© 2003 Nimmi Zulbainarni                                                          Posted  17 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober  2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

KEBIJAKAN EKSPLOITASI

SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN  BERKELANJUTAN

 

 

Oleh  :

 

Nimmi Zulbainarni 

A161030001/EPN

E-mail:  nimmi_z@hotmail.com

 

               

 

 

 

1.  PENDAHULUAN

 

Sumberdaya perikanan dan kelautan adalah salah satu sumberdaya alam yang merupakan  aset negara dan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kesejahteraan suatu bangsa termasuk Indonesia.  Sebagai negara maritim yang terdiri dari ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke,  Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan dan kelautan cukup besar dengan garis pantai yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, memiliki lebih kurang 17.508 buah pulau dan luas perairan sekitar 5,9 juta km2 serta potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun.  Dari potensi tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari.  Secara rinci potensi lestari perikanan Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.  Potensi Lestari Perikanan Indonesia

 

No.

Perairan

Jumlah (ton/tahun)

1.

Selat Malaka

276.030

2.

Laut Cina Selatan

1.057.050

3.

Laut Jawa

796.640

4.

Selat Makasar dan Laut Flores

911.000

5.

Laut Banda

277.490

6.

Laut Seram dan Teluk Tomini

590.620

7.

Laut Sulawesidan Samudera Pasifik

621.720

8.

Laut Arafuru

771.550

9.

Samudera Hindia

1.076.890

 

Jumlah

6.378.990

Sumber : Statistik Perikanan Indonesia,2000

 

Besarnya potensi sumberdaya perikanan di Indonesia ini dapat dijadikan argumen untuk dapat meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang berbasis pada perikanan dan kelautan.  Menurut Dahuri (2003) Pembangunan berbasis perikanan  seharusnya dapat dijadikan arus utama pembangunan nasional karena sumberdaya yang dimilikinya sangat berlimpah dan kaya, industri yang berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan industri lainnya dan sumberdaya perikanan dan kelautan senantiasa dapat diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Oleh karena itu sektor perikanan dan kelautan saat ini dikembangkan sebagai salah satu andalan bagi pemasukan negara dalam rangka mendukung pembangunan nasional.  Jika dibandingkan dengan negara lain, maka kontribusi sektor  perikanan Indonesia masih relatif rendah.  Secara rinci perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 2.

 

 

Tabel 2.  Perbandingan Kontribusi Sektor Perikanan Beberapa Negara

 

No.

Negara

Panjang Pantai (Km)

Luas Perairan (Km2)

Kontribusi Sektor Keautan Terhadap GDP

%

Nilai

1.

Amerika Serikat

19.800

 

 

$ 14 Milyar (1995)

2.

Korea Selatan

2.713

 

37,00

$ 14,7 Milyar (Huh and Lee, 1992)

3.

RRC

32.000

3 juta

48,40

$ 17.353 Milyar (1998)

4.

Indonesia

81.000

5.8 juta

20,06

Rp 189 Trilyun (1998)

5.

Jepang

34.386

 

54,00

$ 21,4 Trilyun (Itosu, 1992)

Sumber : PKSPL-IPB, 2000

 

Beberapa negara seperti RRC, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang kontribusi ekonominya dalam bidang perikanan dan kelautan terhadap PDB nasional sudah lebih dari 30 persen. Kontradiktif sekali jika dibandingkan dengan kontribusi sektor perikanan dan kelautan di Indonesia.  Sumberdaya perikanan yang sangat besar dengan mega-biodiversity-nya hanya memberikan sumbangan yang masih sangat rendah.  Hal ini disebabkan potensi dan kekayaan sumberdaya alam tersebut belum bisa dimanfaatkan sepenuhya dengan baik terutama di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).   Selain itu, pembangunan sektor perikanan dan kelautan Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir ini selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran dalam perekonomian nasional. 

Terdapat beberapa alasan kenapa sektor perikanan dan kelautan  mempunyai peranan sangat penting terhadap perekonomian nasional.  Pertama, banyaknya jumlah   sumberdaya manusia (tenaga kerja) yang bekerja pada sektor perikanan dan kelautan  baik pada unit penangkapan, pengolahan maupun pemasaran karena hampir 60% penduduk Indonesia tinggal disekitar wilayah pesisir.  Kedua, sumberdaya perikanan sangat penting sebagai sumber protein  bagi penduduk.  Ikan merupakan sumber protein hewani, lebih dari 60% dikonsumsi di daerah dan ikan memberikan sumber protein untuk mayoritas penduduk.  Ketiga,  sumberdaya perikanan memberikan  kontribusi pendapatan terhadap perekonomian nasional. 

Uraian di atas menunjukkan betapa besarnya potensi yang dimiliki oleh sektor perikanan dan kelautan.  Meskipun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sektor ini, antara lain rendahnya teknologi dan manajemen sehingga nelayan masih terjerat kemiskinan, aspek hukum dan kelembagaan yang belum memadai sehingga sering terjadinya illegal fishing dan telah pula terjadi kerusakan lingkungan akibat tangkap lebih (overfishing)  baik secara ekonomi maupun biologi.  Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Zulbainarni (2002) menyatakan bahwa di Perairan Selat Bali (Laut Jawa) telah terjadi gejala economic  overfishing pada perikanan lemuru karena penggunaan input (effort) jauh lebih besar.  Selain itu, Sujastani dan Nurhakim (1982) juga menyatakan bahwa di Perairan Selat Bali telah mengindikasikan terjadinya gejala biological overfishing dalam pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru akibat pengopersian purse seine yang cukup menonjol dan Mertha et al (1997) mengatakan bahwa perikanan lemuru di Perairan Selat Bali dengan MSY sebesar 34 000.00 ton per tahun sudah lebih tangkap (overfishing).   Oleh karena itu, eksploitasi atau pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan perlu mendapatkan  perhatian agar kelestarian sumberdaya dapat terjaga atau terpelihara sehingga tercapai sustainability development dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dengan demikian perlu dikaji kebijakan-kebijakan dalam eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji alternatif-alternatif kebijakan dalam eksploitasi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan agar kelestarian sumberdaya dapat terjaga atau terpelihara sehubungan dengan adanya isu overfishing di beberapa wilayah Indonesia.

 

 

2.      KERANGKA KONSEP

                                                                    

Pengekploitasian atau pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan  dengan baik agar pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu kendala pokok yang terjadi dalam usaha pengembangan perikanan dan kelautan di Indonesia.  Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan sesungguhnya dapat memberikan keuntungan ekonomi secara berkesinambungan bagi setiap pelaku yang terlibat didalamnya.  Potensi ekonomi yang dimiliki oleh sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan salah satu daya tarik untuk masuk ke dalam industri perikanan dan kelautan. Peningkatan jumlah nelayan serta pelaku ekonomi lainnya akan terus berjalan sehingga keuntungan ekonomi yang tersedia akan terbagi habis karena sifat open access dari sumberdaya tersebut, dimana tidak terdapat batasan bagi seseorang untuk masuk atau keluar industri ini (terutama perikanan tangkap).   Hal ini menyebabkan sumberdaya perikanan dan kelautan sangat potensial untuk dieksploitasi secara besar-besaran sehingga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya perikanan cukup besar. 

Sumberdaya perikanan yang bersifat  open access dan terjadinya eksploitasi yang berlebihan pada industri perikanan merupakan gejala yang dapat mendorong kearah kerugian ekonomi atau mengakibatkan hilangnya rente ekonomi sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Gordon (1954).  Pola pengelolaan perikanan Indonesia yang cenderung berorientasi pada produksi mengakibatkan produksi hasil perikanan diharapkan terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa produksi perikanan akan menuju atau melebihi titik maximum sustainable yield (MSY).  Jika ini terus dibiarkan maka dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan dan pada gilirannya akan mengakibatkan terkurasnya sumberdaya perikanan itu sendiri.  Oleh karena itu lahirlah model Gordon-Schaefer yang melahirkan konsep maximum economic yield yang kemudian mengeluarkan postulat “open acccess equilibrium” serta terdapat dua keseimbangan yakni open access equilibrium dan sole owner equilibrium.   Secara grafik kondisi tersebut dijelaskan pada Gambar 1.

 


 

Gambar  1.    Perbandingan Open Access Equilibrium dengan  Sole Owner Equilibrium dalam Perikanan

 

Jika harga per satuan unit ikan sebagai  p (Rp/kg) dan biaya per satuan Effort sebagai c, kemudian kita kalikan harga tersebut dengan hasil tangkapan (harvest=h) maka akan diperoleh fungsi penerimaan sebagai  TR = ph. Sedangkan biaya diasumsikan linier terhadap Effort sehingga fungsi biaya menjadi : TC = cE.  Jika digabungkan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut dalam satu gambar maka akan diperoleh seperti apa yang tertera dalam Gambar 1a.

Clark (1985) menjelaskan bahwa dalam kondisi open acces, suatu perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat effort E¥ pada Gambar 1a, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini, pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas saja.  Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai “bioeconomic equilibrium of open access fishery”.

Pada setiap tingkat effort di bawah E¥, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk menangkap ikan.   Sebaliknya pada tingkat effort di atas E¥ (di sebelah kanan E¥) biaya total melebihi penerimaan total sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar (exit) dari perikanan.  Dengan demikian hanya pada tingkat effort E¥ (keseimbangan tercapai) sehingga entry dan exit tidak terjadi.

            Keseimbangan bioeconomic open acces dan sole owner juga dapat dilihat dari sisi penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan biaya marginal. Pada Gambar 1b, ketiga konsep di atas diturunkan dari konsep penerimaan total dan biaya total dari Gambar 1a.  Pada Gambar 1b bisa dilihat bahwa setiap titik di sebelah kiri E¥ penerimaan rata-rata per setiap unit effort lebih besar dari biaya rata-rata per unit.   Kondisi ini tidak saja menarik minat bagi pelaku perikanan yang baru tetapi juga akan memungkinkan pelaku perikanan yang sudah ada untuk menambah daya kompetisinya, misalnya dengan menambah daya mesin, membuat kapal lebih besar dan lain sebagainya.

            Sebaliknya pada titik-titik di sebelah kanan E¥ biaya rata-rata per satuan effort lebih besar dari penerimaan rata-rata per unit. Kondisi ini akan memaksa nelayan untuk keluar dari perikanan atau mengurangi daya kompetisinya.  Jika dilihat kembali Gambar 1a keuntungan lestari (sustainable profit) akan diperoleh secara maksimum pada tingkat effort Eo dimana jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan biaya diperoleh. Dalam literatur perikanan, tingkat effort Eo sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (pertumbuhan ekonomi maksimum) atau disingkat MEY. Kalau kita bandingkan tingkat effort  pada keseimbangan open access dengan tingkat effort optimal secara sosial (Eo), maka akan kita lihat bahwa pada kondisi open access tingkat effort  yang dibutuhkan jauh lebih banyak daripada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari.  Dengan demikian bisa kita katakan bahwa  , tingkat effort EMEY terlihat lebih “conservative minded” (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibanding dengan tingkat effort Emsy  (Hannesson, 1993).   Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menjadikan timbulnya alokasi yang tidak benar (misalocation) dari sumberdaya alam karena kelebihan sumberdaya (tenaga kerja, modal) yang dibutuhkan.  Padahal kelebihan sumberdaya tersebut dapat dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah yang menjadi prediksi Gordon bahwa pada kondisi open access akan dapat menimbulkan kondisi economic overfishing.  Hal ini didukung oleh Clark (1985) yang menyatakan bahwa overfishing ekonomi tidak akan terjadi pada perikanan yang terkendali, sedangkan overfishing biologi akan terjadi  kapan saja bila perbandingan antara harga dengan biaya cukup tinggi.

Oleh karena sumberdaya perikanan bersifat unik maka perlu dilakukan pendekatan  bioekonomi dalam menentukan tingkat ekploitasi yang optimal dari sumberdaya tersebut.  Pendekatan model bioekonomi saat ini sudah menunjukkan banyak perbaikan sehingga mencapai sukses di bidang perikanan seperti tragedy of the commons  yang dikemukakan oleh Hardin (1968). 

Dengan demikian kebijakan-kebijakan dalam eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat menjaga kelestarian sumberdaya serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. 

 

 

3.      KEBIJAKAN EKSPLOITASI SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN

 

Di dalam kebijakan perikanan dan kelautan  terdapat  dua hal yang paling kritikal yaitu sumberdaya perikanan dan kelautan adalah public goods dan menyangkut rezim kepemilikan yang bersifat common property yaitu kepemilikan bersama  dan rezim akses yang bersifat open access yaitu siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ijin dari siapapun.  Dalam jangka panjang common property bisa menjadi open access jika institutional tidak bekerja (Bromley, 1991).  Di Indonesia open access murni tidak ada, yang terjadi adalah  quasi open access (setengah atau semi open access)  karena setiap nelayan yang akan berusaha, paling tidak harus memperoleh izin (permit) dari pemerintah, baik daerah  maupun pusat.

            Kebijakan eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan seharusnya memiliki tujuan yang memperhatikan aspek biologi dan ekonomi (efisiensi dan pemerataan) seperti disajikan pada Tabel 3 agar tercapai sustainability development dimana sumberdaya tetap terjaga kelestariannya dengan kegiatan eksploitasi yang dilakukan dan tercapai pula kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat perikanan.  

 

Tabel 3.  Tujuan Kebijakan Eksploitasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan

 

No.

Tujuan

Biologi

Ekonomi

Efisiensi

Pemerataan

1.

Melindungi stok perikanan

Ö

 

 

2.

Menjaga kondisi ekosistem

Ö

 

 

3.

Maksimisasi penangkapan

Ö

Ö

 

4.

Stabilisasi tingkat stok

Ö

 

 

5.

Stabilisasi tingkat penangkapan

 

Ö

 

6.

Menyediakan lapangan kerja

 

 

Ö

7.

Meningkatkan pendapatan nelayan

 

Ö

Ö

8.

Mencegah waste sumberdaya ikan

Ö

Ö

 

9.

Meningkatkan kualitas SD ikan

 

Ö

 

10.

Meningkatkan cost-effectiveness

 

Ö

 

           

           

            Gejala overfishing secara ekonomi akan terjadi apabila jumlah input yang digunakan cukup tinggi, sehingga mengakibatkan tidak terciptanya keseimbangan antara input dan output (terjadi kelebihan input.  Sedangkan  overfishing secara biologi akan terjadi pada saat eksploitasi yang dilakukan melebihi tingkat potensi lestari sumberdaya tersebut.  Untuk mengatasi permasalahan ini, secara ekonomi terdapat beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan, antara lain  pajak baik pajak terhadap input maupun terhadap output, dan quota.

      Pajak terhadap input akan berpengaruh terhadap total costs (TC) yang dikeluarkan dan pajak output akan berpengaruh terhadap total revenue (TR) yang akhirnya berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh.  Penerapan pajak baik input maupun output sering menimbulkan disinsentif dan distorsi bagi usaha perikanan serta cukup kompleks diterapkan pada perikanan multi species. Pada penentuaan quota, jumlah tangkapan yang optimal lebih dulu ditentukan.  Jumlah tangkapan optimal tersebut adalah merupakan quota yang boleh ditangkap serta menjamin kelestarian sumberdaya perikanan dan kelauatan   dengan cara  Individual Transferable Quota (ITQ), dan limited entry.

            Dengan quota maka masing-masing pelaku perikanan dan kelautan  memperoleh kepastian terhadap bagian dari tangkap yang diperbolehkan, sehingga tidak perlu berlomba untuk mencari ikan (race for fish). Salah satu faktor yang cukup menentukan dalam penerapan quota adalah harus didukung oleh enforcement yang kuat.  Enforcement merupakan sesuatu yang cukup mahal bahkan di negara maju sekalipun. Lemahnya enforcement di bidang perikanan dan  kelautan  di negara-negara berkembang seperti Indonesia, menyebabkan quota menjadi hal yang menimbulkan biaya sosial yang cukup mahal.  Hal ini terjadi karena enforcement yang lemah akan melahirkan tiga problem utama quota yaitu price grading, quota busting dan under reporting.  Tanpa enforcement yang kuat, quota akan menyebabkan pelaku perikanan memenuhi quotanya dengan ikan-ikan yang bernilai ekonomi tinggi sehingga semakin banyaknya ikan yang nilai ekonomis rendah terbuang (by catch) yang pada gilirannya akan menimbulkan bias pada pendugaan stock atau stock assesment secara keseluruhan.  Selain itu, quota busting  yang bersamaan  dengan under reporting akan terjadi jika enforcement tidak berjalan baik.  Quota busting adalah kecenderungan pelaku perikanan untuk menangkap lebih dari kuota yang ditetapkan, sehingga akan menimbulkan kesalahan dalam pelaporan dan kekeliruan dalam pendugaan stock (Cunningham  et al,  1985). 

            Limited entry hanya memperkenankan nelayan atau armada yang terdaftar saja untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan.  Limited entry akan menimbulkan beberapa masalah antara lain jebakan ekspektasi (expectation traps) dan penumpukan kapital (capital stuffing). Jebakan ekspektasi akan timbul apabila kebijakan limited entry dibuat menjadi transferable (dapat dipindahtangankan).  Akibat pengurangan armada yang beroperasi menyebabkan timbulnya harapan dapat meningkatkan pendapatan per unit upaya penangkapan dari nelayan yang masih diijinkan untuk beroperasi.  Harapan ini akan meningkatkan nilai jual dari armada pada saat dipindahtangankan ke pihak lain.  Nilai jual ini sering melebihi expected return dari usaha perikanan yang akhirnya menjadi jebakan ekpektasi.  Penetapan limited entry juga menimbulkan masalah capital stuffing (penumpukan modal/kapital).  Hal ini karena terjadinya proses substitusi input dari industi perikanan.

            Berdasarkan kebijakan-kebijakan tersebut di atas quota dengan limited entry adalah salah satu kemungkinan yang dapat dilaksanakan dalam memecahkan masalah overfishing dimana program ini sudah diperkenalkan pada berbagai negara.  Pengalaman negara Jepang yang telah  mengadopsi kebijakan quota dengan limited entry menunjukkan bahwa tidak terjadi pengurasan atau eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya perikanan dan  kelautan dengan menerapkan TAC (Total Allawable Catch) sejak tahun 1997.  TAC diterapkan dalam penangkapan ikan Saury, Alaska Pollack, Jack Mackerel, Sardine, Common Mackerel, Spotted Mackerel, Common Squid dan Snow Crab. Sebagai pelengkap sistem TAC pada tahun 2000 Jepang menerapkan TAE (Total Allowable Effort).  Selain itu juga diterapkan penutupan musim, pembatasan areal penangkapan, pembatasan ukuran jaring dan lain-lain.  Salah satu faktor yang cukup menentukan dalam penerapan quota (limited entry) adalah harus didukung oleh enforcement yang kuat.  Untuk hal ini Jepang memiliki kepastian hukum terhadap produksi perikanan (UU Koperasi Perikanan, UU Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, dll) dan pada seluruh aspek dalam sistem perikanannya (produksi, pengolahan, distribusi komunitas dan konsumsi)  dalam undang-undang Fundamental perikanannya (Suisan Kihon Hou).

            Kebijakan-kebijakan  di Jepang  dapat berjalan dengan baik karena sistem pengelolaan perikanan berbasis pada hak (Right-Based Fisheries System), berbasis pada masyarakat (Community Based Fisheries Management)  dan adanya sistem lisensi (Licensing Fisheries System.  Sistem perikanan yang berbasis pada hak di Jepang terdiri dari common fishing right yang diberikan kepada koperasi perikanan (di Jepang dikenal dengan sebutan FCA : Fisheries Cooperative Assosiation) , set net fishing  right yang diberikan pada individu atau group nelayan serta demarcated fishing right yang juga diberikan kepada koperasi perikanan dan untuk areal laut tertentu misalnya untuk budidaya rumput laut.  Sistem pengelolaan perikanan yang berbasis pada masyarakat dilakukan dengan cara co-management dibawah pengawasan koperasi perikanan  (FCA).  Fungsi FCA adalah membuat pengelolaan sumberdaya perikanan lebih efisien, menciptakan economic opportunity untuk pembangunan regional, mempromosikan tentang kesehatan lingkungan, mengembangkan pendidikan dan penelitian yang berhubungan dengan perikanan, membangun inisiatif untuk pemeliharaan sumberdaya perikanan serta memberikan kontribusi dalam   melindungi supply ikan Jepang agar tetap stabil.      Sedangkan sistem lisensi diberikan kepada individu, kelompok nelayan atau perusahaan perikanan  yang melakukan aktivitas perikanan di laut lepas atau perikanan jarak jauh (distant waters fisheries).  Lisensi ini dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau propinsi dan lisensi bukan merupakan hak milik.

            Pengalaman penerapan kebijakan perikanan di negara lain seperti Jepang manunjukkan bahwa penerapan kebijakan tersebut dapat mencapai tujuan pengelolaan perikanan dimana kelestarian sumberdaya terjaga dan diperoleh keuntungan maksimum.  Untuk kasus di Indonesia misalnya, kebijakan ekploitasi sumberdaya perikanan lemuru di Perairan Selat Bali sesungguhnya telah diatur dalam surat keputusan bersama Gubernur Jawa Timur dan Bali no. 238 tahun 1992//674 tahun 1992 dimana jumlah purse seine yang boleh beroperasi di Perairan Selat Bali adalah sebanyak 273 unit dan bahkan dari penelitian yang dilakukan oleh Zulbainarni (2002) dengan menggunakan bioeconomic model,  seharusnya purse seine yang beroperasi di Perairan Selat Bali hanya sebanyak 130 unit agar economic overfishing tidak terjadi dan diperoleh keuntungan yang maksimum.  Jika perikanan lemuru dikelola secara optimal berdasarkan kaidah-kaidah ekonomi sumberdaya terlihat bahwa input yang dibutuhkan lebih sedikit.  Akan tetapi kondisi aktual  menunjukkan bahwa purse seine yang beroperasi di Perairan Selat Bali berjumlah 322 unit pada tahun 2002. 

            Penyimpangan pelaksanaan kebijakan atau peraturan  di Indonesia khususnya di Perairan Selat Bali terjadi karena kurangnya  pengawasan sehingga terjadi pencatatan yang tidak sebenarnya (under reporting).  Hambatan yang sering dialami dalam pengawasan oleh pemerintah setempat disebabkan terbatasnya sarana dan prasana sehingga sulit untuk menuju tempat pengawasan, terbatasnya tenaga dan biaya operasional.  Oleh karena itu keberlanjutan institusi mensyaratkan adanya konsistensi penerapan kebijakan yang disertai dengan penguatan kemampuan organisasi dalam pengelolaan perikanan guna mendukung terwujudnya keberlanjutan perikanan. Di Jepang faktor institusi memegang peran yang signifikan dalam proses keberlanjutan perikanan dimana terdapat suatu institusi pengelolaan perikanan yang dibentuk untuk menjaga keharmonisan pemanfaatan sumberdaya perikanan sekaligus menjaga konflik antar nelayan.  Institusi ini branggotakan perwakilan  dari semua stakeholders yakni nelayan, pemerintah daerah atau pusat, perguruan tinggi dan LSM yang berpengalaman terhadap kondisi perikanan di derah tersebut.

            Efisiensi pengelolaan  perikanan adalah permasalahan dalam pengangguran antar nelayan.  Jika upaya penangkapan dikurangi atau dibatasi pada tingkat yang optimal maka beberapa nelayan tidak boleh lagi dipekerjakan di dalam perikanan tersebut.  Kecuali jika nelayan bisa menemukan pekerjaan alternatif yang lebih baik di tempat lain  sehingga hal ini mungkin menjadi suatu masalah sosial yang serius.  Jika upaya penangkapan (effort) dibatasi  maka perikanan akses terbuka (open access) akan mengalami surplus yaitu modal dan tenaga kerja.  Akan tetapi, jika pengelolaan perikanan yang ada untuk sasaran yang lebih baik secara sosial maupun ekonomi maka kesulitan ini harus dihadapi sehingga dalam jangka panjang dapat tercapai kesejaheraan masyarakat khususnya nelayan.  Tentu saja hal ini  harus didukung dengan kebijakan-kebijakan yang baik dan pengawasan kebijakan yang baik pula.

           

     

4.       PENUTUP

 

Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia yang cukup besar perlu dikelola dengan  baik agar terjaga kelestarian sumberdaya sehingga tidak terjadi kegiatan illegal fishing yang akhirnya dapat menyebabkan overfishing baik secara biologi (melebihi tingkat MSY) maupun ekonomi (melebihi tingkat MEY).

Kebijakan eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan yang dapat dilakukan untuk mengatasi overfishing adalah pajak baik input maupun output serta quota dengan cara  Individual Transferable Quota (ITQ), dan limited entry.   Dari kedua kebijakan tersebut yang paling mungkin dilakukan di Indonesia adalah quota dengan cara limited entry dengan belajar dari pengalaman negara lain seperti Jepang yang berhasil mengelola sumberdaya perikaan dan kelautannya.  Dengan kebijakan eksploitasi ini diharapkan keuntungan maksimum diperoleh dan sumberdaya terjaga kelestariannya atau pemanfaatan sumberdaya optimal secara bio-economic sehingga tercapai sustainability development dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia khususnya stakeholders yang terlibat di dalamnya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bromley, D.W.  1991.  Environment and Economy : Property Rights and Public Policy.  Basil Blackwell, Inc.  Cambridge, USA.

Clark, C.W.  1985.  Bioeconomic Modelling and Fisheries Management.  John Wiley and Son, Inc.  Canada.

Cunningham, S,  Michael, R.D and David, W . 1985.  Fisheries Economics An Introduction.  Mansell Publishing Limited London.  New York.

Gordon, H. S.  1954. The Economic Theory of A Common Property Resource:  The Fishery.  J. Polit.  Econ 62: 124-142.

Graham, M.  1952.  Overfishing and Optimal Fishing.  Cons. Intern. Expl. Mer, Rapp. et Proc.-Verb.  des Reunions 132:72-78.

Merta, I. G. S.  1991. Dinamika Populasi Ikan Lemuru, Sardinella Lemuru Bleeker 1853 Di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya.  Disertasi Doktor (Unpublished). Institut Pertanian Bogor,  Bogor.

Sujastani, T. dan Nurhakim 1982.  Potensi Sumberdaya Perikanan Lemuru di Selat Bali.  Prosiding Sem. Perikanan Lemuru.  Banyuwangi 18-21 Januari 1982.  Pros. No. 2/SPL/84:1-11pp.

Zulbainarni, N., M. Tambunan and A. Fauzi, 2002.  Economic Analysis of Optimal Management For Lemuru Fishery (Sardinella longiceps) in Bali Strait, Indonesia.  Paper di Presentasikan pada International Socio-Economics Fisheries Symposium on The 5 th JSPS Seminar Bogor, Indonesia, 20-21 Agustus 2002.