© 2003  Ridwan Lasabuda                                                           Posted:  16 November 2003

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR TERPADU BERBASIS MASYARAKAT

(suatu tuntutan di era otonomi daerah).

 

 

 

O l e h :

 

 

Ridwan Lasabuda

Nrp : C.261030041/SPL

E-mail: ridwanlasabuda@yahoo.com

 

 

LATAR BELAKANG

Secara umum sumberdaya pesisir dapat dibagi menjadi : (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resource) seperti : ikan, udang, rumput laut, kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut; (2) sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resource) meliputi :mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas; (3) energi kelautan, seperti : OTEC, pasang surut, gelombang; (4) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental service) seperti : pariwisata dan perhubungan laut.

 

Kurang lebih 32 tahun eksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya pesisir) lebih banyak memberikan manfaat kepada pemerintah pusat dibandingkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumberdaya alam di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, dan bahkan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat didaerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya mereka, termasuk pengelolaan terhadap sumberdaya pesisir dan lautan.

 

Seiring dengan semangat reformasi, pemerintah pusat membuat undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan  Daerah, dimana kepada daerah diberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional. Khusus  pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, diatur tentang kewenangan daerah propinsi untuk mengelola sampai dengan 12 mil laut dan sepertiga dari batas propinsi untuk daerah kabupaten/kota. Kewenangan daerah terhadap sumberdaya pesisir dan lautan meliputi kewenangan dalam : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum yang menjadi wewenangnya; dan (e) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya laut.

 

          Dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ini, diharapkan manfaat terbesar akan berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah terutama masyarakatnya.  Namun permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya pesisir dan lautan di wilayahnya secara berkelanjutan ?.  Pertanyaan ini penting, mengingat  tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan.  Pembangunan secara berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai “keseimbangan” antara manfaat dan kelestariannya sumberdaya pesisir dan lautan. Artinya, bahwa sumberdaya ini dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu menjadi rusak.

 

          Banyak permasalahan yang timbul di daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan ini.  Salah satunya adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Konflik yang terjadi bisa antara nelayan dalam satu  kabupaten atau antar kabupaten maupun propinsi, antara nelayan tradisional dan nelayan modern, pemerintah pusat dan daerah, sesama instasi pemerintah di daerah, dll.  Sebagai contoh konflik pemanfaatan dan kewenangan yang terjadi di daerah, dapat di lihat pada tabel di bawah ini ( kasus di Propinsi Sulawesi Utara)

 

Tabel 1. Daftar konflik pemanfaatan dan kewenangan di Sulawesi Utara

 

Tipe konflik

Pihak Pertama

Pihak kedua

Lokasi

Pemanfaatan

Nelayan tradisional

Nelayan komersial

Sulawesi Utara

Pemanfaatan

Nelayan setempat

Nelayan luar

Sulawesi Utara

Pemanfaatan

Nelayan tradisional

Pengusaha Mutiara

Pulau Talise

Pemanfaatan

Nelayan tradisional

Pengembang reklamasi pantai

Malalayang TM

Pemanfaatan

Pemilik tanah

Pengembang reklamasi pantai

Malalayang TM

Pemanfaatan

Diving and Snorkeling

Jet Skiling, Glass Bottom Boats

TNL Bunaken

Kewenangan

Dinas Pariwisata,Dinas Perikanan

Kehutanan

TNL Bunaken

Kewenangan

Pelabuhan Perikanan

Pengembangan Pariwisata

Bitung

Kewenangan

Hak Ulayat

Milik Pemerintah

TM dan Sulut

Catatan : TM = Teluk Manado; Sulut = Perairan Sulawesi Utara; TNL=Taman Nasional Laut

(Sumber : Ditjen P3K,DKP 2001) 

 

 

Kondisi di atas tentunya tidak akan menguntungkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan, apalagi setelah kewenangan pengelolaan diserahkan ke daerah. Upaya penanganan masalah ini dapat didekati dengan pendekatan reaktif maupun proaktif. Secara reaktif artinya pemerintah daerah melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah. Sedangkan secara proaktif artinya dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan yang ada di daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan serta sumberdaya manusia. Selain itu pemerintah juga harus memberikan perhatian khusus kepada masyarakat untuk dapat mengelola/memanfaatkan  sumberdaya pesisir yang ada dilokalitanya dengan tanpa merusak lingkungan. Pendekatan inilah yang disebut dengan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (PPSBM). Pendekatan ini rasanya senafas dengan tuntutan otonomi daerah saat ini, dimana rakyat diharapkan berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya yang ada di lokalitanya.

 

 

KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR

BERBASIS MASYARAKAT (PSPBM)

Pengelolaan sumberdaya alam dapat didekati dengan dua pendekatan yaitu pendekatan berbasis masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah.  Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang berbasis pemerintah (pemerintah pusat), selama ini dianggap kurang berhasil karena  banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat khususnya di daerah. Kondisi ini tentunya diharapkan dapat diperbaiki baik oleh pemerintah maupun masyarakat di daerah terutama setelah adanya kewenangan pengelolaan melalui UU No.22 tahun 1999.

 

Pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (PSPBM) dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, tujuan serta aspirasinya. PSPBM ini menyangkut juga  pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.

 

Masyarakat dalam definisi PSPBM adalah komunitas atau sekelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Istilah komunitas sendiri berasal dari bidang ilmu ekologi yang secara sederhana merujuk pada kondisi saling berinteraksi antara individu suatu populasi yang hidup di lokasi tertentu. Interaksi antara individu dalam suatu masyarakat pada dasarnya bersifat kompetitif. Meskipun kerjasama merupakan sifat interaksi antara masyarakat juga dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, namun hal ini  lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling berkompetisi.  Saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir adalah salah satu alasan terjadinya kegagalan pengelolaan wilayah pesisir.  Hal ini ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya dimaksud serta terjadinya kemiskinan. Namun demikian, interaksi antar masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya pesisir yang efektif.

 

Memberikan tanggungjawab kepada masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir adalah upaya untuk mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya yang dimanfaatkannya bagi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Hal inilah yang  sebenarnya merupakan substansi dari pelaksanaan otonomi daerah yang sering didengung-dengungkan. Tapia apa yang terjadi selama ini, justeru masyarakatlah yang dijauhkan dari sumberdayanya.

 

Sebenarnya, jika diamati selama ini masyarakat pesisir telah hidup sangat dekat dengan sumberdaya yang memberinya manfaat. Mereka tinggal di tepi laut, bahkan ada yang tinggal di atas perahu sebagai kediamannya seperti suku Bajo di Sulawesi.  Mereka mengganggap laut sebagai bagian penting dari hidupnya.  Oleh karena itu, mereka tidak saja memanfaatkan sumberdaya ini, tetapi mereka juga menjaga dan menata agar sumberdaya laut ini tetap ada dan berkelanjutan.

 

Kondisi di atas ternyata sangat kontradiktif dengan praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan selama ini. Kalau selama ini diasumsikan bahwa masyarakat dekat dengan alam, ternyata telah jauh bahkan dipaksakan terpisah dengan alamnya. Keadaan ini terjadi karena masyarakat khususnya masyarakat pesisir tidak lagi memiliki kemampuan, tanggung jawab, serta wewenang dalam mengelola atau mengatur pemanfaatan sumberdaya alam yang menjadi bagian hidupnya. Wewenang dan tanggung jawab itu telah beralih dari masyarakat ke pemerintah (pemerintah pusat) atau pengusaha.  Beralihnya wewenang dan tanggung jawab ini telah berjalan lama. Setidaknya, sejak adanya investasi asing di Indonesia serta adanya tuntutan eksploitasi sumberdaya alam secara cepat sebagai mesin pencetak uang guna membiayai pembangunan sektor atau bidang lain.  Akhirnya, kemampuan yang tadinya dimiliki masyarakat dalam mengatur dan menata sumberdaya pesisir dan lautan, lenyap secara perlahan-lahan. Dengan PSPBM, diharapkan wewenang, tanggung jawab serta kemampuan dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan ini dapat kembali kepada masyarakat.

 

 

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR TERPADU BERBASIS MASYARAKAT (PSPT-BM)

 

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Dengan mempertimbangkan karakteristik tersebut, maka muncul suatu konsep pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management). Pendekatan ini menjadi salah satu pendekatan andalan dalam mengelola berbagai potensi dan konflik sumberdaya yang ada di wilayah pesisir misalnya seperti yang ditunjukkan pada tabel 1 di atas.

 

          Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Ada empat alasan pokok yang dikemukakan sebagai dasar pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yaitu : (1) keberadaan sumberdaya pesisir dan lautan yang besar dan beragam, (2) peningkatan pembangunan dan jumlah penduduk, (3) pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa – Atlantik menjadi poros Asia Pasifik dan (4) wilayah pesisir dan lautan sebagai pusat pengembangan kegiatan industri dalam proses pembangunan menuju era industrialisasi. Secara lebih spesifik perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah pengkajian sistematis tentang sumberdaya wilayah pesisir dan lautan serta potensinya, alternatif-alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan social untuk memilih dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan pesisir yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus mengamankan sumberdaya tersebut untuk masa depan.

 

          Kecenderungan yang terlihat selama ini adalah peningkatan peran pemerintah dalam pengelolaan wilayah pesisir, tampak bahwa peran tradisional kurang mendapat perhatian karena dianggap pengalaman dan pengetahuannya masih bersifat tradisional.  Dari beberapa penelitian terakhir nampak kondisi tertentu masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat mengatur dan menyusun serta menjalankan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya laut dan kelestariannya melalui lembaga-lembaga adat dan praktek-praktek sosial dalam masyarakat. Dalam banyak hal pemerintah gagal dalam menyusun suatu sistem tertentu untuk menggantikan atau melengkapi sistem-sistem tradisional.  Nasionalisasi atau swastanisasi sebagai solusi alternatif tidaklah mampu menyelesaikan masalah degradasi dan over-exploitation sumberdaya laut, bahkan menyebabkan sebagian besar penduduk kehilangan mata pencahariannya  (Banjar 1998 dalam Purnomowati 2003).

 

          Melihat pengalaman yang telah terjadi, maka perlu dikembangkan suatu pendekatan yang lebih spesifik yang merupakan turunan dari berbagai konsep pendekatan yang telah diuraikan yaitu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (PSPT-BM).  PSPT-BM diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan aspek ekologi.  Didalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua tingkat dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.  Dalam PSPT-BM agar tidak terjadi ketimpangan maka baik pemerintah maupun masyarakat harus sama-sama diberdayakan.   Selain masyarakat, pemerintah diharapkan secara proaktif menunjang program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir.

 

          Lebih lanjut dikemukakan bahwa masyarakat dalam PSPT-BM adalah segenap komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.  Komponen dimaksud diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi dan kalangan peneliti.  Dalam PSPT-BM diharapkan partisipasi dari masyarakat dimulai dari proses awal hingga akhir.

 

Dalam penerapannya PSPT-BM ini memerlukan fasilitator yang dapat menggerakkan/memotivasi dan menumbuhkan partisipasi masyarakat pada satu sisi dan juga dapat memobilisir sektor terkait dalam pemerintahan di sisi lain, dalam menciptakan keterpaduan. Fasilitator adalah orang yang memahami prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu. Fasilitator dapat berasal dari stakeholder maupun dari luar.  Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat, fasilitator dapat dibantu oleh seorang motivator atau penggerak yang berasal dari tokoh masyarakat ataupun LSM setempat yang mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat.

 

Kunci keberhasilan konsep pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat  adalah sebagai berikut :

 

(1)     Batas-batas wilayah terdefinisi.

Batas-batas fisik dari suatu kawasan yang akan dikelola harus ditetapkan dan diketahui secara pasti oleh masyarakat. Peranan pemerintah disini adalah menentukan zonasi dan sekaligus melegalisasinya.  Batas-batas wilayah tersebut haruslah didasarkan pada sebuah ekosistem sehingga sumberdaya tersebut dapat lebih mudah dipahami dan diamati

 

(2)     Status sosial masyarakat dalam penerapan PSPT-BM.

Kelompok masyarakat yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan.  Dalam konteks ini kebersamaan masyarakat akan kelihatan, baik dalam hal: etnik, agama, metode pemanfaatan, kebutuhan, harapan dan sebagainya. Segenap pengguna yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam di sebuah kawasan dan berpartisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus diketahui dan didefinisikan dengan jelas.  Jumlah pengguna tersebut seoptimal mungkin tidak boleh terlalu banyak sehingga proses komunikasi dan musyawarah yang dilakukan lebih efektif

 

    (3)    Ketergantungan kepada sumberdaya alam.

   Dalam pelaksanaan PSPT-BM, yang harus diperhatikan adalah adanya kejelasan ketergantungan dari masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada. Kunci kesuksesan pelaksanaan pengelolaan sangat terletak dari adanya rasa memiliki dari para peminatnya

 

    (4)   Memberikan manfaat.

Setiap komponen masyarakat di sebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari partisipasi masyarakat dalam konsep PSPT-BM akan lebih besar dibanding dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam hal ini, salah satu komponen indikatornya dapat berupa rasio pendapatan relatif dari masyarakat lokal dan stakeholeder lainnya

 

(5)    Pengelolaannya sederhana dan mudah diimplementasikan

Dalam model PSPT-BM salah satu kunci kesuksesan adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana namun terintegrasi serta mudah dilaksanakan. Proses monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan secara terpadu dengan basis masyarakat sebagai pemeran utama

 

(6)    Legalisasi dari sistem pengelolaan

 Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari pemerintah daerah, dengan tujuan hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara hokum terlindungi. Dalam hal ini, jika hukum adat telah ada dalam suatu wilayah, maka seharusnyalah pemerintah memberikan legalitas sehingga keberadaan hukum ini memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat bagi para stakeholder. Adanya legalitas semakin menumbuhkan kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pegelolaan sumberdaya pesisir yang lebih lestari

 

(7)    Kerjasama pemimpin formal dan informal

Didalamnya terkandung pengertian adanya individu ataupun kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin.  Termasuk adanya pemimpin yang dapat diterima oleh semua pihak dalam masyarakat dan adanya program kemitraan antara segenap pengguna sumberdaya pesisir dalam setiap aktivitas

 

 

 

(8)    Desentralisasi dan pendelegasian wewenang

Pemerintah daerah perlu memberikan desentralisasi proses administrasi dan pendelegasian tanggungjawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat

 

(9)    Koordinasi, sinkronisasi dan interaksi antar stakeholder

 

   (10)   Keterpaduan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh para stakeholder

            Dalam hal ini adalah keterpaduan visi dan misi dari pengelolaan yang dilakukan

 

 

PENUTUP

 

Ditengah proses desentralisasi pemerintahan yang kini berlangsung, patutlah dipertanyakan apa yang akan dilakukan pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautnya. Kita harus belajar dari pengalaman yang lampau dimana pegelolaannya mengakibatkan wilayah pesisir dan laut kita mengalami degradasi secara ekobiologi, mengalami tekanan kelebihan eksploitasi, yang semuanya bermuara pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan menjadi semakin sulit. Semua ini merupakan indikator yang menunjukkan bahwa pemanfaatan/pengelolaan wilayah pesisir dan lautan belum memberikan hasil yang diharapkan.

 

Dengan demikian, agar supaya pemanfaatan/pengelolaan wilayah pesisir dan lautan kita mencapai tujuannya yaitu efisien, pemerataan serta berkelanjutan maka sudah saatnya untuk mencari suatu bentuk atau formula kebijakan pengelolaan sumberdaya dimaksud.   Apakah pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat (PSPT-BM)  merupakan salah satu jawabannya ?. Konsep ini tentu perlu diuji dilapangan. Walaupun PSPT-BM ini merupakan suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan aspek ekologi.  Didalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua tingkat dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

 

PSPT-BM ini dalam operasionalnya selalu menerjemahkan kondisi-kondisi lokal yang sesuai dengan latar belakang masyarakat serta potensi sumberdaya pesisir dan lautnya. Kebijakan lokal juga harus memperhatikan hukum adat yang berlaku, terutama yang berhubungan dengan hak ulayat atas perairan. Selain itu juga memperhatikan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat lokal (indigenous knowlwdge) yang kadang-kadang informasi ini diremehkan oleh pemanfaat sumberdaya modern. Padahal dibalik indogenous knowledge ini tersimpan kearifan-kearifan lokal yang kalau kita mengikutinya akan bermuara pada pengelolaan sumberdaya yang efisien, pemerataan serta berkelanjutan.

 

Mengakhiri makalah ini saya ingin mengutip sebuah syair yang dibuat oleh orang-orang Indian  pada waktu bangsa kulit putih Eropah mulai membangun  Amerika Serikat. Syair ini terinspirasi manakala orang-orang Indian menentang pembuatan rel-rel kereta api yang menurut kearifan lokal mereka telah merusak lingkungan hidupnya.

 

“ Until the lastest tree had been cutten

Until the lastest fish had been cautch

Until the river and the sea had been poisoned

And we found that the money could not be eaten “

                                                (The Indian prophets)

 

Tentunya ini merupakan renungan bagi kita semua tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan/mengelola sumberdaya itu. Jangan sampai kita membuat kesalahan untuk kedua kalinya.

 

 

 


BAHAN ACUAN

 

Arif Satria, dkk. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Kerjasama Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for governance reform in Indonesia dan PT Pustaka Cidesindo. Jakarta

 

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran). Kerjasama LISPI dengan Ditjen P3K, DKP. Jakarta.

 

Kusumastanto, T. 2003. Peluang, tantangan dan Arah Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Era Desentralisasi. Makalah disampaikan pada Pelatihan ICZPM. Kerjasama PKSPL-IPB dengan Ditjen P3K,DKP. Bogor

 

Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan PT Pustaka Cidesindo. Jakarta.

 

Purnomowati, R. 2003. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada Pelatihan ICZPM. Kerjasama PKSPL-IPB dengan Ditjen P3K,DKP. Bogor

 

Seto, H., D.Mamonto, E.Tololiu, I.Husen dan M.Karame. 2003. Belajar Dari Hikmah. Memahami Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa (PMPD) Melalui Pengalaman Di Kelurahan Manado Tua II, Desa Raprap, Desa Basaan dan Desa Basaan I-JICA Pilot Project Site. Kerjasama BAPPEDA Provinsi Sulawesi Utara dan JICA. Manado

 

Tulungen, J.J. 2000. Pelibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Di Sulawesi Utara. Makalah disampaikan dalam seminar dan talk show Peluang dan Tantangan di Era Baru Kelautan Indonesia, Marine Techno and Fisheries 2000. Kerjasama SEAWATCH Indonesia-BPPT dan HIMITIKA FPIK-IPB

 

Wahyono, A.,I.G.P.Antariksa, M.Imron, R.Indrawasih dan Sudiyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Pressindo. Yogyakarta.