© 2003 Yuspihana Fitrial ed
Makalah Pribadi
Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian
Desember 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
TOKSIN MARIN ALAMI
Oleh:
YUSPIHANA FITRIAL
F 261030021
1. PENDAHULUAN
Toksin adalah suatu substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik yang letaknya di dalam molekul dan menunjukkan aktifitas fisiologis yang kuat. Adapun batasan dari toksin adalah substansi tersebut terdapat di dalam tubuh hewan, tumbuhan bakteri dan makhluk hidup lainnya, merupakan zat asing bagi korbannya atau bersifat anti gen dan bersifat merugikan bagi kesehatan korbannya.
Istilah untuk toksin marin
khusus digunakan untuk toksin-toksin yang berasal dari organisme laut. Istilah lain yang
ada kaitannya dengan toksin adalah racun dan “bisa”. Istilah racun digunakan
untuk substansi toksin yang menyebabkan keracunan bila masuk ke dalam tubuh
melalui mulut, sedangkan “bisa” bila masuk ke dalam tubuh melalui sengatan atau
gigitan.
Kontaminasi toksin alami pada ikan
mengakibatkan keracunan bagi yang mengkonsumsinya. Kebanyakan toksin ini
diproduksi oleh alga (fitoplankton).
Toksin terakumulasi dalam tubuh ikan yang mengkonsumsi
alga tersebut atau melalui rantai makanan mengakibatkan toksin tersebut
terakumulasi dalam tubuh ikan.
Yang unik dari toksin ini adalah tidak dapat dihilangkan atau tidak
rusak dengan proses pemasakan. Oleh karena itu sangat penting pengetahuan terhadap jenis-jenis
racun ini untuk menghindari timbulnya bahaya keracunan akibat mengkonsumsi ikan
dan kerang-kerangan. Selain itu pengetahuan tentang struktur toksin ini akan membuka wawasan akan kemungkinan pemanfaatannya sebagai
obat.
Di Indonesia, hingga saat ini penelitian terhadap toksin marin belum banyak dilakukan. Pada tulisan ini akan disajikan beberapa jenis toksin marin, seperti Tetodotoxin, Ciguatoxin, Paralytic shellfish poison (PSP), Amnesic shellfish poison (ASP), Diarrhetic shellfish poison (DSP) dan Neurotoxic shellfish poison (NSP).
2.
TETRODOTOXIN (PUFFER TOXIN)
Tetrodotoxin adalah toksin yang ditemukan pada beberapa spesies ikan buntal “puffer (Fugu sp). Lebih dari 100 spesies “puffer fish” (famili Tetraodontidae) yang menyebar dari perairan sedang hingga tropis, tetapi hanya sekitar 10 spesies yang dikonsumsi, khususnya di Jepang.
Jenis-jenis ikan buntal yang beracun yang terdapat di Indonesia, antara lain: Buntal Duren (Diodon hytrix) dari famili Diodontidae yang bergigi lempeng dan kuat, Buntal Landak (Diodon holacanthus) yang bersirip 14 berduri lemah pada punggung dan dada dan pada sirip dubur terdapat 23 duri lemah. Buntal Kotak (Rhynchostrcion nasus) dan Buntal Tanduk (Tetronomus gibbosus) berduri di kepalanya termasuk famili Ostraciontidae. Buntal Kelapa (Arothron reticularis) yang berciri duri lemah antara 10 -11 pada sirip punggung, 9 – 10 pada sirip dubur dan 18 pada sirip dada. Buntal Pasir (Arthron immaculatus), Buntal Tutul (A. aerostaticus) dan Buntal Pisang ( Gastrophysus lunaris). Semua jenis ikan buntal tersebut beracun, akan tetapi tingkat toksisitas diantara spesies-spesies tersebut berbeda. Ikan buntal tersebut biasanya hidup di daerah terumbu karang.
Daging segar dan beberapa bagian dari tubuh ikan buntal mungkin aman dimakan dalam keadaan mentah atau dimasak. Tetapi bagian lainnya seperti kandung telur (ovari) (tertinggi, sebagai alat perlindungan diri dari pemangsa) dan hati yang sangat beracun, mata, kulit, saluran pencernaan dan jeroan lainnya, sedang bagian dagingnya sedikit sampai tidak beracun tergantung spesiesnya (Tabel 1).
Tabel 1. Tingkat Toksisitas dari Beberapa Jenis Ikan Buntal
Spesies |
Kandung telur |
Testes |
Hati |
Kulit |
Usus |
Daging |
1.
Fugu nipobles 2.
F. poecilonatum 3.
F. vermiculare
vermiculare 4.
F. pardale 5.
F. vermiculare
porpyreum 6.
F. ocellatus
obscurum 7.
F. chrysops 8.
F. rubripes
rubripes 9.
F. xanthopterum 10. F. stictonatum 11. Lagocephalus laevigatus inermis 12. L.lunaris spadiceus 13. Liosaccus cutaneus 14. Canthigaster rivulata 15. Diodon holacantus 16. Chilomycterus affinis 17. Ostracion immaculatum 18. Lactoria diaphana 19. Aracana aculeta |
A A A A A A B B B B D D D D D D D D D |
C B D C D D D D D D D D D N N N D D D |
A A A A A B B B B B B D D C D D D D D |
B B B B B B B B B B D D D B D D D D D |
A B B B B B C C C D D D D C D D D D D |
C C C D D D D D D D D D D D D D D D D |
Sumber : Motohiro, 1992
Keterangan : A = sangat toksik, mematikan paling sedikit 10 g
B = cukup toksik, tidak mematikan paling sedikit 10 g
C = sedikit toksik, tidak mematikan paling sedikit 100 g
D = tidak toksik, tidak mematikan paling sedikit 1000 g
N = tidak tersedia data
Beberapa ahli yang berhasil mengisolasi toksin dari ikan buntal, adalah Tahara (1906) dalam Rachmaniar (1992), orang pertama mengisolasi Tetrodotoxin (TTX) dari kandung telur ikan buntal dan membuktikan bahwa TTX sangat aktif karena 60-70% kasus keracunan makanan disebabkan racun tersebut. Pakar lain membuktikan bahwa TTX adalah senyawa amin dan gula. Kisin et al. (1972) berhasil mensintesis toksin TTX secara utuh. Hasil isolasi dan pemurniannya berupa kristal kuning dengan rumus 2-amino-6-hidroksimetil-8-hidroksiquinazolin. TTX memiliki struktur kimia C11H17O8N3 dengan ukuran molekul 319 dalton. TTX juga dikenal sebagai anhidrotetrodotoxin 4-epitetrodotoxin, tetrodonic acid.
Tetrodotoxin menyebabkan keracunan dengan memblok saluran natrium dalam membran yang mengakibatkan terhentinya propagasi impulsa syaraf. Oleh karena itu tetrodotoxin memiliki efek farmakologik yaitu dapat meningkatkan permeabilitas membran syaraf terhadap ion natrium.
Ikan buntal diketahui memiliki mutasi pada sekuen protein dari pompa saluran
natrium yang terdapat pada membran sel, dimana saluran ini merupakan titik
kritis dari transmisi impulsa dan mediasi dari beberapa fungsi sel. Adanya mutasi ini
mengakibatkan ikan buntal resisten terhadap keracunan tetrodotoxin, akibatnya
tetrodotoxin tidak mengenali saluran natrium yang ada pada ikan buntal dan
tidak dapat mengikat dan membloknya.
Ikan buntal dapat menyimpan tetrodotoxin dalam
konsentrasi tinggi dalam beberapa organ tubuhnya.
Selama ini TTX dianggap hanya terdapat pada ikan buntal, akan tetapi penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa toksifikasi TTX ke dalam organisme akuatik dapat terjadi melalui rantai makanan. Hal ini dibuktikan dari beberapa hasil penelitian berikut.
1. “Trumpet shell” (Charonia soulinae) yang tidak beracun dibudidayakan bersama-sama dengan bintang laut (Astropecten polyachanthus) yang beracun selama beberapa minggu. Hasilnya menunjukkan ternyata “Trumpet shell” menjadi beracun (mengakumulasi TTX).
2. Seekor ikan buntal (F. rubripes rubripes) ditetaskan dari telur dan spermatozoa dari induk yang beracun. Setelah dibudidayakan dalam aquarium ternyata ikan buntal tersebut menjadi tidak beracun, akan tetapi menjadi beracun setelah dipindahkan ke lingkungan alaminya.
3. Ikan buntal yang tidak beracun menjadi beracun karena diberi pakan yang beracun.
4. Sebuah fakta menunjukkan bahwa TTX diproduksi oleh bakteri usus yaitu Vibrio alginolyticus. Hal ini dibuktikan dari sebuah penelitian dimana bakteri usus (yang diisolasi dari usus bintang laut, Astropecten polyachantus) ternyata dapat mengakumulasi TTX dalam kultur “broth” (Tabel 2). Vibrio alginolyticus merupakan flora usus yang dominan, yang ternyata juga menghasilkan TTX.
5.
Atergatis
6. Adanya bukti yang menunjukkan bahwa ikan buntal tidak memiliki gen pengkode untuk sintesis molekul tetrodotoxin
Tabel 2. Hubungan antara waktu
inkubasi dan banyaknya tetrodotoxin yang
diproduksi Vibrio alginolyticus
Waktu inkubasi (jam) |
Berat sel (g) |
Toksisitas (MU) |
24 48 72 |
3.6 3.3 3.9 |
<2 <2 213 |
Sumber : Motohiro, 1992
Berikut ini merupakan mekanisme toksifikasi di lingkungan alami dimana meningkatnya toksisitas di lingkungan akuatik kemungkinan didukung karena adanya mekanisme toksifikasi dalam tubuh pembawa TTX (Gambar 1).
Gambar 1. Mekanisme Toksisitas dalam
organisme pembawa TTX (Motohiro, 1992)
Gejala keracunan TTX diawali dengan rasa mual, muntah, mati rasa dalam rongga mulut, selanjutnya muncul gangguan fungsi saraf yang ditandai dengan rasa gatal dibibir, kaki, tangan, gejala selanjunya adalah terjadinya kelumpuhan dan kematian akibat sulit bernafas dan serangan jantung. Gejala tersebut timbul selama 10 menit hingga 3 jam setelah mengkonsumsinya. Dosis mematikan racun ikan buntal bagi manusia diperkirakan 10.000 MU (Mouse Unit) atau sekitar 2 mg TTX (Motohiro, 1992).
Berikut ini adalah suatu kasus
keracunan TTX akibat mengkonsumsi ikan buntal yang dibawa dari Jepang ke
Kasus 1 :
seorang laki-laki (usia 23 tahun) mengkonsumsi sepotong daging ikan buntal (sekitar ¼ ons). Setelah 10-15 menit kemudian, ia merasa kesemutan pada mulut dan bibir yang disertai pusing, merasa lelah, sakit kepala, perasaan mengkerut pada leher, sulit bicara, sesak pada dada, muka merah, menggigil, muak dan muntah. Setelah dibawa ke rumah sakit, diketahui tekanan darah 150/90 mmHg, denyut jantung rata-rata 117 detak/menit, rata-rata pernafasan 22/menit dan suhu badan 37,4°C.
Kasus 2 :
seorang laki-laki (usia 32 tahun) mengkonsumsi 3 potong daging ikan buntal (sekitar 1 1/2 ons). Setelah 2-3 menit kemudian, selagi mengkonsumsi potongan yang ke-3, ia merasa kesemutan pada lidah dan mulut yang disertai perasaan ringan, gelisah dan merasa lemah dan pingsan. Setelah dibawa ke rumah sakit, diketahui tekanan darah 167/125 mmHg, denyut jantung rata-rata 112 detak/menit, rata-rata pernafasan 20/menit .
Kasus 3 :
seorang laki-laki (usia 39 tahun) mengkonsumsi ikan buntal (sekitar ¼ ons). Setelah 20 menit kemudian, ia merasa pusing dan sesak pada dada. Setelah dibawa ke rumah sakit, diketahui tekanan darah 129/75 mmHg, denyut jantung rata-rata 84 detak/menit, rata-rata pernafasan 22/menit dan suhu badan 36,2°C.
Bagaimana menangani dan atau mengolahan ikan buntal sehingga terhindar dari keracunan hingga saat ini belum diperoleh informasi tentang cara yang tepat untuk mencegah keracunan akibat mengkonsumsi ikan buntal. Di Jepang, hanya pemegang lisensi yang diperbolehkan menyediakan atau menghidangkan ikan buntal ini untuk konsumen, yaitu di bawah pengawasan Menteri Kesehatan.
Di Indonesia, walaupun ikan buntal diketahui beracun
tetapi masyarakat menggemarinya. Jeroannya dipepes, dagingnya dipanggang atau dimasak dengan bumbu mangut.
Di Tuban ikan
buntal biasanya diolah menjadi ikan asin dan di jual ke
Meskipun sudah diketahui letak racun pada tubuh ikan buntal tetapi masih sering terjadi keracunan. Hal tersebut diduga empedu yang merupakan tempat terkonsentrasinya racun pecah ketika ikan dibersihkan, akibatnya racun menjalar ke seluruh bagian daging. Jalan yang paling baik untuk mencegah keracunan adalah tidak mengkonsumsi ikan buntal.
Menurut Nasir (1996) telah terjadi keracunan pada akhir
bulan Oktober 1996 di Kabupaten Tuban, dimana dua penduduk tewas
setelah mengkonsumsi ikan buntal. Ikan buntal harganya lebih murah dibanding ikan lainnya, selain itu
rasanya yang enak sehingga kalangan nelayan dan petani dengan pendapatan
pas-pasan memilih ikan buntal untuk dikonsumsi. Pada tahun 1990 di daerah tersebut ada 30
warga yang keracunan,
Cara menanggulangi jika muncul gejala keracunan setelah mengkonsumsi ikan buntal adalah dengan mengusahakan korban muntah dan bantuan pernafasan, kemudian segera ke dokter atau Puskesmas terdekat.
3. CIGUATOXIN
Sekitar 300 spesies ikan dan “shellfish” yang hidup di perairan dangkal sekitar karang diketahui sebagai penyebab keracunan ciguatoxin. Keracunan yang paling umum terjadi akibat mengkonsumsi ikan karang herbivora dan karnivora yang beracun. Adanya racun pada ikan dikaitkan dengan rantai makanan, dimana sebagai agen toksin adalah Alga ‘blue green” (Gambierdiscus toxicus) yang hidup berkelompok pada permukaan sejumlah rumput laut. Alga tersebut kemudian dimakan oleh ikan herbivora, ikan herbivora dimakan oleh ikan karnivora.
Penyakit
atau keracunan yang disebabkan ciguatoxin disebut CIGUATERA (bukan merupakan penyakit yang fatal). Beberapa jenis ikan yang menjadi sumber ciguatera : Lutjanus monostigma, L. bohar (“red snapper”), Gymnothorax javanicus (‘moray eel”), Epinephalus fuscoguttatus, Variola louti (“grouper”) dan Sphyraena
picuda (“barracuda”)
SCHEUER (dari Universitas
Tingkat toksisitas ciguatoxin pada bagian tubuh ikan dari yang tertinggi adalah hati (paling toksik), jeroan lainnya dan otot/daging.
Gejala akibat keracunan ciguatoxin adalah gangguan pada cardiovaskuler, gangguan saraf, asthenia dan arthalgia disertai dengan gangguan saluran pencernaan.
LD50 pada tikus percobaan adalah 80 ug/kg berat badan tikus
Ciguatoxin memiliki sifat farmakologis terutama
berpengaruh terhadap saraf periferal dan sentral, meningkatkan permeabilitas
membran sel otot dan saraf terhadap ion Na dan bersifat anticholinesterase.
4. PARALYTIC SHELLFISH POISON
Senyawa toksik utama dari paralytic shellfish poison adalah saxitoxin yang bersifat neurotoxin. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah “Paralytic shellfish poisoning” (PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata yang beracun. Dinoflagelata sebagai agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun disaat kondisi lingkungan sedang melimpah dinoflagelata yang beracun yang disebut pasang merah atau ‘red tide’.
Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus) yang mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin dan telah dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya.
Jenis plankton yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium
catenella dan A.
tamarensis. Pyrodinium bahamense, bertanggung jawab terhadap beberapa keracunan di
Jika dilihat dari sifat kimianya, saxitoxin bersifat larut dalam air dan methil alkohol, sedikit larut dalam ethyl alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Saxitoxin dapat dihidrolisis dengan asam, stabil terhadap panas dan tidak rusak dengan proses pemasakan (Wogan & Marleta, 1985). Saxitoxin memiliki rumus kimia C10H17N7O3.2HCl.
Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala keracunan seperti rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernafasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernafasan.
Saxitoxin menyebabkan kematian pada tikus percobaan dalam waktu 15 menit. Tanda dan gejala berkembang cepat dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsinya.
LD50 saxitoxin adalah 9 ug/kg berat badan tikus, sementara dosis mematikan untuk manusia adalah sekitar 1 – 4 mg. Sebagai control terhadap pemasaran jenis kerang-kerang didasarkan pada acuan yang dianjurkan oleh WHO yaitu bagian yang dapat dimakan dari kerang-kerangan mengandung 3 MU/g toksin PSP. Di Jepang jenis kerang-kerang komersial toksisitasnya selalu dimonitor secara periodik untuk mencegah keracunan.
Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi racun saxitoxin :
1. Jay (1978) : toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100°C.
2. Stewart (1978) : ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-kerangan yang terkontaminasi racun tersebut, demikian pula perlakuan panas dapat menurunkan daya racun di dalam kerang-kerangan.
3. Noguchi et al. (1980) : menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten yessoensin terjadi selama proses “retorting” dan pada toksin yang tersisa terjadi penurunan kadar nya selama proses penyimpan.
4. Nagashima et al. (1991) : kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan maka waktu yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin semakin cepat, dapat dilihat pada Gambar 8. Pemanasan pada suhu 100°C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan toksin meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate, tetapi menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya. Pola perubahan yang sama terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan 120°C. Pada pemanasan suhu 110 dan 120°C terlihat pola perubahan toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100°C.
6.
AMNESIC SHELLFISH POISON
Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid. Domoic acid merupakan asam amino neurotoksik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah “Amnesic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (“mussel”). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.
Domoic acid mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-menerus pada sel-sel saraf dan akhirnya terbentuk luka. Korban mengalami sakit kepala, hilang keseimbangan, menurunnya system saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan. Telah dilaporkan toksin tersebut juga dapat mengakibatkan kematian. Kerusakan otak yang ditimbulkan oleh racun ini bersifat tidak dapat pulih (“irreversible”).
Struktur Domoic acid adalah C15H21O6N dengan berat molekul 311 (daltons).
7.
NEUROTOXIC SHELLFISH POISON
Komponen utama dari neurotoxic shellfish poison adalah brevitoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Brevitoxin disebut “Neurotoxic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kerang-kerangan dan tiram. Toksin ini diproduksi oleh alga laut Ptychdiscus brevis dimana melalui rantai makanan mengakibatkan kerang dan tiram mengandung racun tersebut.
Adapun struktur Brevitoxin adalah C50H70O14 dengan berat molekul 894 (daltons).
Gejala keracunannya meliputi rasa gatal pada muka yang menyebar ke
bagian tubuh yang lain, rasa panas dingin yang bergantian, pembesaran pupil dan
perasaan mabuk.
8.
DIARRHETIC SHELLFISH POISON
Komponen utama Diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid. Komponen yang lain adalah pectenotoxin dan yessotoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini disebut “Diarrhetic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah (mussel) dan remis (scallop). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana melalui rantai makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.
Struktur Okadaic acid : C44H70O13 dengan berat molekul 804 (daltons). Senyawa-senyawa dari klas okadaic acid ini mempunyai efek sebagai promotor tumor
Gejala utama keracunan DSP adalah
diare yang akut, dimana serangannya lebih cepat dibandingkan dengan keracunan
makanan akibat bakteri. Selain itu,
muak, muntah, sakit perut,
kram dan kedinginan.
Hingga saat ini informasi ataupun penelitian yang berkaitan
dengan cara penanganan dan atau pengolahan yang mampu
untuk mencegah bahaya keracunan toksin tersebut belum diperoleh.
Pengetahuan tentang struktur, mekanisme toksisitas dan gejala yang ditimbulkan marin toksin sangat penting selain untuk tindakan pencegahan terhadap bahaya keracunan juga kemungkinan pengembangan marin toksin sebagai bahan obat.
Ariens,
E.J., E. Mutschler dan A.M. Simonis.
1986. Toksikologi Umum
Pengantar.
Fennema,
O.R. 1985. Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc.,
Gestal-Otero, J.J.
2000. Nonneurotoxic toxins. Di dalam : Seafoos
and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and Detection. L. M. Botana (Ed.). Marcel Dekker, Inc.,
Lu,
F.C. 1994. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan
Penilaian Risiko. Edisi
kedua. UI Press,
Motohiro, Terushige. 1992. Biotoxin in seafoods. Di dalam : Quality Assurance in Fish Industry. Elsevier Science Publisher B. V.
Nasir, M.A. 1996. Ikan Buntek, Lezat tapi Beracun. Kompas,
Noguchi, T., Ueda, Y., Onoue, Y., Kono, M., Koyama,
K., Hashimoto, K., Takeuchi, T.,
Seno, Y., dan Mishima, S.
1980. Reduction in toxicity of
highly PSP-infested scallops during canning process and storage. Bull.
Rachmaniar. 1992. Toksin Marin, Suatu Pengantar. Oseana, Volume XVI, No. 1 :1-11
Rosini, Gian Paolo. 2000.
Neoplastic activity of DSP toxins: the effects of okadaic acid and
related compounds on cell proliferation: tumor promotion or induction of
apoptosis?. Di dalam : Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology,
Physiology and Detection. L. M. Botana
(Ed.). Marcel Dekker,
Inc.,
Sikorski, Z. E., Bonnie Sun Pan, dan F. Shahidi. 1994.
Seafood Proteins.
Yasumoto,
Takeshi. 2000. Historic considerations Regarding
seafood safety. Di dalam
: Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and
Detection. L. M. Botana (Ed.). Marcel Dekker, Inc.,
www. Domoic Acid in Shellfish (Amnesic Shellfish Poison)-WA State Dept-of Health.htm