© Nirwan Sahiri                                                                        Posted  19 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

 

 

PERTANIAN ORGANIK:

PRINSIP DAUR ULANG HARA, KONSERVASI AIR DAN INTERAKSI ANTAR TANAMAN

 

 

 

Oleh :

 

 

Nirwan Sahiri

A361030081

Email :  nirwan_sahiri@yahoo.com

 

A. PENDAHULUAN

Perkembangan sistem pertanian saat ini yang didominasi oleh sistem pertanian dengan input luar yang tinggi membawa dampak negatif di lingkungan ekosistem pertanian maupun di luar ekosistem pertanian. Dampak di dalam ekosistem pertanian terdiri dari : a) Meningkatnya degradasi lahan (fisik, kimia dan biologis), b) Meningkatnya residu pestisida dan gangguan serta resistensi hama penyakit dan gulma, c) Berkurangnya keanekaragaman hayati, serta d) Gangguan kesehatan masyarakat sebagai akibat dari pencemaran lingkungan. Sedangkan dampak yang terjadi di luar ekosistem pertanian, adalah : a) Meningkatnya gangguan kesehatan masyarakat konsumen karena pencemaran bahan-bahan pangan yang diproduksi di dalam ekosistem peratanian, b) Terjadi ketidakadilan ekonomi karena adanya praktek monopoli dalam penyediaan sarana produksi pertanian, c) Ketimpangan sosial antar petani dan komunitas di luar petani.

            Meningkatnya dampak kerusakan lingkungan akibat praktek pertanian dengan hight eksternal input (input luar yang tinggi) seperti penggunaan pestisida dan pupuk anorganik, membawa kesadaran baru bagi segenap pihak yang berkepentingan dengan pengembangan pertanian baik petani, pakar di bidang pertanian, pelaku ekonomi, masyarakat umum serta pengambil kebijakan baik lokal maupun kebijakan negara untuk kembali menyusun strategi baru dalam menanggulangi dampak negatif, meskipun masih terdapat keragaman pada tingkat kesadaran. Salah satu wujud kesadaran tersebut adalah munculnya perencanaan agroekosistem yang kembali pada sistem pertanian organik.

            Istilah pertanian organik telah menghimpun seluruh imajinasi petani bersama-sama konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia (pestisida dan herbisida) dan pupuk kimia yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumberdaya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam” (Sutanto, 2002a).

            Prinsip utama pertanian organik adalah penggunaan input luar yang rendah yang berlawanan dengan  penggunaan input luar yang tinggi. Berdasarkan prinsip tersebut, maka berkembang berbagai istilah seperti Cyclic Farming System, regeneratif agriculture, sustainable agriculture, organic farming, organic system, organic agriculture, biological agriculture, Purely organik agriculture, dan  ecofarming, yang merupakan kontras dari istilah-istilah convensional farming, Industrialized form agriculture, dan industrialized farming system (Mugnisjah, 2001). Pertanian organik merupakan hukum pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman (Sutanto, 2002b). Pertanian organik (organic farming, oraganic system atau organic agriculture) adalah sistem pertanian  yang menggunakan sarana produksi yang berasal dari mahkluk hidup, bukan produksi pabrik atau bahan-bahan mineral (Mugnisjah, 2001).

            Berdasarkan prinsip utama tersebut, maka pengembangan pertanian organik diarahkan pada tujuan utama yaitu : a) Mengurangi dampak negatif pada lahan baik fisik kimia dan biologi, sehingga produktisifitas lahan meningkat dan stabil, b) Mengurangi resistensi dan persistensi hama penyakit akibat penggunaan pestisida, sehingga penekanannya lebih mengarah pada pengendalian hayati, c) Meningkatnya kesehatan lingkungan ekosistem pertanian sehingga kesehatan masyarakat dan petani juga meningkat, d) Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan berupa sarana produksi dari luar, sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal semakin meningkat, e) Mewujudkan kedaulatan petani dalam menentukan rencana-rencana strategi dan pengambilan keputusan sehingga ketimpangan sosial dan ekonomi dapat teratasi.

            Pada pendekatan teknis, sistem pertanian organik memberikan penekanan pada prinsip daur ulang hara, konservasi air dan interaksi antara tanaman dalam pemenuhan siklus hara serta pengendalian hama dan penyakit serta gulma dalam model integrated farming system. Pembahasan pada tulisan ini penekanannya pada prinsip daur ulang hara, konservasi air dan interaksi antar tanaman untuk tujuan siklus hara dan peningkatan hasil ekonomi serta produksi biomassa.

            Prinsip daur ulang hara pada pertanian organik didasarkan pada upaya mengurangi kehilangan hara melalui panen (biomassa dan hasil ekonomi), dengan cara mengembalikan sebagian biomassa ke dalam tanah, setelah hasil ekonomi di panen. Pada penggunaan hara yang bersumber dari bahan-bahan anorganik (pupuk kimia), maka proses daur ulang hara tidak terjadi karena sumber utama hara adalah  bentuk anorganik yang berasal dari luar agroekosistem .  Sedangkan sumber hara dari bahan organik  (biomassa tanaman, kotoran hewan dan limbah organik), setelah diberikan ke dalam tanah dalam bentuk organik, selanjutnya akan mengalami proses peruraian menjadi bentuk anorganik yang siap diserap akar tanaman. Sejumlah hara tersebut akan dipergunakan untuk memproduksi bahan kering tanaman (biomassa dan hasil ekonomi) yang selanjutnya akan dapat di daur ulang kembali. Sumber utama hara organic berasal dari petak usahatani, sedangkan sumber hara anorganik berasal dari luar petak usahatani.

            Sistem pertanian organik juga dapat mengatasi masalah air pada pertanaman. Konservasi air dapat dilakukan karena penambahan bahan organik khususnya yang bersumber dari biomassa tanaman, pada mulanya akan berfungsi sebagai mulsa (penutup tanah). Penutupan tanah melalui mulsa akan meningkatkan kandungan air dalam tanah, karena proses evoporasi dapat ditekan. Mengatasi masalah air bukan saja terbatas pada menekan proses kehilangan air, tetapi sampai pada efesiensi penggunaan air (water use efficiency) oleh tanaman.

Pertanian organik lebih berorientasi pada penanaman lebih dari satu jenis tanaman dalam satu petak usahatani. Model penanaman dengan prinsip Multiple Cropping tersebut, salah satu tujuannya  adalah meningkatkan efesiensi penggunaan air, karena ruang terbuka yang memungkinkan terjadinya kehilangan air dapat di kurangi seminimal mungkin.  Hal ini disebabkan oleeh rasio penggunaan lahan semakin tinggi, sehingga hampir seluruh potensi air dimanfaatkan oleh tanaman.

            Prinsip deversifikasi tanaman pada  pertanian organik di samping meningkatkan efesiensi penggunaan air, sasaran utamanya adalah daur ulang hara, pengendalian hama penyakit dan gulma secara kultur teknis dan peningkatan hasil setara lahan. Sasaran ini untuk mengimbangi keuntungan ekonomi yang diperoleh dari sistem pertanian monokultur dengan input luar yang tinggi. Oleh sebab itu perencanaan yang matang sangat menentukan terjadinya interaksi yang saling menguntungkan antara satu jenis tanaman dengan tanaman lain. Perencanaan tanaman dapat ditujukan untuk pengendalian hama penyakit dan gulma maupun pemenuhan siklus hara dan air.

Menurut Kline et. al (1980), beberapa pertimbangan dalam menentukan jenis tanaman untuk di integrasikan dengan tanaman lain adalah sebagai berikut : a) karakter morfologi, b) siklus hidup, c) adanya alelopati, d) toleransi naungan dan cahaya dari masing-masing jenis tanaman (karakater fisiologi), e) Kebutuhan hara masing-masing jenis tanaman, f) efisiensi ruang perakaran tanaman, dan g) proses-proses suksesi dan pemencaran tanaman. Pertimbangan-pertimbangan tersebut bertujuan untuk memenuhi kompatibilitas ekosistem yang saling menguntungkan antara satu jenis dalam jenis tanaman lainnya. Disamping itu proses penghindaran dari proses penekanan organisme lain seperti hama, penyakit dan gulma dapat teratasi.

 

B. PRINSIP DAUR ULANG HARA PADA PERTANIAN ORGANIK

Sumber utama hara dalam pertanian organik berasal dari dalam lingkungan usahatani berupa bahan organik dari biomassa tanaman atau tumbuhan, kotoran ternak, limbah pertanian lainnya dan hasil fiksasi secara biologis. Sumber-sumber bahan organik segar tersebut akan mengalami proses penguraian yang melibatkan biota tanah/mikroorganisme tanah dan selanjutnya akan tersedia bagi tanaman. Prinsip utama yang menjadi acuan dalam daur ulang hara adalah prinsip keseimbangan hara yaitu jumlah yang hilang sama dengan jumlah yang ditambahkan ke dalam tanah sehingga kestabilan produktivitas lahan dapat dicapai. Proses pengembalian hara mengikuti daur yang utuh melalui tanah----tanaman----tanah, atau tanah----tanaman----ternak----tanah.

Gambar 1. Mengelola sistem daur ulang dan aliran hara dalam petak pertanaman

 


 


                  Magdoff et, al (1997) dalam Sutanto (2002b), telah membahas mekanisme daur ulang hara dalam petak pertanaman (gambar 1).  Pada mekanisme tersebut terjadi keseimbangan antara pengambilan dan pengembalian unsure hara ke dalam tanah dalam bentuk organic cycling.

Sumber-sumber bahan organik yang berasal dari dalam lingkungan usahatani, dalam hubungannya dengan kebutuhan hara  tanaman dapat disebut pupuk organik. Hingga saat ini perkembangan penggunaan bahan organik sebagai sumber pupuk organik semakin meningkat seiring dengan peningkatan degradasi lahan terutama didaerah tropis. Di samping itu penelitian-penelitian tentang pupuk organik  telah banyak dilakukan.  Huang Qiwei at. al 2001) telah melakukan penelitian pengaruh berbagai macam pupuk organik terhadap hasil dan kualitas teh hijau. Pupuk organik yang dicobakan terdiri dari : a) Jerami padi kering 15 ton/ha (I), b) Jerami padi kering 15 ton/ha (I) + 3,75 ton/ha bubuk batang lobak (II), c) I + pupuk hijau dari tanaman lobak cina (turnip) = (III), d) II + pupuk hijau (IV). Sebagai perlakuan kontrol digunakan pupuk kimia masing-masing Urea 600 kg/ha, Calsium magnesium phosphate 750 kg/ha dan Kalium sulphate 450 kg/ha setiap tahun. Tanaman teh yang digunakan berasal dari Varietas Fuding Dabai cha (Camellia sinensis (L) O. Kuntze).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil (yield) maksimum dicapai pada pemberian pupuk kimia (Tabel 1), dibandingkan dengan pemberian pupuk organik.

Tabel 1. Pengaruh pupuk organik terhadap hasil teh

Perlakuan

Hasil Total pertahun (kg / hm2)

Hasil teh musim semi (kg / hm2)

1

2

3

1

2

3

Pupuk kimia

1923,0

1894,5

1959,0

984,6

990,8

1010,8

I

996,0

694,5

609,0

647,4

488,2

436,7

II

1300,6

1317,5

1402,2

803,8

811,6

866,6

III

1017,0

870,0

810,5

615,3

533,3

500,9

IV

1314,5

1367,0

1486,0

808,4

844,8

919,3

 

Catatan : 1 = Percobaan tahun pertama,  2 = Percobaan tahun kedua,  3 = Percobaan tahun ketiga

 

Meskipun kuantitas hasil panen teh maksimum dicapai pada pemberian pupuk anorganik, tetapi kualitas hasil yang terdiri dari % kandungan asam amino, % Polyphenol dan Profesional  taste score, terbaik dicapai pada pemberian pupuk organik (Tabel 2).

 

Tabel 2. Pengaruh pupuk organik terhadap kualitas tes musim semi

Perlakuan

 

Kandungan Asam Amino (%)

Tea Polyphenol (%)

Profesional Taste Score

1

2

3

1

2

3

1

2

3

Pupuk Kimia

32,24

3,26

3,28

27,9

28,2

28,0

98,3

98,5

98,5

I

3,01

2,94

2,91

28,2

28,8

29,0

97,7

98,0

98,2

II

3,21

3,28

3,30

28,0

28,3

28,1

99,1

99,5

99,6

III

3,03

3,10

3,14

28,1

27,8

28,3

97,9

98,6

98,5

IV

3,22

3,31

3,32

27,9

28,1

28,2

100

100

10

 

 

Data yang tertera pada tabel 2 menunjukan bahwa kandungan utama teh yakni asam-asam amino pada musim semi, pada perlakuan II, III, IV meningkat dari tahun ketahun, tetapi perlakuan I menurun  dari tahun ketahun. Kandungan asam-asam amino pada perlakuan IV dan II lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pupuk kimia, tetapi perlakuan III dan I lebih rendah dari perlakuan pupuk kimia. Secara statistik tidak terdapat  perbedaan yang nyata antar perlakuan pada kandungan polyphenol.

            Pada professional taste Score IV>II>III = pupuk kimia>I. Hasil ini menunjukan bahwa kualitas teh hijau yang dipupuk dengan pupuk organik, lebih baik dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk organik yang bersumber dari bubuk batang lobak memberikan pengaruh lebih baik pada kualitas teh.

            Pupuk organik yang bersumber dari bahan-bahan lokal dilingkungan ekosistem pertanian. memiliki prospek yang baik sebagai alternatif dalam memperbaiki kesuburan tanah dan proses daur ulang hara tanaman.

 

C. PRINSIP KONSERVASI AIR DALAM PERTANIAN ORGANIK

Sistem pertanian oraganik disamping menganut prinsip daur ulang hara dalam siklus usahatani, juga mempertahankan prinsip konservasi air. Pembenaman bahan organik kedalam tanah dan penggunaan bahan organik yang belum terurai sebagai mulsa, dapat meningkatkan dan mempertahankan kandungan air dalam tanah. Pemulsaan (Mulching) adalah pemberian bahan-bahan serasah tanaman atau bahan-bahan an-organik seperti plastik sebagai bahan untuk menutup tanah pada pertanaman sedangkan bahan yang dipergunakan disebut Mulsa. Pemulsaan bertujuan mencegah kehilangan air dari tanah melalui proses evaporasi, dan aliran permukaan (runn off), mencegah atau menghambat pertumbuhan gulma dan sebagai sumber bahan organik tanah setelah melalui proses peruraian oleh mikroorganisme tanah.

            Wenyan at. al (2001) menyatakan bahwa pengujian jangka panjang pengaruh pemulsaan (Mulching) dapat berpengaruh  pada peningkatan kualitas teh. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian mulsa secara nyata menurunkan suhu tanah pada musim kemarau, evaporasi air, (run off) dan kerapatan bongkah tanah disamping itu dapat meningkatkan kapasitas insultrasi kedalam tanah dan kandungan lengas tanah (Tabel 3)

 

Tabel 3. Pengaruh pemulsaan terhadap suhu tanah, laju evaporasi, laju infiltrasi, aliran permukaan dan kandungan lengas tanah

 

Perlakuan

Suhu Tanah (0C)

Laju Evaporasi  (mm/hr)

Koefisien Infiltrasi (0-10 Cm) (mm/mt)

Run off (t/km2, thn)

Kandungan lengas

 rata-rata (%) (0-10 cm)

Permukaan

5

cm

15 cm

Mulsa Jerami

35,7

33,8

32,2

2,18

2,12

0

29,02

Kontrol

56,0

43,2

35,0

4,56

1,18

498

23,85

 

 

Peningkatan kandungan lengas tanah sangat nyata pada penggunaan mulsa. Kandungan lengas mencapai rata-rata 29,02 % pada kedalaman tanah 0-10 cm dan lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunakan mulsa (23,86 %). Peningkatan kandungan lengas tersebut disebabkan karena aliran permukaan ditekan sampai nilai 0 (nol), dan laju evaporasi yang rendah (2,18 mm/hr) dibandingkan dengan tanpa mulsa yang mencapai 4,56 mm/hr.

            Konservasi air pada pertanian organik sangat mendukung proses pertumbuhan tanaman, khususnya pengelolaan  pertanian dilahan kering dengan sumber air yang terbatas. Sedangkan di daerah-daerah iklim tropika basah, konservasi air bibutuhkan pada musim kemarau dimana curah hujan menurun, sehingga sumber air terbatas. Peningkatan kandungan air tanah karena penggunaan sumber atau bahan organik sebagai mulsa dapat meningkatkan efesiensi  penggunaan air oleh tanaman. (watter use efficiency) dilahan kering. Hal ini disebabkan Karena tanaman dapat terhindar dari cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan dapat menghambat proses perkecambahan benih, menurunkan produksi bahan kering tanaman dan efesiensi penggunaan air serta meningkatkan kandungan ABA (Katerji et. al, 1994 ; Alfredo et. al, 2000). Kandungan ABA yang meningkat dapat menghambat perkembangan luas daun tanaman.

 

D. INTERAKSI ANTAR TANAMAN DALAM MANAJEMEN PERTANIAN ORGANIK   

 

Manajemen pertanaman pada sistim pertanian organik mengutamakan pola pertanaman lebih dari satu jenis tanaman dalam satu petak usahatani. Pertanaman campuran (mixed cropping) Tumpangsari  (multiple cropping) dan pertanaman lorong (alley croping) antara lain merupakan pola pertanaman yang dianjurkan dalam pertanian organik. Beberapa pertimbangan dalam penggunaan pola tanam tersebut, antara lain mengutamakan proses daur ulang, termasuk daur ulang hara dan konservasi air, simbiosis mutualisme pada proses pengendalian hama penyakit dan gulma, serta peningkatan produksi per satuan luas lahan.

            Pertanaman lebih dari satu jenis tanaman, pertimbangan interaksi antara jenis tanaman yang satu dengan jenis tanaman lainnya dengan tujuan interaksi saling menguntungkan menjadi pertimbangan utama. Karakter-karakter utama tanaman yang menjadi persyaratan dalam merencanakan pertanaman meliputi karakter morfologi dan fisiologi. Karakter morfologi terdiri dari : bentuk tajuk, sistim perakaran, percabangan, susunan daun, letak daun dan bentuk pertumbuhan sedangkan karakter fisiologi terdiri dari : kebutuhan hara, tolerasi terhadap cahaya dan naungan, foto periodisitas, siklus hidup tanaman dan kebutuhan iklim terhadap pertumbuhan tanaman (Kline et.al, 1980). Disamping pertimbangan pada karakter morfologi dan fisiologi antar jenis tanaman. Pertimbangan tujuan pola pertanaman juga sangat penting. Menanam jenis tanaman diantara jenis tanam yang lain dapat ditujukan untuk pengendali hama dan penyakit, proses daur ulang hara (sumber pupuk organik dan fiksasi secara biologis) atau tujuan konservasi (tanah dan air).

            Pola pertanaman untuk tujuan proses daur ulang hara dapat dicontohkan dengan penanaman legumenosa sebagai sumber pupuk organik dengan tanaman pangan sebagai sumber pangan. Gliricida + jagung + kacang tanah  adalah pola tanaman yang dapat menjaga kestabilan produktivitas lahan. Gliricida ditanam sebagai barier petak usahatani, sedangkan jagung + kacang tanah dengan pola Tumpangsari. Pada pola ini pertimbangan yang dimasukan adalah : a) adanya tanaman sebagai sumber pupuk organik (nutrien needs), b) masing-masing jenis tanaman memiliki karakter morfologi yang berbeda yaitu : system perakaran, bentuk tajuk dan siklus hidup, c) adanya tanaman yang dapat mengikat nitrogen secara biologi , d) tujuan pengendalian gulma karena ruang tumbuh gulma di persempit.

            Pola pertanaman untuk tujuan pengendalian hama penyakit dapat dicontohkan dengan pola Tumpangsari jagung + kacang tanah/kentang. Pola tanaman tersebut dapat mengurangi telur ngengat penggerek batang karena tanaman kacang tanah/kentang dapat menghalangi penggerakan hama tersebut menuju tanaman inang (jagung). Tumpangsati dapat menggangu perkembangan populasi dan kelangsungan hidup hama serangga karena tanaman yang lainnya menahan penyebarannya terhadap tanaman atau lahan lainnya dan akan lebih sulit bagi hama serangga tersebut untuk tinggal dan tetap ada dalam habitat mikro yang mendukung perkembangannya yang cepat (Van der werf, 1985 ; Altieri, 1987 dalam Reijntjes at. al, 1999).

            Pertanian dengan pola ganda dapat meningkatkan hasil tanaman setara lahan yang ditunjukan melalui parameter nisbah setara lahan, meskipun hasil pertanaman lebih rendah dari pola monokultur, disamping itu keanekaragam hasil dapat dicapai melalui pola tanam ganda. Amador (1980) dalam Reijntjes et. al, (1999) melaporkan bahwa Tumpangsari jagung + buncis + labu lebih menguntungkan dibanding dengan pertanaman monokultur (Tabel 4).

 

Tabel 4. Hasil penen dan produksi biomassa jagung, buncis dan labu (kg/ha) dibanding

dengan pertanaman monokultur (pada  beberapa kepadatan)

 

Tanaman                                            Monokultur                                       Tumpangsati

Jagung

    Kepadatan

    Panen

    Biomassa

Buncis

    Kepadatan 

    Panen

    Biomassa

Labu

    Kepadatan

    Panen

    Biomassa

 

33.300

990

2823

 

56.800

425

853

 

1200

15

241

 

40.000

1150

3119

 

64000

740

895

 

1875

250

941

 

66.600

1230

4778

 

100.000

610

843

 

7500

430

1254

 

100.000

1170

4871

 

133.200

695

1390

 

30000

225

802

 

50.000

1720

5927

 

40.000

110

253

 

3330

80

478

Nisbah setara lahan: 1,73 (hasil panen) 1,78 (Biomassa)

 

Berdasarkan data pada Tabel 4, total hasil panen tumpangsari mencapai 1910 kg/ha, sedangkan total produksi biomassa  tumpangsari 6659 kg/ha. Pada pola tanam monokultur dengan kepadatan yang maksimum untuk masing-masing jenis tanaman (jagung, buncis dan labu), total hasil panen mencapai 2090 kg/ha, dan total biomassa 7063 kg/ha. Hasil tersebut menunjukan bahwa efesiensi hasil terhadap luas lahan lebih tinggi dicapai pada pola tumpangsati karena dengan kepadatan yang jauh lebih rendah (masing-masing jenis tanaman) mampu mengimbangi hasil pada pola monokultur (hasil panen dan produksi Biomassa). Nisbah setara lahan yang dicapai masing-masing 1,73 untuk hasil panen dan 1,78 untuk produksi biomassa. Efisiensi fotosintesis lebih tinggi dicapai pada pola tanam ganda dibandingkan dengan pola tanam monokultur.

 

E. PENUTUP

            Pertanian organik akan memberikan beberapa keuntungan pada setiap unit usahatani karena beberapa aspek pembiayaan usahatani dapat ditekan :

1.      Prinsip daur ulang hara, dapat menghindari efek pencemaran lingkungan tanah pada petak usahatani, karena input luar dalam bentuk pupuk an-organik dapat di tekan. Pada unit pembiayaan pupuk dapat mengurangi nilai pembelian.

2.      Prinsip konservasi air dapat mengurangi unit pembiayaan untuk sistem pengelolaan air pada petak usahatani. Pengunaan instalasi air irigasi dengan tujuan menghemat penggunaan air dapat ditiadakan. Disamping itu efeisiensi penggunaan air oleh tanaman meningkat.

3.      Prinsip pola tanam ganda dengan mempertimbangkan interaksi antar tanaman yang saling menguntungkan dapat mengurangi penggunaan input luar dalam bentuk pestisida maupun herbisida serta meningkatkan nilai setara lahan pada hasil panen dan produksi biomassa. Unit pembiayaan untuk obat-obatan dapat ditekan

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alfredo A. C, Alves sefter T. L, 2000.   Respon of Cassava to Water Deficit :   Leaf Area Growth and Abscisic Acid. Crop Sci. 40 : 131-137 p.

 

Feenstra G, 2000.  What is Sustainable Agriculture ?

                  Concept Themes, Farming and Natural Resources, Plant Production Practices, Animal Production Practices, teh Economic, Sosial and Political Context. Sustainable Agriculture Research And Education Program, University Of California.  1-8 p.

 

Katerji  N, Van Hoorn J. W, Hamdy A, Karam F, Mastorilli M, 1994. Effect of Salinity  on Emergence and Water Stress and Early Seedling Growth of Sunflower and Maize. Agriculture Water Management 26 : 81-91 p.

 

Kline R, Nanoy E. L, Sulisman V, Wolf  R, 1980. Getting the Most  from Your Garden. Radole Press, Emmans, Pennsylvania.  101-149 p.

 

Mugnisjah W. Q, 2001. Ekofisiologi Tanaman Tropika. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 104 hal.

 

Purnomo E, Sulasman S, Hasegawa T, Mashidoko Y, Osaki M, 2003.  Budidaya Padi Lokal Petani Banjar : Sebuah Sistem LISA di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan . Center Tropical Acid Soil Studies, Basic Secience Laboratory Universitas Lambung Mangkurat.  Hal 1-8.

 

Qiwei H, Xing Z. Y , Xinghui L, 2001. Effets Of Organic Fertilizer on Tea Yild and Quality. Proceedings: The Fifth IFOAM-ASIA Scientific Converence, Oct 31-Nov 4, 2001, Hangzhou, China.  134-137 p.

 

Reddy D. N, 2001. Organic Farming In India: Poised for Growth in the New Millennium. Proceedings : The Fifth IFOAM–ASIA Scientific Conference, October 31- November 4, 2001, Hangzhou, China.  20-25 p.

 

Reijntjes C, Haverkort, Bayer W, 1999.  Pertanian Masa Depan : Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta. 270 hal.

 

Sutanto R, 2002.  Pertanian Organik :  Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.  Kanisius Yogyakarta.  Hal. 19-31.

 

_________,   2002.  Penerpan Pertanian Organik : Pemasyarakatan dan Pengembangan. Kanisius, Yogyakarta. Hal 89-107.

 

Wangsit St, Supriyana D, 2003.  Belajar dari Petani :  Kumpulan Pengalaman Bertani Organik. SPTN-HPS-Lesman-Mitra Tani, didukung Oleh Oxfam GB-VSO/SPARK-CRS. Hal. 20-27.

 

Wenyan H, Yunwen X, Qiang L, 2001. Effect of Mulching and Organic Fertilizer on Soil Fertility and the Yield and Quality of Tea In an Organik Conversion Tea Field.  Proceedings: The Fifth IFOAM-ASIA Scientific Converence, Oct 31-Nov 4, 2001, Hongzhou, China.  124-129 p.

 

William D. D. Winslow M. D, 2001. An Assesment of Technology Development from the Green Revolution To Today.  International Crops Research Institute for The Semiarid Tropics (ICRISAT) India.  1-9 p.