© Saharia                                                                                            Posted  21 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

PEMBERDAYAAN MASAYARAKAT DI PEDESAAN SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMANFAATAN POTENSI SUMBERDAYA MANUSIA SECARA OPTIMAL

 

 

 

 

Oleh:

 

 

SAHARIA

P062030081/PSL

E-mail:  sahauntad@yahoo.com

 

 

 

 

I. PENDAHULUAN

 

Modernisasi pertanian yang bertujuan untuk mengubah sektor pertanian tra-disional menjadi sektor pertanian modern yang mampu meningkatkan produksi sektor pertanian, merupakan paradigma yang menjadi rujukan bagi negara-negara yang sedang berkembang dalam membangun sektor pertanian mereka. Paradigma modernisasi ter-sebut dikenal dengan revolusi hijau.

Revolusi hijau telah mampu mencapai tujuannya, yakni meningkatkan produksi pertanian negara-negara sedang berkembang, khususnya sub sektor tanaman pangan. Namun keberhasilan tersebut diikuti dengan munculnya berbagai masalah, misalnya: rentannya pertanian tanaman pangan terhadap serangan hama, ketergantungan para petani pada input-input modern, serta masalah sosial. Ketergantungan petani pada perusahaan trans-nasional tidak hanya dalam hal penyediaan bibit, tetapi juga dalam hal pakan ternak. Sangat ironis bahwa Indonesia yang mempunyai bahan mentah yang memadai untuk dapat memproduksi bahan pakan ternak ayam harus mengimpor pakan ternak dari luar negeri. Hal ini menyebabkan timbulnya kehancuran usaha peternakan ayam karena para peternak ayam khususnya peternak skala kecil, tidak mampu lagi membeli pakan ayam impor. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor daging dan telur ayam dari luar negeri.

Pengalaman pembangunan pertanian yang dilakukan negara-negara sedang ber-kembang menunjukkan bahwa para petani tidak dianggap sebagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan pertanian. Informasi yang dimiliki petani, baik yang menyangkut teknologi pertanian maupun tata cara pemanfaatan sumberdaya alam, oleh para perencana pembangunan pertanian dianggap sebagai bukan informasi yang perlu dimanfaatkan karena dianggap tidak ilmiah.

Revolusi hijau yang dirancang oleh para ahli dari negara barat ketika diim-plementasikan di negara-negara yang sedang berkembang, menggusur sistem pertanian lokal dan merubah pola konsumsi penduduk setempat. Dalam kondisi seperti itu, pembangunan pertanian dipastikan tidak akan berkelanjutan.

 Belajar dari pengalaman itu, memasuki abad ke-21 dinegara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia terjadi perubahan paradigma pembangunan secara drastis dimana paradigma pembangunan sebelumnya adalah industrialisasi yang  diharapkan dapat mengangkat harkat hidup penduduk dari negara-negara  sedang ber-kembang yang akibatnya pembangunan sektor pertanian relatif ditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilnya sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan nasional. Sebaliknya apabila kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut masih dianggap sebagai negara yang belum berkembang atau terkebelakang. Akan tetapi menjelang abad ke-21, paradigma tersebut tiba-tiba berubah dimana perekonomian negara-negara  sedang berkembang (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan) yang semula dibanggakan akan dan telah menjadi negara-negara industri baru, runtuh akibat dari krisis moneter. Di Indonesia, ratusan industri dari berbagai jenis terpaksa menghentikan produksinya akibat dari meningkatnya ongkos produksi yang disebabkan oleh menurunnya mata uang rupiah terhadap mata uang dollar yang akhirnya jutaan buruh industri kehilangan pekerjaan bahkan karyawan BUMNpun banyak yang menjadi korban PHK yang sampai saat ini masih merupakan masalah yang tidak terpecahkan. Hal yang sama pula terjadi pada sektor bangunan dan sektor perbankan.

Namun, sektor pertanian tidak demikian halnya dimana terlihat bahwa di Jawa banyak buruh industri yang kehilangan pekerjaannya, sementara di Sulawesi khususnya petani cokelat justru mengalami peningkatan pendapatan yang sangat  signifikan karena terjadinya kenaikan harga cokelat di pasaran internasional.    

Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir dari para perencana pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang kemudian menjadikan sektor pertanian menjadi harapan baru.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka salah satu cara yang harus dilakukan adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki seefisien dan seefektif mungkin termasuk pemberdayaan potensi sumberdaya manusia yang ada  di wilayah pedesaan (±75%) dari total penduduk, yang kurang lebih 54% diantaranya menggantungan hidupnya pada sektor pertanian. Selain itu pertanian harus lebih pekah terhadap budaya dan pengetahuan dari penduduk yang dilayani. Hal ini berarti bahwa setiap upaya pembangunan pertanian harus sensitif terhadap budaya masyarakat, dengan menjadikan pengetahuan dan budaya lokal sebagai variabel utama dalam proses pembangunan pertanian.          

II. METODE PENDEKATAN

            Dalam menyikapi perubahan paradigma pembangunan terutama di wilayah  pedesaan, ada beberapa  langkah yang harus dipertimbangkan yakni:

1.      Menghubungi tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh petani

2.      Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari program yang akan diterapkan

3.      Menumbuhkan motivasi pada diri  tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh petani agar  program yang akan diterapkan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dengan jalan mendiskusikan bersama mereka alasan-alasan dan tujuan dari pelaksanaan program tersebut.

Sejalan dengan itu ada beberapa metode pendekatan yang telah dikembangkan untuk memposisikan masyarakat yang ada di pedesaan dalam hal ini masyarakat tani  bukan hanya sebagai objek atau penonton tetapi harus secara aktif ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan menikmati pembangunan. Metode yang dimaksud diantaranya adalah:

1.      Pendekatan secara partisipatif dan dialogis

Pendekatan partisipatif dan dialogis dilakukan antar petani dimana mereka secara bersama-sama menganalisis masalah dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata, sehingga pengambilan keputusan dilakukan secara musya-warah dan mufakat sesuai aspirasi dan kepentingan petani dalam mengatasi permasalahan.

2.      Memadukan pendekatan dari bawah dan dari atas (Bottom-Up and Top-Down  Approach)

      Dalam merumuskan  suatu program harus melihat bagaimana respon masyarakat terhadap program yang sedang dicanangkan. Sementara petugas lapangan dari instansi terkait hanya berperan sebagai motivator, fasilitator, dan mediator dalam proses perumusan dan pelaksanaan program tersebut.

3.      Pendekatan tradisi (Socio-Cultural Approach)

Perencanaan maupun pelaksanaan suatu program harus mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat yang ada pada wilayah tersebut dan juga tetap mem-pertimbangkan kelembagaan masyarakat desa yang sudah ada.

4.      Menggunakan tenaga pendamping lapangan

Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari LSM atau Perguruan Tinggi yang bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam penyusunan dan pelaksanaan suatu program.

            Selain itu untuk menggali permasalahan yang ada di masyarakat, penyebab terjadinya masalah, dan cara mengatasinya dengan menggunakan sumberdaya lokal atas prinsip pemberdayaan masyarakat digunakan pula Metode PPKP (Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan) yang acuannya sebagai berikut:

a.       Mengumpulkan informasi yang dilakukan oleh petani sendiri. Bahan informasi ini dapat digunakan oleh orang lain atau suatu lembaga yang akan membantu petani.

b.      Mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari dan oleh masyarakat desa untuk saling berbagi, berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian serta tidak lanjutnya.

c.       Informasi yang diperoleh dengan Metode PPKP dapat digunakan sebagai bahan perencanaan kegiatan dalam  pemberdayaan masyarakat desa (petani).

d.      Metode PPKP ini dilaksanakan oleh pengambil kebijakan bersama petani, kelompok pendamping lapangan, dan dari unsur pemerintah desa. Dalam Metode PPKP ini kelompok pendamping lapangan hanya sebatas fasilitator.        Secara ringkas Metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan (PPKP) dapat dilihat pada Gambar 1.

 

 

Gambar 1. Metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan

 

 

                                                                       



 

III. APLIKASI PRAKTIS DARI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT  DESA

 

Berbagai kegiatan  dapat dilakukan dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat di wilayah pedesaan yang dikelompokkan dalam empat sektor utama dengan beberapa sub kegiatan diantaranya adalah:

1.      Pengelolaan Sumberdaya Alam

-         Konservasi daerah aliran sungai (DAS), tanah dan air; yakni pengelolan dan perencaanaan DAS secara partisipatif

-         Kehutanan: misalnya hutan sosial dan hutan komunitas; penilaian kerusakan hutan, perlindungan, perawatan dan penanaman tanaman hutan, identifikasi pemanfaatan pohon, penggunaan dan pemasaran hasil hutan

-         Perikanan, baik perikanan darat maupun laut

-         Zona perlindungan satwa liar

-         Penilaian bahan pangan dan bahan bakar

-         Perencanaan desa: persiapan pengelolaan sumberdaya pedesaan

2.      Pertanian

-         Hasil panen, termasuk penelitian partisipatoris petani/penelitian sistem pertanian oleh petani

-         Irigasi, termasuk rehabilitasi sistem irigasi skala kecil

-         Pasar, investigasi pasar dan potensi merebut pasar

3.      Program untuk persamaan

-         Wanita; penilaian partisipatif tentang masalah serta bagaimana mencari solusi dari masalah yang dihadapi

-         Kredit;  identifikasi kebutuhan kredit dan dari mana saja sumber kredit yang dapat dimanfaatkan sebagai modal kerja bagi masyarakat  pedesaan yang kebanyakan bermata pencaharian di sektor pertanian (sebagai petani). Modal kerja ini tentunya diharapkan dengan bunga yang relatif kecil dan angsurannya disesuaikan dengan saat dimana para petani memungut hasil usahanya (waktu panen).

-         Seleksi: pencarian dan pemilahan masyarakat miskin untuk suatu program, dan pemilihan masyarakat yang cukup mampu   

-         Pendapatan; identifikasi peluang untuk penghasilan non-pertanian, hal ini dilakukan agar masyarakat desa mengetahui potensi apa yang sebaiknya mereka kembangkan selain bertani 

4.      Kesehatan dan Gizi

-         Penilaian dan pemantauan kesehatan: identifikasi penyakit utama, biaya penanganan kesehatan, dan perencanaan proyek kesehatan

-         Ketersediaan bahan pangan dan peningkatan gizi

-         Sanitasi dan air; perencanaan dan lokasinya.   

Dari keempat sektor utama yang telah dikemukakan, tentunya akan lebih efektif apabila banyak melibatkan masyarakat pada wilayah tersebut dan  terprogram sesuai dengan potensi masyarakat yang ada.

 

IV. PENUTUP

 

            Perubahan paradigma pembangunan yang memposisikan pertanian sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan akan memberikan hasil yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah pedesaan (± 75%)dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumberdaya manusianya dan potensi sumberdaya alamnya. Atau dengan kata lain paradigma pembangunan tersebut akan dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah pedesaan yang sebelumnya menjadi objek diposisikan menjadi subjek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Bernadas, C. N., Jr,. 1991. “ Lesson in Upland Farmer Participation: the Case of Enriched Fallow Tecnology in Jaro, Leyte, Phillipines”, Forests, Trees and People Newsletter, 14, Oktober, hlm. 10-11.

 

2.      Lukman Soetrisno. 2001. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian. Suatu Tinjauan Sosiologis. Kanisius, Yogyakarta.

 

3.      Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan Universitas Gadjah Mada. 1998. Kajian Pembangunan Pertanian Abad ke-21 Sistem Pertanian Berkebudayaan Industri dan Strategi Operasional Repelita VII. Yogyakarta.

 

4.      Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

 

5.      Robert Chambers. 1992. Participatory Rural Appraisal. Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.

 

6.      Sudar D. Armanto. 1998. Jangan Terlena oleh Bonanza Pertanian. Dalam: Kompas. 9 Juli.

 

7.      Tani Lestari. 1998. Aneka Ragam Hayati: Kekayaan dan Kekuatan Petani. Dalam: Media Komunikasi-Informasi dan Motivasi Petani dan Nelayan. No. 3 Tahun VI, Oktober.