© 2003  Laode Rijai                                                                                                                                          Posted  12 October, 2003

Science Philosophy (PPs 702)

Graduate Program / S3

Institut Pertanian Bogor

October  2003

 

Instructors:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Principal)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

BIOPROSPEKSI SUATU PARADIGMA BARU DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN

 

 

Oleh:

 

Laode Rijai

Nrp. P062020111 /PSL

E-mail: rijai2000@yahoo.com

 

 

I. PENDAHULUAN

                  Potensi hutan dicirikan keanekaragaman vegetasi karena merupakan sumberdaya paling dominan dari komponen hutan, memiliki multifungsi, dan mudah digunakan. Secara umum ada dua fungsi utama vegetasi hutan alam yaitu fungsi material dan ekologis. Fungsi material menunjuk pada penyedia barang atau bahan yang diperlukan manusia untuk berbagai keperluannya, sedangkan fungsi ekologis menunjuk pada regulator kondisi alam yang memungkinkan sumberdaya lainnya tumbuh dan berkembang di dalamnya. Teknologi pemanfaatan vegetasi dalam fungsi material semakin baik sehingga meningkatkan nilai ekonomi hasil hutan dan menjadi sumber devisa andalan bagi negara-negara yang memiliki hutan. Multimanfaat vegetasi tersebut meningkatkan kecenderungan eksploitasi hutan secara berlebihan yang dilakukan secara legal maupun ilegal oleh negara-negara pemilik hutan. Fenomena ini yang menyebabkan semakin menurunnya keanekaragaman hayati dan meluasnya lahan gundul di bumi ini. Hilangnya vegetasi penutup lahan yang semakin banyak akan mempengaruhi kondisi ekologis yaitu terganggunya proses alamiah vital seperti siklus material (siklus hidrologi, karbondioksida, dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perubahan iklim mikro dan makro dan pada gilirannya mempengaruhi kehidupan spesies lainnya termasuk manusia. Oleh karena itu pemanfaatan vegetasi hutan alam sebagai sumber devisa dan pendapatan masyarakat merupakan pertarungan antara ekonomi dan ekologi. Indonesia yang memiliki hutan alam yang luas telah memilih alternatif ekonomi dalam pengelolaan hutannya sehingga perubahan ekologis semakin terasa. Pendekatan ekologis dalam pemeliharaan kawasan hutan di Indonesia sukar dilakukan karena hutan masih merupakan sumber devisa andalan dan sumber pendapatan masyarakatnya. Karena itu diperlukan strategi pengelolaan hutan yang bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan (berkelanjutan).

 

 

II. BIOPROSPEKSI DALAM PENGELOLAAN HUTAN

2.1. Tinjauan Filosofi Pengelolaan Hutan

                  Manusia di alam sebagai obyek kehidupan sehingga manfaat segala sesuatu yang ada dikaitkan dengan keperluan manusia itu sendiri. Berbagai sumberdaya yang ada di alam ini disebut bermanfaat jika sumberdaya itu diperlukan oleh manusia. Hal ini sesuai dengan ajaran islam yang menganggap bahwa manusia adalah mahluk paling mulia dan paling sempunra dibanding mahluk lainnya termasuk malaikat. Predikat mulia dan sempurna manusia tidaklah gratis melainkan mempunyai tugas kehalifaan yaitu memakmurkan bumi dan isinya.Tugas kehalifaan adalah perintah Allah SWT bagi umat islam sehingga merupakan kewajiban yang akan dipertanggungjawabkannya kepada sang Pencipta. Salah satu tugas kehalifaan itu adalah pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Kelalaian manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam akibatnya akan dialami oleh manusia itu sendiri. Karena itu bencana alam dan berbagai perubahan ekologis yang terjadi dibelahan bumi ini sebagai akibat perbuatan manusia itu sendiri. Manusia dalam melakukan tugas kehalifaannya Allah SWT memberikan modal utama kepadanya yaitu akal dan pikiran yang tidak diberikan kepada mahluk lainnya termasuk malaikat. Akan tetapi pada waktu yang sama manusia diberikan nafsu untuk menikmati berbagai fasilitas yang ada di alam ini. Penggunaan nafsu yang tidak sesuai dengan sunatullah (hukum alam) dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada akan menimbulkan berbagai bencana terhadap sumberdaya lain termasuk manusia itu sendiri. Hutan adalah salah satu sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan sesuai dengan hukum-hukum alam dan dipertanggungjawabkan kepada Penciptanya. Hutan yang menyediakan berbagai sumberdaya untuk keperluan manusia boleh dikelolah secara ekonomi tetapi berawawasan lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan fungsi hutan akan berakibat pada manusia itu sendiri. Karena itu pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan merupakan kewajiban bagi umat manusia yang merupakan bagian dari tugas kehalifaannya.

2.2. Apa itu Bioprospeksi

                  Secara filosofi potensi atau fungsi sumberdaya alam dalam kehidupan manusia tergantung pada jumlah dan jenis senyawa kandungannya. Sumberdaya alam yang berfungsi sebagai bahan pangan karena senyawa kandungannya yang paling dominan adalah protein, karbohidrat, dan lipid-lipid; vegetasi yang digunakan bidang perkayuan karena mengandung senyawa-senyawa polifenol, selulosa, dan lignin-lignin dengan perbandingan tertentu; sumberdaya sebagai sumber energi karena mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon; sumberdaya hayati yang digunakan sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains karena mengandung senyawa-senyawa alkaloid, terpen-terpen, flavonoid; dan vegetasi yang dominan mengandung selulosa digunakan sebagai bahan dasar kertas serta berbagai contoh lainnya. Variasi dan komposisi senyawa-senyawa tersebut yang menjadikan sumberdaya hayati bernilai ekonomi tetapi nilai ekonomi itu pula yang memicu kerusakan sumberdaya hutan karena dimanfaatkan atau dieksploitasi secara berlebihan. Potensi sumberdaya hayati yang umum diperlukan manusia adalah bahan untuk keperluan perumahan, bahan dasar pakaian, bahan perabotan, dan bahan pangan. Potensi-potensi tersebut didasarkan pada variasi dan komposisi senyawa kandungan spesies. Pemanfaatan spesies sumber pangan telah dilakukan secara berkelanjutan karena spesies-spesiesnya memiliki daur hidup yang pendek sehingga mudah dibudidayakan. Berbeda dengan spesies sumber non-pangan umumnya memiliki daur hidup yang panjangsehingga termasuk kategori sumberdaya alam takterpulihkan. Pemanfaatan sumberdaya non-pangan menimbulkan masalah ekologis karena sukar regenerasi. Sumberdaya yang berpotensi untuk bahan perumahan, bahan perabotan, dan pakaian umumnya adalah vegetasi dan bagian yang dimanfaatkan adalah batang atau perkayuan. Bentuk pemanfaatan inilah yang menyebabkan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati dan meluasnya lahan gundul pada negara-negara pemilik hutan termasuk Indonesia.

                  Potensi senyawa kandungan spesies yang belum termanfaatkan dengan baik adalah alkaloid, terpen-terpen, fenol-fenol, dan flavanoid. Potensi utama kelompok senyawa tersebut adalah sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Menurt Wildman (2000) potensi tersebut memiliki nilai ekonomi yang sama dengan perkayuan jika dikelolah secara baik. Kimia bahan alam suatu bidang ilmu yang berperan dalam kegiatan pemanfaatan spesies sebagai sumber obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Rangkaian kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains disebut bioprospeksi yang meliputi kegiatan eksplorasi potensi spesies, teknik pemanfaatan, dan pengembangan potensi melalui modifikasi struktur molekul senyawa kandungannya. Ekplorasi potensi senyawa suatu penelitian untuk menemukan senyawa kandungan spesies sehingga memudahkan dalam pencarian teknik pemanfaatan serta pengembangan atau perluasan manfaat. Dengan demikian pengertian bioprospeksi adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Potensi obat-obatan dan agrokimia berdasarkan sifat bioaktif senyawa kandungan suatu spesies sedangkan material sains didasarkan pada profil struktur molekul senyawa yang prospek dikembangkan atau dimodifikasi.

2.3. Apakah Bioprospeksi Berwawasan Lingkungan

                  Pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan selama ini oleh berbagai negara pemilik hutan adalah bidang perkayuan sehingga potensi hutan identik dengan perkayuan. Nilai ekonomi perkayuan sangat tinggi sehingga telah menjadi sumber devisa negara pemilik hutan termasuk Indonesia. Nilai ekonomi tersebut semakin meningkat dengan ditemukannya berbagai teknologi pengolahan kayu. Fenomena ini mempercepat penurunan keanekaragaman hayati karena vegetasi yang berpotensi ekonomi tinggi umumnya sukar bahkan tak dapat dibudidayakan. Kualitas perkayuan tergambar dari performan sifat fisika batang vegetasi dan perfeorman ini berasal dari variasi dan komposisi senyawa kandungannya.

Menurut kimia bahan alam semua vegetasi berpeluang mengandung metabolit yang berpotensi bioprospeksi yang tersebar dalam semua organ sehingga tidak ada perbedaan potensi antara batang, daun, kulit batang, dahan, bunga, dan buah. Apabila suatu kelompok senyawa tersebut ditemukan dalam akar juga dapat ditemukan pada organ lain tetapi berbeda kuantitas. Kuantitas senyawa tersebut dapat ditingkatkan dengan cara biotransformasi. Permasalahan utama dalam bioprospeksi adalah diperlukan data base senyawa beserta potensinya dari seluruh organ spesies untuk keperluan rekayasa pemanfaatan. Eksplorasi data base tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang handal dan fasilitas kimia yang memadai. Karena itu konsep bioprospeksi belum dapat diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan karena negara-negara pemilik hutan umumnya adalah negara berkembang atau miskin. Namun demikian kegiatan bioprospeksi telah dilakukan melalui proyek penelitian dan tugas akhir mahasiswa jurusan Kimia dan Farmasi di berbagai negara dalam prespektif ilmu pengetahuan, sehingga data base beberapa spesies telah diketahui dengan baik. Data base tersebut dapat digunakan oleh negara-negara pemilik hutan untuk mengembangkan bioprospeksi dalam pengelolaan sumberdaya hayati yang dimilikinya. Data base potensi senyawa kandungan seluruh organ spesies mutlak diperlukan dalam kaitannya dengan alternatif pemilihan organ spesies yang akan dimanfaatkan. Pada spesies vegetasi yang memiliki daur hidup panjang atau tidak dapat dibudidayakan organ yang dapat dimanfaatkan adalah daun atau buah jika ada. Pemanfaatan organ tersebut tidak mengganggu kelangsungan hidup spesies sehingga dipandang sebagai strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Vegetasi yang dapat dibudidayakan seluruh organnya dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Fakta menunjukkan bahwa banyak sumberdaya hayati di sekitar kita belum termanfaatkan bahkan dianggap sebagai gulma atau hama pengganggu spesies lain. Menurut kimia bahan alam semua spesies berpotensi berdasarkan komposisi dan variasi senyawa kandungannya. Profil potensi senyawa kandungan spesies tersebut perlu diungkap sehingga dapat digunakan dalam kehidupan ini. Bioprospeksi berorientasi pada optimalisasi potensi seluruh sepesies sehingga spesies yang dianggap liar atau gulma menjadi spesies budidaya. Terungkapnya potensi seluruh spesies dan semua organ spesies akan memicu eksploitasi spesies itu sebagaimana yang dilakukan terhadap vegetasi bidang perkayuan. Karena itu konsep bioprospeksi tidak mutlak aman terhadap kelangsungan hidup spesies terutama pada spesies yang memiliki daur hidup panjang atau takterpulihkan. Konsep bioprospeksi berwawasan lingkungan dalam pemanfaatan spesies yang takterpulihkan jika bagian yang digunakan adalah bukan organ vital bagi kelangsungan hidup spesies itu. Terhadap vegetasi tersebut konsep bioprospeksi berwawasan lingkungan jika bagian yang dimanfaatkan adalah daun atau buah jika ada, sedangkan vegetasi yang mudah dibudidayakan dapat menggunakan seluruh organnya. Dengan demikian bioprospeksi akan berawawasan lingkungan untuk pengelolaan sumberdaya hayati jika dilakaun dengan sistem manajemen yang tepat. 

2.4. Prospek Bioprospeksi di Indonesia

                  Indonesia memiliki hutan yang luas dan keanekaragaman hayati yang banyak. Hasil hutan Indonesia yang telah dimanfaatkan secara besar-besaran dan telah menjadi sumber devisa negara dan pendapatan masyarakatnya adalah vegetasi perkayuan. Pemanfaatan sumberdaya vegetasi bidang perkayuan tersebut telah mengakibatkan semakin menurunnya keanekeragaman hayati dan meluasnya lahan gundul. Meskipun demikian eksploitasi hutan Indonesia merupakan kebijakan pemerintah melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terus dilakukan. Perubahan iklim mikro dan makro telah terjadi sehingga bencana banjir dan kemarau dibeberapa daerah di Indonesia silih berganti. Peran ekologis vegetasi semakin menurun karena banyaknya vegetasi penutup lahan yang hilang, sedangkan aktivitas manusia yang melepaskan aneka gas di udara juga semakin meningkat. Fenomena ini telah banyak menimbulkan masalah termasuk kesehatan masyarakat. Fungsi vegetasi penutup lahan sangat penting sehingga diperlukan pendekatan alternatif pengganti perkayuan dalam pengelolaan sumberdaya alam.

                  Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti perkayuan. Potensi bioprospeksi dapat diketahui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah. Banyak sumberdaya hayati di Indonesia telah diketahui potensinya melalui kedua cara tersebut. Potensi spesies-spesies tersebut perlu dilakukan penilaian ekonomi sehingga konsep bioprospeksi dapat diterapkan secara formal dalam pengelolaan hutan. Pendekatan ekologis dalam pemeliharaan hutan di Indonesia belum dapat dilakukan karena hutan masih  merupakan sumber devisa negara dan pendapatan masyarakatnya. Eksploitasi hutan alam yang dilakukan selama ini dapat dihentikan melalui pendekatan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Indonesia memiliki berbagai spesies endemik dan non-endemik berpotensi bioprospeksi yang perlu dikelolah secara baik yaitu bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan sehingga dapat menggantikan bidang perkayuan. Pengelolaan dengan sistem bioprospeksi dapat dilakukan di Indonesia sehubungan dengan potensi sumberdaya hayatinya yang banyak. Penerapan konsep ini diperlukan landasan hukum oleh pemerintah pusat atau daerah. Dalam kaitannya dengan undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian konsep bioprospeksi prospek dilakukan di Indonesia terutama daerah yang memiliki sumberdaya hutan yang cukup.

 

III. PENUTUP

                  Bioprospeksi yang memandang bahwa seluruh sumberdaya hayati dan organnya memiliki potensi, prospek digunakan sebagai strategis pemanfaatan sumberdaya hutan. Hutan yang menjadi simbol kekayaan sumberdaya hayati suatu negara harus dilindungi melalui pengelolaan yang berkelanjutan karena hutan berfungsi ekologis dan ekonomi. Kedua fungsi tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan strategis memanfaatkan hasil hutan. Prioritas ekonomi seperti yang dilakukan selama ini dalam pengelolaan hutan justru telah mengakibatkan biaya ekonomi tinggi dalam menanggulangi berbagai efek ekologis yang timbul. Bioprospeksi dipandang efektif digunakan dalam pengelolaan sumberdaya hayati khususnya hutan karena strategis dapat menerapan manajemen berwawasan lingkungan dan bernilai ekonomi. Karena itu diperlukan kajian rancangan sistem bioprospeksi yang sesuai dengan aspek ekonomi dan aspek ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam.

 

 

                  Berdasarkan kajian teoritis dan filosofi konsep bioprospeksi dianggap sebagai paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya hayati. Konsep ini bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan ekologis dalam pencarian strategis pengelolaan sumberdaya hutan. Dilematis ekonomi dan ekologis dalam pemanfaatan hasil hutan secara teori dapat diatasi dengan konsep bioprospeksi meskipun konsep ini tidak mutlak aman bagi kelangsungan hidup spesies. Oleh karena itu diperlukan kajian mendalam tentang sistem bioprospeksi meliputi kelayakan ekonomi, kelembagaan, tersedianya sumberdaya manusia, dan mekanisme kerja bioprospeksi terutama eksplorasi potensi, teknik pemanfaatan, dan pemasaran produk.

 

IV. DAFTAR PUSTAKA

 

Arthur, A. S. and Gordon, C. R. 2000. Valuing Research Leads: Bioprospecting and the Conservation of Genetic Resources. Journal of political economy, Columbia University

 

Dhillion. S and H. Svarstad. 2002. Bioprospecting: Effects on Enviroment and Developent. AMBIO. 31(6): 491-493 ISSN 0044 7447

 

Rodney, B. W. and Kumar, P. 2002. Royalties and benefit sharing contracts in bioprospecting. Department of applied economics, Univesity of Minnesota.

 

Sternlof, K. 1998. Bioprospecting could fuel economic insentive for biological conservation. Journal of political economic.

 

Svarstad, H. and S. Dhillion. 2000. Responding to bioprospecting from biodiversity in the south to medicines in the north. Oslo. Spartacus forlag. ISBN 82-430-0163-8.

 

Wildman H. G. 1995. Pharmaceutical Bioprospecting and its relationship to the conservation and utilization of bioresources. http://www.iupac.org/symposia/proceeding/phuke97/wildman.html

 

William G. A., Parks, J. E, Russel, D. and I. Korovulavula. 1997. In search of a cure: Bioprospecting as a marine conservation tool in Fijian community. Program Lessons from the field.