© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                                                       Posted  7  March  2004

Makalah Kelompok 2,  Sem. 2,  t.a. 2003/4

Materi Diskusi Kelas

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana -  S3

Institut Pertanian Bogor

Maret  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr Ir Hardjanto

 

 

 

 

 

REVITALISASI ‘POSYANDU’ DALAM PEMBANGUNAN GIZI  DAN KESEHATAN MASYARAKAT

 

 

 

 

 

 

Oleh :

Kelompok  2:

 

DIFFAH HANIM      difnim@yahoo.com

A_561030081

(GMK)

SRI PURWANINGSIH

A_561030011

(GMK)

UKE HANI RASALWATI

A_561030021

(GMK)

DWI PURWOKO

P_061024021

PPN

LA BACO S

A_262030041

DAS

EDDY WIDODO

B_161030081

SVT

 

 

 

 

 

I.                   PENDAHULUAN

 

A.        Latar Belakang

Layaknya sedang belajar Falsafah Sain, maka dalam ilmu gizi selalu ada bahasan pembangunan gizi dan kesehatan secara luas, sehingga ‘diwajibkan’ bagi mahasiswa pasacasarjana yang mempelajari gizi masyarakat untuk berpikir mendalam, kritis dan jelas kemudian disampaikan dalam bahasa yang teratur.  Adapun bahasan mengenai masalah gizi diantaranya adalah apa masalahnya, berapa luas masalah  itu terdapat di masyarakat, apa konsekuensi atau dampak dari masalah tersebut, apa penyebab timbulnya masalah dan bagaimana mengatasi masalah.  Dalam hal ini masalah yang akan dibahas adalah ‘Revitalisasi Posyandu’ di Indonesia.

Sejak adanya krisis ekonomi, pada tahun 1999 telah dilakukan evaluasi hasil pelaksanaan berbagai program di bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan namun hasilnya menunjukkan masih adanya kejadian kurang energi protein (KEP) mulai dari KEP ringan, sedang sampai KEP berat, baik pada keluarga miskin (Gakin) maupun keluarga yang tidak termasuk Gakin. Berdasarkan kejadian tersebut, maka diperlukan upaya lain yang lebih bersifat pendampingan dari para ahli kepada petugas lapangan maupun kepada keluarga yang mempunyai anak Balita, ibu hamil dan ibu menyusui.  Selain itu diperlukan ‘action program’ guna mengatasi masalah gizi masyarakat. 

POSYANDU mempunyai peran penting dalam meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan juga melanjutkan pemberian ASI sampai usia 24 bulan diserta pemantauan pertumbuhan mulai bayi lahir sampai usia 60 bulan.  Sampai saat ini Posyandu masih berperan aktif dalam meningkatkan pemberian ASI.  Semua kegiatan Posyandu sangat tergantung pada Kader Posyandu.  Dengan adanya masalah tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita yang berhubungan dengan tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah. Pevalensi BBLR ini masih berkisar antara 2 sampai 17% pada periode 1990-2000. Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan Tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999.

Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR, disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya, seperti kurang yodium, selenium, kalsium, dan seng. Hal ini menyebabkan kegiatan Posyandu bertambah lagi, yaitu yang semula hanya memantau pertumbuhan (Growth Monitoring and Promotion = GMP) bayi sejak lahir hingga lima tahun, menjadi Pusat Pelayanan Terpadu Kesehatan Ibu dan Anak Balita. 

Berdasarkan latar  belakang tersebut, maka revitalisasi Posyandu harus mendapat perhatian yang cukup dalam pembangunan gizi dan kesehatan masyarakat.  Untuk menjawab pertanyaan umum tentang berapa persen masyarakat yang ikut berpartisipasi aktif di Posyandu dan melakukan pemantauan pertumbuhan anak balita dan pemberian ASI pada bayi diperlukan data dan pembahasan yang cukup rumit dan tidak ringan.  Oleh karena itu pembangunan gizi dan kesehatan masyarakat tidak bisa mengabaikan pentingnya revitalisasi Posyandu.

 

B.   Rumusan  Masalah

Selama ini kegiatan Posyandu yang terjadi pada banyak lokasi di berbagai daerah masih menunjukkan bahwa pemantauan pertumbuhan belum dilakukan, meskipun dapat dilakukan dari laporan pada KMS.  Masalah lain yang ditemukan adalah baik petugas kesehatan, kader, dan masyarakat belum dapat membedakan status gizi dan status pertumbuhan.  PMT hanya merupakan alat penarik agar ibu membawa anak ke Posyandu, dan laporan yang ada tidak digunakan untuk analisis guna menentukan tindakan yang akan diambil, tapi sekedar laporan untuk atasan.

Upaya pemantauan status gizi keluarga belum menyentuh rasa keberpihakan para pejabat di kota besar maupun di daerah.  Sementara pemberdayaan masyarakat dan atau pemberdayaan keluarga miskin di kota (Entry Point – keluarga, yang memegang kunci adalah ibu) sudah saatnya jangan lagi sebagai orientasi jangka pendek (politis saja) akan tetapi harus mulai dipikirkan keberlangsungan program pemantauan status gizi dan kesehatan dengan membina bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. 

Salah satu strategi untuk menggalakkan pemantauan pertumbuhan anak dan status gizi (PSG) keluarga di Kota adalah dengan mengoptimalkan peran ibu rumah tangga yang tidak bekerja untuk diajak menjadi ‘Kader Posyandu’.  Dengan membina dan melatih ibu rumah tangga tentang cara pengukuran antropometri khususnya penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, maka diharapkan mereka mampu melaksanakan pemantauan pertumbuhan anak dan status gizi keluarganya.  Selama ini PSG dikerjakan oleh Bidan, Kader dan petugas kesehatan dari Puskesmas.  Namun akhir-akhir ini karena kesibukan mereka dan tidak adanya kaderisasi petugas maka kegiatan pemantauan status gizi dan pertumbuhan anak mulai tidak aktif.  Bahkan pada beberapa desa dan kota kegiatan PSG ini sudah tidak berjalan lagi. 

Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disusun pertanyaan ilmiah bagaimana bentuk atau model ‘capacity building’ di bidang gizi dan kesehatan yang paling sesuai untuk pembangunan gizi dan kesehatan di Indonesia?.

 
C.  Tujuan dan Manfaat

Tujuan umum penulisan untuk memikirkan bentuk ‘capacity building’ di bidang gizi dan kesehatan melalui pemberdayaan keluarga miskin dan nyaris miskin dan revitalisasi Posyandu.  Tujuan akhir jangka panjang adalah agar keluarga tersebut dapat memecahkan masalah keterbatasan penghasilan dan selanjutnya mampu mencukupi kebutuhan pangan, gizi dan mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh anggota keluarganya. 

Selanjutnya penulisan ini diharapkan dapat menghasilkan buah pikiran untuk menemukan model pelaksanaan Revitalisasi Posyandu dalam pembangunan gizi dan kesehatan untuk meningkatkan ‘growth monitoring and promotion’ (GMP) di Posyandu.  Selain itu diharapkan penulisan ini dapat mengetahui hasil pelatihan Kader untuk meningkatkan pelayanannya kepada keluarga miskin di desa, sekaligus menganalisis kelemahan dan kelebihan pelaksanaan program revitalisasi Posyandu.

 

I.          TINJAUAN PUSTAKA

 

Konsep gizi yang menyatakan bahwa manusia memerlukan zat-zat tertentu dari makanan dalam jumlah tertentu pula, pada dasarnya adalah konsep abad modern.  Oleh karena itu gizi baru diakui sebagai ilmu pengetahuan (sain) pada awal abad ke-20 setelah penemuan bidang ilmu lain khususnya di bidang ilmu kimia, fisiologi (faal), dan penemuan vitamin, protein, dan zat gizi lain yang menjadi dasar ilmu gizi.

Perkembangan ilmu gizi dan teknologi pangan mengikuti perkembangan masalah  yang dihadapi manusia.  Dari waktu ke waktu ilmu gizi menghadapi tantangan untuk dapat menentukan jenis dan kecukupan gizi yang optimal untuk mendukung kelangsungan hidup manusia yang aktif, cerdas dan produktif.  Dengan tantangan tersebut dan adanya krisis ekonomi yang sampai saat ini masih banyak dirasakan oleh penduduk miskin, maka perlu revitalisasi Posyandu sebagai salah satu alternatif untuk pemanatauan pertumbuhan anak Balita.

Adanya tantangan perkembangan ilmu dan tuntutan masyarakat akan pemenuhan zat gizi, maka ilmu gizi semakin bersifat ‘interdisiplin’ sebagai sain dan aplikasinya dalam pembangunan manusia secara utuh.  Dengan demikian untuk memecahkan masalah gizi dan kemiskinan diperlukan ilmu pertanian, teknologi pangan, biokimia, biomolekuler, genetika, fisiologi, toksikologi, epidemiologi serta ilmu sosial dan perilaku (Soekirman, 2000).

 

A.       Pembangunan Gizi dan Kesehatan

1.         Masalah Gizi di Indonesia

Atas dasar pemahaman ilmu gizi yang mendalam, kritis dan jelas serta disampaikan dalam bahasa yang teratur, maka WHO (1948) menyatakan bahwa ‘setiap orang memiliki hak untuk menikmati hidup dengan kesehatan yang cukup baik untuk diri dan keluarganya, termasuk cukup makanan yang bergizi dan aman’.  Berdasarkan deklarasi tersebut, maka sejak tahun 1950 di Indonesia telah didirikan Lembaga Makanan Rakyat (LMR), dengan slogan yang sangat dikenal yaitu ‘empat sehat lima sempurna’.  Namun dengan perkembangan ilmu gizi yang sangat pesat dan adanya pengalaman dan hasil penelitian di banyak daerah di Indonesia yang menunjukkan pembangunan gizi masih sangat jauh tertinggal dengan pembangunan ekonomi bidang fisik, maka pedoman gizi Indonesia ditinjau kembali dan berganti menjadi Pedoman Umum Gizi seimbang yang lebih ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan secara individu maupun masyarakat.

Program gizi, meliputi kegiatan pelayanan dan penyuluhan gizi-kesehatan, yang berjalan selama ini lebih bersifat ‘top down’ dan sentralis, dengan peranan pemerintah yang cukup dominan.  Pesan-pesan gizi yang merupakan materi penyuluhan bersifat seragam, berlaku untuk semua daerah.  Padahal Indonesia terdiri dari berbagai suku dan budaya yang berbeda pola makannya dan berbeda masalah yang dihadapinya.  Beberapa pesan menjadi sulit untuk dapat diterima karena tidak sesuai dengan aspek sosio budaya dan keadaan setempat (Husaini, 2001).

Ada empat masalah gizi utama di Indonesia, yaitu anemia gizi besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA), Kurang Energi Protein (KEP) dan Gangguan akibat kurang Iodium (GAKI).  Semua masalah gizi tersebut penanganannya terpadu dilakukan di Posyandu.

 

2.         Gizi dan Pembangunan

Laporan Bank Dunia tahun 1992 menyebutkan bahwa gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan mental serta menjamin status kesehatan anak sehingga anak dapat tumbuh sehat-cerdas-aktif dan produktif.  Kebijakan baru Bank Dunia sejak itu (1992) pada hakekatnya memperkuat hasil penelitian gizi dan kesehatan mengenai adanya hubungan antara gizi-kesehatan-pembangunan ekonomi secara makro.

Salah satu akibat dari krisis ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat termasuk kebutuhan pangan, yang berakibat pada penurunan kecukupan gizi, selanjutnya menurunkan gizi dan status kesehatan masyarakat.  Hal ini diantisipasi dengan upaya interversi gizi melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada keluarga miskin dan yang rawan gizi. Pelayanan perbaikan gizi dilakukan oleh Puskesmas, Pustu, sedangkan PMT dilaksanakan oleh Posyandu atau ibu asuh.  Pelaksana teknis dilapang adalah tenaga pelaksana gizi Puskesmas dan bidan desa (Depkes, 1999).

Akhir-akhir ini partisipasi masyarakat dirasakan menjadi sangat penting karena disadari terdapat keterbatasan kemampuan pemerintah sehingga hasilhasil program gizi lebih sulit dirasakan msyarakat luas.  Oleh sebab itu Departemen Kesehatan sendiri perlu merinci cara yang efektif untuk merangsang, mendorong dan meningkatkan partisipasi tersebut.  Padahal telah disadari bahwa keberhasilan program terutama terletak pada peran serta seluruh masyarakat, sehingga potensi-potensi yang ada, baik yang kelihatan maupun yang laten dapat digali agar dicapai hasil yang optimal (Trihono, 1999).

Untuk meningkatkan efektivitas kegiatan program, pada saat sekarang perlu disiapkan rencana kegiatan program penyuluhan gizi-kesehatan dengan memperhatikan kebutuhan informasi yang dirasakan masyarakat.  Proses dapat dimulai dengan mengenali kebutuhan masyarakat di bidang gizi (topik-topik yang diinginkan untuk disuluhkan), menggali kekuatan yang ada dan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan.  Hal ini berbeda dengan kebijakan pemerintah yang pada umumnya menggunakan pola berdasarkan kebutuhan sasaran (objective needs), yaitu kegiatan yang direncanakan dibuat berdasarkan ide si pembuat kebijaksanaan.

Dengan demikian pembangunan gizi harus mengupayakan program perbaikan gizi langsung kepada kelompok sasaran yaitu penduduk miskin.  Upaya tersebut menurut Soekirman (2000) berupa pelayanan dasar gizi, kesehatan dan pendidikan.  Sedangkan upaya tidak langsung berupa :

·          Jaminan ketahanan pangan sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin dapat memperoleh makanan yang cukup bergizi

·          Memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli

·          Membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah untuk penduduk miskin.

 

Disamping itu masih perlu upaya lain yang bersifat pemantauan pertumbuhan anak Balita dan status kesehatan ibu dan anak (KIA) di Posyandu.  Untuk program revitalisasi Posyandu sangat penting sehingga perlu mendapat dukungan semua pihak.                                                                                                                  

 

 

 

1.   Kebijakan Pangan, Gizi dan Kesehatan

 Dibidang konsumsi pangan dan gizi strategi untuk mencapai konsumsi pangan penduduk yang beraneka ragam dapat ditempuh melalui pembinaan konsumsi pangan menuju ke pangan seimbang mengacu pada PPH.  Seimbang disini artinya seimbang antara zat gizi yang dikonsumsi dengan yang dibutuhkan, seimbang dalam komposisi dan proporsi antar beragam jenis pangan, dan seimbang dalam hal apresiasi nilai sosial budaya terhadap pangan.  Penerapan strategi ini dapat ditempuh melalui :

·      Penyediaan pangan beragam yang memenuhi kebutuhan penduduk, mencakup jumlah dan mutunya (termasuk keamanannya)

·      Peningkatan pendapatan rumah tangga dengan cara mengembangkan ketrampilan kerja, lapangan kerja, dan kesempatan berusaha

·      Peningkatan kesadaran pangan dan gizi melalui kegiatan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) pangan dan gizi 

·      Pembinaan kebiasaaan makan makanan seimbang melalui jalur formal dan informal secara dini. 

Paradigma sehat menuju Indonesia sehat 2010 menuntut pembangunan gizi dan kesehatan juga memiliki visi dan misi untuk mencegah terjadinya gizi buruk dan menangani serta menyembuhkan penderita gizi buruk dan kurang gizi untuk segera sehat.  Oleh karena itu diperlukan pedoman gizi seimbang yang lengkap dengan komponen pendidikan gizi di masyarakat.  Pada Repelita VI   Bab 11 Bidang Pangan dan Perbaikan Gizi telah disebutkan bahwa ‘Kebijakan untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi pangan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya.  Pola konsumsi pangan didorong untuk sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang (PUGS)’.

 

 

B.       Krisis Ekonomi dan Keadaan Gizi penduduk

1.         Kemiskinan dan Gizi Buruk

Pendapatan sebagian besar keluarga di Indonesia dibelanjakan untuk makanan sehari-hari, maka perlu pengendalian uang sedemikian rupa, sehingga kebutuhan zat gizi dapat dipenuhi dengan biaya yang seminim mungkin.  Pengendalian ini dapat berupa : (a) menyesuaikan daya beli keluarga dengan harga pasar, (b) menyesuaikan menu sehari-hari dengan bahan yang murah tapi sehat, (c) menyimpan bahan makanan secara tepat, (d) mengolah dan menyajikan makanan dengan baik, (e) menganeka ragamkan menu setiap hari agar tidak bosan. 

Menurut Mubyarto (2000), bahwa apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bersumber dari agribisnis atau industri lain yang berskala besar dan upaya pemerataan tidak efektif maka hasil industri tersebut tidak menetes ke masyarakat yang kurang gizi.  Dimana tidak ada keadilan dan pemerataan, maka masalah kurang gizi  akan makin meningkat.  Sementara itu laporan ADB Nutrition and Development tahun 2001 menunjukkan bahwa meskipun perbaikan ekonomi merupakan syarat penting untuk perbaikan gizi, tetapi hal itu tidak cukup.  Sehingga perlu perbaikan dari pembangunan yang responsif gender, peningkatan taraf pendidikan masyarakat, penurunan prevalensi kurang gizi dan penyakit infeksi, perbaikan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas, Posyandu maupun Polindes.

 

2.         Upaya Penanganan Gizi Buruk dan Generasi yang’Hilang’

Anak balita yang memiliki status gizi buruk berisiko tinggi kehilangan sebagian potensinya untuk menjadi pekerja yang profesional karena rendahnya kemampuan intelektual anak.  Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan mengakibatkan banyaknya buruh dan karyawan yang kehilangan pekerjaannya, menyebabkan turunnya daya beli pangan dan kesehatan keluarga. Akibatnya jutaan anak Indonesia kekurangan gizi dan tumbuh dengan kemampuan intelektual yang rendah.  Akibat selanjutnya mereka tidak mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan hal ini sering disebut dengan generasi yang hilang yaitu generasi dengan daya intelektual yang rendah (Tandyo, 1999).

Sesuai dengan hukum Bennet, bahwa penurunan kualitas konsumsi pangan rumah tangga yang ditandai dengan keterbatasan membeli sumber makan protein hewani dan buah dapat berdampak buruk pada status gizi anak Balita dan wanita.  Oleh karena itu menurut Soekirman (2000) jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK) yang memberikan subsidi kepada keluarga miskin dengan bantuan pengobatan di Puskesmas, bantuan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita dan bantuan uang untuk makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil serta menggiatkan kembali fugsi  (revitalisasi) Posyandu.  Di bidang pendidikan diberikan bantuan bea siswa untuk anak sekolah keluarga miskin dan PMT anak sekolah (PMT-AS) yang telah dimulai sejak tahun 1996 dilanjutkan sebagai bagian dari JPS.

 

C.       Revitalisasi Posyandu 

1.         Tujuan dan Sinerginya Dalam Pembangunan Gizi

Dalam pemantauan pertumbuhan anak berbasis klinik, ada beberapa masalah penting yang dapat merupakan faktor penentu gagalnya program PSG.  Adapun faktor-faktor tersebut adalah : (1) Frekuensi kehadiran menunjukkan masih adanya ibu yang menimbangkan anaknya tidak secara rutin. Disamping itu ibu tidak mau menimbangkan anaknya karena takut ketularan penyakit dari kantong yang digunakan untuk penimbangan anak. (2) Timbangan yang digunakan tidak pernah diperiksa ketepatannya. (3) Pada waktu penimbangan tidak dilakukan perintah agar anak mengenakan pakaian seminim mungkin. Hal ini dilakukan agar anak tidak menangis. (4) Penimbangan tidak dibaca pada 100 gram terdekat.(5) Pada pencatatan berat badan (BB) kadang-kadang diisi tidak sesuai dengan umur. Demikian juga titik-titik BB tidak dihubungkan.(6) Tidak dilakukan konsultasi tentang BB maupun kurva pertumbuhan anak kepada ibu.

Sementara pada beberapa Posyandu di perdesaan masih banyak kejadian seperti : (1) KMS ditinggal di Posyandu atas permintaan ibu-ibu karena takut hilang.(2) Tidak ada tindak lanjut bila ada pertumbuhan terhambat kecuali pada anak dengan status BGM. (3) Sistem rujukan maupun PMT hanya untuk BGM dengan kelainan atau komplikasi.(4) Beberapa Posyandu pengobatan maupun imunisasi dilakukan di tempat bidan desa.(5) Penggunaan sistem informasi hanya merupakan sekedar laporan tidak digunakan ditempat.

Sampai saat ini pelaksanaan pemantauan status gizi dan kesehatan anak masih terfokus pada Posyandu.  Namun belakangan ini kepopuleran Posyandu mulai menurun seiring dengan kesibukan dan keterbatasan waktu para kadernya.  Akibatnya kegiatan Posyandu yang semula terdiri dari lima meja menjadi seadanya meja di tempat Posyandu dilaksanakan.

 ‘Tempat’ (=Puskesmas, Polindes, dan Posyandu) adalah jalur yang digunakan untuk menyalurkan produk (dalam hal ini Growth Monitoring and Promotion = GMP) kepada masyarakat dan tempat dimana ‘GMP’ dilaksanakan.  Penyediaan dan pelaksanaan ‘GMP’ tidak hanya melibatkan sistem pengadaan peraturan dan kebijakan, tapi juga membutuhkan upaya tenaga kesehatan (Nakes) dan Kader; kerabat / keluarga dan tetangga pengguna produk ‘GMP’.  Selain ‘Tempat’ yang berupa Puskesmas, Polindes, dan Posyandu, jalur yang digunakan untuk menyalurkan produk (GMP) kepada masyarakat ini dapat berupa ‘Orang’ seperti dukun bayi yang membagikan oralit; atau Guru SD yang memberikan imunisasi (USAID, 1990). 

Dengan adanya krisis ekonomi maka perlu pemulihan fungsi utama Posyandu, yaitu kegiatan memonitor pertumbuhan anak Balita melalui pemantauan peningkatan berat badan anak.  Jadi bukan untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang banyak ragam atau jenis pelayanan yang semuanya akan membuat kejenuhan dan kerepotan para kader Posyandu.  Sebaliknya para kader Posyandu dituntut untuk mampu menangani masalah kesakitan ‘akut’ pada anak Balita sehingga mereka harus mengetahui bagaimana managemen anak balita yang sakit secara terpadu di Posyandu dan Polindes tempat Bidan Desa melaksanakan tugas pelayanannya.

 

2.         Berbagai Pengalaman Pelaksanaan dan Investasi Gizi

 Awal Sehat Untuk Hidup Sehat, disingkat ASUH adalah suatu pendekatan yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan ibu, bayi dan balita. ASUH dilaksanakan di propinsi Jawa Timur (Blitar, Kediri, Pasuruan dan Mojokerto) dan Jawa Barat (Cianjur, Cirebon, Karawang dan Ciamis). Pengalaman yang didapat dari pelaksanaan ASUH kedua propinsi tersebut akan dipakai sebagai acuan dalam menggulirkan (replikasi) ASUH ke propinsi dan kabupaten/kota lain.  Tujuan umum program ini adalah meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu, bayi, dan balita melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Secara khusus berupaya untuk :

a.  Meningkatkan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir

b.  Meningkatkan kesehatan bayi dan anak balita (1-59 bulan)

c.  Meningkatkan kemampuan Bidan di Desa dalam berkomunikasi dan melaksanakan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang bermutu di masyarakat

d.  Meningkatkan kemandirian serta daya dukung keluarga dan masyarakat dalam persiapan persalinan dan perawatan kesehatan ibu nifas, bayi baru lahir, dan anak balita.

 

Penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Depkes RI bekerjasama dengan University of Manitoba Canada, dengan dukungan para ahli penyuluhan, komunikasi, dan antropologi dari FISIP-UI, dan Sekolah Pasca Sarjana IPB, selama 5 tahun (tahun 1993 sampai 1998) di Kabupaten Bogor, Sukabumi, Wonosobo dan Temanggung telah mendapatkan pengalaman nyata melalui penyuluhan gizi-kesehatan yang menuju perubahan perilaku sehat sebagai bagian dari upaya memecahkan masalah gizi-kesehatan, dan sebagai complement dari pelayanan medis yang sekarang sedang giat dilaksanakan (Husaini, 2001).

Fokus yang diteliti adalah mengenai perilaku sehat selama hamil, persiapan dalam menghadapi persalinan dan perilaku memberi makan bayi yang relevan dengan keadaan sekarang dan dengan upaya menurunkan AKI, AKB, BBLR, dan menaikkan status gizi masyarakat.  Pada penelitian ini telah dikembangkan sistim pelayanan informasi dari bawah ke atas, berdasarkan kebutuhan konkret yang dirasakan masyarakat dengan teknik yang komunikatif, mudah dipahami dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.

Materi penyuluhan harus bervariasi dan dapat menjawab masalah yang dihadapi khalayak sasaran, serta masyarakat mampu menerapkan informasi yang diterima.  Hal ini ada kaitannya dengan yang diungkapkan oleh Burger tentang mitos pemusatan.  Mitos pemusatan ini cenderung untuk merencanakan segala sesuatu dari atas karena menganggap orang atas adalah orang terdidik, dan karena pendidikannya dapat lebih tepat menilai kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi.  Akibatnya paket penyuluhan menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat.  Masyarakat lalu enggan menerapkan inovasi-inovasi penyuluhan karena tidak sesuai dengan kebutuhan.

 

C.  Aspek Kelembagaan Program KIA

1.  Pondok Bersalin Desa (Polindes)

Pondok Bersalin Desa (Polindes) secara kelembagaan memiliki peran yang penting dalam meningkatkan status gizi dan kesehatan ibu dan anak serta keluarga pada umumnya.  Kebijakan untuk membuat Polindes di setiap desa sebenarnya harus didukung oleh semua pihak, terutama dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kesehatan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Pemerintahan lokal desa dan kecamatan setempat.

Dalam perbaikan gizi dan kesehatan sudah ada penghargaan, terlebih bila ketua PKK dalam hal ini Ibu Lurah atau Ibu Kepala Desa turut terlibat dalam kegiatan program KIA dan gizi setiap bulan.  Umumnya keterlibatan PKK dengan memberikan seragam bagi Bidan Desa dan para kader akan memberikan motivasi kepada mereka untuk mengembangkan program KIA dan gizi dengan lebih baik.

Polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung pada keberadaan bidan.  Hal ini karena pelayanan di Polindes merupakan pelayanan profesi kebidanan.  Kader masyarakat yang paling terkait dengan pelayanan di Polindes adalah dukun bayi (Paraji).  Karena itu, Polindes dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam pertolongan persalinan.  Kader Posyandu dapat pula berperan di Polindes seperti perannya dalam melaksanakan kegiatan Posyandu, yaitu dalam penggerakkan sasaran dan penyuluhan.  Selain itu bila memungkinkan, kegiatan Posyandu dapat dilaksanakan pada tempat yang sama dengan Polindes (Depkes, 2000).

Pengertian tersebut dapat dikaji beberapa makna Polindes adalah :

a.       Polindes merupakan bentuk peranserta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak (KIA), termasuk KB.

b.      Polindes dapat dirintis di desa yang telah mempunyai bidan yang tinggal di desa tersebut.  Peranserta masyarakat dalam pengembangan Polindes berupa penyediaan tempat untuk pelayanan KIA (khususnya pertolongan persalinan), pengelolaan Polindes, penggerakan sasaran dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas bidan di desa.  Peran bidan di desa, yang sudah diperlengkapi oleh pemerintah dengan alat-alat yang diperlukan, adalah memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat di desa tersebut.

c.       Polindes sebagai bentuk peranserta masyarakat, secara organisatoris berada di bawah seksi 7 LKMD, namun secara teknis berada di bawah pembinaan dan pengawasan Puskesmas, karena bidan dalam menjalankan tugasnya di desa merupakan bagian dari perpanjangan tangan Puskesmas.

d.      Dengan adanya Polindes, tidak berarti bahwa Bidan di Desa hanya memberikan pelayanan di Polindes saja.  Bidan masih tetap berkewajiban untuk mengunjungi dukun yang merawat ibu hamil / bayi berisiko yang tidak melakukan pemeriksaan ulang, sasaran yang belum memeriksakan diri, mendatangi dukun bayi yang tidak pernah datang ke Polindes, dan tugas lainnya yang berhubungan dengan pendidikan dan pelayanan kebidanan. 

 

2.   Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

Posyandu merupakan jenis Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang pernah paling memasyarakat di Indonesia.  Namun belakangan ini kepopulerannya mulai pudar seiring dengan menurunnya semangat para kader yang telah berusia lanjut, dan kurangnya kaderisasi di tiap Posyandu.  Posyandu dalam pelaksanaannya meliputi 5 program prioritas (KB, KIA, Gizi, Imunisasi, dan Penaggulangan Diare), sehingga mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi (AKB).  Peran Posyandu dalam meningkatkan cakupan 5 program prioritas dan program ante natal care (ANC) secara nasional dapat dilihat pada Tabel 5.

 

Tabel  5.  Peran Posyandu Dalam Cakupan Program

Jenis Pelayanan

Cakupan (%) Nasional

Balita

74

Imunisasi DPT

161.9

Imunisasi Polio

60.9

Imunisasi TT2 ibu hamil

22.4

KB (pil)

32.4

Pemeriksaan ibu hamil

11.2

Sumber : Modifikasi Depkes (1999b)

 

Dari Tabel 5 tampak bahwa kontribusi Posyandu dalam meningkatkan kesehatan bayi dan anak balita sangat besar.  Namun sampai saat ini masih perlu meningkatkan kualitas pelayanan Posyandu.  Seperti halnya dengan Polindes, maka Posyandu memiliki tingkat kemandirian dengan jumlah dan jenis indikator yang berbeda tiap stratanya.  Tingkat kemandirian Posyandu dapat dilihat pada Tabel  6.

 

Tabel  6.  Tingkat Kemandirian Posyandu

No.

Indikator

Pratama

Madya

Purnama

Mandiri

1.

Frek. Penimbangan

< 8

³ 8

2.

Rerata kader tugas

< 5

                               ³ 5

3.

Rerata cakupan D/S

< 50%

³ 50%

4.

Cakupan Kum. KB

< 50%

³ 50%

5.

Cakupan Kum. KIA

< 50%

³ 50%

6.

Cakupan Kum. Imun.

< 50%

³ 50%

7.

Program tambahan

( - )

( + )

8.

Cakupan dana sehat

< 50%

³ 50%

Sumber : Depkes (1999b)

 

Untuk meningkatkan kualitas dan kemadirian Posyandu diperlukan intervensi.  Adapun Intervensinya adalah sebagai berikut :

·      Posyandu pratama (warna merah)

Posyandu tingkat pratama adalah Posyandu yang masih belum mantap, kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas.  keadaan ini dinilai ‘gawat’, sehingga intervensinya adalah pelatihan kader ulang.  Artinya kader yang ada perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi.

 

·      Posyandu madya (warna kuning)

Posyandu pada tingkat madya sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih.  Akan tetapi cakupan utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) masih rendah, yaitu kurang dari 50%.  Ini berarti, kelestarian kegiatan Posyandu sudah baik tetapi masih rendah cakupannya.  Untuk ini perlu dilakukan penggerakkan masyarakat secara intensif, serta penambahan program yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.  Intervensi untuk Posyandu madya ada 2 yaitu :

a.   Pelatihan Toma dengan modul eskalasi Posyandu yang sekarang sudah dilengkapi dengan metoda stimulasi.

b.  Penggarapan dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD) untuk menentukan masalah dan mencari penyelesaiannya, termasuk menentukan program tambahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.  Untuk melaksanakan hal ini dengan baik, dapat digunakan acuan bulu pedoman ‘Pendekatan Kemasyarakatan’ yang diterbitkan oleh Dit Bina Peran serta Masyarakat Depkes.

 

·      Posyandu Purnama (warna hijau)

Posyandu pada tingkat purnama adalah Posyandu yang frekuensinya lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, can cakupan 5 program utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) lebih dari 50%.  Sudah ada program tambahan, bahkan mungkin sudah ada Dana Sehat yang masih sederhana.  Intervensi pada Posyandu di tingkat ini adalah :

a.   Penggarapan dengan pendekatan PKMD, untuk mengarahkan masyarakat menentukan sendiri pengembangan program di Posyandu

b.  Pelatihan Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat, dengan cakupan anggota minimal 50% KK atau lebih.  Untuk kegiatan ini dapat mengacu pada buku ‘Pedoman Penyelenggaraan Dana Sehat’ dan ‘Pedoman Pembinaan Dana Sehat’ yang diterbitkan oleh Dit Bina Peran Serta Masyarakat Depkes.

·      Posyandu Mandiri (warna biru)

            Posyandu uni berarti sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK.  Untuk Posyandu tingkat ini, intervensinya adalah pembinaan Dana Sehat, yaitu diarahkan agar Dana Sehat tersebut menggunakan prinsip JPKM. 

 

 

II.       PEMBAHASAN

 

Faktor penyebab langsung dari masalah gizi kurang berkaitan dengan konsumsi gizi. Pada periode 1995-2000, masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Akar permasalahan adalah kemiskinan dan situasi sosial politik yang tidak menentu. Tahun 1999, kajian Susenas memperkirakan 47,9 juta penduduk hidup dibawah garis kemiskinan.  Analisis situasi yang terus menerus, baik dalam bentuk besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah tersebut, perlu dilakukan mulai dari tingkat administrasi terendah di tingkat desa sampai dengan tingkat nasional.

Revitalisasi Posyandu yang sampai saat ini masih diupayakan dengan berbagai model pemberdayaan, perlu didukung bareng dengan program upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK), komunikasi informasi edukasi (KIE), dan managemen terpadu balita sakit (MTBS), serta pelatihan Kader Posyandu. Berdasarkan hal tersebut, ‘action program’ Revitalisasi Posyandu dalam pelaksanaannya perlu menutamakan ‘ibu’ sebagai ‘entri point’ intervensi yang dilakukan.  Pendidikan MTBS melalui pelatihan atau kursus singkat kepada para kader gizi dan kesehatan diperlukan untuk sekaligus pengembangan tingkat kemampuan Posyandu di setiap desa dalam wilayah kerja Puskesmas di Kecamatan.

 

A.  Pemberdayaan Keluarga di Bidang Gizi dan Kesehatan

Secara ekonomis, membiarkan anggota keluarga atau masyarakat mempunyai masalah gizi berarti membiarkan potensi keluarga atau masyarakat bahkan bangsa itu ‘hilang’ begitu saja.  Potensi itu dapat berupa pendapatan keluarga yang tidak dapat diwujudkan karena anggota keluarga yang produktivitasnya rendah akibat kurang gizi waktu umur balita.  Oleh karena itu penting untuk pemberdayaan keluarga di bidang gizi dan kesehatan.  Pemberdayaan tersebut bertujuan untuk memperoleh kelayakan minimal standar hidup, kemampuan bersaing sehingga produktifitas dan efisiensi meningkat, dan akhirnya mutu hidup suatu keluarga atau masyarakat dapat tercapai.

 

 

  • Standard hidup.

Tingkatan kesejahteraan/ kesehatan (dari suatu individu, kelompok atau populasi suatu negeri) ketika diukur dengan tingkatan pendapatan (sebagai contoh, GNP per kapita) atau oleh kwantitas berbagai jasa dan barang-barang yang dikonsumsi ( sebagai contoh, banyaknya kereta; mobil tiap  1,000 orang atau banyaknya pesawat televisi per kapita.

  • Produktivitas

 

Produktivitas ekonomi, efisiensi dari

  • Keluaran jasa dan barang-barang /unit masukan- sebagai contoh, tiap unit tenaga kerja (produktivitas pekerja keras), tiap satuan tenaga ( seperti GNP / satuan tenaga penggunaan), atau tiap unit dari semua sumber daya produksi yang dikombinasikan.

 

Produktivitas suatu negara dengan potensi yang hilang itu dapat berupa pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB).  Menurut ADB Nutrition and Developmen (2001) PDB yang hilang akibat kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi (AGB) dan gangguan akibat kurang Iodium (GAKI) pada anak dan orang dewasa di Banglades berkisar antara 2 % - 5 % dari PDB.

 

 

B.  Upaya Pembangunan Bidang Gizi dan Kesehatan

Merupakan aib bangsa Indonesia karena banyaknya bayi, anak balita dan ibu melahirkan yang meninggal karena gizi buruk yang seharusnya dapat dicegah apabila Posyandu-Polindes-Puskesmas dapat berfungsi optimal dengan pelayanan kesehatan dasar yang bermutu.  Empat masalah gizi utama di Indonesia sebenarnya dapat ditangani dengan baik bila Puskesmas sebagai pusat pelayanan gizi dan kesehatan masyarakat dapat berjalan optimal dan didukung potensi sumberdaya masyarakat. 

Hasil analisis hubungan antara kemajuan pembangunan ekonomi dan status gizi anak balita selama 20 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi (5-7 %).  Produksi pangannya cukup memadai bahkan mampu berswasembada.  Tetapi anehnya prevalensi gizi kurang – gizi buruk masih tetap tinggi sekitar 30 % bahkan untuk anemia gizi besi pada ibu hamil masih diatas 50 % dengan hasil bayi yang dilahirkan BBLR mencapai 2 % sampai 17 % (Depkes, 2003).  Oleh karena itu distribusi pil besi dan penyuluhan manfaat pil besi untuk ibu hamil terus ditingkatkan.

Pemberian tablet besi pada ibu hamil dapat dibedakan menjadi Fe1 yaitu yang mendapat 30 tablet atau 1 bungkus dan Fe3 yaitu yang mendapat 90 tablet atau 3 bungkus selama masa kehamilan. Cakupan Fe1 pada tahun 1998 secara nasional adalah 75,49% sedangkan cakupan Fe3 nasional adalah 64,85%. Bila dilihat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1998 terlihat adanya kenaikan cakupan baik untuk Fe1 maupun Fe3.  Namun belum diketahui secara nasional bagaimana angka kepatuhan terhadap pil besi bagi ibu hamil.

 

C.  Pemberdayaan Kader Posyandu Melalui Revitalisasi Posyandu

         Revitalisasi Posyandu  adalah upaya pemberdayaan Posyandu untuk mengurangi dampak dari krisis ekonomi terhadap penurunan status gizi dan kesehatan ibu dan anak.  Revitalisasi Posyandu tertuang dalam surat edaran Mendagri Nomor: 411.3/536/SJ tanggal 3 Maret 1999. Kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam menunjang upaya mempertahankan dan meningkatkan status gizi serta kesehatan ibu dan anak, melalui peningkatan kemampuan kader, managemen dan fungsi Posyandu.

Tujuan pemberdayaan kader Posyandu adalah meningkatkan kemampuan dan kinerja kader Posyandu sehingga mampu memepertahankan dan meningkatkan status gizi serta kesehatan ibu dan anak.   Sedangkan tujuan khususnya adalah:

* Tercapainya pemberdayaan tokoh masyarakat dan kader melalui advokasi, orientasi, pelatihan atau penyegaran.

* Tercapainya pemantapan kelembagaan dengan terpenuhinya perlengkapan Posyandu.

*   Terselenggaranya kegiatan Posyandu secara rutin dan berkesinambungan

 

Revitalisasi Posyandu diutamakan pada Posyandu yang sudah tidak aktif / rendah stratanya (pratama dan madya), dan Posyandu yang berada di daerah yang sebagian besar penduduknya tergolong miskin.  Adanya dukungan materi dan non materi dari tokoh  masyarakat setempat (baik pimpinan formal maupun informal) dalam menunjang pelaksanaan kegiatan Posyandu.  Dukungan tokoh masyarakat dipandang amat penting, karena komitmen dan dukungan mereka sangat menentukan keberhasilan dan kesinambungan kegiatan Posyandu.  Sebaiknya revitalisasi Posyandu dilakukan setelah tokoh masyarakat menyampaikan komitmen.

Revitalisasi posyandu terdiri dari paket minimal dan paket pilihan.  Sampai saat ini masih ada paket minimal yang berupa  perbaikan gizi (misalnya pemantauan status gizi;  PMT pemulihan untuk gizi buruk; MP-ASI dan penyuluhan gizi).  paket minimal ini juga melayani Kesehatan Ibu dan Anak (KIA); Keluarga Berencana (KB); Imunisasi anak Balita maupun ibu hamil; Penanggulangan penyakit diare (oralit).

Sedangkan paket pilihan berupa kegiatan pengembangan Posyandu, meliputi berbagai program antara lain :

·           Perkembangan anak yang dipadukan dengan Bina Keluarga Balita (BKB)

·           Penemuan dini penderita lumpuh layu dan infeksi saluran pernapasan akut   (ISPA)

·           Penanggulangan penyakit endemis setempat seperti malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan gondok endemik.

·           Penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman (PAB-PLP)

·           Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa (UKGMD).

 

Persiapan revitalisasi Posyandu umumnya dimulai dengan :

               a). Advokasi ke Camat dan petugas lintas sektoral, Pokjanal Posyandu, Tim Penggerak PKK, LSM dan tokoh masyarakat setempat.  Kegiatan ini bergabung dengan advokasi kegiatan JPS-BK lainnya.

b).  Sosialisasi revitalisasi Posyandu ke petugas dan masyarakat untuk kesatuan pemahaman dan tindakan.

c).  Pertemuan dengan pokjanal Posyandu, Tim Penggerak PKK. LSM setempat, Petugas Puskesmas termasuk Bidan di Desa, untuk bersama-sama menyusun rencana kegiatan revitalisasi Posyandu di seluruh wilayah kecamatan.

 

Selanjutnya pelaksanaan revitalisasi Posyandu berupa :

         a).  Pemberdayaan tokoh masyarakat dalam bentuk advokasi/orientasi kepada para tokoh masyarakat (baik formal maupun informal), karena mereka memegang peranan penting dalam menentukan sukses tidaknya kegiatan Posyandu.

         b).  Pemberdayaan kader oleh petugas Puskesmas dan lintas sektor terkait dalam bentuk antara lain : pelatihan/penyegaran/jambore/lomba cerdas cermat. Sebagai penghargaan atas jasanya kader dan keluarganya diberikan pelayanan kesehatan dasar secara bebas biaya di Puskesmas setempat.

         c).  Pengadaan perlengkapan (alat masak) dan kebutuhan operasional Posyandu lainnya.

         d).  Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kegiatan Posyandu. Salah satu peran penting Posyandu adalah menjangkau sasaran yang tidak datang. Khususnya keluarga miskin yang rawan gizi/kesehatan. Sasaran inilah yang sangat memerlukan bantuan. Dalam kunjungan ke keluarga sasaran ditekankan perlunya sasaran mengunjungi Posyandu terdekat sesuai dengan jadwal buka Posyandu.

         e).  Kader diharapkan segera meminta petugas memberikan layanan kesehatan yang sesuai, bila pada keluarga yang dikunjungi ditemukan:

·        Anggota keluarga yang sakit

·        Anggota keluarga yangmenderita kekurangan gizi

·        Anggota keluarga yang ingin menjadi akseptor KB

·        Ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas

 

Mengingat beragamnya wajah Posyandu di tanah air, maka Puskesmas, Pokjanal Posyandu, Tim Penggerak  PKK, Tokoh Masyarakat, Lembaga Masyarakat dan LSM serta pengelola  Posyandu setempat dapat melakukan modifikasi kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.  Dalam kaitan ini, hal terpenting adalah tercapainya tujuan untuk menjangkau seluruh keluarga rawan gizi dan kesehatan. Paket bantuan biaya revitalisasi Posyandu dapat digunakan untuk :

1).   Pemberdayaan tokoh masyarakat melalui advokasi dan orientasi masyarakat

2).   Pemberdayaan kader melalui pelatihan dan penyegaran kader Posyandu.

3).   Pengadaan perlengkapan alat masak, operasional Posyandu lainnya seperti ATK dan barang habis pakai, pakaian seragam kader dan lain-lain

4).   Pengganti transport kader apabila kader melakukan kunjungan ke keluarga sasaran atau Posyandu.

 

Bantuan paket revitalisasi Posyandu tentu saja tidak mungkin mencukupi. Oleh karena kegiatan ini penggalian dana swadaya masyarakat dengan dukungan tokoh masyarakat setempat harus  terus digalakan. Semangat gotong royong harus terus ditumbuhkan, sehingga yang kaya wajib menjadi donatur, yang pintar memberi ilmu, yang kuat memberi tenaga dan sebagainya.

 

D.      Model Pembangunan – Gizi dan Kesehatan Untuk Menunjang Revitalisasi Posyandu

Sebagai dampak dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Revitalisasi Posyandu Nomor : 411.3/536/SJ tertanggal 3 Maret 1999, ada beberapa Pemerintah Daerah, Lembaga Donor dan LSM menyediakan anggaran guna mendukung Revitalisasi Posyandu penggunaannya dikoordinasikan.

Bidan desa melakukan pendataan sasaran dengan mengisi formulir daftar keluarga miskin, kemudian membuat rencana pelaksanaan kegiatan PMT tingkat desa berdasarkan jumlah sasaran.  Puskesmas melakukan pengecekan data sasaran PMT yang dilaporkan oleh bidan desa, kemudian membuat rencana pelaksanaan kegiatan tingkat kecamatan dengan unit kos Rp1000 / hari untuk anak dan Rp1250 / hari untuk ibu.

Dalam kehidupan manusia modern saat ini, kedudukan dan peranan perencanaan sedemikian pentingnya, sehingga perlu berbagai aturan.  Luasnya pengertian gizi dan kesehatan dalam pembangunan  menuntut semua lapisan masyarakat untuk aktif memikirkan bagaimana revitalisasi Posyandu agar dapat berjalan sesuai dengan fungsi pokok Posyandu sebagai pemantau pertumbuhan anak Balita.  Pembangunan gizi dan kesehatan berazaskan moralitas dan peri kemanusiaan maka tidak sepantasnya program revitalisasi menjadi ‘proyek’ yang diperebutkan.  Oleh karena itu perlu rumusan bentuk model revitalisasi Posyandu yang berazaskan kemanusiaan.  ADB Nutrition and development Series No.3 (2001) telah memberikan arah sebagai berikut :

  • Make a Start

Marilah revitalisasi Posyandu dimulai dengan niat suci, dan dikerjakan dengan benar.  Keluarga miskin sebagai kelompok sasaran program sudah saatnya dijadikan sebagai ‘subyek pembangunan’ gizi dan kesehatan, bukan lagi sebagai ‘obyek dari program’ ataupun proyek.

 

  • Make a Malnutrition Visible

Masih ada 100 juta rakyat Indonesia yang hidup sebagai orang miskin dan kurang gizi.  Dari 100 juta ada 40 juta orang yang hidup dalam kebodohan dan akrab dengan penyakit.  Untuk itu empat masalah gizi utama di Indonesia,  yaitu : kurang vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), Anemia gizi besi (AGB), dan Kurang energi Protein (KEP) perlu dikenalkan kepada seluruh pemimpin mulai dari lurah sampai dengan Presiden, termasuk kepada seluruh anggota DPR dan DPRD (khususnya Komisi VII).  Berdasarkan hal tersebut maka revitalisasi Posyandu

 

  • Do No Harm

Dalam melaksanakan advokasi dan sosialisasi tentang Revitalisasi Posyandu jangan sampai terjadi ‘salah menjelaskan’ kepada penentu kebijakan.  Dalam tahap ini perlu dihilangkan kebiasaan menggunakan slogan kosong, sehingga data kegiatan Posyandu yang paling efisien dan efektif perlu ditunjukkan sebagai bukti nyata pentingnya kegiatan revitalisasi Posyandu.  Selain itu dalam membangun gizi mau tidak mau harus ada orang / kelompok orang se-profesi (profesional) yang bekerja keras untuk mengenalkan pentingnya program gizi dan kesehatan.  Untuk itu diperlukan kerjasama dengan instansi riset dan teknologi, universitas, dan badan badan dunia yang menangani masalah pembangunan gizi dan kesehatan.

 

  • Build the Case

Dimulai dengan mencari teman atau mitra untuk melakukan revitalisasi Posyandu.  Pada umumnya para pejabat di daerah di Indonesia belum paham betul tentang pentingnya ‘revitalisasi Posyandu’.  Banyak cara untuk mengenalkan pentingnya ‘revitalisasi Posyandu’ kepada para penentu kebijakan sehingga kegiatan ini mendapat perhatian dan dukungan dana yang memadai.  Salah satu cara ‘ampuh’ untuk membuat orang lain tahu tentang pembangunan gizi dan kesehatan khususnya revitalisasi Posyandu adalah dengan membuat buku atau menulis di koran, atau mass media lain.

 

  • Learn from the Process

Tahap terakhir dari upaya pelaksanaan pembangunan gizi dan kesehatan khususnya revitalisasi Posyandu ini memerlukan renungan berbagai pihak yang terlibat program secara langsung.  Renungan ini berupaya untuk menemukan bentuk paling ideal sesuai dengan kondisi lokal, sehingga revitalisasi posyandu berjalan dengan efektif dan efisien.

 

Posyandu merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan yang umumnya terjadi di perdesaan, misalnya (a) Kesenjangan geografis dalam memperoleh pelayanan KIA; (b) Kesenjangan informasi mengenai kesehatan ibu dan anak serta perilaku hidup bersih dan sehat ; (c) Kesenjangan sosiobudaya antara petugas kesehatan dan masyarakat yang dilayaninya ; (d) Kesenjangan ekonomi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dengan tarif yang murah dan bahkan gratis yang semuanya untuk menunjang kelangsungan hidup anak.

 

 

 

 

IV.  KESIMPULAN DAN SARAN

A.       Kesimpulan

Paradigma pembangunan gizi dan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 masih terganjal dengan orientasi pembangunan ekonomi makro yang berupa fisik, belum berpihak pada pembangunan sosial.  Namun dengan adanya krisis ekonomi banyak para pejabat dan pakar ekonomi mulai berpikir dan membenarkan laporan Bank Dunia yang mengumumkan bahwa perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat termasuk dalam prioritas pinjamannya kepada negara berkembang. Dengan demikian paradigma pembangunan gizi dan kesehatan telah diakui Bank Dunia sehingga masuk sebagai suatu investasi pembangunan.

Revitalisasi Posyandu sebagai tombak perjuangan upaya penyelamatan anak kurang gizi dan sebagai pilar utama kegiatan pemantauan pertumbuhan anak Balita khususnya di lingkungan penduduk miskin.  Pencegahan terjadinya penyakit yang disebabkan karena kurang gizi dapat dilakukan secara berkesinambungan bila Posyandu berjalan sesuai fungsi utamanya, yaitu sebagai pilar pemantau pertumbuhan anak balita dimanapun berada.  Hal ini dapat berjalan lancar bila semua pihak ikut merasa butuh dengan kegiatan Posyandu, dan melaksanakan kegiatan Posyandu dengan niat suci serta moral dan etika yang tinggi.

Revitalisasi Posyandu hendaknya memiliki dana segar sebagai bentuk kemandirian masyarakat desa untuk melaksanakan kegiatan Posyandu agar anak Balita tumbuh dan berkembang sehat, dan memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan dari keluarganya.  Posyandu yang baik bila telah mampu mengelola dana secara mandiri dan menjalankan Managemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

 

B.       Saran

Perubahan kebijakan oleh pejabat negara yang baru memang tidak sepenuhnya dapat merubah aktivitas dan bentuk pelayanan Posyandu.  Namun demikian dukungan para pejabat baik yang di pusat pemerintahan maupun pejabat desa sangat menentukan warna pengembangan Posyandu sebagai pilar utama pemantau pertumbuhan anak Balita.  Untuk itu diperlukan komitmen seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang berjiwa gotong royong ini untuk tetap melestarikan peran Posyandu dalam pembangunan gizi dan kesehatan anak Balita sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, kader Posyandu jangan lagi dipandang sebagai ‘volunteer penimbang anak’ tetapi sebagai petugas lapang yang gajinya ditanggung seluruh masyarakat setempat.

 

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng, MS dan  Dr. Ir. Hardjanto, MS atas perkenannya menyetujui usulan paper / makalah kelompok ini.  Tak lupa juga kami sampaikan terimakasih kepada seluruh teman sejawat di kelas PPS-702 Darmaga, IPB atas perhatian dan kerjasamanya yang baik selama ini.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

ADB Nutrition & Development. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and Effectiveness of nutrition Interventions (ACC/SCN Nutrition Policy Paper No. 19 September 2001.

 

 

Apriadji, WH.  1986.  Gizi  Keluarga .  Penebar  Swadaya.  Jakarta.

 

Depkes, RI. 1993.  Pedoman Pemantauan Kesehatan Ibu dan Anak.  Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Jakarta.

Depkes R.I.  1994.  13 Pesan Dasar Gizi Seimbang.  Ditjen Binkesmas. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.  Jakarta.

_________. 1999.  Pedoman Pelaksanaan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK).  Jakarta.

_________.  1999a.  Pedoman Managemen Peranserta Masyarakat Cetakan ke-5.  Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes, Jakarta.

_________.  1999b.  Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar:  Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.  Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktoran Bina Kesehatan Keluarga. Depkes, Jakarta.

_________.   2000.  Tatalaksana Penanggulangan Gizi Buruk. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Ditjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta.

_________.   2000a.  Pedoman Pemberdayaan Pondok Bersalin Desa. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Ditjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta.

 

Soekirman, 2000.  Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Ditjen DIKTI, Depdiknas. Jakarta.

 

Suhardjo.  1989.  Sosio  Budaya  Gizi.  Depdikbud.  Dikti.  Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.  IPB.  Bogor.

 

Tandyo, D. 1999.  Masalah Gizi dan Pencegahan Generasi yang Hilang.  Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran – Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

 

Trihono. 1999.  Kesehatan Keluarga dan Gizi.  Laporan Kegiatan Proyek KKG, Departemen Kesehatan RI, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Jakarta.

 

UNICEF.  2003. Jaringan Perlindungan dan Hak Anak di Kota Surakarta.  Lokakarya Daerah Pembentukan Jaringan Komunikasi Peduli Anak.  Surakarta, Juli 2003.

 

USAID.  1990.  Communication for Child Survival (Terjemahan). Healthcom. ISBN 0-89492-065-0.  Bureau for Science and Technology Development.  Washington,DC.