan strategi tertentu, yang menurut  Einhellig (1995a),  dan Caamal-Maldonado et al. (2001) adalah mengendalikan gulma dan atau patogen melalui:    

1.       Pola tanam di lapang. Untuk ini diperlukan tanaman non-produksi (yang selanjutnya disebut tanaman X), yang bersifat alelopat terhadap gulma atau patogen namun tidak terhadap tanaman produksi, dan pemanfaatannya melalui: a) rotasi tanam: dengan menanam tanaman X di antara waktu tanam tanaman produksi, b) cover crop:  tanaman X ditanam sebagai tanaman penutup tanah,  c) tanaman sela:  X ditanam di antara tanaman  produksi, atau d) mulsa: organ  tanaman X yang diketahui sebagai pembentuk alelokimia dijadikan sebagai mulsa. Pemilihan pola tanam didasarkan atas sifat morfologi dan fisiologi tanaman X, organ pembentuk alelokimia, mekanisme pelepasan, sifat alelokimia dan sebagainya.

2.       Produksi pestisida alami  dari alelokimia. Alelokimia yang menghambat gulma atau patogen diformulasi dan diproduksi secara marketable menjadi pestisida alami (herbisida, fungisida, bakterisida dan sebagainya).   

3.       Pemuliaan tanaman untuk memperoleh  kultivar tanaman produksi yang alelopatik bagi gulma pesaingnya. Pada jenis tanaman tertentu mungkin telah ada varitas alami yang bersifat demikian.  Bagi jenis tanaman yang belum mempunyai, kultivar seperti ini  perlu dikembangkan  melalui pemuliaan tanaman secara konvensional (hibridisasi, seleksi, dan identifikasi) maupun non-konvensional (transformasi gen, fusi protoplas, dan lain-lain).  

 

Peranan Penelitian Alelopati dalam LEISA

Penerapan alelopati dalam pertanian secara garis besar adalah untuk mengendalikan gulma dan penyakit menggunakan bahan yang berasal dari tumbuhan atau mikroorganisme. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip LEISA ke-4, yaitu meminimalkan serangan hama (termasuk gulma) dan penyakit pada tanaman  melalui pencegahan dan perlakuan yang aman.  Penggunaan pestisida yang berasal dari tumbuhan bersifat relatif aman, karena berbeda dengan bahan kimia sintetis, bahan alami  mudah terurai sehingga tidak akan meninggalkan residu di tanah atau air, dan oleh karena itu tidak menimbulkan pencemaran. Penanaman tanaman produksi maupun non-produksi yang alelopatik terhadap gulma atau patogen bahkan dapat dikatakan tidak menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan manusia, dan murah bagi petani sehingga petani tidak perlu menambahkan input dari luar. Hal ini juga sesuai dengan ciri LEISA.

            Pemanfaatan tanaman non-produksi alelopatik melalui rotasi tanam, cover crop,  dan tanaman sela dapat berperan ganda. Selain untuk mengendalikan gulma atau patogen, teknik ini dapat  mengoptimalkan ketersediaan unsur hara (prinsip LEISA ke-2), karena kedua  jenis tanaman tersebut biasanya dipilih yang mempunyai kedalaman akar dan kebutuhan hara yang berbeda, sehingga masing-masing mendapatkan hara dalam jumlah cukup dan tidak terjadi eksploitasi unsur hara. Pemanfaatan sisa organ tanaman tersebut sebagai mulsa juga dapat berperan ganda , yaitu  meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari  dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi (prinsip LEISA ke-3). Dengan menutup permukaan tanah maka radiasi matahari tidak langsung mengenai tanah sehingga menurunkan suhu tanah, mengurangi evaporasi (penguapan air tanah) dan akibatnya ketersedian air tanah tetap memadai. Mulsa yang berasal dari bahan tanaman juga dapat mencegah  erosi, karena humus yang berasal dari  mulsa merupakan bahan organik yang memiliki retensi air yang cukup tinggi sehingga air terserap ke dalam tanah dan tidak dapat menghanyutkan permukaan tanah . Hal ini berarti juga mendukung prinsip LEISA ke-1, yaitu menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola bahan organik.

            Tanaman yang bersifat alelopatik dapat diperoleh di lingkungan sekitar. Seperti telah dikemukakan di depan, secara praktis tanpa memahami konsep ilmiahnya, sebenarnya banyak petani telah menerapkan prinsip alelopati dalam kegiatan pertanian. Misalnya  yang terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, petani memanfaatkan kulit buah jengkol yang banyak terdapat di daerahnya dan tidak bernilai ekonomis untuk mengendalikan gulma padi. Hal itu dilakukan dengan menebar kulit buah jengkol pada permukaan sawah.   Jadi tanaman yang bersifat alelopatik kemungkinan besar dapat diperoleh di lingkungan sekitar. Hal ini sangat sesuai dengan ciri LEISA, yaitu yang berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal, dan penggunaan input luar hanya bila diperlukan, serta meminimalkan  kerusakan lingkungan.  

            Untuk dapat mewujudkan pemanfaatan alelopati tersebut terlebih dahulu harus dilakukan  sejumlah penelitian, antara lain tentang :

  1. Tanaman yang membentuk alelokimia bagi gulma atau patogen : meliputi organ pembentuk, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan, fisiologi pelepasan   alelokimia,  dosis aktif, organisme sasaran, dan lain-lain.
  2. Alelokimia yang dibentuk oleh suatu jenis tumbuhan : golongan senyawa; teknik identifikasi, isolasi, dan karakterisasi;  mekanisme aktivitas; faktor-faktor yang mempengaruhi isolasi dan aktivitas; teknik modifikasi untuk formulasi menjadi pestisida, dan lain-lain
  3.  Sifat genetis alelopati : sumber keragaman karakter alelopati, marker (morfologi, biokimia atau DNA) karakter alelopati, keragaman yang terdapat secara alamiah, mekanisme ekspresi, gen pengendali, metode seleksi dan identifikasi yang sesuai, teknik rekayasa genetika yang memungkinkan, dan sebagainya.

Kelompok-kelompok penelitian 1, 2 dan 3  tersebut masing-masing akan mendukung pelaksanaan strategi pemanfaatan alelopati seperti disebutkan di atas, yaitu pola tanam, produksi pestisida alami dari alelokimia, dan pemuliaan untuk memperoleh kultivar tanaman produksi yang alelopatik bagi gulma pesaingnya.

 

Simpulan

Pemanfaatan mekanisme alelopati  terutama untuk mengendalikan gulma dan atau patogen   mendukung  perwujudan ciri LEISA dan  mempunyai efek samping yang sejalan dengan sejumlah besar prinsip-prinsip dasar LEISA. Untuk itu dibutuhkan sejumlah penelitian yang relevan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Caamal-Eldonado JA, Jimenez-Osornio JJ, Torres-Barragin A, Anaya AL. 2001. The use of  allelopathic legume cover and mulch species for weed control in cropping system. Agronomy Journal. 93: 1. 27 – 36.

Einhellig FA. 1995a. Allelopathy: Current status and future goals. Dalam Inderjit, Dakhsini KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 1 – 24.

Einhellig FA. 1995b. Mechanism of action of allelochemicals in allelopathy. Dalam Inderjit, Dakhsini KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 96-116.

Plucknert, Winkelmann DI. 1992. Technology for sustainable agriculture. Scientific American. 182 – 186.

Reijntjes C,  Haverkort B, Waters-Bayers A. 1999. Pertanian Masa Depan. Diterjemahkan oleh Y. Sukoco. Yogyakarta: Kanisius.

Rice EL. 1984. Allelopathy. Second Edition. Orlando FL: Academic Press.

Weston LA. 1996. Utilization of allelopathy for weed management in agrosystem. Agronomy Journal. 88:6. 860 – 866.