© 2003 Yuspihana Fitrial                                                                                    ed  11 December 2003

Makalah Pribadi

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

TOKSIN MARIN ALAMI

 

 

Oleh:

 

YUSPIHANA FITRIAL

F 261030021

 

 

1. PENDAHULUAN

Para pakar biologi maupun kimia telah lama mendiskusikan arti biologis dan fisiologis toksin marin bagi organisme yang mengandungnya.  Secara biologis toksin ini memegang peranan penting dalam menangkap mangsa, sebagai pertahanan diri terhadap pemangsa atau gangguan lainnya.  Selain itu secara fisiologis toksin ini berfungsi dalam proses reproduksi.

Toksin adalah suatu substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik yang letaknya di dalam molekul dan menunjukkan aktifitas fisiologis yang kuat.  Adapun batasan dari toksin adalah substansi tersebut terdapat di dalam tubuh hewan, tumbuhan  bakteri dan makhluk hidup lainnya,  merupakan zat asing bagi korbannya atau bersifat anti gen dan bersifat merugikan bagi kesehatan korbannya.

Istilah untuk toksin marin khusus digunakan untuk toksin-toksin yang berasal dari organisme laut.  Istilah lain yang ada kaitannya dengan toksin adalah racun dan “bisa”.  Istilah racun digunakan untuk substansi toksin yang menyebabkan keracunan bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, sedangkan “bisa” bila masuk ke dalam tubuh melalui sengatan atau gigitan.

Kontaminasi toksin alami pada ikan mengakibatkan keracunan bagi yang mengkonsumsinya.  Kebanyakan toksin ini diproduksi oleh alga (fitoplankton).  Toksin terakumulasi dalam tubuh ikan yang mengkonsumsi alga tersebut atau melalui rantai makanan mengakibatkan toksin tersebut terakumulasi dalam tubuh ikan.  Yang unik dari toksin ini adalah tidak dapat dihilangkan atau tidak rusak dengan proses pemasakan.   Oleh karena itu sangat penting pengetahuan terhadap jenis-jenis racun ini untuk menghindari timbulnya bahaya keracunan akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan. Selain itu pengetahuan tentang struktur toksin ini akan membuka wawasan akan kemungkinan pemanfaatannya sebagai obat.

Di Indonesia, hingga saat ini penelitian terhadap toksin marin belum banyak dilakukan.  Pada tulisan ini akan disajikan beberapa jenis toksin marin, seperti Tetodotoxin, Ciguatoxin, Paralytic shellfish poison (PSP), Amnesic shellfish poison (ASP), Diarrhetic shellfish poison (DSP) dan Neurotoxic shellfish poison (NSP).

 

2.  TETRODOTOXIN (PUFFER TOXIN)

 

Tetrodotoxin adalah toksin yang ditemukan pada beberapa spesies  ikan buntal “puffer (Fugu sp).  Lebih dari 100 spesies “puffer fish” (famili Tetraodontidae) yang menyebar dari  perairan sedang hingga tropis, tetapi hanya sekitar 10 spesies yang dikonsumsi,  khususnya di Jepang.

          Jenis-jenis ikan buntal yang beracun yang terdapat di Indonesia, antara lain: Buntal Duren (Diodon hytrix) dari famili Diodontidae yang bergigi lempeng dan kuat, Buntal Landak (Diodon holacanthus) yang bersirip 14 berduri lemah pada punggung dan dada dan pada sirip dubur terdapat 23 duri lemah.   Buntal Kotak (Rhynchostrcion nasus) dan Buntal Tanduk (Tetronomus gibbosus) berduri di kepalanya termasuk famili Ostraciontidae. Buntal Kelapa (Arothron reticularis) yang berciri duri lemah antara 10 -11 pada sirip punggung, 9 – 10 pada sirip dubur dan 18 pada sirip dada.   Buntal  Pasir (Arthron immaculatus), Buntal  Tutul (A. aerostaticus) dan Buntal Pisang ( Gastrophysus lunaris).   Semua jenis ikan buntal tersebut beracun,  akan tetapi tingkat toksisitas diantara spesies-spesies tersebut berbeda.  Ikan buntal tersebut biasanya hidup di daerah terumbu karang.

Daging segar dan beberapa bagian dari tubuh ikan buntal mungkin aman dimakan dalam keadaan mentah atau dimasak.  Tetapi bagian lainnya seperti kandung telur (ovari) (tertinggi, sebagai alat  perlindungan diri dari pemangsa) dan hati yang sangat beracun, mata, kulit, saluran pencernaan dan jeroan lainnya,  sedang bagian dagingnya sedikit sampai tidak beracun tergantung spesiesnya (Tabel 1).

 

Tabel 1.  Tingkat Toksisitas dari Beberapa Jenis Ikan Buntal

Spesies

Kandung telur

Testes

Hati

Kulit

Usus

Daging

1.      Fugu nipobles

2.      F. poecilonatum

3.      F. vermiculare vermiculare

4.      F. pardale

5.      F. vermiculare porpyreum

6.      F. ocellatus obscurum

7.      F. chrysops

8.      F. rubripes rubripes

9.      F. xanthopterum

10.  F. stictonatum

11.  Lagocephalus laevigatus inermis

12.  L.lunaris spadiceus

13.  Liosaccus cutaneus

14.  Canthigaster rivulata

15.  Diodon holacantus

16.  Chilomycterus affinis

17.  Ostracion immaculatum

18.  Lactoria diaphana

19.  Aracana aculeta

A

A

A

A

A

A

B

B

B

B

D

 

D

D

D

D

D

D

D

D

C

B

D

C

D

D

D

D

D

D

D

 

D

D

N

N

N

D

D

D

A

A

A

A

A

B

B

B

B

B

B

 

D

D

C

D

D

D

D

D

B

B

B

B

B

B

B

B

B

B

D

 

D

D

B

D

D

D

D

D

A

B

B

B

B

B

C

C

C

D

D

 

D

D

C

D

D

D

D

D

C

C

C

D

D

D

D

D

D

D

D

 

D

D

D

D

D

D

D

D

 

Sumber : Motohiro, 1992

Keterangan :          A = sangat toksik, mematikan paling sedikit 10 g

                             B = cukup toksik, tidak mematikan paling sedikit 10 g

                             C = sedikit toksik, tidak mematikan paling sedikit 100 g

                             D = tidak toksik, tidak mematikan paling sedikit 1000 g

                             N = tidak tersedia data

 

Beberapa ahli yang berhasil mengisolasi toksin dari ikan buntal, adalah Tahara (1906) dalam Rachmaniar (1992),  orang pertama mengisolasi  Tetrodotoxin (TTX) dari kandung telur ikan buntal dan   membuktikan bahwa TTX sangat aktif karena 60-70% kasus keracunan makanan disebabkan racun tersebut. Pakar lain membuktikan bahwa  TTX adalah senyawa amin dan gula.  Kisin et al. (1972) berhasil mensintesis toksin TTX secara utuh.  Hasil    isolasi    dan   pemurniannya  berupa kristal kuning dengan rumus  2-amino-6-hidroksimetil-8-hidroksiquinazolin. TTX memiliki struktur kimia  C11H17O8N3  dengan ukuran molekul  319 dalton.  TTX juga dikenal sebagai anhidrotetrodotoxin 4-epitetrodotoxin, tetrodonic acid.

Tetrodotoxin menyebabkan keracunan dengan memblok saluran natrium dalam membran yang mengakibatkan terhentinya propagasi impulsa syaraf. Oleh karena itu  tetrodotoxin memiliki efek farmakologik yaitu dapat meningkatkan permeabilitas membran syaraf terhadap ion natrium.

Ikan buntal diketahui memiliki mutasi pada sekuen protein dari  pompa saluran natrium yang terdapat pada membran sel, dimana saluran ini merupakan titik kritis dari transmisi impulsa dan mediasi dari beberapa fungsi sel.  Adanya mutasi ini mengakibatkan ikan buntal resisten terhadap keracunan tetrodotoxin, akibatnya tetrodotoxin tidak mengenali saluran natrium yang ada pada ikan buntal dan tidak dapat mengikat dan membloknya.  Ikan buntal dapat menyimpan tetrodotoxin dalam konsentrasi tinggi dalam beberapa organ tubuhnya.

Selama ini TTX dianggap  hanya terdapat pada ikan buntal, akan tetapi penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa toksifikasi TTX ke dalam organisme akuatik dapat terjadi melalui rantai makanan.  Hal ini dibuktikan dari beberapa hasil penelitian berikut.

1.      “Trumpet shell” (Charonia soulinae) yang tidak beracun dibudidayakan bersama-sama dengan bintang laut (Astropecten polyachanthus) yang beracun selama beberapa minggu.  Hasilnya menunjukkan ternyata “Trumpet shell” menjadi beracun (mengakumulasi TTX).

2.      Seekor ikan buntal (F. rubripes rubripes)  ditetaskan dari telur dan spermatozoa dari induk yang beracun.  Setelah dibudidayakan dalam aquarium ternyata ikan buntal tersebut menjadi   tidak beracun, akan tetapi menjadi beracun setelah dipindahkan ke lingkungan alaminya. 

3.      Ikan buntal yang tidak beracun menjadi beracun karena diberi pakan yang beracun.

4.      Sebuah fakta menunjukkan bahwa TTX diproduksi oleh bakteri usus  yaitu Vibrio alginolyticus. Hal ini dibuktikan dari sebuah penelitian dimana  bakteri usus (yang diisolasi dari usus bintang laut, Astropecten polyachantus) ternyata dapat mengakumulasi TTX dalam kultur “broth” (Tabel 2). Vibrio alginolyticus merupakan flora usus yang dominan, yang ternyata juga menghasilkan TTX.

5.      Atergatis florida adalah jenis kepiting yang mengandung racun TTX yang diproduksi oleh Vibrio spp.

6.      Adanya bukti yang menunjukkan bahwa ikan buntal tidak memiliki gen pengkode untuk sintesis molekul tetrodotoxin

 

Tabel 2. Hubungan antara waktu inkubasi dan banyaknya tetrodotoxin   yang diproduksi Vibrio alginolyticus

 

Waktu inkubasi (jam)

Berat sel (g)

Toksisitas (MU)

24

48

72

3.6

3.3

3.9

 

<2

<2

213

Sumber : Motohiro, 1992

 

 

Berikut ini merupakan mekanisme toksifikasi di lingkungan alami dimana meningkatnya toksisitas  di lingkungan akuatik kemungkinan didukung karena adanya mekanisme toksifikasi dalam tubuh pembawa TTX (Gambar 1).

 

 

 

 


 

 

 

Gambar 1.   Mekanisme Toksisitas dalam organisme pembawa TTX (Motohiro, 1992)

 

 

 

Gejala keracunan TTX diawali dengan rasa mual, muntah, mati rasa dalam rongga mulut, selanjutnya muncul gangguan fungsi saraf yang ditandai dengan rasa gatal dibibir, kaki, tangan, gejala selanjunya adalah terjadinya  kelumpuhan dan kematian akibat sulit bernafas dan serangan jantung.  Gejala tersebut timbul selama 10 menit hingga 3 jam setelah mengkonsumsinya.  Dosis mematikan racun ikan buntal bagi manusia diperkirakan 10.000 MU (Mouse Unit) atau sekitar 2 mg TTX (Motohiro, 1992).

Berikut ini adalah suatu kasus keracunan TTX akibat mengkonsumsi ikan buntal yang dibawa dari Jepang ke California (29 April 1996).      Keracunan ini menimpa  3 orang koki yang mengkonsumsi ikan buntal (dikemas–siap santap) yang merupakan oleh-oleh temannya dari Jepang.  Kasusnya sebagai berikut :

 

Kasus 1 :

seorang laki-laki (usia 23 tahun) mengkonsumsi sepotong daging ikan buntal (sekitar ¼ ons).  Setelah 10-15 menit kemudian, ia merasa kesemutan pada mulut dan bibir yang disertai pusing, merasa lelah, sakit kepala, perasaan mengkerut pada leher, sulit bicara, sesak pada dada, muka merah, menggigil, muak dan muntah.  Setelah dibawa ke rumah sakit, diketahui tekanan darah 150/90 mmHg, denyut jantung rata-rata 117 detak/menit, rata-rata pernafasan 22/menit dan suhu badan 37,4°C.

Kasus 2 :

seorang laki-laki (usia 32 tahun) mengkonsumsi 3 potong daging ikan buntal (sekitar 1 1/2 ons).  Setelah 2-3 menit kemudian, selagi mengkonsumsi potongan yang ke-3,  ia merasa kesemutan pada lidah dan mulut yang disertai perasaan ringan, gelisah dan merasa lemah dan pingsan.  Setelah dibawa ke rumah sakit, diketahui tekanan darah 167/125 mmHg, denyut jantung rata-rata 112 detak/menit, rata-rata pernafasan 20/menit .

Kasus 3 :

seorang laki-laki (usia 39 tahun) mengkonsumsi ikan buntal (sekitar ¼ ons).  Setelah 20 menit kemudian, ia merasa pusing dan sesak pada dada. Setelah dibawa ke rumah sakit, diketahui tekanan darah 129/75 mmHg, denyut jantung rata-rata 84 detak/menit, rata-rata pernafasan 22/menit dan suhu badan 36,2°C.

Bagaimana menangani dan atau mengolahan ikan buntal sehingga terhindar dari keracunan hingga saat ini belum diperoleh informasi tentang cara yang tepat untuk mencegah keracunan akibat mengkonsumsi  ikan buntal.  Di Jepang, hanya pemegang lisensi yang diperbolehkan menyediakan atau menghidangkan ikan buntal ini untuk konsumen, yaitu di bawah pengawasan Menteri Kesehatan.

Di Indonesia, walaupun ikan buntal diketahui beracun tetapi masyarakat menggemarinya.  Jeroannya dipepes, dagingnya dipanggang atau dimasak dengan bumbu mangut. Di Tuban  ikan buntal biasanya diolah menjadi ikan asin dan di jual ke Jakarta.

 Meskipun sudah diketahui letak racun pada tubuh ikan buntal tetapi masih sering terjadi keracunan. Hal tersebut diduga empedu yang merupakan tempat terkonsentrasinya racun pecah ketika ikan dibersihkan, akibatnya racun menjalar ke seluruh bagian daging.  Jalan yang paling baik untuk mencegah keracunan adalah tidak mengkonsumsi ikan buntal.

Menurut Nasir (1996) telah terjadi keracunan pada akhir bulan Oktober 1996 di Kabupaten Tuban, dimana dua penduduk tewas setelah mengkonsumsi ikan buntal.  Ikan buntal harganya lebih murah dibanding ikan lainnya, selain itu rasanya yang enak sehingga kalangan nelayan dan petani dengan pendapatan pas-pasan memilih ikan buntal untuk dikonsumsi.  Pada tahun 1990 di daerah tersebut ada 30 warga yang keracunan, lima diantaranya tewas.  Pada tahun 1992 kejadian tersebut terulang lagi dengan korban keracunan delapan orang, dua diantaranya tewas.  Kemudian tahun 1994, 12 orang keracunan satu tewas.  Tahun 1995, dua orang keracunan, satu orang diantaranya tewas.  Tahun 1996, 10 orang keracunan, tiga diantaranya tewas. 

         Cara menanggulangi jika muncul gejala keracunan setelah mengkonsumsi ikan buntal  adalah dengan mengusahakan korban muntah dan bantuan pernafasan, kemudian segera ke dokter atau Puskesmas terdekat.

 

3. CIGUATOXIN

 

Sekitar 300 spesies ikan dan “shellfish” yang hidup di perairan dangkal sekitar karang diketahui sebagai penyebab keracunan ciguatoxin.  Keracunan yang paling umum terjadi akibat mengkonsumsi ikan karang herbivora dan karnivora yang beracun.  Adanya racun pada ikan dikaitkan dengan rantai makanan, dimana  sebagai agen toksin adalah Alga ‘blue green” (Gambierdiscus toxicus) yang hidup berkelompok pada permukaan sejumlah rumput laut.  Alga tersebut kemudian dimakan oleh ikan herbivora, ikan herbivora dimakan oleh ikan karnivora.

Penyakit atau keracunan yang disebabkan ciguatoxin disebut CIGUATERA (bukan merupakan penyakit yang fatal).  Beberapa jenis ikan yang menjadi sumber ciguatera : Lutjanus monostigma, L. bohar (“red snapper”), Gymnothorax javanicus (‘moray eel”), Epinephalus fuscoguttatus, Variola louti (“grouper”) dan Sphyraena picuda (“barracuda”)

SCHEUER (dari Universitas Hawaii) yang memberi nama ciguatoxin, berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa yang menyusun ciguatoxin.  Diperkirakan penyusunnya adalah  suatu lipida yang tidak umum (unusual) dan senyawa Nitrogen dengan BM sekitar 1500.  Adapun rumus kimia dari cigutoxin  C35H65NO8. 

Tingkat toksisitas ciguatoxin pada bagian tubuh ikan dari yang tertinggi adalah hati (paling toksik), jeroan lainnya dan otot/daging.

Gejala akibat keracunan ciguatoxin  adalah gangguan pada cardiovaskuler, gangguan saraf, asthenia dan arthalgia disertai dengan gangguan saluran pencernaan.

LD50 pada tikus percobaan adalah 80 ug/kg berat badan tikus

Ciguatoxin  memiliki sifat farmakologis terutama berpengaruh terhadap saraf periferal dan sentral, meningkatkan permeabilitas membran sel otot dan saraf terhadap ion Na dan bersifat anticholinesterase.

 

4. PARALYTIC SHELLFISH POISON

 

Senyawa toksik utama dari paralytic shellfish poison adalah  saxitoxin yang bersifat neurotoxin.  Keracunan toksin ini  dikenal dengan istilah “Paralytic shellfish poisoning” (PSP).  Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata yang beracun.  Dinoflagelata sebagai agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya.  Kerang-kerangan menjadi beracun disaat kondisi lingkungan sedang melimpah dinoflagelata yang beracun yang disebut pasang merah atau ‘red tide’. 

Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus) yang mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin dan telah dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya.

Jenis plankton yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella dan  A. tamarensis. Pyrodinium bahamense, bertanggung jawab terhadap beberapa keracunan di Papua New Guinea, Brunei dan negara-negara Asian bagian barat lainnya.  Organisme tersebut menyebabkan  ‘red tide’ karena ‘blooming’, meracuni kerang-kerangan.  Komponen toksin yang utama adalah saxitoksin dan gonyautoxin.  Gymnodium catenatum, dilaporkan sebagai sumber saxitoxin di Mexico, Spanyol, Tasmania dan Jepang,  juga pada perairan pesisir Thailand dengan tingkat toksik yang rendah.

Jika dilihat dari sifat kimianya, saxitoxin bersifat larut dalam air dan methil alkohol, sedikit larut dalam ethyl alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pelarut organik.  Saxitoxin dapat dihidrolisis dengan asam, stabil terhadap panas dan tidak rusak dengan proses pemasakan (Wogan & Marleta, 1985).  Saxitoxin memiliki rumus kimia  C10H17N7O3.2HCl.

Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala keracunan seperti  rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki.  Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit.  Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernafasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernafasan.

Saxitoxin menyebabkan kematian pada tikus percobaan dalam waktu 15 menit.  Tanda dan gejala berkembang cepat dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsinya.

LD50 saxitoxin adalah  9 ug/kg berat badan tikus, sementara  dosis mematikan untuk manusia adalah sekitar 1 – 4 mg.  Sebagai control terhadap pemasaran jenis kerang-kerang didasarkan pada acuan yang dianjurkan oleh WHO yaitu bagian yang dapat dimakan dari kerang-kerangan mengandung 3 MU/g toksin PSP.  Di Jepang jenis kerang-kerang komersial toksisitasnya selalu dimonitor secara periodik untuk mencegah keracunan. 

Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan  untuk mengurangi racun saxitoxin :

1.      Jay (1978) : toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100°C.

2.      Stewart (1978) : ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-kerangan yang terkontaminasi racun tersebut, demikian pula perlakuan panas dapat menurunkan daya racun di dalam kerang-kerangan.

3.      Noguchi et al. (1980) : menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten yessoensin terjadi selama proses “retorting” dan pada toksin yang tersisa terjadi penurunan kadar nya selama proses penyimpan.

4.       Nagashima et al. (1991) : kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan.  Semakin tinggi  suhu pemanasan maka waktu yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin semakin cepat, dapat dilihat pada Gambar 8.  Pemanasan pada suhu 100°C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan toksin meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate, tetapi menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya.  Pola perubahan yang sama terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan 120°C.  Pada pemanasan suhu 110 dan 120°C terlihat pola perubahan toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100°C. 

 

6.  AMNESIC SHELLFISH POISON

 

Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid.  Domoic acid merupakan asam amino neurotoksik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah “Amnesic shellfish poisoning”.  Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (“mussel”).  Toksin ini diproduksi oleh alga laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan mengakibatkan  remis mengandung racun tersebut.

Domoic acid  mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-menerus pada sel-sel  saraf dan akhirnya terbentuk luka.  Korban mengalami sakit kepala, hilang keseimbangan, menurunnya system saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan.  Telah dilaporkan toksin tersebut juga dapat mengakibatkan kematian.  Kerusakan otak yang ditimbulkan oleh racun ini bersifat tidak dapat pulih (“irreversible”).

Struktur Domoic acid adalah C15H21O6N dengan berat  molekul 311 (daltons).

 

7.  NEUROTOXIC SHELLFISH POISON

 

Komponen utama dari neurotoxic shellfish poison adalah brevitoxin.  Keracunan yang disebabkan oleh toksin Brevitoxin disebut Neurotoxic  shellfish poisoning”.  Keracunan ini diakibatkan  mengkonsumsi kerang-kerangan dan tiram.  Toksin ini diproduksi oleh alga laut Ptychdiscus brevis dimana melalui rantai makanan mengakibatkan  kerang dan tiram mengandung racun tersebut.

Adapun struktur Brevitoxin  adalah  C50H70O14  dengan berat  molekul 894 (daltons).

Gejala keracunannya meliputi  rasa gatal pada muka yang menyebar ke bagian tubuh yang lain, rasa panas dingin yang bergantian, pembesaran pupil dan perasaan mabuk.

 

8.  DIARRHETIC SHELLFISH POISON

 

Komponen utama Diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid.  Komponen yang lain adalah pectenotoxin dan yessotoxin.  Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini disebut “Diarrhetic shellfish poisoning”.  Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah (mussel) dan remis (scallop).  Toksin ini diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana melalui rantai makanan mengakibatkan  remis mengandung racun tersebut.

Struktur Okadaic acid : C44H70O13  dengan berat  molekul 804 (daltons).  Senyawa-senyawa dari klas okadaic acid ini mempunyai efek sebagai promotor tumor

Gejala utama keracunan DSP adalah diare yang akut, dimana serangannya lebih cepat dibandingkan dengan keracunan makanan akibat bakteri.  Selain itu, muak, muntah, sakit perut,  kram  dan kedinginan.

Hingga saat ini informasi ataupun penelitian yang berkaitan dengan cara penanganan dan atau pengolahan yang mampu untuk mencegah bahaya keracunan toksin tersebut belum diperoleh.

 

 

 

9. PENUTUP

 

Pengetahuan tentang struktur, mekanisme toksisitas dan gejala yang ditimbulkan marin toksin sangat penting selain untuk tindakan pencegahan terhadap bahaya keracunan juga kemungkinan pengembangan  marin toksin sebagai bahan obat.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ariens, E.J., E. Mutschler dan A.M. Simonis.  1986.  Toksikologi Umum Pengantar.  Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

 

Fennema, O.R.  1985.  Food Chemistry.  Second Edition.  Marcel Dekker, Inc., New York.

 

Gestal-Otero, J.J.  2000.  Nonneurotoxic toxins.  Di dalam : Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and Detection.  L. M. Botana (Ed.).  Marcel Dekker, Inc., New York.

 

Hobbs, B.C. and D. Robert.  1989.  Food Poisoning and Food Hygiene.  Edward Arnold.  London.

 

Lagos, N.W.  and D. Andrinolo.  2000.  Paralytic poisoning (PSP) : toxicology and   Kinetics.  Di dalam : Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and Detection.  L. M. Botana (Ed.).  Marcel Dekker, Inc., New York.

 

Lu, F.C.  1994.  Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Risiko.  Edisi kedua.  UI Press, Jakarta.

 

Motohiro, Terushige.  1992.  Biotoxin in seafoods.  Di dalam : Quality Assurance in Fish Industry.  Elsevier Science Publisher B. V.

 

Nasir, M.A.  1996.  Ikan Buntek, Lezat tapi Beracun.  Kompas, 10 November 1996.

 

Noguchi, T., Ueda, Y., Onoue, Y., Kono, M., Koyama, K., Hashimoto, K., Takeuchi, T.,      Seno, Y., dan Mishima, S.  1980.  Reduction in toxicity of highly PSP-infested scallops during canning process and storage.  Bull. Japan . Soc. Sci. Fish. 46:1339.

 

Rachmaniar.  1992.  Toksin Marin, Suatu Pengantar.    Oseana, Volume XVI, No. 1 :1-11

 

Rosini, Gian Paolo.  2000.  Neoplastic activity of DSP toxins: the effects of okadaic acid and related compounds on cell proliferation: tumor promotion or induction of apoptosis?.  Di dalam : Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and Detection.  L. M. Botana (Ed.).  Marcel Dekker, Inc., New York.

 

Sikorski, Z. E., Bonnie Sun Pan, dan F. Shahidi.  1994.  Seafood Proteins.  Chapman & Hall, New York.

 

Van Dolah, Frances M.  2000.   Diversity of marine and freshwater alga toxins.   Di dalam : Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and Detection.  L. M. Botana (Ed.).  Marcel Dekker, Inc., New York.

 

Yasumoto, Takeshi.  2000.  Historic considerations Regarding seafood safety.  Di dalam : Seafoos and Freshwater Toxins : Pharmacology, Physiology and Detection.  L. M. Botana (Ed.).  Marcel Dekker, Inc., New York.

 

www.  Domoic Acid in Shellfish (Amnesic Shellfish Poison)-WA State Dept-of Health.htm