© 2003 Imam Widodo                                                                            Posted  24 December 2003

Makalah Pribadi

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana,   Program S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

PENGGUNAAN MARKA MOLEKULER PADA SELEKSI TANAMAN

 

 

 

 

Oleh:

 

Imam Widodo

A361030101

 

I.  PENDAHULUAN

Pemuliaan tanaman dapat diartikan sebagai suatu seni dan ilmu yang mempelajari adanya pertukaran dan perbaikan karakter tanaman yang diwariskan pada suatu populasi baru dengan sifat genetik yang baru.  Seni dan pengetahuan yang mendukung dilakukannya perbaikan suatu karakter tanaman melalui program pemuliaan tanaman meliputi dua tahapan, yaitu: (i) tahapan evolusioner, yang bertujuan untuk terbentuknya atau bentambahnya keragaman genetik, dan (ii) tahapan evaluasi, dimana seleksi dilakukan terhadap genotipa-genotipa yang diinginkan dari beberapa populasi yang dimiliki.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini, memungkinkan saling menunjangnya perkembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.  Beberapa kemajuan tersebut antara lain adalah perkembangan ilmu biologi molekuler yang memungkinkan diperolehnya suatu marka (penanda) gen yang mengendalikan karakter target perbaikan dalam program pemuliaan tanaman.  Kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari seleksi.  Dalam program pemuliaan tanaman secara konvensional, seleksi didasarkan atas pemilihan tanaman oleh pemulia tanaman untuk satu atau beberapa penampakan (fenotipa) dari karakter yang menjadi target perbaikan, baik secara individu maupun populasi tanaman.  Karakter-karakter yang umumnya merupakan target seleksi anra lain produksi, mutu hasil, ketahanan terhadap hama/penyakit dan/atau toleransi terhadap lingkungan marginal.  Kita ketahui bersama bahwa penampakan dari suatu karakter (fenotipa) ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan, bahkan kadang-kadang ditentukan pula oleh interaksi antara genetik dan lingkungan.  Oleh sebab itu, pemilihan tanaman yang didasarkan atas fenotipa ini memiliki beberapa kelemahan atau kekurangan, terutama bila karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang dalam ilmu pemuliaan tanaman disebut sebagai karakter yang memiliki heritabilitas rendah.  Penemuan teknik perolehan gen yang mengendalikan suatu karakter sebagai penanda atau marker molekuler, sangat membantu proses seleksi dalam hal efektifitas maupun efisiensi dari pelaksanaan seleksi yang akan dilakukan.  Marka molekuler berdasarkan polimorfisme yang terdeteksi pada tingkat makro molekul di dalam sel (Gupta et al, 2002).

Beberapa marka molekuler yang dapat digunakan sebagai penanda dalam seleksi untuk membantu program pemuliaan tanaman akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini.  Disamping itu, disajikan pula perbandingan dari masing-masing marka molekuler yang digunakan dalam kegiatan seleksi.

II.  SELEKSI

Seleksi adalah suatu kegiatan pemilihan tanaman baik secara individu maupun populasi berdasarkan karakter target yang diinginkan untuk diperbaiki.  Tujuan dari seleksi adalah untuk memperbaiki proporsi karakter yang diinginkan pada populasi tanaman.  Misalnya bila kita menginginkan diperoleh tanaman yang berproduksi tinggi, maka kita pilih tanaman yang berproduksi tinggi tersebut untuk dikembangkan pada generasi berikutnya, sehingga dari generasi ke generasi akan diperoleh peningkatan proporsi tanaman yang berproduksi tinggi.  Begitu pula untuk karakter-karakter lain yang diinginkan, misalnya tahan terhadap hama dan penyakit, kandungan protein tinggi, memiliki aroma dan rasa enak, dan lain-lain.  Kegiatan seleksi ini secara tidak disadari telah berkembang sesuai dengan kemajuan dan peradaban manusia.  Hal ini dapat dimengerti karena manusia pada hakekatnya menginginkan produk ekonomis, sehingga sifat-sifat yang tidak menguntungkan akan dibuang atau tidak dikembangkan lebih lanjut, sedangkan sifat yang dikehendaki akan dipertahankan dan dikembangkan pada generasi-generasi berikutnya.  Pada akhirnya, tanaman dengan karakter-karakter yang diinginkan itu berada pada populasi tanaman yang meluas, sementara sifat-sifat yang tidak dikehendaki menjadi punah.  Seleksi ini dapat pula berlangsung secara alami, yang kita sebut sebagai seleksi alam.  Oleh sebab itu, seleksi dapat dikelompokkan menjadi (i) seleksi alam dan (ii) seleksi buatan.  Seleksi alam merupakan seleksi yang dipengaruhi oleh faktor alam dalam mengarahkan seleksi tersebut yang umumnya bersifat acak, sedangkan seleksi buatan merupakan seleksi yang sengaja dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan atau meningkatkan proporsi karakter yang diinginkan berada pada populasi tanaman yang dikembangkan.

Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang mampu mendukung percepatan kemajuan dari seleksi untuk mendapatkan karakter yang diinginkan, maka berbagai metoda seleksi juga berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan seni.  Berbagai metoda seleksi yang dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, antara lain adalah seleksi dilakukan pada tingkat gametofit dan sporofit (Ottaviano and Sari-Gorla, 1993), seleksi secara in vitro (Wenzel and Foroughi-Webr, 1993), seleksi tingkat molekuler (Arus and Morino-Gonzales, 1993).

Metoda seleksi yang dikembangkan untuk meningkatkan proporsi karakter yang diinginkan pada populasi tanaman secara konvensional tergantung dari (i) sistem perkembangbiakan tanaman, dan (ii) peran gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut.  Metoda seleksi berdasarkan sistem perkembangbiakan tanaman dikenal ada (a) metoda seleksi tanaman menyerbuk sendiri, misalnya metoda pedigree, metoda bulk, dan lain-lain; (b) metoda seleksi tanaman menyerbuk silang, misalnya metoda seleksi barisan dalam tongkol, metoda seleksi berulang, dan lain-lain (Allard, 1960; Gonzales and Cuberro, 1993).  Sistem perkembangbiakan tanaman ini dapat dimodifikasi oleh manusia, misalnya kita menginginkan penyerbukan silang pada kelompok tanaman menyerbuk sendiri dapat dilakukan melalui penyerbukan buatan dengan membuahi putik suatu tanaman dengan tepung sari dari tanaman lain yang diinginkan.  Begitu pula, bila kita menginginkan penyerbukan sendiri pada kelompok tanaman menyerbuk silang dapat dilakukan melalui penyerbukan putik bunga tersebut dengan tepung sari dari bunga pada tanaman itu sendiri.  Oleh karena itu, metoda seleksi berdasarkan peran gen yang mengendalikan karakter menduduki peranan yang lebih penting, dimana metoda ini dikembangkan atas dasar gen yang mengandalikan karakter tersebut, yang mana gen ini diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.  Peran dan jumlah gen yang mengendalikan karakter tersebut menentukan arah dan kemajuan seleksi.

Kemajuan seleksi adalah suatu nilai yang menunjukkan seberapa perubahan proporsi karakter target mengalami perubahan.  Kemajuan seleksi ini dipengaruhi oleh : (i) intensitas seleksi, artinya banyaknya tanaman yang terseleksi dari populasi, dan (ii) metoda seleksi.  Hal lain yang turut mempengaruhi seleksi adalah efisiensi dan efektifitas seleksi.  Beberapa komponen yang mempengaruhi efisiensi seleksi menggunakan marka molekuler dikemukakan oleh Brar (2002) antara lain adalah (i) macam marka molekuler yang digunakan, (ii) tingginya kerapatan peta genetik secara molekuler, (iii) gen yang menjadi sasaran seleksi harus terpaut sangat dekat dengan marka molekuler, (iv) protokol MAS (Marker Assisted Selection).

III.  METODA DAN MACAM MARKA MOLEKULER

Berbagai prinsip dasar dan metodologi dari marka molekuler yang dapat digunakan, dapat dikelompokkan dalam empat kelompok : (i) hibridisasi berdasarkan marka, (ii) PCR (Polymerase Chain Reaction) berdasarkan marka , (iii) marka molekuler berdasarkan PCR yang dilanjutkan dengan hibridisasi, dan (iv) sekuensing dan chip DNA berdasarkan marka (Gupta et al, 2002).

Dalam kelompok hibridisasi, beberapa metoda yang dapat digunakan antara lain (a) RLFPs (Restriction Fragment Length Polymorphisms), (b) drDNA (Dispersed Repetitive DNA).  RLFP didasarkan pada polimorfisme yang muncul karena adanya basa yang mengalami substitusi, penambahan, pengurangan dan perpindahan (translokasi) pada genom DNA.  Perubahan tersebut menyebabkan perbedaan ukuran dari fragmen restriksi yang dicerna oleh enzim restriksi tertentu.  RFLP hanya mendeteksi perbedaan-perbedaan dari fragmen tersebut, dimana satu dengan lainnya berhubungan dengan homolognya dari probe molekuler yang digunakan dalam hibridisasi.  Probe molekuler yang digunakan untuk RFLP antara lain probe genom DNA (yang diturunkan dari genom DNA) dan probe cDNA (yang diturunkan dari mRNA).  Kelebihan dari RFLP adalah dapat mendeteksi sifat co-dominan, artinya dapat membedakan antara yang homosigot dan heterosigot.  Selain itu kelebihan yang lain adalah diharapkan didapatkan homologi polimorfik.  Genom-genom inti dari eukariot mengandung pengulangan urutan basa sekitar 2-15 pasang basa yang merupakan suatu motif yang tersebar sepanjang genom yang disebut dengan dispersed repetitive DNA (drDNA) atau variable number of tandem repeats (VNTRs).  Oleh karena itu, urutan yang berulang ini dapat digunakan sebagai probe multilokus yang mempunyai polimorfisme berbagai lokus secara simultan.

Metoda-metoda yang didasarkan atas PCR memiliki potensial dapat menurunkan waktu, usaha dan marker molekuler yang dibutuhkan dalam teknik ini.  Berdasarkan pasangan primer yang digunakan dalam teknik ini, maka ada dua macam teknik yaitu (i) metode yang menggunakan sepasang primer (primer yang ditempatkan di awal dan di akhir unit transkripsi) dimana primer-primer tersebut sangat spesifik urutannya untuk menyambungkan dirinya dengan segmen DNA; dan (ii) metode yang menggunakan primer tunggal (primer yang ditempatkan di awal unit transkripsi atau di akhir unit transkripsi).  Metode PCR dengan primer tunggal, meliputi : AP-PCR (Arbitrary Primed PCR), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA dan DAF (DNA Amplification Fingerprinting) maupun Amplifikasi dari drDNA/VNTRs dan Retroposon.  Persamaan dari ketiga teknik ini adalah adanya urutan acak dari primer baik yang bekerja ke arah kanan maupun ke arah kiri dari sejumlah lokus.  Perbedaan dari ketiga teknik tersebut terdapat pada panjang-pendeknya primer, dimana untuk AP-PCR sekitar 20 basa nukleotida (Welsh and McClelland, 1990), RAPD sekitar 10 basa nukleotida (William et al., 1990), dan DAF sekitar 6-8 nukleotida (Caetanno-Anolles et al., 1991).  Dilaporkan bahwa hasil visualisasi dari AP-PCR dan RAPD relatif sama, sehingga orang lebih menyukai RAPD karena dengan ukuran primer yang lebih sedikit (~10 basa nukleotida) memberikan hasil yang tidak berbeda dengan AP-PCR yang memiliki ukuran primer lebih besar (~20 basa nukleotida).  Metode PCR dengan menggunakan sepasang primer, yang meliputi : STSs (Sequence-Tagged Sites) dan (SCARs) Sequence Characterized Amplified Regions, DALP (Direct Amplification of Length Polymorphism), SSRs (Simple Sequence Repeats), IFLP (Intron Fragment Length Polymorphism), ESTs (Expressed Sequence Tags), RAMP (Random Amplified Microsatellite  Polymorphism) dan REMAP (Retroposon-Microsatellite Amplified Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism dan modifikasinya, SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism).

Marka molekuler yang diperoleh dari PCR yang dilanjutkan hirbridisasi dilakukan dengan teknik fingerprinting oligonukleotida menggunakan fragmen RAPD atau MP-PCR sebagai probe.  Metoda ini menggabungkan berbagai kelebihan fingerprinting oligonukleotida dari RAPD-PCR dan MP-PCR (microsatellite primed PCR).  Pada teknik ini, genom DNA diamplifikasi dengan primer tunggal (kelompok ~10 nukleotida, sebagaimana analisis RAPD) atau dengan mikrosatelit komplementer (~10 atau ~15 nukleotida) dan hasil PCR dielektroforesis, diblotting dan dihibridisasi dengan g32P atau digoxigenen-label SSR (misalnya (CA)8, (GA)8, (GTG)5, (GCGA)4).

Kelompok marka molekuler dengan metoda Sekuens SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms) dapat dilakukan dengan (i) menggunakan gel sebagai dasar untuk mendapatkan hasil PCR untuk deteksi SNP, (ii) menggunakan bukan gel sebagai dasar mendapatkah hasil PCR untuk deteksi SNP (Mohan et al., 1997; Gupta et al., 1999).  Keberadaan SNP dapat dideteksi pada RFLP atau AFLP dari hasil PCR walaupun SNP dihasilkan atau dihancurkan oleh bagian enzim restriksi yang spesifik.  Metoda untuk mendeteksi SNP ini pada awalnya membutuhkan gel namun terakhir ini juga ada yang tidak membutuhkan gel dalam analisisnya.

Pemilihan metoda mana yang memungkinkan untuk digunakan dalam seleksi beberapa perbandingan dari teknik dan hal-hal yang dibutuhkan dari masing-masing metoda yang telah disebutkan di atas, secara ringkas disajikan pada tabel 1 terlampir.

Penggunaan marka molekuler memiliki potensi untuk digunakan sebagai penanda dalam melakukan seleksi.  Asumsi yang digunakan dalam penggunaan marka molekuler adalah marka molekuler yang digunakan tersebut harus berkorelasi yang sangat kuat dengan karakter yang menjadi target seleksi.  Dengan demikian maka pelaksanaan seleksi dapat dilakukan lebih efisien dan efektif.  Untuk mengetahui korelasi antara marka molekuler dengan karakter target seleksi, maka perlu dilakukan pengujian-pengujian sebelumnya untuk menyatakan adanya korelasi yang kuat tersebut.  Disamping itu pemilihan jenis marka molekuler yang akan digunakan dalam seleksi perlu mendapatkan pertimbangan, apakah sesuai dengan fasilitas dan materi yang dimiliki untuk melakukan seleksi.  Penyiapan atau purifikasi gen target juga sangat menentukan keberhasilan dari seleksi yang dilakukan.  Kekeliruan dalam pelaksanaan ini akan menyebabkan kekeliruan atau bias dari program seleksi yang dilakukan.  Oleh sebab itu, dari berbagai jenis marka molekuler tersebut di atas, umumnya yang dipilih untuk dijadikan marka molekuler guna mendukung program seleksi antara lain adalah PCR berdasarkan marka, RFLP, RAPD, AFLP, ekspresi sekuens gen sasaran, SNP (single nucleotide polymorphisms).

IV.  PENUTUP

Berbagai marka molekuler masing-masing memilikiki beberapa kelebihan dan kelemahan untuk dijadikan sebagai metoda dalam kegiatan seleksi.  Penggunaan PCR (polymerase chain reaction) yang dilanjutkan dengan RAPD, RLFP, SNP atau SSR umumnya lebih sering digunakan.  Keempat metoda ini lebih sederhana dibandingkan metoda lainnya dan pemakaiannya disesuaikan dengan tujuan daripada seleksi.  Meskipun metoda seleksi konvensional masih tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun adanya teknik marka molekuler ini dapat digunakan untuk melengkapi atau menyempurnakan program seleksi yang dilakukan untuk meningkatkan proporsi gen target dari populasi tanaman yang dihasilkan, dan tergantung dari biaya, tujuan dan persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan untuk melakukannya.

DAFTAR PUSTAKA

Allard, R.W., 1960.  Principle of Plant Breeding.  John Willey&Sons. Inc.

Arus, P. and J. Moreno-Gonzales, 1993.  Marker-assisted selection.  In: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.) Plant Breeding: Principles and Prospects.  Chapman&Hall.  London. p.314-331.

Brar, D.S., 2002.  Molecular Marker Assisted Breeding.  In: Jain, S.M., D.S. Brar, and B.S. Ahloowalia (Eds.).  Molecular Techniques in Crop Improvement. p. 55-83.

Caetano-Annoles, G., B.J. Bassam and P.M. Gresshoff, 1991.  DNA amplification fingerprinting a strategy for genome analysis.  Plant Mol.Biol. Rep 9, 294-307.

Gonzales, J.M. and J.I. Cubero, 1993.  Selection Strategies and Choice of Breeding Methods.  In: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.) Plant Breeding: Principles and Prospects.  Chapman&Hall.  London. p.281-313.

Gupta, P.K., R.K. Varshney and M. Prasad, 2002.  Molecular Markers: Principles and Methodology.  In: Jain, S.M., D.S. Brar, and B.S. Ahloowalia (Eds.).  Molecular Techniques in Crop Improvement. p.9-54.

Gupta, P.K., Varshney, R.K., Sharma, P.C., and Ramesh, B., 1999.  Molecular markers and their application in wheat breeding.  Plant Breeding 118, 369-390.

Mohan, M., Nair, S., Bhagwat, A., Krishna, T.G., Yano, M., Bhatia, C.R., and Sasaki, T. (1997).  Genome mapping, molecular markers and marker-assisted selection in crop plants.  Mol. Breed. 3, 87-103.

Ottaviano, E. and M. Sari-Gorla, 1993.  Gametophytic and Sporophytic Selection.  In: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.) Plant Breeding: Principles and Prospects.  Chapman&Hall.  London. p.332-352.

Welsh, J., and M. McClelland, 1990.  Fingerprinting genomes using PCR with arbitary primers. Nucl.Acid Res. 18, 7213-7218.

Wenzel, G. and B. Foroughi-Webr, 1993.  In vitro selection.  In: Hayward, M.D., N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.) Plant Breeding: Principles and Prospects.  Chapman&Hall.  London. p.353-370.

Williams, J.G.K., A.R.K. Kubelik, J.L. Livak, J.A. Rafalski, an S.V. Tingey., 1990.  DNA polymorphisms amplified by random primers are useful as genetic markers.  Nucl.Acid Res. 18, 6531-6535.

 


 

class=Section3>

Tabel 1.  Perbandingan beberapa marka molekuler dan penggunaannya

 

RFLP

RAPD

DAF

STS(CAPS)

SSR

AFLP

SAMPL

REMAP/IRAP

SNP

Prinsip

Endonuklease restriksi, Southern blot hibridisasi

Amplifikasi DNA dengan primer acak

Amplifikasi DNA dengan primer acak

Kadang membutuhkan endonuklease restriksi pada hasil PCR

Amplifikasi dari repeat sekuens membutuhkan primer khusus

Endonuklease restriksi digunakan dalam adaptor dan primer yang selektif

Sama dengan AFLP kecuali perlu primer berlabel

Amplifikasi DNA menggunakan retrotransposon dan primer SSR

Analisis sekuens

Tipe polimorfisme yang dideteksi

Pertukaran basa (I,D,S)

Pertukaran basa (I,D,S)

Pertukaran basa (I,D,S)

Pertukaran basa (I,D,S)

Variasi dari panjangnya repeat sekuens

Pertukaran basa (I,D,S)

Pertukaran basa (I,D,S)

Variasi dlm panjang

Pertukaran satu basa

Informasi sekuens yang dibutuhkan

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Metoda deteksi (radioisotop)

Ya/tidak

Tidak

Ya/tidak

Ya/tidak

Ya/tidak

Ya/tidak

Ya/tidak

Titak

Tidak

Hasil yang dapat diperoleh

Tinggi

Rendah

Rendah

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Jumlah lokus yang dideteksi

1-5

1-10

20-30

1-4

1-3

>70

~50

3-5

1 (bialel)

Pewarisan

Co-dominan

Dominan

Dominan

Co-dominan

Co-dominan

Umumnya dominan

Dominan / co-dominan

Co-dominan

Dominan

Kesulitan teknis

Sedang

Rendah

Sedang

Rendah

Rendah

Sedang/tinggi

Sedang/tinggi

Sedang

Sedang/tinggi

Kemungkinan automasi

-

-

-

+

+

+

+

+

+

Kemungkinan komputasi

+

+

+

++

+++

+++

+++

+++

+++

Biaya

Sedang

Rendah

Sedang

Sedang/tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Penggunaan untuk

(1) variasi fingerprinting dan keragaman genetic

+

++

++

+

+++

+++

+++

++

++

(2) gen kualitatif sasaran

++

++

++

++

++

+++

+++

+

+

(3) QTL mapping

++

-

-

+

++

++

++

-

+

(4) MAS

+

-/+

-

++

++

++

++

+

++

(5) pembandingan mapping

++

+

-

++

++

++

++

-

++

 

Keterangan : Pertukaran basa I (penambahan), D (pengurangan), S (penggantian)

Sumber : Gupta et al., (2002)