© 2003 Sulistijorini Posted: 6 December
2003
Makalah Falsafah Sains (PPS 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2003
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Pemanfaatan “Sludge” Industri Pangan sebagai
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Sulistijorini
P062003011/PSL
Peningkatan kegiatan perekonomian
terutama sektor industri senantiasa
menim-
bulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif tersebut antara lain adalah meningkatnya kesempatan
kerja, tingkat ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi
secara nasional. Sedangkan dampak
negatif adalah menurun-nya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh penanganan
limbah yang tidak tepat.
Pada dasarnya limbah
adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas
manusia maupun proses-proses alam dan atau belum mepunyai nilai ekonomi bahkan
dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif.
Menurut sumber-nya limbah dapat dibagai menjadi tiga yaitu : (a) limbah
domestik (rumah tangga) yang berasal dari perumahan, perdagangan, dan rekreasi;
(b) limbah industri; dan (c) limbah rembesan dan limpasan air hujan. Sesuai dengan sumbernya maka limbah mempunyai
komposisi yang sangat bervariasi bergantung kepada bahan dan proses yang
dialami-nya (Sugiharto, 1987).
Limbah industri sangat
beragam, sesuai dengan jenis industri.
Berbagai jenis industri berpotensi mencemari lingkungan diantaranya
adalah industri tekstil, cat, penyamakan kulit, farmasi, dan industri
pangan. Limbah industri pangan dapat
menim-bulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar
karbohi-drat, protein, lemak, garam-garam mineral, dan sisa-sisa bahan kimia
yang digunakan di dalam proses
produksi. Contoh beberapa industri
pangan yang menghasilkan limbah seperti ini adalah produk susu, pengalengan dan
pengawetan buah-buahan dan sayuran, pengalengan dan pengawetan hasil laut, pemurnian
gula, permen, produk daging, pengawetan dan pengalengan daging, serta
penggilingan biji-bijian.
Pada umumnya limbah
industri pangan tidak membahayakan kesehatan masya-rakat, akan tetapi kandungan
bahan organiknya yang tinggi dapat bertindak sebagai sumber bahan makanan untuk
pertumbuhan mikroba (Jennie dan Rahayu, 1993).
Limbah yang langsung dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih
dahulu dapat menyebabkan penurunan kualitas air sungai dengan mekanisme pertumbuhan
mikro-organisme yang berlimpah.
Meningkatnya jumlah mikroorganisme dapat menyebabkan berkurangnya nilai
oksigen terlarut “disulfed oxygen” (DO), karena sebagian besar oksigen dipakai
untuk respirasi mikroorganisme tersebut.
Dengan menurunnya DO maka akan mempengaruhi kehidupan ikan dan biota air
lainnya. Selain itu, buangan limbah ke
perairan juga dapat menimbulkan bau yang tidak enak dan terjadinya
“eutro-fikasi” (Eiger dan Smith, 2002).
Masalah pencemaran karena
buangan limbah yang tidak dikelola dengan baik seringkali tidak hanya
disebabkan oleh industri besar, tetapi juga oleh industri kecil yang seringkali
belum mempunyai fasilitas pengolah limbah.
Mengingat jumlah industri kecil yang sangat banyak dan lokasi yang
menyebar, maka hal ini perlu mendapat perhatian. Sementara untuk industri besar yang sudah
dilengkapi fasilitas pengolah limbah dan adanya Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : KEP
03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan yang Sudah
Beroperasi, seharusnya dapat mengelola limbah yang dihasilkan dengan prosedur
yang benar dan bertanggung jawab, namun
dalam pelaksanaannya masih sering terjadi pelanggaran.
Secara umum pengelolaan
limbah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (“source reduction”),
penggunaan kembali (“reuse”), pemanfaatan (“recycling”), pengolahan
(“treatment”), dan pembuangan (“disposal”).
Untuk setiap industri pangan, alternatif pengelolaan limbah dapat
disesuaikan dengan karakteristik limbah.
Pada makalah ini, pendekatan yang digunakan adalah cara pemanfaatan,
karena dapat meli-batkan masyarakat sebagai mitra kerja dengan mengingat bahwa
dalam upaya pengelolaan lingkungan perlu adanya kerjasama yang baik antara
masyarakat, perguru-an tinggi, lembaga penelitian, dan juga pemerintah.
Deskripsi dan Metode Pengolahan Limbah
Menurut bentuknya limbah dibedakan
menjadi tiga yaitu limbah padat, cair, dan gas.
Proses pengolahan limbah cair dilakukan melalui tiga kegiatan yaitu
pengolahan secara fisik, kimiawi, dan biologis.
Proses pengolahan secara fisik adalah pemisahan berdasarkan ukuran
partikel melalui tahapan flokulasi, sedimentasi, dan penyaringan. Pengolahan secara kimiawi dilakukan dengan
menambahkan zat kimia ke dalam limbah untuk menyederhanakan senyawa kimia yang
berbahaya melalui tahapan pengendap-an, penyerapan, dan desinfeksi. Proses pengolahan secara biologis dilakukan
dengan cara memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengurai limbah. Mikroorganisme tersebut diperoleh dengan cara
memanfaatkan kerja lumpur aktif (“activated sludge”).
Dewasa ini metode lumpur aktif
merupakan metode pengolahan air limbah yang paling banyak digunakan, termasuk
di Indonesia, hal ini mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk
mengolah air limbah dari berbagai jenis industri seperti industri pangan, pulp,
kertas, tekstil, bahan kimia dan obat-obatan.
Namun dalam pelaksanaannya metode lumpur aktif banyak mengalami kendala,
diantaranya adalah (1) diperlukan areal
instalasi pengolahan limbah yang luas, mengingat proses lumpur aktif
berlangsung dalam waktu yang relatif lama, (2) timbulnya limbah baru, karena
terjadi kelebihan endapan lumpur (sebagai akibat dari peningkatan jumlah
mikroorganisme) yang kemudian menjadi limbah baru yang memerlukan proses
lanjutan (http://www.inovasi.lipi.go.id/anto.htm).
Masalah yang
Ditimbulkan oleh Kelebihan Lumpur (“sludge”)
Limbah baru merupakan masalah utama
dari penerapan metode lumpur aktif. Limbah yang berasal dari kelebihan endapan
lumpur hasil proses lumpur aktif memer-lukan penanganan khusus. Limbah ini selain mengandung berbagai jenis
mikroorganis-me juga mengandung berbagai jenis senyawa organik yang tidak dapat
diuraikan oleh mikroorganisme.
Pengolahan limbah endapan lumpur ini sendiri memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Sedikitnya 50 persen dari biaya
pengolahan air limbah dapat tersedot untuk mengatasi limbah endapan lumpur yang
terjadi. Akibatnya, kebanyakan di
Indonesia limbah endapan lumpur ini biasanya langsung dibuang ke sungai atau
ditim-bun di TPA (tempat pembuangan akhir) bersama dengan sampah lainnya. Pembuang-an dengan cara seperti ini dapat
berakibat buruk terhadap kondisi air tanah, karena dapat terjadi infiltrasi
logam berat dalam ”sludge” bersama-sama dengan “leachete” yang terbentuk pada
proses dekomposisi sampah. Hal ini dapat
terjadi jika lapisan kedap air pada TPA tidak berfungsi dengan baik.
Dilaporkan oleh Nuryadin (2002)
kelebihan lumpur dari proses lumpur aktif di PT Delta Djakarta Tbk., disimpan
di dalam karung-karung dan selanjutnya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
sebagai pupuk tanaman. Sementara
sebagian besar lumpur ditempatkan pada lahan kosong di sekitar pabrik dan
dibiarkan secara terbuka. Lumpur yang
dibiarkan di tempat terbuka tanpa penanganan lebih lanjut berpotensi sebagai
sumber pencemar. Selain karena
menimbulkan bau tak sedap, lumpur yang terkena hujan akan terikut aliran air
tanah dan masuk ke sungai di sekitar pabrik.
Lumpur yang mengandung bahan organik berpotensi meningkatkan “biological
oxygen demand” (BOD) dan “chemical oxygen demand” (COD), yang selanjutnya akan
mempengaruhi kualitas air sungai dan sistem kehidupan akuatik.
Sifat Fisik, Kimia, dan Biologi “Sludge”
Pemanfaatan
lumpur sebagai pupuk tanaman merupakan salah satu alternatif yang dapat
dilakukan sebagai upaya untuk pengelolaan lingkungan. Namun demikian diperlukan serangkaian
penelitian sehubungan dengan penggunaan lumpur tersebut, mengingat lumpur yang
digunakan dalam industri pangan yang berbeda akan mempu-nyai sifat kimia yang
berbeda, sementara untuk sifat fisika dan biologinya cenderung sama.
Secara
umum sifat fisik dari lumpur adalah berukuran sangat halus. Hal ini menjadi faktor yang perlu
diperhatikan dalam aplikasi lumpur sebagai pupuk pada jenis tanah yang
bertekstur halus (dominan dengan debu dan liat), karena akan mempenga-ruhi
aerasi dan ketersediaan air tanah yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman.
Sifat
kimia lumpur dari industri pangan yang berbeda, juga akan berbeda bergantung
dari bahan baku, bahan penolong, proses produksi, dan proses pengolahan limbah
cair. D’Itri (1976) melaporkan bahwa air
limbah industri pangan mengandung bahan mineral yang dapat didaur ulang melalui
proses dekomposisi menjadi unsur hara yang dibutuhkan dalam pertumbuhan
tanaman. Selanjutnya dinyatakan dalam http://www.epa.state.oh.US/nr/2001/nov/nyofc.html
bahwa lumpur limbah
industri biasanya akan ditemukan tiga unsur hara makro yaitu nitrogen, fosfor,
dan kalium. Jika salah satu unsur dari
ke tiga unsur makro tersebut ada dalam jumlah yang tinggi, maka dua unsur yang
lain akan berada dalam konsentrasi yang rendah. Sebagai
contoh dalam limbah mie instan yang digunakan sebagai pupuk pada tanaman pakchoi
(Brassica rapa L., varietas Chinensis) mengandung nitrogen, fosfor, dan
kalium masing-masing sebesar 3.6, 21.0, dan 61.4 ppm (Azis, 2003). Sementara dari lumpur PT Nestle Indonesia
yang memproduksi permen mengandung 0.55%
nitrogen, 15.02 ppm fosfor, dan 0.25 me kalium (Chotimah, 2003).
Selain
unsur hara makro, ditemukan juga unsur mikro, unsur kelumit dan unsur logam
berat (http://www.epa.state.oh.US/nr/2001/nov/nyofc.html). Thurman (1981) melaporkan bahwa limbah industri pangan
mengandung Pb, Cd, Cu, dan Co. Pendapat
ini didukung oleh Azis (2003) karena di dalam limbah mie instan yang digunakan
sebagai pupuk ditemukan unsur mikro Na, Mn, Zn, dan Clˉ, unsur kelumit berupa Cu, Co, dan Ni,
serta unsur logam berat Pb dan Cd.
Sementara dalam limbah lumpur PT Nestle Indonesia ditemukan unsur mikro
Fe dan Mn, serta unsur kelumit Co (Chotimah, 2003). Adanya unsur logam berat ataupun unsur mikro
dalam jumlah yang besar, tidak berasal dari bahan yang digunakan dalam proses
produksi, tetapi berasal dari peralatan ataupun limbah pencucian alat.
Adanya logam berat dalam limbah perlu
mendapat perhatian dalam kaitannya dengan alternatif pemanfaatan sebagai pupuk
tanaman. Logam berat dapat terakumu-lasi
dalam tanaman, karena beberapa jenis tanaman tingkat tinggi memiliki kemampuan
untuk mengakumulasikan logam berat dalam konsentrasi yang tinggi dan dikenal
sebagai tanaman toleran logam berat (Thurman, 1981). Akumulasi logam berat pada tanaman dapat
terjadi pada bagian akar, daun, dan bunga (Krause & Kaiser, 1977).
Sifat
kimia lain yang perlu diperhatikan adalah derajat keasaman (pH) dari
lumpur. Jika sudah melewati proses
pengolahan limbah terlebih dahulu, lumpur biasa-nya akan mempunyai pH yang
netral ataupun mendekati netral. Limbah
mie instan mempunyai pH 6.3 (Azis, 2003) dan limbah lumpur PT Nestle Indonesia
mempunyai pH 7.0 (Chotimah, 2003). Namun
ada juga limbah yang mempunyai pH yang tinggi (12-13) karena menggunakan
larutan alkali dalam proses produksinya, diantaranya adalah limbah pengolahan
buah dan sayuran. Sementara limbah
dengan pH asam (4-5) dihasilkan dari pengolahan produk susu. Nilai pH penting diperhatikan, karena
berkaitan dengan sifat tanah yang akan ditambahkan lumpur limbah. Limbah yang bersifat asam sebaiknya tidak
ditambahkan pada tanah yang bersifat asam, begitu juga untuk limbah yang
bersifat alkali tidak ditambahkan pada tanah yang sudah mempunyai nilai pH yang
tinggi.
Di dalam http://www.epa.state.oh.US/nr/2001/nov/nyofc.html dinyatakan bahwa faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah saat
pemberian limbah, karena limbah segar dan limbah yang sudah terdekomposisi akan
mempunyai sifat kimia yang berbeda. Pada
kondisi terdekomposisi, kandungan unsur hara akan lebih rendah diban-dingkan
pada saat segar. Hal ini didukung
penelitian Azis (2003) bahwa pada limbah yang sudah terdekomposisi terjadi
penurunan kandungan nitrogen, fosfor, kalium, dan natrium sementara terjadi
peningkatan pada unsur tembaga (Cu) dan magnesium (Mg).
Sifat
biologi limbah berkaitan dengan organisme pengurai yang terdapat di
dalamnya. Secara umum organisme yang
berfungsi sebagai pengurai dalam lumpur aktif adalah bakteri, protozoa, dan
ganggang. Beberapa organisme yang
ditemukan dalam lumpur aktif pada bak aerasi di PT Mawar Sejati adalah Escherichia
coli, Pseudomonas sp., Paramecium sp., Amoeba sp.,
Cyclidium sp., Vorticella sp., Euglena sp., Ulothrix sp.,
dan Anabaena sp. (Susilorini, 2003). Berkaitan dengan hal ini, maka pemanfaatan
limbah lumpur sebagai pupuk juga harus memperhatikan kondisi yang mendukung
aktivitas mikroorganisme dalam proses melepaskan nutrien yang dapat dimanfaatkan
untuk tanaman, yaitu kondisi yang lembab dan hangat, serta kecukupan bahan
makanannya. Hal ini biasanya dicerminkan
dengan nilai perbandingan karbon dan nitrogen (C/N rasio) dari limbah. Jika C/N rasio <20 maka akan terjadi mineralisasi nitrogen, dan jika C/N rasio
>30 akan terjadi mobilisasi sehingga nitrogen tidak tersedia untuk tanaman
(Tisdale, Nelson, dan Beaton, 1990).
Strategi dalam Pemanfaatan “Sludge”
Ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum “sludge” dapat dinyatakan aman
digunakan sebagai pupuk tanaman, yaitu :
1.
Serangkaian penelitian untuk melihat potensi ”sludge” sebagai pupuk, dengan
melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, ada tidak-nya
logam berat yang terakumulasi dalam organ tanaman, sehingga tanaman dapat dinyatakan aman untuk dikonsumsi.
2.
Selain itu juga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh ”sludge” terhadap sifat-sifat tanah, apabila
”sludge” diberikan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu, apakah
dapat memperbaiki atau memperburuk sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
3.
Informasi yang akurat dari industri pangan tentang limbah yang dihasilkan,
terutama berkaitan dengan sifat kimia lumpur.
Diusahakan agar senantiasa ada hasil analisis mengenai limbah setiap
enam bulan sekali, dengan demikian dapat
diambil suatu tindakan perbaikan jika sifat kimia limbah berubah drastis. Hal ini tidak selalu dapat diterima oleh
suatu industri, dengan demikian perlu suatu kerja sama baik dengan perguruan
tinggi maupun lembaga penelitian berkaitan dengan mutu limbah (terutama untuk
industri yang tidak wajib AMDAL).
Ketiga tahapan di atas merupakan upaya yang
mendukung pemanfaatan “sludge” sebagai pupuk dalam kaitan dengan pengelolaan
lingkungan. Meski berpotensi sebagai
pupuk, namun “sludge” mempunyai beberapa sifat yang kurang baik yaitu : tekstur
yang halus, kekahatan unsur hara, dan adanya logam berat. Mengingat sifat-sifat tersebut maka ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rencana penelitian yang akan
dilakukan, yaitu :
1.
Mengetahui tekstur “sludge” yang akan dimanfaatkan. Pada umumnya
“sludge” mempunyai tekstur sangat halus, sehingga jika ditambahkan pada
tanah yang bertekstur halus maka akan memperburuk kondisi tanah, karena dapat
menye-babkan tanah menjadi tergenang.
Dengan demikian akan berakibat pada kema-tian tanaman, karena terjadi
pembusukan pada akar. Untuk memperbaiki
kondisi ini, maka dapat ditambahkan bahan lain yang dapat meningkatkan aerasi
tanah, misalnya jerami atau sekam.
Dengan aerasi yang baik, maka proses infiltrasi diharapkan dapat
berjalan baik, sehingga dapat mendukung pertumbuh-an tanaman.
2.
Kekahatan unsur hara, yang mungkin berbeda antara “sludge” dari industri
yang berbeda. Dengan demikian adanya
informasi mengenai kandungan unsur dapat diatasi dengan menambahkan unsur yang
kurang. Tambahan unsur dapat berasal
dari pupuk inorganik maupun dari bahan organik lainnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam penambahan
unsur ini adalah pengetahuan tentang jenis tanah yang digunakan, karena
masing-masing jenis tanah akan mempunyai tanggap yang berbeda terhadap
penambahan pupuk. Penambahan dengan
menggunakan bahan organik (misalnya kompos) lebih dianjurkan, karena pada
dasarnya penambahan bahan organik pada
tanah dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki aerasi tanah, mengikat
unsur mikro dan kation-kation dalam tanah, serta meningkatkan kapasitas tukar
kation dan sebagai penyangga dalam tanah (Stevenson, 1982). Dengan kondisi tanah yang lebih baik,
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
3.
Adanya logam berat dapat menyebabkan penurunan respirasi akar, penurunan
pengambilan air dan hara oleh tanaman, terhambatnya pembelahan sel, penu-runan
aktivitas enzim, dan penurunan populasi mikroba tanah (Marschner, 1986). Untuk mengatasi hal ini dapat ditambahkan
bahan organik. Alexander (1977)
menyatakan bahwa bahan organik dapat mengurangi pengaruh buruk dari logam berat
dan mempertahankan kehidupan mikroorganisme tanah dalam keadaan normal. Sebagian mikroorganisme tanah menggunakan
bahan organik sebagai sumber energinya.
Selain itu bahan organik dapat bereaksi dengan logam berat membentuk
senyawa kompleks (“organo metalic complex”) sehing-ga dapat mengurangi
sifat racun logam berat (Stevenson, 1982).
4.
Bahan lain yang juga dapat ditambahkan untuk mengurangi efek logam berat
(Pb dan Cd) adalah kapur. Penambahan
kapur dapat meningkatkan pH tanah, sehingga Pb dan Cd yang berada dalam kondisi
terlarut menjadi bentuk yang mengendap, misalnya PbCO3 dan CdHCO3 (Lindsay,
1979). Adanya logam berat ini
berimplikasi pada jenis komoditi yang dapat diusahakan, apakah tanaman pangan,
hortikultura, atau tanaman yang tidak dikonsumsi (misalnya untuk pembibitan
tanaman penghijauan).
5.
Dengan mengingat bahwa penelitian ini akan diaplikasikan di masyarakat,
disarankan jenis tanaman yang digunakan adalah jenis tanaman pangan dan
sayuran. Selain itu, jenis tanaman
hendaknya disesuaikan dengan kondisi tanah setempat (lahan-lahan sekitar
pabrik) dan komoditi yang biasa diusahakan oleh masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan nilai
ekonomi yang positif dari limbah.
Pemanfaatan limbah oleh masyarakat sekitar, juga akan mengurangi biaya
transportasi limbah. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan juga bahwa limbah tersebut dimanfaatkan oleh industri
yang bersangkutan, karena pada beberapa industri masih tersedia lahan kosong
yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman, terutama untuk komoditi sayuran yang
berumur pendek.
6.
Pada dasarnya “sludge” dapat diberikan dalam kondisi yang segar ataupun
sudah terdekomposisi. Beberapa percobaan
menunjukkan bahwa pemberian dalam kondisi terdekomposisi lebih disukai karena
kandungan garam dalam limbah sudah sangat tereduksi, sehingga tidak menimbulkan
efek kebakaran pada perakaran tanaman (http://www.epa.state.oh.US/nr/2001/nov/nyofc.html).
Sebagai implikasi dari hal ini adalah tempat penyimpanan sementara yang
diperlukan sebelum limbah diaplikasikan di lapang. Selain itu untuk memperce-pat proses
dekomposisi, dapat ditambahkan rhizobium dan mikoriza. Perlu penyebaran informasi secara luas
mengenai manfaat rhizobium dan mikoriza
dalam proses dekomposisi limbah.
Dalam hal ini perlu kerjasama antara peneliti, perguruan tinggi, dan
masyarakat pengguna.
Penutup
Dengan melihat potensi “sludge” sebagai pupuk untuk
tanaman, maka perlu dilakukan rangkaian penelitian mengenai pengaruh “sludge “
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, ada tidaknya akumulasi logam berat
pada organ tanaman yang dapat dikonsumsi, serta pengaruh terhadap perbaikan sifat
fisika, kimia, dan biologi tanah. Luaran
hasil penelitian diharapkan dapat memberikan nilai ekonomi dan ekologi positif
bagi “sluge”, sebagai bagian dari upaya pengelolaan lingkungan dengan
melibatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai sumber informasi,
industri pangan penghasil “sludge” sebagai mitra kerja dan pemberi dana,
pemerintah sebagai penentu kebijakan, dan masyarakat sebagai pengguna
tekno-logi.
Daftar Pustaka
Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd
ed. New York : John Wiley &Sons.
Azis TDU. 2003. Tingkat Efektivitas Pemanfaatan Limbah Cair
Mie Instan Sebagai Unsur Hara Tanaman [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Chotimah RA. 2003. Pemanfaatan Limbah PT Nestle Indonesia
Sebagai bahan Organik pada Campuran Media Tanam [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
D’Itri FM (editor). 1976. Waste Water Renovation and Reuse Recycling of
Municipal Waste Water. Agric. Water.
Manag 1(1) : 361-363
http://www.epa.state.oh.US/nr/2001/nov/nyofc.html
http://www.inovasi.lipi.go.id/anto.htm
Eiger ED and Smith BF. 2002. Environmental Science (A Study of Interrelation-ship). New York : Mc Graw Hill.
Jenie BSL dan Rahayu WP. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogya-karta : Penerbit Kanisius.
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor Kep-03/MENKLH/II/1991/ Tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan yang Sudah Beroperasi.
Krause HM and Kaiser H.
1977. Plant Response to Heavy
Metals and Sulphur Dioxide.
Environmental Pollution vol 12 : 63-70.
Lindsay ML.
1979. Chemical Equilibria in
Soil. New York : John Wiley & Sons.
Marschner H.
1986. Mineral Nutrition in Higher
Plants. London : Academic Press Inc.
Nuryadin R. 2002. Proses Pengolahan Limbah Cair PT Delta
Jakarta Tbk. [laporan praktik lapang]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI Press.
Susilorini N. 2003. Pengelolaan Limbah di PT Mawar Sejati [laporan praktik lapang] Bogor : Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry : Genesis, Composition,
Reaction. New York : John Wiley &
Sons.
Thurman DA. 1981. Mechanism of Metal Tolerance in Higher Plants. Lepp NW (editor). London : Applied science publisher.
Tisdale SL, Nelson WL. Beaton JD.
1990. Soil Fertility and
Fertilizers. 4th ed. New York : Mc Millan Publ. Co.