©
2003 Nimmi Zulbainarni
Posted
Makalah Individu
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pascasarjana / S3
Institut Pertanian
Oktober 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
KEBIJAKAN EKSPLOITASI
SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
KELAUTAN BERKELANJUTAN
Oleh :
Nimmi Zulbainarni
A161030001/EPN
E-mail: nimmi_z@hotmail.com
1. PENDAHULUAN
Sumberdaya
perikanan dan kelautan adalah salah satu sumberdaya alam yang merupakan aset negara
dan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kesejahteraan suatu bangsa
termasuk
Tabel 1. Potensi Lestari Perikanan
No. |
Perairan |
Jumlah (ton/tahun) |
1. |
Selat
Malaka |
276.030 |
2. |
Laut
Cina Selatan |
1.057.050 |
3. |
Laut
Jawa |
796.640 |
4. |
Selat
Makasar dan Laut Flores |
911.000 |
5. |
Laut
Banda |
277.490 |
6. |
Laut
Seram dan Teluk Tomini |
590.620 |
7. |
Laut
Sulawesidan Samudera Pasifik |
621.720 |
8. |
Laut
Arafuru |
771.550 |
9.
|
Samudera
Hindia |
1.076.890 |
|
Jumlah |
6.378.990 |
Sumber :
Statistik Perikanan
Besarnya potensi sumberdaya perikanan di
Tabel 2. Perbandingan Kontribusi Sektor Perikanan
Beberapa Negara
No. |
Negara |
Panjang Pantai (Km) |
Luas Perairan (Km2) |
Kontribusi Sektor Keautan Terhadap GDP |
|
% |
Nilai |
||||
1. |
Amerika Serikat |
19.800 |
|
|
$ 14 Milyar (1995) |
2. |
|
2.713 |
|
37,00 |
$ 14,7 Milyar (Huh and Lee, 1992) |
3. |
RRC |
32.000 |
3 juta |
48,40 |
$ 17.353 Milyar (1998) |
4. |
|
81.000 |
5.8 juta |
20,06 |
Rp 189 Trilyun (1998) |
5. |
Jepang |
34.386 |
|
54,00 |
$ 21,4 Trilyun (Itosu, 1992) |
Sumber : PKSPL-IPB, 2000
Beberapa
negara seperti RRC, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang kontribusi
ekonominya dalam bidang perikanan dan kelautan terhadap PDB nasional sudah
lebih dari 30 persen. Kontradiktif sekali jika dibandingkan
dengan kontribusi sektor perikanan dan kelautan di
Terdapat beberapa alasan kenapa sektor perikanan dan kelautan mempunyai peranan sangat penting terhadap perekonomian nasional. Pertama, banyaknya jumlah sumberdaya manusia (tenaga kerja) yang bekerja pada sektor perikanan dan kelautan baik pada unit penangkapan, pengolahan maupun pemasaran karena hampir 60% penduduk Indonesia tinggal disekitar wilayah pesisir. Kedua, sumberdaya perikanan sangat penting sebagai sumber protein bagi penduduk. Ikan merupakan sumber protein hewani, lebih dari 60% dikonsumsi di daerah dan ikan memberikan sumber protein untuk mayoritas penduduk. Ketiga, sumberdaya perikanan memberikan kontribusi pendapatan terhadap perekonomian nasional.
Uraian di atas menunjukkan
betapa besarnya potensi yang dimiliki oleh sektor perikanan dan kelautan.
Meskipun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sektor
ini, antara lain rendahnya teknologi dan manajemen sehingga nelayan masih
terjerat kemiskinan, aspek hukum dan kelembagaan yang belum memadai sehingga
sering terjadinya illegal fishing dan telah pula terjadi kerusakan
lingkungan akibat tangkap lebih (overfishing) baik secara ekonomi maupun biologi. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Zulbainarni (2002) menyatakan bahwa di Perairan Selat Bali (Laut Jawa) telah
terjadi gejala economic
overfishing pada perikanan lemuru karena penggunaan input (effort)
jauh lebih besar. Selain itu, Sujastani
dan Nurhakim (1982) juga menyatakan bahwa di Perairan Selat Bali telah
mengindikasikan terjadinya gejala biological overfishing dalam
pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru akibat pengopersian purse seine
yang cukup menonjol dan Mertha et al (1997) mengatakan bahwa perikanan
lemuru di Perairan Selat Bali dengan MSY sebesar 34 000.00 ton per tahun sudah
lebih tangkap (overfishing).
Oleh karena itu, eksploitasi atau pemanfaatan potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan perlu mendapatkan perhatian agar kelestarian sumberdaya
dapat terjaga atau terpelihara sehingga tercapai sustainability development dalam
pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dengan demikian perlu dikaji
kebijakan-kebijakan dalam eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji alternatif-alternatif kebijakan dalam eksploitasi atau
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan agar kelestarian sumberdaya dapat
terjaga atau terpelihara sehubungan dengan adanya isu overfishing di
beberapa wilayah
2.
KERANGKA KONSEP
Pengekploitasian atau pemanfaatan sumberdaya
perikanan dan kelautan
dengan baik agar pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah
satu kendala pokok yang terjadi dalam usaha pengembangan perikanan dan kelautan
di
Sumberdaya perikanan yang bersifat open
access dan terjadinya eksploitasi yang berlebihan pada industri perikanan
merupakan gejala yang dapat mendorong kearah kerugian ekonomi atau
mengakibatkan hilangnya rente ekonomi sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh
Gordon (1954). Pola pengelolaan
perikanan
Gambar 1. Perbandingan Open Access
Equilibrium dengan
Sole Owner Equilibrium dalam Perikanan
Jika harga per satuan unit ikan sebagai p (Rp/kg) dan biaya per satuan Effort sebagai c, kemudian kita kalikan harga tersebut dengan hasil tangkapan (harvest=h) maka akan diperoleh fungsi penerimaan sebagai TR = ph. Sedangkan biaya diasumsikan linier terhadap Effort sehingga fungsi biaya menjadi : TC = cE. Jika digabungkan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut dalam satu gambar maka akan diperoleh seperti apa yang tertera dalam Gambar 1a.
Pada setiap tingkat effort di bawah E¥, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk menangkap ikan. Sebaliknya pada tingkat effort di atas E¥ (di sebelah kanan E¥) biaya total melebihi penerimaan total sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar (exit) dari perikanan. Dengan demikian hanya pada tingkat effort E¥ (keseimbangan tercapai) sehingga entry dan exit tidak terjadi.
Keseimbangan bioeconomic open acces dan sole owner juga dapat dilihat dari sisi penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan biaya marginal. Pada Gambar 1b, ketiga konsep di atas diturunkan dari konsep penerimaan total dan biaya total dari Gambar 1a. Pada Gambar 1b bisa dilihat bahwa setiap titik di sebelah kiri E¥ penerimaan rata-rata per setiap unit effort lebih besar dari biaya rata-rata per unit. Kondisi ini tidak saja menarik minat bagi pelaku perikanan yang baru tetapi juga akan memungkinkan pelaku perikanan yang sudah ada untuk menambah daya kompetisinya, misalnya dengan menambah daya mesin, membuat kapal lebih besar dan lain sebagainya.
Sebaliknya pada
titik-titik di sebelah kanan E¥ biaya rata-rata
per satuan effort lebih besar dari
penerimaan rata-rata per unit. Kondisi ini akan
memaksa nelayan untuk keluar dari perikanan atau mengurangi daya
kompetisinya. Jika dilihat kembali
Gambar 1a keuntungan lestari (sustainable
profit) akan diperoleh secara maksimum pada
tingkat effort Eo
dimana jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan biaya diperoleh. Dalam
literatur perikanan, tingkat effort Eo sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (pertumbuhan
ekonomi maksimum) atau disingkat MEY. Kalau kita bandingkan tingkat effort
pada keseimbangan open access
dengan tingkat effort optimal secara
sosial (Eo), maka akan kita lihat bahwa pada kondisi open access tingkat effort yang dibutuhkan jauh
lebih banyak daripada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang
lestari. Dengan demikian bisa kita
katakan bahwa ,
tingkat effort EMEY
terlihat lebih “conservative minded”
(lebih bersahabat dengan lingkungan) dibanding dengan tingkat effort Emsy (Hannesson, 1993). Dari sudut pandang ilmu
ekonomi, keseimbangan open access
menjadikan timbulnya alokasi yang tidak benar (misalocation) dari sumberdaya alam karena kelebihan sumberdaya
(tenaga kerja, modal) yang dibutuhkan.
Padahal kelebihan sumberdaya tersebut dapat
dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah
yang menjadi prediksi Gordon bahwa pada kondisi open access akan dapat menimbulkan kondisi
economic overfishing. Hal ini didukung oleh
Oleh karena
sumberdaya perikanan bersifat unik maka perlu dilakukan pendekatan bioekonomi dalam menentukan tingkat
ekploitasi yang optimal dari sumberdaya tersebut. Pendekatan model bioekonomi saat ini sudah
menunjukkan banyak perbaikan sehingga mencapai sukses di bidang perikanan
seperti tragedy of the commons yang
dikemukakan oleh Hardin (1968).
Dengan demikian kebijakan-kebijakan dalam eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat menjaga kelestarian sumberdaya serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
3.
KEBIJAKAN EKSPLOITASI SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
KELAUTAN
Di dalam kebijakan perikanan dan kelautan terdapat dua hal yang paling kritikal yaitu sumberdaya perikanan dan kelautan adalah public goods dan menyangkut rezim kepemilikan yang bersifat common property yaitu kepemilikan bersama dan rezim akses yang bersifat open access yaitu siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ijin dari siapapun. Dalam jangka panjang common property bisa menjadi open access jika institutional tidak bekerja (Bromley, 1991). Di Indonesia open access murni tidak ada, yang terjadi adalah quasi open access (setengah atau semi open access) karena setiap nelayan yang akan berusaha, paling tidak harus memperoleh izin (permit) dari pemerintah, baik daerah maupun pusat.
Kebijakan eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan seharusnya memiliki tujuan yang memperhatikan aspek biologi dan ekonomi (efisiensi dan pemerataan) seperti disajikan pada Tabel 3 agar tercapai sustainability development dimana sumberdaya tetap terjaga kelestariannya dengan kegiatan eksploitasi yang dilakukan dan tercapai pula kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat perikanan.
No. |
Tujuan
|
Biologi |
Ekonomi |
|
Efisiensi |
Pemerataan |
|||
1. |
Melindungi stok
perikanan |
Ö |
|
|
2. |
Menjaga kondisi
ekosistem |
Ö |
|
|
3. |
Maksimisasi
penangkapan |
Ö |
Ö |
|
4. |
Stabilisasi tingkat
stok |
Ö |
|
|
5. |
Stabilisasi
tingkat penangkapan |
|
Ö |
|
6. |
Menyediakan
lapangan kerja |
|
|
Ö |
7. |
Meningkatkan
pendapatan nelayan |
|
Ö |
Ö |
8. |
Mencegah waste
sumberdaya ikan |
Ö |
Ö |
|
9. |
Meningkatkan
kualitas SD ikan |
|
Ö |
|
10. |
Meningkatkan cost-effectiveness |
|
Ö |
|
Gejala overfishing secara ekonomi akan terjadi apabila jumlah input yang digunakan cukup tinggi, sehingga mengakibatkan tidak terciptanya keseimbangan antara input dan output (terjadi kelebihan input. Sedangkan overfishing secara biologi akan terjadi pada saat eksploitasi yang dilakukan melebihi tingkat potensi lestari sumberdaya tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini, secara ekonomi terdapat beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan, antara lain pajak baik pajak terhadap input maupun terhadap output, dan quota.
Pajak terhadap input akan berpengaruh terhadap total costs (TC) yang dikeluarkan dan pajak output akan berpengaruh terhadap total revenue (TR) yang akhirnya berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh. Penerapan pajak baik input maupun output sering menimbulkan disinsentif dan distorsi bagi usaha perikanan serta cukup kompleks diterapkan pada perikanan multi species. Pada penentuaan quota, jumlah tangkapan yang optimal lebih dulu ditentukan. Jumlah tangkapan optimal tersebut adalah merupakan quota yang boleh ditangkap serta menjamin kelestarian sumberdaya perikanan dan kelauatan dengan cara Individual Transferable Quota (ITQ), dan limited entry.
Dengan quota maka masing-masing
pelaku perikanan dan kelautan
memperoleh kepastian terhadap bagian dari tangkap yang
diperbolehkan, sehingga tidak perlu berlomba untuk mencari ikan (race for
fish). Salah satu faktor yang cukup menentukan dalam
penerapan quota adalah harus didukung oleh enforcement yang kuat. Enforcement
merupakan sesuatu yang cukup mahal bahkan di negara maju sekalipun.
Lemahnya enforcement di bidang perikanan dan kelautan di negara-negara berkembang seperti
Limited entry hanya memperkenankan nelayan atau armada yang terdaftar saja untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan. Limited entry akan menimbulkan beberapa masalah antara lain jebakan ekspektasi (expectation traps) dan penumpukan kapital (capital stuffing). Jebakan ekspektasi akan timbul apabila kebijakan limited entry dibuat menjadi transferable (dapat dipindahtangankan). Akibat pengurangan armada yang beroperasi menyebabkan timbulnya harapan dapat meningkatkan pendapatan per unit upaya penangkapan dari nelayan yang masih diijinkan untuk beroperasi. Harapan ini akan meningkatkan nilai jual dari armada pada saat dipindahtangankan ke pihak lain. Nilai jual ini sering melebihi expected return dari usaha perikanan yang akhirnya menjadi jebakan ekpektasi. Penetapan limited entry juga menimbulkan masalah capital stuffing (penumpukan modal/kapital). Hal ini karena terjadinya proses substitusi input dari industi perikanan.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan tersebut di atas quota dengan limited entry adalah salah satu kemungkinan yang dapat dilaksanakan dalam memecahkan masalah overfishing dimana program ini sudah diperkenalkan pada berbagai negara. Pengalaman negara Jepang yang telah mengadopsi kebijakan quota dengan limited entry menunjukkan bahwa tidak terjadi pengurasan atau eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya perikanan dan kelautan dengan menerapkan TAC (Total Allawable Catch) sejak tahun 1997. TAC diterapkan dalam penangkapan ikan Saury, Alaska Pollack, Jack Mackerel, Sardine, Common Mackerel, Spotted Mackerel, Common Squid dan Snow Crab. Sebagai pelengkap sistem TAC pada tahun 2000 Jepang menerapkan TAE (Total Allowable Effort). Selain itu juga diterapkan penutupan musim, pembatasan areal penangkapan, pembatasan ukuran jaring dan lain-lain. Salah satu faktor yang cukup menentukan dalam penerapan quota (limited entry) adalah harus didukung oleh enforcement yang kuat. Untuk hal ini Jepang memiliki kepastian hukum terhadap produksi perikanan (UU Koperasi Perikanan, UU Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, dll) dan pada seluruh aspek dalam sistem perikanannya (produksi, pengolahan, distribusi komunitas dan konsumsi) dalam undang-undang Fundamental perikanannya (Suisan Kihon Hou).
Kebijakan-kebijakan di Jepang dapat berjalan dengan baik karena sistem pengelolaan perikanan berbasis pada hak (Right-Based Fisheries System), berbasis pada masyarakat (Community Based Fisheries Management) dan adanya sistem lisensi (Licensing Fisheries System. Sistem perikanan yang berbasis pada hak di Jepang terdiri dari common fishing right yang diberikan kepada koperasi perikanan (di Jepang dikenal dengan sebutan FCA : Fisheries Cooperative Assosiation) , set net fishing right yang diberikan pada individu atau group nelayan serta demarcated fishing right yang juga diberikan kepada koperasi perikanan dan untuk areal laut tertentu misalnya untuk budidaya rumput laut. Sistem pengelolaan perikanan yang berbasis pada masyarakat dilakukan dengan cara co-management dibawah pengawasan koperasi perikanan (FCA). Fungsi FCA adalah membuat pengelolaan sumberdaya perikanan lebih efisien, menciptakan economic opportunity untuk pembangunan regional, mempromosikan tentang kesehatan lingkungan, mengembangkan pendidikan dan penelitian yang berhubungan dengan perikanan, membangun inisiatif untuk pemeliharaan sumberdaya perikanan serta memberikan kontribusi dalam melindungi supply ikan Jepang agar tetap stabil. Sedangkan sistem lisensi diberikan kepada individu, kelompok nelayan atau perusahaan perikanan yang melakukan aktivitas perikanan di laut lepas atau perikanan jarak jauh (distant waters fisheries). Lisensi ini dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau propinsi dan lisensi bukan merupakan hak milik.
Pengalaman penerapan kebijakan perikanan di negara lain seperti Jepang manunjukkan bahwa penerapan kebijakan tersebut dapat mencapai tujuan pengelolaan perikanan dimana kelestarian sumberdaya terjaga dan diperoleh keuntungan maksimum. Untuk kasus di Indonesia misalnya, kebijakan ekploitasi sumberdaya perikanan lemuru di Perairan Selat Bali sesungguhnya telah diatur dalam surat keputusan bersama Gubernur Jawa Timur dan Bali no. 238 tahun 1992//674 tahun 1992 dimana jumlah purse seine yang boleh beroperasi di Perairan Selat Bali adalah sebanyak 273 unit dan bahkan dari penelitian yang dilakukan oleh Zulbainarni (2002) dengan menggunakan bioeconomic model, seharusnya purse seine yang beroperasi di Perairan Selat Bali hanya sebanyak 130 unit agar economic overfishing tidak terjadi dan diperoleh keuntungan yang maksimum. Jika perikanan lemuru dikelola secara optimal berdasarkan kaidah-kaidah ekonomi sumberdaya terlihat bahwa input yang dibutuhkan lebih sedikit. Akan tetapi kondisi aktual menunjukkan bahwa purse seine yang beroperasi di Perairan Selat Bali berjumlah 322 unit pada tahun 2002.
Penyimpangan pelaksanaan kebijakan
atau peraturan di
Efisiensi pengelolaan perikanan adalah permasalahan dalam pengangguran antar nelayan. Jika upaya penangkapan dikurangi atau dibatasi pada tingkat yang optimal maka beberapa nelayan tidak boleh lagi dipekerjakan di dalam perikanan tersebut. Kecuali jika nelayan bisa menemukan pekerjaan alternatif yang lebih baik di tempat lain sehingga hal ini mungkin menjadi suatu masalah sosial yang serius. Jika upaya penangkapan (effort) dibatasi maka perikanan akses terbuka (open access) akan mengalami surplus yaitu modal dan tenaga kerja. Akan tetapi, jika pengelolaan perikanan yang ada untuk sasaran yang lebih baik secara sosial maupun ekonomi maka kesulitan ini harus dihadapi sehingga dalam jangka panjang dapat tercapai kesejaheraan masyarakat khususnya nelayan. Tentu saja hal ini harus didukung dengan kebijakan-kebijakan yang baik dan pengawasan kebijakan yang baik pula.
4. PENUTUP
Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan
Kebijakan eksploitasi sumberdaya perikanan dan kelautan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi overfishing adalah pajak baik input
maupun output serta quota dengan cara Individual Transferable
Quota (ITQ), dan limited entry.
Dari kedua kebijakan tersebut yang paling mungkin dilakukan di
DAFTAR PUSTAKA
Bromley, D.W.
1991. Environment and Economy : Property Rights and Public Policy. Basil Blackwell, Inc.
Cunningham,
S, Michael, R.D
and David, W . 1985. Fisheries Economics
An Introduction.
Mansell Publishing Limited
Gordon, H. S.
1954. The Economic Theory of A Common
Property Resource: The Fishery. J. Polit.
Econ 62: 124-142.
Graham, M.
1952. Overfishing and Optimal
Fishing. Cons. Intern. Expl. Mer, Rapp. et
Proc.-Verb. des
Reunions 132:72-78.
Merta,
Sujastani,
T. dan Nurhakim 1982. Potensi Sumberdaya Perikanan Lemuru di Selat
Zulbainarni, N., M. Tambunan
and A. Fauzi, 2002. Economic Analysis of Optimal Management For Lemuru Fishery (Sardinella longiceps) in