©
Sekolah Pasca Sarjana IPB
Makalah Kelompok V, Materi
Diskusi Kelas Posted 16 April 2004
Pengantar Falsafah Sains (PPS
702)
Program Pasca Sarjana/S3
Kelas Baranangsiang
Institut Pertanian Bogor
April 2004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI SECARA TERPADU
(STUDI KASUS DAS CILIWUNG HULU)
Oleh :
Kelompok 3/PSL
Sri Hadiarti (P062034044)
Wahyu Hartomo (P062034204)
Tito
Murbaintoro (P062034134)
Winny
Dian Wibawa (P062034214)
Dwi
Iswari (P062034224)
Aranyaka
Dananjaya Axioma (P062034184)
DAS Ciliwung
termasuk salah satu DAS yang kondisinya telah rusak yang antara lain dicirikan
oleh tingginya fluktuasi antara musim kemarau dan musim penghujan, besarnya koefisien
limpasan dan tingginya debit maksimum. Penyebab kerusakan ini antara lain
dikarenakan faktor ekonomi, yang menyangkut perambahan hutan akibat desakan
mata pencaharian penduduknya serta perubahan lahan pertanian menjadi areal
pemukiman dan bangunan akibat ketidakkonsistenan dalam penegakkan peraturan.
Desa sebagai titik sentral pembangunan yang merupakan bagian integral dari DAS
perlu diberdayakan masyarakatnya dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam
DAS, artinya masyarakat perlu dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan DAS.
Oleh karena itu dalam penanganan DAS perlu mempertimbangkan aspek ekologis,
teknis dan sosial.Sehubungan dengan itu pendekatan pengelolaan DAS secara
terpadu dilaksanakan melalui pendekatan (a) Biofisik, seperti pengembangan
pertanian hutan, reboisasi, penghijauan, perkebunan sistim monokultur,
penanaman rumput, dan penanaman menurut
kontur (b) Teknis fisik, seperti channel
reservoir, pemanenan air, pembangunan sumur resapan, transfer air antar DAS, dan konservasi mekanik
lahan, (c) Sosial ekonomi, seperti pemberdayaan masyarakat, pengembangan
kelembagaan, penyuluhan, pengembangan produk ekowisata, dan pengembangan
pemasaran, (d) kebijakan, seperti pengaturan tataruang, pembentukan Tim
Koordinasi dan Pokja, Penetapan prioritas penanganan DAS Ciliwung. Pada intinya
berbagai pendekatan dan program yang ada agar dapat berhasil agar dapat untuk mengakomodasikan harapan dan
keinginan masyarakat dan pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
I. Pendahuluan
Sungai
Ciliwung merupakan salah satu sungai
yang melintasi wilayah DKI Jakarta, yang membentang sepanjang 76 km dari
kawasan Gunung Gede (1.500 m dpl) melewati kota-kota Bogor, Depok sampai DKI
Jakarta, yang bermuara di daerah Muara Baru, Muara Heemraad, dan Muara Pekapuran
Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang selalu menimbulkan ancaman
banjir pada setiap tahunnya, khususnya di musim penghujan. Sementara itu pada musim kemarau debit sungai
Ciliwung sangat kecil. Dengan
demikian terjadi fluktuasi debit sungai yang sangat besar antara musim kemarau
dan musim penghujan. Adanya fluktuasi
debit sungai yang besar tersebut merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, telah mengalami kerusakan.. Daerah aliran
sungai (DAS) adalah suatu wilayah
daratan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima
dan menyimpan air hujan, dan kemudian mengalirkannya melalui anak-anak sungai
dan keluar pada satu titik (outlet)
melalui sungai utama.
Terjadinya limpasan air yang besar pada
saat musim penghujan menunjukkan bahwa DAS tersebut tidak lagi mampu menyerap
curah hujan yang ada sehingga air yang diterima sebagian besar langsung
dialirkan melalui aliran permukaan (run
off) ke sungai. Terbatasnya jumlah air yang masuk ke dalam tanah juga
berdampak pada sedikitnya jumlah air yang memasok air tanah (groundwater), sehingga pada musim
kemarau debit air sungai menjadi kecil. Disamping itu besarnya limpasan
permukaan dapat menimbulkan erosi, yang dicirikan oleh warna air sungai yang
keruh (tidak jernih). Pada kondisi DAS yang baik, fluktuasi antara debit sungai
di musim penghujan dan kemarau adalah kecil, karena sebagian besar curah hujan
dapat diserap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan sangat kecil. Oleh
karena itu aliran airnya tampak jernih sebagai indikator bahwa lingkungan di
DAS tersebut dalam kondisi baik.
DAS sebagai sebuah ekosistem umumnya dibagi ke
dalam3 (tiga) daerah, yaitu daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir. Ekosistem
DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan fungsi tata air terhadap seluruh bagian DAS. Keterkaitan daerah
hulu dan hilir adalah melalui
keterkaitan biofisik, yaitu melalui siklus hidrologi. Hulu DAS Ciliwung
merupakan tempat yang sangat strategis, karena pada akhirnya penduduk DKI
Jakarta dan juga di sekitar DAS Ciliwung pada hakikatnya sangat tergantung pada
berfungsinya secara optimal sungai tersebut (Harinowo, 2003). Oleh karena itu
dalam kajian pengelolaan DAS Ciliwung ini lebih difokuskan pada penelaahan di
bagian hulu.
II. Ekosistem DAS Bagian Hulu
Ekosistem DAS Hulu pada umumnya dipandang
sebagai suatu ekositem pedesaan yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu
desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Interaksi dari keempat komponen tersebut akan berdampak pada
output yang akan dihasilkan, yaitu air, dalam hal ini sungai, dalam bentuk
debit dan kualitas air.
Desa merupakan komponen sentral dalam
pengelolaan DAS, antara lain dikarenakan faktor manusia di dalamnya. Pertumbuhan
jumlah manusia mengakibatkan ketidak seimbangan perbandingan antara lahan
pertanian dan kepemilikan lahan pertanian. Dengan kondisi dimana lapangan kerja
semakin terbatas serta ketrampilan terbatas berdampak pada kecilnya pendapatan
petani. Hal tersebut sering menyebabkan
terjadinya perambahan hutan dan lahan marjinal yang berakibat pada menurunnya
kualitas lingkungan. Kondisi inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya
peningkatan aliran permukaan, erosi dan muatan sedimen yang berdampak pada penurunan
kualitas air dan terjadinya fluktuasi debit sungai pada musim kemarau dan musim
penghujan (Asdak, 2002). Peningkatan aliran permukan ini dipicu pula perubahan
tata guna lahan, dimana daerah yang semula berfungsi sebagai daerah penampung
dan penyerap air hujan telah berubah fungsi sebagai daerah hunian, industri dan
lainnya (Diah, 2002). Perubahan tersebut dipicu oleh pengembang atau individu
yang melihat peluang ekonomi kawasan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan
pemukiman.
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh
Harinowo (2003) yang menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya perambahan
hutan dan kerusakan lingkungan ialah disebabkan oleh alasan “ekonomi”. Alasan
ekonomi ini tidak hanya terkait dengan kelaparan dan kemiskinan, tetapi juga menyangkut
masalah “kerakusan” untuk memperoleh daerah yang strategis (Harinowo, 2003). Jika dikaitkan dengan kerusakan lingkungan di DAS
Ciliwung Hulu sangatlah relevan, di satu sisi adanya tekanan eknomi bagi
masyarakat di pedesaan, di sisi lain terjadinya perubahan tataruang akibat alih
fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman dan bangunan lainnya. Permasalahan
inilah yang akan menjadi fokus bahasan dalam rangka pengelolaan DAS Ciliwung di
bagian hulu. Komponen-komponen Ekosistem DAS Hulu serta interaksi antar
komponen, secara umum disajikan pada Gambar 1.
III. Kondisi DAS Ciliwung Hulu
DAS Ciliwung Hulu mempunyai luas 14.867
ha, yang terdiri hutan seluas 4.274 Ha (28,8%), Pertanian 9.503 Ha (63,9%) dan
pemukiman 1.099 ha (7,4%). Areal pertanian terdiri dari perkebunan 2.407 ha
(16,2%), kebun campuran 1.775 ha (11,9%), tegalan/lahan kering 1.543 ha (10,4%)
dan sawah 3.777 ha (25,4%). Ditinjau dari perbandingan antara luasan hutan di
daerah hulu dengan luasan DAS secara keseluruhan, luasan hutan tersebut hanya
12%, sementara luasan hutan ideal dalam suatu DAS adalah 30% (Saparjadi, 2002).
Hal ini berarti menunjukkan bahwa luasan hutan DAS Ciliwung jauh dari kondisi
ideal dari suatu DAS.
Gambar 1. Komponen Ekosistem DAS
Hulu
Dengan
mengacu pada indikator kerusakan suatu DAS, yang dicirikan oleh Rasio debit
sungai maksimum dan minimum, koefisien limpasan, erosi dan sedimentasi, muka
air tanah dan debit mata air; beberapa indikator telah menunjukkan bahwa DAS
Cilwung Hulu telah mengalami kerusakan, yaitu antara lain :
a. Nilai koefisien limpasan DAS Ciliwung
telah mencapai 67%, dengan mengacu pada debit sungai Ciliwung yang mencapai
2.363 mm/tahun dan curah hujan rata-rata 3.519 mm/tahun. Data dari hidrograf
menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan berkisar antara 60-75% (Prastowo,
2003).
b. Rasio debit air sungai maksimum dan minimum
Rasio debit air sungai Ciliwung maksimu dan minimum mencapai 146 : 1 yang menunjukkan ancaman kekeringan dan turunnya muka air tanah yang tajam pada musim kemarau. Angka tersebut telah sangat jauh melebihi batas wajar yang aman.
c. Debit maksimum
Terjadinya perubahan tataguna lahan di DAS Ciliwung pada periode 1990-1996 telah meningkatkan debit puncak (maksimum) dari 280 m3/detik menjadi 383m3/detik. Perhitungan debit banjir 100 tahunan yang dilakukan oleh JICA pada tahun 1997 dibandingkan dengan data tahun 1973 menunjukkan perbedaan yang cukup nyata, yaitu terjadi peningkatan dari 370 m3 menjadi 570 m3 (Djendam, 2002)
d. Erosi dan sedimentasi
Secara kumulatif laju erosi yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu mencapai 19,3 ton/ha/tahun, dengan indeks erosi sebesar 1,29 (lebih besar dari 1), dengan kehilangan lapisan tanah akibat erosi sebesar 1,6 mm/tahun.
e. Debit mata air
Telah terjadi penurunan debit mata air, khususnya pemanfaatan oleh PDAM Bogor sebesar 4-15%
Kondisi di atas mencerminkan bahwa DAS Ciliwung Hulu perlu mendapat perhatian dan penanganan serius. Dengan mengacu pada konsep pendekatan ekosistem DAS yang berbasis desa, kondisi lapangan yang ada dan data yang tersedia, kerusakan yang terjadi di DAS Ciliwung Hulu disebabkan antara lain oleh :
a. Luasan hutan yang semakin kecil akibat terjadinya perambahan hutan dan perubahan hutan menjadi lahan pertanian, yang berdampak pada meningkatnya aliran permukaan dan berkurangnya kapasitas tanah untuk menyimpan air
b. Beralihfungsinya lahan-lahan pertanian menjadi areal pemukiman & hotel, yang juga berdampak pada meningkatnya aliran permukaan
c. Budidaya pertanian yang tidak mengacu pada kaidah konservasi, yang berdampak pada meningkatnya erosi
IV. Analisis Permasalahan
Dalam menganalisis DAS, output yang diharapkan adalah tersedianya air dalam jumlah yang memadai dengan fluktuasi yang kecil antara musim penghjan dan musim kemarau serta kualitas air yang baik.
Dalam
pengelolaan DAS, Asdak (2002) mengemukakan perlunya mempertimbangkan
aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan yang beroperasi di dalam
dan di luar DAS. Artinya, pendekatan teknis saja melalui berbagai kegiatan yang
terkait dengan konservasi tanah, hutan dan air saja tidak cukup, diperlukan
pendekatan lainnya dalam mendukung aspek pendekatan teknis. Waryono (2002)
mengemukakan bahwa keterpaduan dalam pemulihan, penyelamatan, pelestarian dan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan DAS secara optimal yang
akan memberikan keuntungan ekologis, ekonomis maupun sosial dikenal dengan
pendekatan bioregional. Hal
ini mengacu pada keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya. Dalam
pendekatan ini berkembangnya sosio-teknosistem cenderung akan mendesak
keberadaan ekosistem suatu DAS. Sosiosistem ditelusuri melalui pola hidup
masyarakat, tingkat pengetahuan dan pendidikan, kesehatan, pendapatan perkapita
dan tingkat kepedulian terhadap potensi sumberdaya alam dan lingkungannya. Sedangkan
teknosistem ditelusuri berdasarkan aspek penggunaan tanah baik untuk penerapan
teknologi budidaya, industri, maupun pemanfaatan lainnya yang erat kaitannya
dengan konservasi tanah.
Pola dasar sistem penyelesaian baik secara fisik
maupun ekonomi yang dilakukan selama ini menunjukkan hanya sebatas penyelesaian
sementara antara lain dengan pengerukan dan normalisasi sungai, penghijauan
sporadis, pemberian ijin perubahan fungsi lahan untuk kawasan permukiman yang
tidak didasarkan pertimbangan kepentingan sektor lain dan keseimbangan
lingkungan. Oleh karena itu Master Plan DAS Ciliwung dan Cisadane (1997) yang
sudah ada mudah mudahan dapat digunakan sebagai acuan Pemerintah Kota/
Kabupaten dalam melaksanakan program pembangunan di daerahnya termasuk program
berbagi pendanaan yang secara diagramatis dapat dikemukakan pada gambar berikut
ini
Sehubungan dengan hal itu pendekatan dalam menjawab permasalahan DAS Ciliwung Hulu dikelompokkan kedalam 4 (empat) pendekatan, yaitu pendekatan (a) teknis biofisik, (b) teknis fisik, (c) sosial ekonomi, dan (d) kebijakan. Secara garis besar kondisi DAS Ciliwung yang disajikan dalam Gambar 2.
a. Pendekatan teknis biofisik.
Merupakan pendekatan pada aspek biofisik, dengan
penekanan pada pengembangan kultur teknis, pola tanam, pilihan komoditas yang
akan dikembangkan yang terkait dengan sistim usahatani yang berkelanjutan.
1. Pertanian
hutan (agroforestry)
Merupakan suatu sistim usaha tani yang telah lama
dipraktekan di Negara-negara berkembang
dan sangat relevant dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di
negara-negara berkembang. Sistim pertanian-hutan pada prinsipnya merupakan
suatu sistim usaha tani atau penggunaan tanah yang mengintegrasikan tanaman tahunan berkayu di atas lahan yang
sama dengan tanaman rendah (semusim) secara spatial dan atau temporal.
Dengan demikian
sistim ini merupakan penggunaan tanah terpadu dengan mengakomodasikan
aspek ekologi dan ekonomi, dan sesuai untuk tanah-tanah marjinal dan sistim
masukan rendah. (Arsyad, 1989). Pertanian hutan dapat memadukan bermacam-macam
tanaman yang masing-masing memiliki fungsi konservasi tanah dan air, maupun
fungsi pendukung ekonomi masyarakat. Sistem
usaha tani pertanian-hutan ini dapat dikelompokkan ke dalam :
- Kebun
Pekarangan
Merupakan kebun campuran yang tidak teratur antara
tanaman tahunan (buah-buahan) dan tanaman semusim di sekitar pekarangan dengan
fungsi penyediaan karbohidrat, vitamin dan mineral, serta obat-obatan sepanjang
tahun
- Talun-kebun
Merupakan pertanian-hutan tradisional dimana
berbagai macam tanaman ditanam secara spatial dan urutan temporal. Lokasinya
jauh dari pekarangan, dengan fungsi (1) penyediaan subsisten karbohidrat,
protein, vitamin dan mineral, (2) produksi komoditas komersial, (3) konservasi
tanah dan genetic, (4) sosial (penyediaan kayu baker bagi desa, (5) peningkatan ekonomi masyarakat dari hasil
komoditas komersial. Pertanian talon-kebun ini telah berhasil dikembangkan di
daerah Jawa Barat.
- Tumpang sari
Tumpang sari bertujuan untuk mengintensifkan
kegiatan Pertanian, pemanfaatan sumber daya secara optimal, serta menyelamatkan
sumber daya lahan dan air, serta mengurangi resiko kegagalan panen (Direktorat
Pengembangan Usaha, 2003). Prinsip tumpang sari adalah keanekaragaman vegetasi,
dengan penanaman bermacam-macam tanaman, berupa tanaman keras/ kayu-kayuan dan
buah-buahan, dengan intercrop tanaman semusim seperti tanaman pangan, tanaman
obat-obatan, tanaman penutup dll.
- Rumput-hutan
Merupakan usahatani campuran antara kehutanan dan
peternakan (sylvopasture), dimana rumput ditanam di bawah pohon damar,
pinus dan Albisia sp. Pengembangan
system ini dapat berhasil di daerah yang petaninya mempunyai ternak, tapi tidak
ada ladang untuk penggembalaan. Selain sebagai pakan ternak, rumput berfungsi
sebagai pencegah erosi yang ditanam sebagai
penutup tanah, penguat teras dan guludan serta penguat tebing-tebing
pada tanah yang miring. Dalam usaha Pertanian, rumput dapat dimanfaatkan
sebagai mulsa dan pupuk kompos.
- Pertanaman lorong
Merupakan penanaman tanaman semusim atau tanaman
pangan di lorong antara barisan pagar tanaman pohon. Tanaman pagar dijaga agar
tetap rendah agar tanaman semusim tidak ternaungi, kecuali jika tidak ada
tanaman semusim maka tanaman pagar dibiarkan tumbuh bebas. Pada tanah yang
berlereng, tanaman pagar dan tanaman semusim ditanam mengikuti kontur agar
erosi dapat tercegah dengan baik.
Sistem usahatani pertanian-hutan ini merupakan
system usahatani tradisional yang telah dikenal oleh masyarakat namun telah
dilupakan, tetapi ternyata efektif untuk mengatasi berbagai masalah kerusakan
lingkungan di negara-negara berkembang akibat adanya pertambahan penduduk. Disamping
itu, hasil usaha pertanian tersebut sekaligus dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
2. Reboisasi
Reboisasi merupakan upaya untuk penghutanan
kembali (penanaman kembali) hutan-hutan yang telah rusak dengan tanaman hutan,
atau pada daerah-daerah yang berlereng curam dimana faktor erosi dapat terjadi.
Upaya reboisasi ini dapat berhasil apabila masyarakat di sekitar hutan terlebih
dahulu diberdayakan. Pemilihan pohon untuk reboisasi hendaknya memperhatikan
faktor ekologidan faktor ekonomi serta faktor sosial penduduk di sekitarnya. Khusus
untuk reboisasi tanah gundul, disamping dipilh jenis tanaman yang bernilai juga
harus cepat tumbuh, sehingga mampu menahan dan mengawetkan tanah dan air
(Manan, 1997)
3. Penghijauan
Merupakan upaya penanaman pohon-pohonan di
lahan-lahan di luar kawasan hutan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat dan sekaligus mengawetkan lahan (mengurangi terjadinya
erosi). Penghijauan akan efektif bila diarahkan pada penanaman tanaman pohon
yang bernilai ekonomis, seperti buah-buahan. Pemerintah pada saat ini tengah
menggalakkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), dimana
tanaman buah-buahan menjadi salah satu pilihan yang digunakan untuk
penghijauan. Pada penerapan program ini peran dan partisipasi masyarakat perlu
dilibatkan sejak awal perencanaan, sehingga dapat dikembangkan komoditas-komoditas yang sesuai dengan
harapan petani, khususnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta baik untuk
konservasi lahan. Penghijauan dapat dilaksanakan pada jalur penyangga, jalur
hijau dan daerah aliran sungai, sebagai berikut :
o Penghijauan pada daerah penyangga
Penghijauan dilakukan pada daerah perbatasan antara hutan dengan pemukiman masyarakat atau areal budidaya tanamanm yang dinamakan daerah pengangga hutan (buffer zone), yang cukup rentan terhadap timbulnya permasalahan lingkungan. Derah ini merupakan pintu masuk bagi masyarakat kawasan hutan, oleh karena itu pengembangan dan pengelolaan buffer zone dengan penanaman komoditas komersial seperti buah-buahan sangat penting, sehingga dapat mencegah dan mengurangi minat masyarakat untuk merambah hutan.
o Penghijauan pada jalur hijau/ koridor
Penghijauan dilakukan di daerah “antara”
yang menghubungakan hutan dengan pemukiman. Daerah koridor ini sebaiknya
ditanam bermacam-macam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi. Disamping untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, keaneka ragaman tersebut sebagai relung kehidupan
fauna, sehingga tidak terjadi proses pemutusan flora dan fauna dari ekosistem
hutan ke daerah budidaya tanaman (Ditjen BPH, 2003).
4. Sistem perkebunan/ mokokultur
Merupakan penanaman satu jenis komoditas
tanaman dengan maksud untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dalam usaha
tani. Komoditas yang dikembangkan adalah komoditas tanaman pohon, yang
mempunyai sistem perakaran yang dalam, seperti tanaman buah-buahan, disamping
juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi Biasanya menggunakan input sarana
produksi yang tinggi (intensifikasi). Dalam penanaman monokultur perlu diikuti
oleh upaya konservasi antara lain :
o
Pada
lahan yang bergelombang/ miring perlu pembuatan teras-teras dan guludan untuk
menghambat aliran permukaan air dan mengurangi erosi, serta menampung dan
menyalurkan aliran air dengan kekuatan yang tidak merusak.
o Pengolahan tanah minimum, dilakukan secara terbatas/ seperlunya pada lobang tanam saja
o Tanaman utama misalnya komoditas buah-buahan seperti jeruk, durian, mangga dll, pada teras ditanam menurut sabuk gunung atau memotong lereng
o Penanaman rumput-rumputan pada guludan dan lereng-lereng/ tebing untuk mencegah erosi
5. Penanaman rumput
Selain sebagai tanaman penutup, rumput juga berperan
sebagai tanaman penguat teras dan guludan. Jenis tanaman rumput yang dianjurkan
ialah rumput gajah, rumput kolonjono dan rumput bahi (Paspalum notatum).
Tempat penanaman rumput dapat di galengan/pematang,
talud teras, dinding dan dasar saluran pengairan, serta di tebing-tebing
sungai. Sedangkan cara penanamannya dapat dilakukan secara rapat, secara
barisan menurut arah kontur, atau secara berselang-seling menurut arah lereng.
Tanaman rumput harus disulam terus menerus sehingga rapat dan dipangkas secara
periodik untuk mencegah supaya tidak menjadi sarang tikus.
6.
Penanaman menurut kontur
Penanaman
menurut kontur berarti penanaman dilakukan menurut sabuk gunung atau memotong
lereng. Cara ini dilakukan pada tanah-tanah yang berlereng dengan membuat
guludan-guludan
b. Pendekatan teknis fisik
Merupakan pendekatan yang mengacu pada pembangunan sarana dan prasarana bangunan dalam rangka pengendalian banjir (limpasan air sungai)
1. Channel reservoir
Merupakan upaya untuk
menampung, menyimpan dan mendistribusikan air di alam, dengan membendung aliran
air di sungai, sehingga air tersebut dapat mengalir ke samping dan mengisi
reservoir. Pola ini mengacu pada pengembangan sistim sawah teras bertingkat.
Terdapat 3 (tiga) manfaat yang dapat diperoleh, yaitu : (a) menampung sebagian
besar volume air hujan dan aliran permukaan, (b) menurunkan kecepatan aliran
permukaan, (c) peningkatan cadangan air tanah (Irianto, 2003)
2. Pemanenan
Air (Water harvesting)
Merupakan upaya penampungan air aliran permukaan
melalui pembangunan waduk-waduk kecil. Teknologi ini telah dikembangkan di
Gunung kidul dengan ukuran waduk yang mampu menampung air sejumlah 300 m3 (20 m
x 5 m x 3 m). dan dapat mengurangi volume dan kecepatan aliran air permukaan,
menyimpan air untuk musim kemarau. Pembuatan waduk-waduk kecil dalam jumlah
yang banyak, jika diterapkan di DAS Ciliwung Hulu akan mampu meretensi air dan
mengurangi volume air yang dialirkan melalui aliran permukaan (Irianto, 2003)
3. Pembangunan
sumur resapan
Salah satu penyebab terjadinya peningkatan aliran
air permukaan di DAS Ciliwung Hulu adalah akibat terjadinya alih fungsi lahan
dari lahan pertanian menjadi areal pemukiman. Dengan demikian air hujan yang jatuh
tidak dapat diserap oleh tanah tetapi air mengalir dari permukaan beton atau
aspal menuju saluran (parit), dan selanjutnya menuju sungai. Untuk itu agar
mengurangi air yang melimpas tersebut diperlukan pembuatan sumur-sumur resapan
di setiap bangunan, yang mampu menyimpan/menahan air yang jatuh dari
talang-talang bangunan agar tidak
melimpas, tetapi dapat mengisi air di dalam tanah.
Teknologi resapan
air yang dikembangkan oleh Sunjoto, (1998) cukup menarik yakni dengan “sistem drainase air hujan berwawasan
lingkungan”. Akhir akhir ini dikeluhkan adanya intrusi air laut jauh ke wilayah
daratan yang akan mengakibatkan defisit air di beberapa wilayah khususnya kota
kota di pulau Jawa. Dengan system tersebut dan di padukan dengan upaya
reboisasi di daerah hulu dan penataan pola konsumsi air yang benar maka
kekhawatiran kekurangan sumber air bersih akan dapat dihindarkan.
Sistem drainase air
hujan berwawasan lingkungan pada prinsipnya adalah sistem sumur resapan yang
telah dikemukakan diatas yakni dimulai dari masing masing rumah/ tempat
bermukim dengan cara menampung air hujan yang jatuh di atap atau diperkerasan
untuk tidak dialirkan langsung ke system drainase perkotaan/ sungai melainkan
dialirkan kedalam sumuran yang di buat di setiap halaman rumah atau hamparan
terbuka baik secara individual maupun secara kolektif. Cara tersebut
dimaksudkan untuk menampung air yang berkualitas dapat meresap kembali ke dalam
tanah.
Konstruksi sumur
resapan seperti halnya sumur gali yakni dengan dinding perkuatan di bagian atas
dan ruang sumur dibagian bawah di rencanakan kosong untuk menampung air
sebanyak mungkin. Manfaat
yang diperoleh dari system ini antara lain :
· Mencegah intrusi air laut untuk perkotaan daerah pantai
·
Mereduksi
dimensi jaringan drainase perkotaan
·
Menghindari
kemungkinan terjadinya banjir di daerah hilir
·
Menurunkan
konsentrasi pencemaran air tanah
·
Mempertahankan
tinggi muka air tanah
·
Melestarikan
teknologi tradisional
·
Meningkatkan
peran serta masyarakat
·
Membudayakan
pola pikir pelestarian lingkungan
Disain sumur
resapan tersebut disesuaikan dengan : debit air yang mungkin dapat di tampung
di sumur resapan, faktor geometrik, durasi aliran, radius sumur (Sunjoto, 1989)
4. Transfer air antar DAS (water transfer from basin to basin)
Merupakan upaya untuk menurunkan debit maksimum (peak discharge) dan waktu puncak (time to peak discharge), dengan mengalirkan air dari sungai Ciliwung ke sungai Cisadane melalui pembangunan saluran (sodetan), yang kini telah menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah dalam mengatasi banjir di DKI Jakarta akibat melimpahnya volume air sungai Ciliwung.
5. Konservasi mekanik lahan
Konservasi cara mekanik menggunakan sarana fisik
seperti batu, tanah dll, yang bertujuan untuk memperlambat aliran permukaan dan
mengurangi erosi, serta menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan
kekuatan yang tidak merusak. Menurut Direktorat Tanaman Buah (2001) dikenal
beberapa teknik konservasi mekanik lahan untuk usaha pertanian sebagai berikut
:
o
Pengolahan
tanah menurut kontur/ memotong lereng
Pengolahan tanah yang dilakukan menurut kontur
atau sabuk gunung, baik dengan pembajakan, pencangkulan atau perataan, sehingga
terbentuk alur-alur dan jalur-jalur tumpukan tanah yang searah dengan kontur.
Alur tanah tersebut akan merupakan penghambat erosi. Pengolahan tanah menurut
kontur ini sebainya diikuti dengan penanaman dalam baris-baris memotong lereng.
o
Pembuatan
guludan, teras, dan saluran/ pembuangan air.
Beberapa cara dikenal guludan biasa, teras (teras
guludan, teras kredit/sederhana dan teras bangku). Sedangkan saluran air berupa
saluranpembuangan dan got buntu/rorak.
o
Guludan
biasa
Guludan biasa dibuat pada lahan dengan kemiringan
lereng dibawah 6%, dimaksudkan untuk
aliran permukaan yang mengalir menurut arah lereng. Dibuat menurut kontur,
sedikit miring yang menuju saluran pembuangan. Pada guludan sebaiknya ditanami
rumput penguat guludan dan tanaman tahuan penguat teras seperti lamtoro.
o
Teras
guludan dan teras kredit
Teras guludan dibuat pada lahan dengan kemiringan
lereng 6-15%, arah memanjang sejajar kontur dan menuju ke saluran. Teras kredit
merupakan penyempurnaan dari teras guludan yang memungkinkan daya tampung
lumpur lebih besar lagi.
o
Teras
bangku
Teras bangku dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng
8-30%. Teras bangku memiliki bentuk khas, antar bidang olah teras dibatasi oleh
terjunan. Teras bangku terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bidang olah,
talut, guludan atau galengan dan saluran pembuangan air.
o
Saluran/pembuangan air
Untuk mengatasi genangan air dan mengatur
jalannya air perlu dibuat saluran air. Pembuatan saluran pembuangan air
dilakukan untuk mengendalikan air sehingga tidak merusak teras, guludan dan
untuk meningkatkan presapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat pada tempat-tempat
yang terjadi akumulasi air hujan dan air tsb dialirkan menuju saluran
pembuangan air alami. Pada permukaan saluran perlu ditanami rumput.
Pada tempat yang memiliki ketinggian yang berbeda,
perlu dibuat bangunan terjunan air yang diberi penguat dengan batu, bambu atau
kayu. Dengan demikian air yang mengalir turun tidak akan mengikis tanah yang
menimbulkan longsor.
Dikenal
saluran air yang buntu, yang disebut rorak. Rorak dibuat untuk menampung
air hujan yang jatuh dan air aliran permukaan dari bagian atas, sehingga
tanah-tanah yang tererosi dari bagian atasnya diendapkan pada rorak dan tidak
hanyut/hilang terbawa air. Setelah rorak penuh endapan tanah erosi, digali lagi
dan tanah diratakan pada bidang olah teras.
c. Pendekatan Sosial & Ekonomi
Merupakan pendekatan dari sisi pemberdayaan masyarakat di dalam DAS dalam menjaga dan memelihara DAS, yang sekaligus sebagai sarana dalam mengembangkan usaha ekonomi
1. Pemberdayaan Masyarakat
Karena pemberdayaan
masyarakat merupakan inti dan sekaligus tujuan setiap proses pengembangan
masyarakat (community development), maka kerangka berpikir pemberdayaan
masyarakat akan sepenuhnya terkait dengan pengembangan masyarakat. Dalam hal pemberdayaan masyarakat dalam
konsep pembangunan ini, istilah pengembangan atau pembangunan masyarakat tetap
menekankan pada pendekatan swadaya. Karena itu pengembagan masyarakat perlu dibangun di atas realitas
masyarakat.
Pada dasarnya pengembangan masyarakat yang
dibangun di atas realitas diyakini akan lebih mampu menjamin pemberdayaan
masyarakat, yakni proses untuk membina kemampuan masyarakat untuk mewujudkan
daya kerjanya dalam memperbaiki martabat dan kedudukan sendiri. (Nasution,
2004)
Menurut Naustion (2004), terdapat 4 (empat)
strategi yang dapat digunakan dalam melakukan pemberdayaan yaitu:
o
Strategi
fasilitas, strategi ini dipergunakan ketika kelompok atau sistem yang dijadikan
target mengetahui ada suatu masalah dan membutuhkan perubahan, kemudian ada
keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan pribadi untuk terlibat.
o
Strategi
reeduktif, strategi ini membetuhkan waktu, khususnya dalam membentuk
pengetahuan dan keahlian.
o
Strategi
persuasif, strategi ini berupaya membawa perubahan melalui kebiasaan.
o
Strategi
kekuasaan, membutuhkan agen perubahan yang mempunyai sumber-sumber untuk
memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk
memonopoli akses.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka kegagalan
dan keberhasilan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh kemampuan semua pihak yang
terlibat pada proses pengembangan masyarakat dalam memahami realitas masyarakat
dan lingkungannnya, sistem keprcayaan dan sistem nilai masyarakat tentang arti
perubahan dan arti masa depan, mindscape
masyarakat dalam bersikap dan berperilaku, serta faktor-faktor yang
menentukan terbentuknya suatu mindscape tertentu. Dengan kata lain, pemahaman
akan budaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya masyarakat
akan menentukan keberhasilan suatu program atau proyek pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.
2. Pengembangan kelembagaan
Pengembangan kelembagaan diarahkan untuk
dapat lebih melibatkan masyarakat dan memberdayakan masyarakat, dengan basis
agar aktivitas ekonomi dapat berjalan tanpa mengganggu kelangsungan ekosistem
atau mampu menjaga kelestarian alam., antara lain:
- Pengembangan Koperasi
Koperasi dikembangkan untuk memenuhi dan
menampung kebutuhan warga
- Pemberdayaan Pondok Pesantren
Pesantren mempunyai peran strategis sebagai
institusi yang bergerak di bidang spiritual, ekonomi dan penjaga kelestarian
alam. Oleh karena itu pemberdayaan pesantren diharapkan akan mampu menjadi
acuan dan panutan dalam pengembangan model-model percontohan usaha pertanian
yang terkait dengan pelestarian alam
-
3. Penyuluhan
Penyuluhan ditekankan pada pengembangan usaha ekonomi produktif yang tidak merusak lingkungan, khususnya di bidang usaha pertanian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan, serta pelestarian lingkungan.
Penyuluhan dapat dilaksanakan dalam bentuk pameran pendidikan, penyuluhan ke sekolah-sekolah, kelompok-kelompok tani, pesantren, PKK, karang taruna, dan lain-lainnya.
4. Pengembangan Produk Ekowisata
Pariwisata
telah menjadi salah satu kegiatan ekonomi global yang terbesar, dan melalui
pengembangan produk ekowisata diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk membiayai konservasi
alam dan meningkatkan nilai lahan yang dibiarkan alami (The Ecotourism
Society, 1999). Karena itu,
pengembangan sebuah produk yang mampu memberikan kontribusi positif bagi
lingkungan harus menjadi prioritas.
Ekowisata merupakan gabungan dari berbagai
kepentingan yang muncul dari kepedulian terhadap masalah sosial, ekonomi dan
lingkungan. Dengan kata lain, ekowisata adalah wisata bertanggung jawab ke
daerah alami yang melestarikan lingkungan.
Pengembangan ekowisata yang benar harus
dilakukan berdasarkan system pandang yang mencakup di dalamnya prinsip
berkelanjutan dan partisipasi keterlibatan penduduk setempat di dalam area DAS
yang potensial untuk pengembangan ekowisata. Jadi, di sini ekowisata harus
berupa kerangka sebuah usaha bersama antara penduduk setempat dan pengunjung
yang peduli dan berpengetahuan untuk melindungi lahan-lahan liar dan asset
biologi, serta kebudayaan melalui dukungan dari pengembangan masyarakat. Pengembangan
masyarakat di sini kita definisikan
sebagai pemberdayaan kelompok setempat yang sudah ada untuk mengontrol dan
mengelola sumber daya yang berharga dengan cara yang tidak hanya menjaga
kelangsungan sumber daya tersebut tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial, budaya
dan ekonomi dari kelompok tersebut (Nasution, 2004)
5. Pengembangan pemasaran
Dalam
pengelolaan DAS agar dapat lestaris perlu ditangani melalui penanganan teknis dan sosial ekonomi, untuk
memasarkan produk produk hasil DAS Ciliwung tidak lah sulit, selain DAS hulu
merupakan daerah wisata, juga dekat dengan daerah pemasaran potensial yaitu
Bogor, Depok dan Jakarta. Dengan melalui kelompok kelompok masyarakat yang
dibentuk yang diikat melalui paguyuban usaha Koperasi, sehingga produk produk
tersebut mudah cara pemasarannya, baik melalui pasar tradisional, supermaket
dan mall. Yang lebih penting justru menjaga kualitas dan kontinuitasnya, shg
dengan demikian pemasran dapat diusahakan secara effisien. Untuk itu perlu
diciptakan jaringan yang mantap antara produsen (petani) dengan tempat
pemasaran (pasar tradisional, Super maket dan mall).
d. Pendekatan
kebijakan
Penataan air DAS Ciliwung adalah bagian dari
penataan ruang Jabodetabek-Punjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur), yang berdasarkan peraturan pemerintah No. 47 tahun 1997
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ; kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bakasi dimana Depok termasuk di dalamnya, dan kawasan Depok, Puncak dan Cianjur
dikategorian sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus. Selain
itu juga pemanfaatan ruangnya diatur dengan Kepres RI Nomor 114 tahun 1999,
tentang Penataan Ruang Bopunjur sampai dengan tahun 2014 yang di dalamnya
mencakup pembangunan 2 (dua) buah waduk di hulu sungai. Keppres tersebut
sekarang akan diperbaharui dengan Kepres yang lebih menyeluruh (masih dalam
tahap persiapan). Pembahasan mengenai hal ini melibatkan Pemerintah Pusat,
Proinsi, Kabupaten dan Kota.
Kawasan ini terbagi atas zona Budibaya (B) dan
zona Non budidaya (N). Zona Budidaya dan zona Non budidaya adalah zona-zona
yang ditetapkan karakteristik pemanfatan ruangnya, berdasarkan dominasi fungsi
kegiatan masing-masing zona pada kawasan budidaya dan kawasan lindung.
Untuk DAS Ciliwung masalah yang penting menyangkut
kedua jenis zona tersebut adalah :
- Keseimbangan
lingkungan secara terpadu
- Penyediaan
dan pengelolaan air baku
- Sistem pengendalian banjir, sbb:
o
Reboisasi
hutan dan penghijauan tangkapan air
o
Pentaan
kawasan sungai dan anak-anak sungainya
o
Normalisasi
sungai dan anak-anak sungainya
o
Pengembangan
waduk-waduk pengendali banjir dan pelestarian situ-situ
o Pembangunan prasarana dan pengendali banjir
- Sistem pengelolaan persampahan
Dari hulu ke hilir DAS Ciliwung akan mempengaruhi dan melalui kawasan-kawasan (zona N) yang diarahkan untuk konservasi air dan tanah :
- Kawasan hutan lindung
- Kawasan resapan air
- Kawasan dengan kemiringan tertentu
- Sempadan sungai
- Sempadan pantai
- Kawasan sekitar danau/ waduk/ situ
- Kawasan sekitar mata air
- Kawasan pantai berhutan bakau
-
-
Sedangkan
untuk kawasan budidaya lainnya maka DAS Ciliwung akan dipengaruhi oleh
permukiman sepanjang DAS dan peruntukan lain seperti industri. Penataan bangunan dan lingkungan di perkotaan dan
di perdesaan yang sesuai dengan pola pemanfaatan ruangnya. Pengendalian
pemanfaatan ruang sangat penting antara lain dengan pemberian izin membangun
bangunan gedung, prasaranan dan sarana lingkungan.
Selain itu, perlu difikirkan kebijakan
satu sungai satu pengelolaan, agar sungai dapat hidup secara alami dalam
kerangka penataan ruang yang disetujui lintas provinsi, kabupaten dan kota
seperti telah diaksanakan pada DAS Bengawan Solo dalam lembaga otorita. Pelaksanaan
penataan ruang kawasan Jabodetabek-Punjur difasilitasi oleh Badan Kerjasama
Antar Daerah.
Untuk dapat lebih mengoperasionalkan dalam
pengelolaan DAS Ciliwung, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah telah
membentuk Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sungai Ciliwung,
melalui Kepmen Kimpraswil No. 20/Kpts/M/2002. Anggota Tim Koordinasi terdiri
dari para Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, Ketua
& Wakil Ketua Pokja, Direktur Perkotaan Metropolitan serta konsultan
Belanda. Kelompok Kerja terdir dari 3 (tiga), yaitu Pokja Tata Ruang dan
Lingkungan Hidup, Pokja Bidang Perumahan dan Perkotaan, serta Pokja Bidang
Pengelolaan Sungai Terpadu
Disamping itu Menteri Kehutanan dan
Perkebunan telah menetapkan bahwa DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS yang
diprioritaskan untuk diperbaiki mengingat posisi strategis dalam pengelolaan
sumberdaya alam. DAS
Ciliwung masuk dalam daftar Prioritas I penanganan bersama 61 DAS lainnya, dari
sejumlah 178 DAS yang ada di Indonesia.
Dalam penataan ruang dan penataan
bangunan di DAS Ciliwung dan sekitarnya hendaknya berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan dengan mengacu pada pendekatan bioregional yang memiliki
4(empat) hal pokok (Ahmad, 2002) :
-
Wilayah-wiayah
yang didefinisikan secara biologis menawarkan skala spasial paling
menguntungkan dimana sejumlah bentuk human governance dan pembangunan
bisa dipraktekkan.
-
Human governance (tatanan yang berkemanusiaan) dalam sebuah bioregional hendaknya
bersifat demokratis dan bertanggung jawab pada pengendalian lokal, serta harus
mengembangkan kualitas hidup yang tinggi dan berkeadilan social
-
Pembangunan
ekonomi dalam sebuah bioregional
hendaknya dikelola secara lokal menggunakan teknologi yang layak dan
mengembangkan ekploitasi ekosistem.
-
Interdependensi
politik dan ekonomi bioregional hendaknya dilembagakan ditingkat-tingkat
pemerintahan
Upaya- upaya yang dilakukan untuk pengelolaan
terpadu DAS, antara lain dengan pendekatan (a) teknis biofisik , melalui
pertanian hutan, reboisasi, penghijauan dan sistem perkebunan monokultur, (b)
teknis fisik melalui channel reservoir,
pemanenan air (Water harvesting), pembangunan sumur resapan dan transfer
air antar DAS (water transfer from basin to basin), (c) sosial ekonomi,
melalui pemberdayaan masyarakat,
pengembangan kelembagaan, penyuluhan, pengembangan produk Ekowisata dan
pengembangan pemasaran, serta (d) kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A.
2002. Redesain Jakarta. Tata Kota
Tata Kita 2020. Kotakita Press, Jakarta
Arsyad, S.
1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB
Press,
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai.
Directorate General of Water Resources, 2002. Basin Water Resources Planning (BWRP) Twinning Cooperation. Ministry of Settlements and Regional Infrastructure in cooperation with Rijkswaterstat in association with NEDECO, Deef Hydraulics, DHV Consultants, Witteveen & Bos and Wiratman & Associates, Mitra Lingkungan Duta Consult, Jakarta.
Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura, 2003.
Model Agribisnis Hortikultura untuk Konservasi Sumberdaya Alam. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.
Direktorat Tanaman Buah, 2001.
Pedoman Pengembangan Buah Dalam Rangka Konservasi Lingkungan. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Jakarta.
Harinowo, C.
2003. Washington dan Hutan DAS
Ciliwung. Suara
Pembaruan Daily. http://216.239.57.104/search?q=cache:ss14kJOBExgJ:www.suarapembaruan.com/News/20... Down loaded 1/28/2004
Irianto, G.
2003. Kumpulan Pemikiran Banjir
dan Kekeringan, Penyebab, Antisipasi dan Solusinya. C.V. UniversalPustaka
Media, Bogor.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Penetapan
Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai, Nomor : 284/Kpts-II/1999, Jakarta
Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah, 2002. Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Pengelolaan
Sungai Ciliwung, Nomor : 20/KPTS/M/2002, Jakarta
Manan, S.
1997. Hutan, Rimbawan dan
Masyarakat. Penerbit IPB Press,
Marwah, S. 2001. Daerah Aliran Sungai (DAS) Debagai Satuan Unit Perencanaan Pembangunan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan. Makalah Falsafah sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana (S3), Institut Pertanian Bogor.
Nasution, M. 2004. Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan di Luar Hutan, Tujuan Proses Pengembangan Masyarakat Yang di Bangun Di Atas Realitas. Bahan Kuliah Mata Ajaran Kapita Selekta, Institut pertanian Bogor.
Nuryanto, A., Setyawati, D., Lidiawati, I., Suyana, J., Karlinasari, L., Nasri, M, Puspaningsih, N., Yuwono, S.B., 2003. Strategi Pengelolaan DAS Dalam Rangka Optimalisasi Kelestarian Sumberdaya Air (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu). Makalah Falsafah Sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana (S3), Institut Pertanian Bogor.
Prastowo, 2003. Masalah Sumberdaya air di Indonesia : Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan rendahnya Kinerja Pemanfaatan Air. Makalah Falsafah Sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana (S3), Institut Pertanian Bogor.
Saparjadi , K. 2002.
Haruskah Hutan Lindung & Kawasan Hutan Konservasi Dikorbankan untuk
Ditambang Terbuka ?. Siaran Pers. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Soehoed, A.R.
2002. Banjir Ibukota, Tinjauan
Historis dan Pandangan Kedepan. Penerbit Jambatan, Jakarta
The Ecotourism Society, 1999. Eko Wisata, Panduan untuk Perencanaan dan
Pengelola, Pokja Penerjemah Pustaka Pariwisata Depparsenibud, Jakarta.
Waryono, T.
2002. Konsepsi Pengelolaan DAS
Terpadu Berbasis Bioregional. Kumpulan Makalah Manajemen Konservasi dab Resapan Air. Fakultas MIPA,
Universitas Indonesia, Jakarta.