© 2003 Zulkifli Posted
13 November 2003
Makalah Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
Oleh :
C661030021/IKL
E-mail: zulmarscie69@yahoo.com
Salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia adalah padang lamun. Padang lamun di Indonesia secara umum merupakan tempat mencari makan, berpijah, pembesaran dan berlindung bagi berbagai jenis biota laut diantaranya adalah ikan, udang dan moluska. Dengan demikian, pengetahuan mengenai status ekosistem, struktur komunitas dan dinamika biota padang lamun dengan segala aspeknya merupakan dasar utama yang harus dikuasai dalam upaya mengeksploitasi dan mengelola sumberdaya hayati perairan, khususnya sumberdaya ekosistem padang lamun.
Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimen yang terlarut dalam air dan menstabilkan dasar sedimen (Kiswara dan Winardi, 1999). Peranannya di perairan laut dangkal adalah kemampuan berproduksi primer yang tinggi yang secara langsung berhubungan erat dengan tingkat kelimpahan produktivitas perikanannya. Keterkaitan perikanan dengan padang lamun sangat sedikit diinformasikan, sehingga perikanan di padang lamun Indonesia hampir tidak pernah diketahui. Keterkaitan antara padang lamun dan perikanan udang lepas pantai sudah dikenal luas di perairan tropika Australia (Coles et al., 1993).
Selain itu, padang lamun diketahui mendukung berbagai jaringan rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor. Nilai ekonomis biota yang berasosiasi dengan lamun diketahui sangat tinggi. Ekosistem padang lamun memiliki nilai pelestarian fungsi ekosistem serta manfaat lainnya di masa mendatang sesuai dengan perkembangan teknologi, yaitu produk obat-obatan dan budidaya laut. Beberapa negara telah memanfaatkan lamun untuk pupuk, bahan kasur, makanan, stabilisator pantai, penyaring limbah, bahan untuk pabrik kertas, bahan kimia, dan sebagainya.
Ekosistem padang lamun sangat rentan dan peka terhadap perubahan lingkungan hidup seperti kegiatan pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pelabuhan, real estate, sarana wisata, pembuangan sampah organik cair, sampah padat, pencemaran oleh limbah industri terutama logam berat, pencemaran limbah pertanian dan pencemaran minyak serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potasium sianida dan sabit/gareng. Kondisi ini dapat menurunkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) ekosistem padang lamun dalam fungsinya sebagai tempat produksi ikan.
Berbagai praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan beracun, penangkapan yang berlebihan, dan kegiatan pembangunan baik di darat maupun di laut yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem ini serta terjadinya konflik penggunaan di dalam pemanfaatannya memperlihatkan masih rendahnya kesadaran masyarakat mengenai manfaat ekosistem ini. Rendahnya kesadaran masyarakat akan berakibat rendahnya peran serta dari masyarakat dalam upaya pengelolaannya. Hal ini tercermin tiadanya swakarsa masyarakat setempat, misalnya untuk menentukan daerah reservat perikanan yang dilindungi agar menjadi sumber bibit bagi lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan pengelolaan dan pengembangan ekosistem padang lamun yang mampu meningkatkan pemanfaatan secara optimal dan memperhatikan aspek kelestarian, berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat sehingga masyarakat terlibat dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan ekosistem padang lamun di Indonesia.
Lamun
(seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae)yang tumbuh dan
berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal, yang dapat membentuk
kelompok-kelompok kecil dari beberapa tegakan tunas sampai berupa hamparan
padang lamun yang sangat luas. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal
yang disusun oleh satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang disusun mulai
dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama pada suatu substrat (Kirkman,
1985; Kiswara, 1999a,b; Kiswara dan Winardi, 1994, 1999; Zulkifli, 2000). Di
Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang tergolong dalam tujuh marga, yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila decipiens, H.
Ovalis, H. Minor, H. Spinulosa dari suku Hydrocharitaceae,
serta Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halodule uninervis,
H. Pinifolia, Syringodium isoetifolium dan Thalassodendron
ciliatum dari suku Potamogetonaceae. Masih ada dua jenis lamun lagi yang
herbariumnya ada di Herbarium Bogoriense-Bogor, yaitu Halophila beccarii
dan Ruppia maritima yang diduga berasal dari perairan Indonesia
(Kiswara, 1994; Kiswara 1999b; Kiswara dan Winardi, 1999).
Padang lamun merupakan salah
satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan
berbagai biota laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling
produktif. Ekosistem lamun di daerah tropis dikenal tinggi produktivitasnya
terutama dalam pore water dan sedimen. Indonesia yang memiliki panjang
garis pantai 81.000 km, mempunyai padang lamun yang luas bahkan terluas di
daerah tropika. Luas padang lamun yang terdapat di perairan Indonesia mencapai
sekitar 30.000 km2 (Kiswara dan Winardi, 1994).
Adanya interaksi yang timbal balik dan
saling mendukung, maka secara ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar
bagi ekosistem pantai tropik. Adapun peran lamun tersebut (Nienhuis et
al., 1989; Hutomo dan Azkab, 1987; Zulkifli, 2000) adalah sebagai berikut:
(1) produsen primer, dimana lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan
sebagian besar memasuki rantai makanan di laut, baik melalui pemangsaan
langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi serasah; (2) sebagai habitat
biota, lamun memberi perlindungan dan tempat penempelan hewan dan
tumbuh-tumbuhan; (3) sebagai
penangkap sedimen, lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan
oleh arus dan ombak; (4) sebagai pendaur zat hara; dan (5) sebagai makanan dan
kebutuhan lain, seperti bahan baku pembuatan kertas. Sedangkan dalam Fortes
(1990), peran lamun bagi manusia baik langsung maupun tidak langsung, dapat
dibagi menjadi dua yaitu: (1) peran tradisional, seperti sebagai bahan tenunan
keranjang, kompos untuk pupuk; (2) peran
kontemporer, seperti penyaring air buangan; pembuatan kertas.
Meskipun berbagai manfaat dapat kita
ambil dari lamun, namun padang lamun hidup di lingkungan yang rawan (stressed
ecosystem) yang dikarenakan antara lain: (1) pengaruh pasang surut yang
dapat menyebabkan tereksposenya lamun; dan (2) arus run off dari
daratan dan hempasan gelombang laut dapat menyebabkan pengendapan sedimen yang
berlebihan dan erosi/abrasi. Namun ancaman terbesar berasal dari aktivitas
manusia adalah: (1) limbah industri dan lahan pertanian yang dibawa oleh aliran
sungai; (2) jalur
pelayaran, dimana propeller kapal motor dapat merusak daun-daun lamun; (3) penambangan pasir, baik di sungai maupun di laut; dan (4)
pemakaian alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Ancaman akibat aktivitas manusia, sering tidak hanya
mengganggu fungsi ekologis padang lamun, tetapi juga menghilangkan ekosistem
padang lamun, sehingga mengakibatkan hilangnya keanekaragaman plasma nutfah.
Walaupun padang lamun merupakan suatu ekosistem yang bermanfaat, namun di Indonesia manfaat langsung untuk kebutuhan manusia belum banyak dilakukan, bahkan lebih banyak dirusak karena kepentingan kegiatan lainnya. Informasi dan pengetahuan tentang padang lamun dari perairan Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan hasil yang sudah dicapai negara tetangga seperti Filipina dan Australia (Kiswara dan Winardi, 1999).
Pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada sumberdaya alam yang tentunya akan berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup.
Terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya padang lamun selain mencerminkan pemikiran yang bersifat sektoral, juga kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai manfaat dan fungsi padang lamun dari para pengambil keputusan. Masyarakat setempat memegang peran penting di dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan kawasan padang lamun. Mereka hidup di atau dekat dengan kawasan padang lamun dan mata pencahariannya sebagian besar bergantung pada sumberdaya di sekitarnya. Pemanfaatan sumberdaya padang lamun dengan cara yang dapat membahayakan ekosistem padang lamun akan merugikan masyarakat setempat. Penegakan hukum secara tegas harus diterapkan terhadap perusak padang lamun.
Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia telah mengalami kerusakan sekitar 30% - 40%. Di pesisir Pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk dan diperkirakan sekitar 60% padang lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir Pulau Bali dan Pulau Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potasium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai penutupan dan kerapatan spesies lamun (Fortes, 1994).
Pemanfaatan padang lamun yang kurang bijaksana dapat berakibat menurunnya kualitas padang lamun. Kegiatan yang bersifat merusak dapat merubah komunitas lamun dan menghambat perkembangan padang lamun secara keseluruhan. Tekanan terhadap padang lamun akibat aktivitas penduduk sudah mulai terlihat seperti eksploitasi sumberdaya di padang lamun yang berlebihan, beberapa spesies lamun mengalami kerusakan akibat reklamasi pantai baik untuk kegiatan industri maupun pembangunan pelabuhan (Azkab, 1994; Kiswara, 1994; Kiswara dan Winardi, 1999). Kegiatan-kegiatan ini telah mengurangi luasan padang lamun seperti yang terjadi di Teluk Banten, dimana kawasan padang lamun telah berkurang seluas 25 hektar (Kiswara, 1999b). Luas areal yang akan hilang cenderung terus meningkat karena adanya perubahan RUTR Teluk Banten, yang semula diperuntukkan daerah pertanian dan perikanan, sebagian dijadikan untuk kawasan industri. Kawasan pesisir Teluk Banten yang mengalami reklamasi padang lamun sekitar 30% untuk pemukiman mewah, perhotelan dan wisata bahari (Anonimus, 2003). Hilangnya/menurunnya luas padang lamun akan memperkecil daerah untuk bertelur, mencari makan dan asuhan ikan dan udang, sehingga stok alami bibit ikan dan udang di perairan ini akan menurun yang pada gilirannya akan mengurangi produksi perikanan setempat, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan nelayan pantai sebagai akibat berkurangnya hasil tangkapan nelayan.
Prioritas utama yang harus diperhatikan oleh para ilmuan adalah pemahaman secara mendalam tentang penyebab menurunnya produktivitas ekosistem padang lamun secara terus menerus dengan melakukan eksperimen dan mengidentifikasi pentingnya peranan lamun terhadap keberadaan berbagai jenis organisme lain terutama ikan-ikan ekonomis penting. Oleh karena itu, pengelolaan yang baik adalah pengelolaan yang dapat mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan dari berbagai kepentingan termasuk kebutuhan ekologis dari organisme penghuni ekosistem padang lamun.
Dalam pengelolaan kawasan pesisir di Indonesia, tantangan yang sangat mendasar adalah bagaimana mengelola sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan bagi manfaat manusia secara optimal dan berkelanjutan. Untuk menjawab tantangan ini dengan baik, maka kita harus mampu merencanakan dan menerapkan tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan dari suatu kawasan pesisir dengan memperhatikan daya dukung kawasan pesisir tersebut. Dengan kata lain, sumberdaya alam dan jasa lingkungan dari kawasan pesisir harus dikembangkan sedemikian sehingga menguntungkan secara sosial-ekonomi dan ramah lingkungan. Pengembangan tersebut harus memperhatikan berbagai konflik kepentingan yang mungkin terjadi antar beberapa pihak dengan masyarakat tradisional.
Untuk mengatasi
masalah-masalah perusakan dan untuk menjaga serta melindungi sumberdaya alam
dan ekosistem padang lamun secara berkelanjutan, diperlukan suatu pengelolaan
yang tepat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah: (1) penyuluhan akan pentingnya peranan ekosistem padang lamun
di lingkungan pesisir, (2) menyadarkan masyarakat agar mengambil peran yang
lebih besar dalam menjaga dan mengelola sumberdaya padang lamun, (3) pengaturan
penggunaan alat tangkap yang sudah terbukti merusak lingkungan ekosistem padang
lamun seperti potasium sianida, sabit dan gareng diganti dengan alat tangkap
yang tidak merusak lingkungan (ramah lingkungan) seperti pancing, dan (4)
perlunya pembuatan tempat penampungan limbah dan sampah organik.
Oleh karena itu, pengelolaan
ekosistem padang lamun di kawasan pesisir merupakan aspek penting yang perlu
diperhatikan agar dapat meminimalkan dampak negatif terhadap kerusakan
sumberdaya ekosistem padang lamun sehingga kemampuan daya dukung lingkungan (environmental
carrying capacity) ekosistem padang lamun di kawasan pesisir tetap lestari.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas jelas diperlukan usaha peningkatan
kesadaran dan peran serta masyarakat pengguna dan pemanfaat ekosistem padang
lamun. Hal serupa tidak kalah pentingnya dilakukan terhadap para pengambil
keputusan.
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimanan pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah co-management (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan.
Pengelolaan berbasis masyarakat sudah merupakan suatu pendekatan yang banyak dipakai di dalam program-program pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu di berbagai negara di dunia ini, khususnya di negara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di negara-negara Filipina dan Pasifik Selatan (Tulungen, 2001). Di negara-negara dimana sistem pemerintahannya desentralisasi dan otonomi daerah, pendekatan berbasis masyarakat ini dapat merupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka panjang dapat terbukti lebih efisien dan efektif dalam segala hal.
Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Pomeroy dan Williams, 1994). Dalam konsep Cooperative Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut.
Menurut Pomeroy dan Williams (1994) dan Tulungen (2001), kunci keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat mencakup: batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; kejelasan anggota; keterikatan dalam kelompok; manfaat lebih besar dari biaya; pengelolaan sederhana; legalisasi dari pengelolaan; kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat; desentralisasi dan pendelegasian wewenang; koordinasi antar pemerintah dan masyarakat; pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat; dan fasilisator (sumberdaya manusia, paham konsep, mampu memotivasi masyarakat, tinggal bersama, diterima oleh semua pihak). Sementara Dahuri (2003) mengatakan bahwa ada dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat, yaitu: (1) konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya), dan (2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) ampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu: (1) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran). Persoalan-persoalan tersebut dapat menurunkan sumberdaya hayati laut, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat pendapatan masyarakat pesisir serta meningkatkan masalah-masalah sosial di wilayah pesisir. Oleh karena itu, pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan dapat memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah atau berupaya untuk mencari jawaban terhadap masalah utama lewat partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat wilayah pesisir (Tulungen et al., 2002; Dahuri, 2003). Hal ini tentunya sangat bergantung pada program aksi pemerintah, kerja keras para peneliti, baik di bidang sosial, ekonomi maupun sumberdaya, serta kesadaran dan keinginan masyarakat akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik.
Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan memiliki dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Dimensi ekologi lebih menekankan pada pentingnya upaya-upaya untuk mencegah terganggunya fungsi dasar ekosistem padang lamun sehingga tidak akan mengurangi fungsi layanan ekologi. Dimensi ekonomi menekankan bahwa pertumbuhan dan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus diupayakan secara terus menerus. Dimensi Sosial mencakup isu-isu yang berkaitan dengan distribusi kekayaan/pemerataan secara adil serta penghapusan kemiskinan. Oleh karena itu tuntutan ke arah konservasi ekosistem padang lamun semakin besar karena meningkatnya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya dan keanekaragaman hayatinya.
Pengembangan persepsi sosial masyarakat yang positif perlu terus dikembangkan yaitu untuk melahirkan perilaku masyarakat yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya padang lamun yang berkelanjutan. Dalam hal ini, persepsi sosial masyarakat yang perlu dikembangkan adalah: (1) saling menghargai dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat, (2) berorientasi pada peningkatan kualitas hidup, (3) menumbuhkan jiwa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, (4) merubah watak dan sikap individu maupun kelompok yang kurang baik, (5) menciptakan kebersamaan, (6) melestarikan nilai yang vital pada ekosistem padang lamun, (7) mengurangi kemunduran secara ekologis maupun ekonomi dari ekosistem padang lamun, dan (8) menjaga tetap dalam kapasitas kemampuan daya dukung yang maksimal.
Pengelolaan ekosistem padang lamun secara lestari dan berkelanjutan sangat penting artinya. Ekosistem padang lamun yang sangat produktif dapat mendukung kihidupan nelayan setempat. Jika habitat padang lamun dapat berfungsi secara optimal, maka produksi ikan padang lamun akan dapat dipanen secara berkesinambungan/ berkelanjutan dan memberi keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat di seluruh Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang sejalan dengan pembangunan nasional.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberlanjutan dari pemanfaatan
sumberdaya padang lamun adalah pemerataan (equeity), sociopolytical
right, pendidikan, kesehatan dan teknologi.
Dalam kondisi seperti konsep sustainability mengandung makna
keterkaitan dengan konsep daya dukung (carrying capacity) yang dapat
dijadikan ukuran tercapainya sustainability dari suatu aktivitas pembangunan.
Konsep daya dukung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) daya dukung
biofisik, merupakan ukuran maksimum populasi yang dapat survival di
bawah kendali suatu sumberdaya dan teknologi, dan (2) daya dukung sosial,
merupakan jumlah penduduk yang dapat hidup layak di bawah kendali suatu sistem
sosial.
Tujuan
yang ingin dicapai dari strategi pengelolaan ekosistem padang lamun adalah: (1)
melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi ekosistem padang lamun
sehingga keberadaannya sebagai sumberdaya untuk pembangunan tetap
terjamin, (2) mempertahankan
pemanfaatan ekosistem padang lamun yang menjamin pelestariannya, dan (3)
mengembangkan data dan informasi keanekaragaman hayati ekosistem padang lamun
sebagai landasan utama bagi pengelolaan ekosistem padang lamun secara lestari.
Sasaran
yang ingin dicapai dari strategi pengelolaan ekosistem padang lamun adalah: (1)
tercapainya tingkat kesadaran dan peran serta masyarakat mengenai pentingnya
kelestarian ekosistem padang lamun, (2) terjaminnya kelestarian potensi
sumberdaya padang lamun beserta fungsinya baik secara ekonomis, sosial maupun
ekologis, (3) terjaminnya perlindungan ekosistem padang lamun terhadap segala
ancaman yang mengganggu kelestariannya, (4) terungkap, tertata dan tersebarnya
data dan informasi tentang ekosistem padang lamun, (5) tercapainya peningkatan
partisipasi masyarakat agar konservasi padang lamun lebih efektif, (6)
tercapainya peningkatan pengertian dan koordinasi antara lembaga yang terkait
dengan pengelolaan ekosistem padang lamun, dan (7) terselenggaranya pemanfaatan
padang lamun secara lestari.
Pada
prinsipnya, pengelolaan ekosistem padang lamun sebagai sumberdaya alam yang
penting perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan
kemampuannya dalam melestarikan lingkungan hidup. Agar pengelolaan ekosistem
padang lamun dapat berkembang sesuai dengan tujuan dan sasarannya, maka
diperlukan pengembangan terhadap faktor-faktor pendukungnya, antara lain adalah
ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan, dan keterpaduan pengelolaan.
Pelestarian,
pemanfaatan dan pengembangan potensi padang lamun harus berpijak pada dukungan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
berdasarkan atas perkembangan kebudayaan manusia masa lalu, kini dan masa
mendatang. Tanpa mendasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, usaha
pengembangan pelestarian dan pemanfaatan padang lamun cenderung ditentukan oleh
pertimbangan sesaat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, nilai tambah padang lamun akan dapat ditingkatkan,
dan pelestarian yang efektif dan efisien dapat dikembangkan.
Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memerlukan justifikasi yang bersifat komprehensif dari subsistem-subsistem yang terlibat di dalamnya, misalnya implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam perspektif mikro dan makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial (Clark, 1995).
Pembangunan
di wilayah pesisir dan laut yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antara unsur ekologi, ekonomi
dan sosial. Keterpaduan ini secara ekologi dapat memperlihatkan keterkaitan
fungsional antar ekosistem, daya dukung (carrying capacity), biodiversity
dan hal-hal yang terkait dengan isu-isu global. Secara ekonomi dapat
mencapai pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi, sedangkan secara sosial dapat
menumbuhkan partisipasi masyarakat, mobilitas sosial yang terkontrol, tumbuhnya
identitas budaya dan dapat dilakukan pengembangan kelembagaan baik yang formal
maupun non formal.
Dalam
arahan pengelolaan ekosistem padang lamun di kawasan pesisir diupayakan untuk
memenuhi kaidah-kaidah ekologis baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam
maupun yang berkaitan dengan masyarakat secara ekonomi dan sosial. Kebijaksanaan
pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
prinsip-prinsip yang digunakan dalam konsep kebijaksanaan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan. Oleh karena itu, kebijaksanaan ini juga
didasarkan kepada prinsip-prinsip yang berhubungan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan dalam kerangka pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara
terpadu.
Mengingat
pentingnya fungsi dan keberadaan ekosistem padang lamun di perairan pantai,
terutama dalam aspek biofisik dan ekonomi, maka ekosistem ini harus dikelola
dengan baik demi keberlangsungan proses alami yang menggantungkan pada
keberadaan padang lamun. Berbagai permasalahan yang ada di ekosistem ini
tentunya menjadi salah satu pertimbangan dalam pembuatan dan penyusunan
kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun.
n PENDEKATAN KEBIJAKAN
Perumusan kebijaksanaan pengelolaan
ekosistem padang lamun memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara
optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan
ini mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara
terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penilaian
menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta merencanakan
kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu
mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan
sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders
(pemakai).
1. Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara
ekologis, ekosistem padang lamun serta sumberdaya laut lainnya memiliki
keterkaitan dengan daratan dan lautan. Pengelolaan ekosistem padang lamun tidak
terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah tersebut.
Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di daratan, seperti
pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, dan pemukiman dapat mengganggu
keseimbangan dan keberadaan sumberdaya dan ekosistem padang lamun. Demikian
pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pembuangan
limbah, pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir, perhubungan laut dan
sebagainya, juga dapat mengancam kelestarian ekosistem padang lamun.
Penanggulangan
pencemaran yang diakibatkan oleh industri, limbah rumah tangga san sedimentasi
tidak dapat hanya dilakukan di kawasan padang lamun saja, melainkan juga
dilakukan mulai dari sumbernya. Oleh karena itu, pengelolaan ekosistem padang
lamun harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan pesisir serta Daerah
Aliran Sungai agar menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun yang baik akan hancur seketika jika tidak
diimbangi dengan perencanaan Daerah Aliran Sungai yang baik pula. Keterkaitan
antar ekosistem yang ada harus selalu diperhatikan, mengingat ekosistem terumbu
karang, mangrove dan padang lamun merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling
terkait dengan beragamnya peran dan fungsi yang dimiliki oleh masing-masing
ekosistem tersebut.
2. Keterpaduan Sektoral
Pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya padang lamun oleh berbagai instansi dan
sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya
tersebut, sering menyebabkan terjadinya tumpang tindih pemanfaatan
sumberdayapadang lamun antar sektor. Agar pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya padang lamun dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka
semua kepentingan sektoral dalam perencanaan pengelolaan harus dapat diintegrasikan.
Kegiatan suatu sektor tidak boleh mengganggu, apalagi sampai mematikan sektor
lain. Keterpaduan sektor ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar
sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu,
penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan serta pengelolaan sumberdaya
padang lamun sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu
kegiatan dengan kegiatan lainnya.
3. Keterpaduan Disiplin Ilmu
Padang lamun
memiliki sifat dan karakteristik yang khas. Dengan sistem dinamika ekosistem
padang lamun yang khas, maka sangat diperlukan berbagai disiplin ilmu, seperti
ilmu fisika, kimia, biologi dan sebagainya. Pengelolaan ekosistem padang lamun
menuntut keahlian yang lebih umum dan mendalam di atas keahlian yang perlu
dimiliki para perencana dan pengelola, seperti ilmu-ilmu ekologi, ekonomi,
oseanografi, analisis kebijakan dan hukum.
4. Keterpaduan Stakeholder
Semua
keterpaduan di atas akan berhasil dilaksanakan apabila ditunjang oleh
keterpaduan dari pelaku pemanfaatan dan pengelola sumberdaya padang lamun.
Pelaku pemanfaatan dan pengelola sumberdaya padang lamun antara lain terdiri
atas pemerintah, masyarakat pesisir (lokal), swasta/investor dan juga Lembaga
Swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap
pemanfaatan sumberdaya padang lamun. Oleh karena itu, penyusunan perencanaan
kebijakan pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu harus mampu
mengakomodir semua pihak dengan menggunakan pendekatan dua arah, yaitu
pendekatan top down dan bottom
up.
n KEBIJAKAN PENGELOLAAN
Pembangunan sumberdaya pesisir dan
lautan yang optimal dan berkelanjutan dapat dicapai dengan menerapkan strategi
pengelolaan wilayah pesisir secara tepat dan terpadu. Ekosistem lamun merupakan
bagian integral dari sumberdaya pesisir dan lautan, maka dalam pembuatan
kebijakannya juga tidak terlepas dari arahan kebijakan pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan secara terpadu. Rumusan strategi pengelolaan dan pengembangan
ekosistem padang lamun ini, aspek utama dari arahan kebijakan pembangunan
wilayah pesisir lebih ditekankan pada 3 aspek, yaitu : aspek biofisik, aspek
sosial, ekonomi dan budaya serta aspek hukum dan kelembagaan.
1. Aspek Biofisik
Aspek biofisik merupakan komponen
utama dari sumberdaya alam yang perlu dikelola dengan baik. Oleh karena itu,
strategi pengelolaan lingkungan ekosistem padang lamun tidak terlepas dari
proses-proses ekologis dan biologis yang berlangsung di dalamnya. Strategi yang
diambil diharapkan dapat menjaga keutuhan segenap komponen biofisik, baik biota
maupun habitat dan lingkungannya. Arahan strategi biofisik ditekankan pada
keinginan untuk menjaga ekosistem padang lamun agar tetap memberikan manfaat
ekologis kepada seluruh biota yang berasosiasi dengan keberadaan ekosistem ini.
Oleh karena itu, arahan strategi seoptimal mungkin lebih ditekankan pada aspek
konservasi, namun demikian tetap memperhatikan pendekatan pemanfaatan lestari.
Adapun arahan kebijakan pengelolaan
lingkungan kawasan ekosistem lamun pada aspek biofisik ini adalah sebagai
berikut : (1) menjaga ekosistem lamun dan biota serta mempertahankan
rantai makanan dan aliran energi yang terkandung dalam ekosistem padang lamun;
(2) mencegah kerusakan fisik lamun baik dari kegiatan
pengerukan, pengurugan, pembabatan maupun pengrusakan dasar oleh perahu atau
jangkar; (3) menjaga kualitas air dari pencemaran seperti sedimentasi,
limbah cair, limbah padat, logam berat, limbah organik/pertanian, minyak dan
lemak; (4) mengatur pemanfaatan sumberdaya hayati yang terkandung
dalam ekosistem padang lamun dan sekitamya yang mencakup jumlah individu,
ukuran dan frekuensi penangkapan; dan (5) mengupayakan pengolahan limbah dan mengurangi masuknya
limbah ke laut.
2. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya
Aspek sosial, ekonomi dan budaya merupakan komponen penunjang yang sangat penting yang dapat memberikan nilai penting dari komponen biofisik. Aktivitas sosial, ekonomi dan budaya dapat memberikan pengaruh negatif atau pengaruh positif terhadap sumberdaya padang lamun. Oleh karena itu, strategi pengelolaan ekosistem padang lamun harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Arahan strategi sosial, ekonomi dan budaya ditekankan pada keinginan untuk memberikan penyadaran tentang arti penting nilai ekologis dan ekonomis padang lamun, sehingga keberadaannya tetap dipertahankan dan tetap memberikan manfaat. Arahan kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan ekosistem lamun pada aspek sosial, ekonomi dan budaya ini adalah sebagai berikut: (1) memberi pengertian kepada masyarakat dan pengusaha setempat tentang pentingnya fungsi ekosistem lamun sebagai habitat sumberdaya hayati laut; (2) mencari dan meningkatkan nilai ekonomi dari habitat ekosistem padang lamun beserta biota penghuni lainnya; (3) memberikan penyuluhan dan pelatihan pemanfaatan sumberdaya hayati padang lamun dengan prinsip-prinsip kelestarian; dan (4) memberikan bimbingan, modal dan peluang utnuk mengembangkan usaha nelayan, melalui program kemitraan antara pemerintah, instansi terkait, swasta, masyarakat dan stakeholder lainnya.
3. Aspek Hukum dan Kelembagaan
Arahan strategi hukum dan kelembagaan ditekankan
pada keinginan untuk menjaga ekosistem padang lamun agar tetap memberikan
manfaat ekologis dan ekonomis. Oleh karena itu, arahan kebijakannya lebih
ditekankan pada upaya penyadaran melalui jalur hukum dan kelembagaan. Adapun
arahan kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan ekosistem padang lamun pada
aspek hukum dan kelembagaan ini adalah sebagai berikut : (1) menata ruang
aktivitas yang bertujuan untuk memperkecil dampak kerusakan habitat padang
lamun; (2) membuat ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur pengolahan dan pembuangan limbah ke laut; (3) membuat peraturan yang mengawasi
kegiatan di ekosistem padang lamun; dan
(4) menentukan nilai kompensasi pada perusahaan/pabrik yang memberikan
kontribusi pencemaran dan kerusakan pada ekosistem padang lamun.
n KONSERVASI EKOSISTEM PADANG LAMUN
Diantara ekosistem dan sumberdaya
pesisir dan laut yang berada dalam kondisi kritis adalah padang lamun.
Ekosistem dan sumberdaya tersebut berberan penting baik secara ekologi maupun
secara ekonomi seperti yang telah disebutkan di atas. Agar ekosistem dan
sumberdaya padang lamun ini dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan,
maka diperlukan upaya-upaya perlindungan dari berbagai ancaman degradasi yang
dapat ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Salah satu upaya perlindungan yang
dapat dilakukan adalah dengan menetapkan suatu kawasan ekosistem padang lamun
sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi
habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya
padang lamun, melindungi keanekaragaman hayati padang lamun, melindungi
struktur dan fungsi serta proses-proses ekologi di ekosistem padang lamun,
meningkatkan hasil perikanan, memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang
ekosistem padang lamun, serta memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat
pesisir.
Biota perairan yang berasosiasi dengan
padang lamun cukup beragam, dimana mereka memiliki nilai ekologis, ekonomis dan
sosial budaya. Beberapa satwa laut yang hidupnya bergantug kepada ekosistem
padang lamun adalah duyung dan penyu. Meskipun satwa-satwa laut ini telah
dilindungi undang-undang, namun langkah-langkah untuk mengkonservasi ekosistem
padang lamun dan mengawetkan jenis/spesies tumbuhan lamun belum diprogramkan
pemerintah, baik yang dilandaskan pada Undang-undang Konservasi Hayati (1999)
maupun Undang-undang Perikanan (1985). Hamparan padang lamun yang khas
seharusnya ditunjuk dan dijadikan sebagai kawasan konservasi alam atau suaka
perikanan dan spesies tumbuhan lamun yang langka dan terancam punah ditetapkan
sebagai jenis tumbuhan yang dilindungi undang-undang.
Setelah
diumumkannya Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy)
oleh IUCN dan WWF pada tanggal 5 Maret 1990, upaya konservasi alam di Indonesia
telah dijadikan pendekatan dalam menyusun GBHN sesuai dan serah dengan Strategi
Konservasi Dunia. Strategi Nasional Konservasi Sumberdaya Alam di Indonesia,
selain menjabarkan Strategi Konservasi Dunia pada tingkat regional dan nasional
yang disesuaikan dengan lingkungan alam Indonesia, juga dapat dijadikan panduan
untuk pengelolaan keanekaragaman hayati padang lamun dan jenis-jenis flora
penyusunnya.
Adapun
tujuan dari Kebijakan dan Strategi Nasional Konservasi dan Pengelolaan
Ekosistem Padang Lamun adalah:
(1)
Perlindungan
sistem penyangga kehidupan yaitu untuk menjamin terpeliharanya proses ekologi
yang berhubungan dengan kehidupan ekosistem padang lamun beserta biota lautnya
yang dapat menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan
dan kesejahteraan manusia.
(2)
Pengawetan
jenis-jenis lamun guna menjamin kelestarian sumberdaya plasma nutfah biota laut
beserta ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia. Bukan saja jenis-jenis
yang masih banyak melainkan jenis yang langka dan yang terancam punah perlu
dicegah kepunahannya.
(3)
Pemanfaatan
secara lestari dan pelestarian yang bermanfaat yaitu dengan mengendalikan cara-cara
pemanfaatan sumberdaya padang lamun baik yang melimpah maupun yang telah langka
dan terancam punah.
Sasaran yang ingin dicapai dari tujuan
Strategi Nasioanl Konservasi dan Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun adalah:
(1) Seluruh ekosistem padang lamun di perairan Indonesia pada
prinsipnya dikonservasi, artinya dilindungi keberadaannya oleh pemerintah.
(2) Sekurang-kurangnya 30% dari luasan ekosistem padang lamun
ditetapkan sebagai kawasan lindung dan sebagian yang memiliki keunikan dan
kekhasan ditunjuk sebagai kawasan konservasi laut, dikelola sebagai kawasan
suaka alam atau kawasan pelestarian alam dengan pemanfaatan sebagai obyek
penelitian dan pengembangan wisata bahari serta pengawetan plasma nutfah
spesies tumbuhan lamun.
(3) Wilayah lainnya ditetapkan sebagai suaka perikanan dan
“hutan lindung”, sedangkan untuk pemanfaatan lain harus dilandasi studi Amdal.
(4) Pengidentifikasian jenis-jenis tumbuhan lamun; untuk
jenis yang langka dan terancam punah ditetapkan sebagai tumbuhan yang
dilindungi undang-undang (pengawetan jenis). Jenis lainnya diteliti sebagai
dasar upaya pemanfaatannya, baik pemanfaatan secara langsung maupun pemanfaatan
sebagai tempat/ lingkungan untuk pengembangan budidaya sumberdaya perikanan (save
it, study it, use it).
(5) Pembimbingan masyarakat terhadap cara-cara pengendalian
pemanfaatan lamun sehingga terjamin kelestariannya.
Ekosistem
padang lamun merupakan salah satu dari tiga komponen utama ekosistem lainnya
(terumbu karang dan mangrove) yang memiliki keterkaitan ekologis satu sama
lainnya. Ekosistem padang lamun baik secara ekologis maupun ekonomis sangat
bermanfaat terhadap terhadap kelangsungan proses alami yang terjadi di perairan
pesisir. Oleh karena itu, keberadaan ekosistem padang lamun harus tetap dijaga
kelestariannya. Agar ekosistem padang lamun dapat dimanfaatkan secara optimal
dan lestari, maka diperlukan adanya suatu Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Padang Lamun yang merupakan suatu pedoman dalam pengelolaan ekosistem
padang lamun di Indonesia.
Anonimus. 2003. Lamun, Pelindung Biota Laut yang
Terlupakan. Online. Internet.. http://www.lautkita.org/padanglamun_ind.html.
Dikunjungi tanggal 14 Juli 2003.
Azkab, M. H. 1994. Komunitas Padang Lamun pada Tiga Pulau dari Kepulauan Seribu dengan Kegiatan Manusia yang Berbeda. Makalah Penunjang pada Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 7-9 Februari 1994. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta. hal. 93-98.
Carter, J. A. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta. Dalhousie University, Environmental Studies Centres Development in Indoneasia Project.
Clark, J.
R. 1995. Coastal Zone Management Hand Book. Florida USA. pp. 368-383.
Coles,
R. G., W. J. Lee Long, R. A. Watson and K. J. Derbyshire. 1993. Distribution of
Seagrasses, and Their Fish and Penaeid Prawn Communities, in Chairns
Harbour, a Tropical Estuary,
Northern Queensland, Australia. Aust. J. Mar. Freshwater Res., 44: 193-210.
Dahuri,
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut:
Aset pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 halaman.
Fortes,
M. D. 1990. Seagrass: A Resources Unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education
Series 2, ICLARM, Manila, Phillipines.
Fortes,
D. M. 1994. Seagrass Resources of Asean.
Living Coastal Resources of Southeast Asia:
Status and Management. Report of the Consultatif Forum Third Asean-Australia
Symposium on Living Coastal Resources. Chulalongkorn University Bangkok,
Thailand.
Hutomo,
M. dan M. H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana, XII(1): 13-23.
Kirkman,
H. 1985. Community Structure in Seagrasses in Southern Western Australia. Aquatic Botany, 21: 363-375.
Kiswara, W. 1994. A Review: Seagrass Ecosystems Studies in Indonesia Waters. Paper Presented at the ASEAN-Australia Symposium on Living Coastal Resources, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand, 16-20 Mey 1994.
Kiswara, W. 1999a. Struktur
Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Makalah Disampaikan pada Kongres
Biologi XV di Uninersitas Indonesia, Jakarta. 8 halaman.
Kiswara, W. 1999b. Perkembangan
Penelitian Ekosistem Padang Lamun di Indonesia. Prosiding Seminar tentang
Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam Rangka Penghargaan kepada Prof. Dr.
Aprilani Soegiarto, M.Sc., APU. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta. Hal
181-197.
Kiswara,
W., dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk
Gerupuk Lombok Selatan. Dalam: W.
Kiswara, M..K. Moosa dan M. Hutomo (Eds.), Struktur
Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi
Lingkungannya. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. hal. 15-33.
Kiswara, W. dan Winardi. 1999. Sebaran Lamun di Teluk
Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok. Dalam: S. Soemodihardjo, O. H. Arinardi
dan I. Aswandy (Eds.), Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di
Pulau Lombok, Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta. Hal. 11-25.
Nienhuis, P. H., J. Coosen and W. Kiswara. 1989.
Community Structure and Biomass Distribution of Seagrass and Macrofauna in the
Flores Sea, Indonesia. Netherlands Journal of Sea Research, 23(2):
197-214.
Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT Pustaka
Cidesindo, Jakarta. 254 halaman.
Pomeroy, R. S. and M. J. William. 1994. Fisheries
Co-Management and Small-Scale Fisheries: A Policy Brief. ICLARM, Manila. 15p.
Tulungen, J. J. 2001. Program Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat: Telaah Kasus di Kabupaten
Minahasa, Sulawesi Utara. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Bogor, 29 Oktober – 3 November 2001. PKSPL IPB. Hal 117-133.
Tulungen, J. J., T. G. Bayer, B. R. Crawford, M. Dimpdus,
M. Kasmidi, C. Rotinsulu, A. Sukmara dan N. Tangkilisan. 2002. Panduan
Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis-Masyarakat. CRC
Technical Report Nomor 2236. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia dan University of Rhode Island, Coastal Resources Center,
Narragansett Rhode Island, USA. 77 halaman.