© 2004  Nyoman Utari Vipriyanti                                                                                       Posted , 23  April 2004

Makalah pribadi

Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr Ir Hardjanto

 

 

 

 

 

PERAN SOSIAL CAPITAL INVESTMENT DALAM

PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH

(Studi kasus di Propinsi Bali)

 

 

 

OLEH:

 

NYOMAN UTARI VIPRIYANTI

P.063020031

 

 

 

 

PENDAHULUAN

 

Latar belakang

            Pembangunan ekonomi suatu wilayah dalam konteks pembangunan ekonomi yang berkelanjutan ditujukan untuk mendorong masyarakat berpendapatan rendah mencapai suatu keadaan yang lebih baik.  Hal tersebut dapat dilakukan secara bertahap melalui tujuan jangka pendek yaitu penurunan kemiskinan dan dalam jangka panjang mewujudkan kesejahteraan.  Pembangunan ekonomi dibedakan dengan pertumbuhan ekonomi dimana pembangunan ekonomi lebih menekankan pada proses yang tidak hanya mencakup perluasan kuantitatif tetapi juga faktor kualitatif seperti kelembagaan, organisasi dan budaya dimana ekonomi tersebut diterapkan.  Sedangkan pertumbuhan ekonomi hanya menekankan pada perluasan kuantitatif dalam variabel ekonomi seperti Gross National Product (GNP) dan Net National Product (NNP).

Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang disertai dengan penurunan angka kemiskinan pada periode 1965-1990an terjadi di Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dikenal dengan istilah miracle growth (Bhanoji Rao, 2001).  Penyebab terjadinya miracle growth adalah tingkat investasi yang tinggi dalam physical dan human capital, pertumbuhan yang cepat dari produktivitas pertanian, orientasi ekspor, penurunan fertilitas, manajemen ekonomi makro yang logis yang membantu mempromosikan saving dan investasi, serta intervensi pemerintah dalam mempromosikan pembangunan industri spesifik.  Tingginya pertumbuhan ekonomi ini diharapkan akan membawa dampak positif pada penyediaan tenaga kerja sehingga terjadi konvergensi dalam tingkat pendapatan masyarakatnya. 

            Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh sistem perencanaan pembangunan yang dipilih.  Ekonomi klasik menyatakan bahwa  sumber daya alam merupakan mesin dari pertumbuhan ekonomi yang kemudian terbantahkan melalui hasil penelitian Ortega dan Gregorio, 2002, yang  menyatakan bahwa keberlimpahan sumber daya alam dapat memberikan dampak negatif bagi suatu wilayah bila tidak diikuti dengan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas.  Tingkat pertumbuhan merupakan hasil interaksi antara sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya fisik dan sumber daya sosial yang tersedia di wilayah tertentu.   Berbeda dengan pendapat terdahulu yang kurang memperhatikan variabel kelembagaan dalam pertumbuhan ekonomi, Johnson, J. D., 2001, menekankan pentingnya berbagai variabel keterpaduan sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan kerja sama dalam pertumbuhan ekonomi.  Variabel tersebut berhubungan secara positif yang artinya semakin tinggi kepercayaan, norma dan semakin baiknya jaringan kerjasama akan mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi.  Prilaku yang menunjukkan rasa percaya dan kerjasama merupakan pandangan yang menonjol dalam interaksi ekonomi di negara kaya dan miskin.  Namun, peran dari rasa percaya tersebut berbeda-beda secara kualitatif pada setiap tahap pembangunan yang berbeda.  Di negara Asia Selatan dan Sub-Saharan Africa, sebagian besar interaksi terjadi bila mereka saling kenal satu dan lainnya dimana reputasi sangat mempengaruhi transaksi ekonomi.  Hubungan kekeluargaan, keanggotaan dalam partai politik atau organisasi keagamaan tumpang tindih dengan transaksi ekonomi.  Hubungan ini dapat dieksploitasi untuk membuat sistem pertukarangan ekonomi bekerja lebih halus.  Sebaliknya dengan interaksi di kota besar, interaksi yang terjadi hanya disebabkan oleh aktivitasnya.  Seorang pembeli dan seorang penjual hanya berinteraksi sebatas aktivitas jual beli.

            Berbagai krisis yang menimpa negara-negara di Asia selatan membuka wacana baru dalam kaitannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau suatu negara yaitu bahwa perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijelaskan hanya oleh perbedaan dalam input tradisional seperti tenaga kerja, lahan dan kapital fisik saja.  Perhatian terhadap social capital yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan rumah tangga dan perkembangan masyarakat serta bangsa mulai dicurahkan.  Hal ini berimplikasi besar terhadap kebijakan pembangunan. Saat ini terbangun keyakinan bahwa keahlian manusia dan pembangunan infrastruktur fisik perlu dikomplemenkan dengan pembangunan institutional sehingga seluruh keuntungan investasi dapat diperoleh.

Tingginya pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada periode tahun 1990-an memperkuat keyakinan akan pentingnya peran social capital di negara berkembang.  Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan ternyata hanya merupakan suatu bumble economi yang sangat rentan terhadap eksternal shock.  Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan tersebut adalah adanya kebijakan-kebijakan salah arah (misleading) yang lebih menekankan pada keuntungan tanpa memperhatikan eksternalitas dari adanya kebijakan tersebut.  Selain itu, menurunnya angka kemiskinan tidak mencerminkan terjadinya konvergensi dalam tingkat pendapatan masyarakat artinya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mampu memecahkan masalah pemerataan pendapatan masyarakat.

Indonesia terdiri dari 30 propinsi yang memiliki limpahan sumber daya yang berbeda-beda.  Beberapa propinsi memiliki sektor basis pada aktivitas primer, sebagian lainnya memiliki sektor basis pada aktivitas sekunder dan tertier.  Perbedaan struktur perekonomian wilayah dapat dipastikan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.  Wilayah-wilayah dengan sektor basis di bidang jasa menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding wilayah yang berbasis aktivitas sekunder apalagi primer.  Namun seperti dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya alam bukan satu satunya faktor penentu pertumbuhan.  Dalam keadaan tertentu sumber daya alam yang berlimpah akan berbalik menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat.  Beberapa penelitian yang mendukung pendapat ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah selain ditentukan oleh limpahan sumber daya alam juga ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang tersedia.  Ortega dan Gregorio, 2002, menemukan fakta bahwa sumber daya alam memiliki dampak positif terhadap tingkat pendapatan tetapi sebaliknya terhadap laju pertumbuhan. 

Hanya negara negara yang memiliki tingkat human capital yang tinggi dapat mengatasi dampak negatif dari keberlimpahan sumber daya alam.  Hal ini berarti bahwa pada wilayah yang identik, semakin tinggi net investment yang dicurahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia semakin tinggi kemampuan wilayah tersebut mengelola limpahan sumber daya alamnya yang pada akhirnya mendorong laju pertumbuhan ekonomi wilayah.  Lane dan Tornell, 1996, menambahkan bahwa dampak negatif pada pertumbuhan ini disebabkan oleh lemahnya institusi yang akhirnya menghasilkan ”voracity effect” melalui mana kelompok yang berkepentingan menangkap rent dari sumber daya alam. Selain itu, dampak negatif tersebut berkaitan dengan alokasi sumber daya pada berbagai aktivitas dengan spill-overs yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan agregat.

Berdasarkan rangking IKM (Indeks Kemiskinan Manusia) yang disusun oleh BPS, Bappenas dan UNDP, 2001, ditunjukkan bahwa wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki limpahan sumber daya alam tinggi (Papua, NTT, Kalimantan, Sulawesi) ternyata memiliki IKM yang tinggi artinya di wilayah tersebut tersedia lebih sedikit pilihan dan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya.  IKM dihitung berdasarkan indikator deprivasi yang paling mendasar seperti berumur pendek, ketersediaan pendidikan dasar, serta akses terhadap sumber daya publik dan sumber daya privat.   Keadaan ini tentu menjadi paradoks dimana masyarakat yang seharusnya memiliki pilihan dan kesempatan lebih banyak karena dilimpahi oleh sumber daya alam ternyata sebaliknya tidak memiliki akses kepada sumber daya tersebut. 

           

 

Rumusan Masalah

 

            Telah diakui dunia bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keberlimpahan dalam sumber daya alam, sumber daya manusia dan juga sumber daya sosial.  Eksploitasi terhadap sumber daya alam selama tahun 1970-1990 telah menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga menjadi salah satu negara terkemuka di kawasan asia tenggara dan disegani oleh dunia.  Namun tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut ternyata tidak disertai dengan pemerataan pendapatan.  Beberapa faktor yang diduga menyebabkan hal tersebut adalah (1)  Sistem perencanaan pembangunan yang menganut adanya trade off antara pertumbuhan dan pemerataan, (2) besarnya investasi yang tidak seimbang diantara sumber daya fisik, sumber daya manusia dan sumber daya sosial, (3)  Tingginya tingkat pertumbuhan disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi bukan oleh tingginya tingkat investasi.

Adanya krisis mata uang yang diikuti dengan krisis kepercayaan menyebabkan perekonomian Indonesia berada dalam keadaan yang terpuruk.  Hingga saat ini, usaha pemulihan sudah banyak dilakukan tetapi Indonesia belum mampu kembali kepada kinerja perekonomian sebelumnya.  Dibutuhkan waktu yang lebih panjang bagi Indonesia untuk dapat mencapai keadaan semula dibandingkan negara Asia lainnya seperti Cina, Korea maupun Malaysia yang telah mampu membangun kembali perekonomiannya. 

            Lambatnya kebangkitan kembali pertumbuhan ekonomi di Indonesia ini mengingatkan bahwa teori ekonomi klasik yang menekankan pada akumulasi kapital perpekerja sebagai faktor utama pertumbuhan ekonomi wilayah tidak dapat lagi dipertahankan.   Demikian pula dengan teori pertumbuhan endogenous kini dirasakan tidak mampu lagi terutama menggambarkan perbedaan pertumbuhan ekonomi wilayah setelah terjadinya krisis kepercayaan.  Ada satu faktor yang terabaikan dalam proses pemulihan ekonomi di Indonesia yaitu peran social capital sebagai hasil dari interaksi antar sumber daya manusia.   Sebagaimana ditekankan oleh teori new institution economi.  Menurut Putnam (1993) dalam suatu masyarakat yang memiliki stock social capital horisontal yang lebih besar akan memiliki hasil pembangunan yang lebih baik.  Warner, 2001, menyatakan pernyataan tersebut berimplikasi bahwa social capital dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan efektivitas pemerintahan.  Permasalahannya adalah bagaimana memahami peran social capital dalam pertumbuhan ekonomi wilayah, indikator apa yang dapat digunakan untuk menilai keberadaan social capital tersebut dan bagaimana mengukurnya.

 

Tujuan

 

            Secara umum paper ini bertujuan untuk menarik benang merah yang dapat menggambarkan peran social capital dalam proses pembangunan ekonomi wilayah.  Gambaran umum tersebut akan dicapai melalui :

1.                  Pendefinisian , karakterisasi dan pengelompokan social capital

2.                  Pendeskripsian peran social capital sebagai salah satu modal pembangunan.

Paper ini menekankan pada pendekatan deduktif terhadap peran social capital  dalam pembangunan ekonomi wilayah pada tingkat mikro, meso dan makro.  Pembahasan akan ditekankan pada keadaan perekonomian wilayah di Bali dengan pertimbangan masih kuatnya social capital di wilayah tersebut. 

TINJAUAN PUSTAKA

 

Social Capital

 

            Perdebatan mengenai social capital telah berlangsung sejak dulu namun mulai memperoleh perhatian kembali ketika Robert Putnam mempublikasikan buku berjudul Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy (1993) serta America’s Declining Social Capital (1995).  Perdebatan terjadi tidak hanya diantara ahli sosiologi tetapi juga antropologi, politik, dan ekonomi.  Untuk memiliki social capital, seseorang harus berhubungan dengan orang lain dan pada orang lain inilah sumber dari keuntungannya (Portes, 1998 dalam laporan Bank Dunia).  Coleman, 1990, menyatakan bahwa sebagai atribut dari struktur sosial dimana seseorang ada di dalamnya, social capital bukanlah private property dari beberapa orang yang memperoleh keuntungan dari terbangunnya sosial capital tersebut.   Social capital terbentuk hanya bila setiap orang berkontribusi.  Narayan, 1997, menyatakan social capital melekat dalam struktur sosial dan memiliki karakteristik public good.  Bank Dunia mendefinisikan social capital sebagai norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial dalam masyarakat yang memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan kegiatan dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Lesser, E.L.,  2000, mendefinisikan social capital sebagai kesejahteraan atau keuntungan yang terjadi karena adanya hubungan sosial antar individu.  Dalam hubungan sosial ini ada tiga dimensi utama yang mempengaruhi perkembangan dari keuntungan ini yaitu struktur hubungan, dinamika interpersonal yang terjadi dalam struktur serta konteks dan bahasa umum yang digunakan oleh individu dalam struktur. 

            Seperti halnya human capital, social capital tidak memiliki tingkat depresiasi yang diperkirakan.  Social capital sama dengan ilmu pengetahuan yang selalu berkembang  dan menjadi lebih produktif bila digunakan.  Social capital perlu dipelihara agar tetap produktif.  Tanpa curahan waktu, energi atau sumber daya lain pada social capital, hubungan antar individual cenderung akan terkikis oleh waktu seperti terjadinya oksidasi pada sebatang besi.  Adler dan Kwon, seorang profesor pada university of southern california dalam Lesser, E.L, 2000, mengatakan bahwa sosial capital adalah public good, tidak dimiliki oleh orang tertentu tetapi tergantung dari seluruh anggota dalam suatu jaringan kerja.  Karena dia bersifat public good maka individu memiliki kecenderungan untuk melalaikan kewajiban dalam memelihara keberlangsungannya, mempercayakan pada anggota yang lain untuk jaminan pemeliharaannya.  Social capital dihasilkan melalui perubahan dalam hubungan antar orang yang memfasilitasi suatu tindakan.  Oleh karena itu, social capital lebih bersifat intangible berbeda dengan physical capital.  Namun demikian, bersama-sama dengan human capital dan physical capital, social capital memfasilitasi aktivitas yang produktif. 

            Putnam, 1995, mendefinisikan social capital sebagai karakteristik organisasi sosial yang berbentuk jaringan kerja, norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi terjadinya koordinasi dan kooperasi untuk terwujudnya mutual benefit.  Rasa percaya akan memudahkan terjalinnya kerjasama.  Semakin tebal rasa percaya pada orang lain semakin kuat kerja sama yang terjadi diantara mereka.  Sesuai dengan pendapat Putnam, 1995,  Kepercayaan sosial muncul dari hubungan yang bersumber dari norma resiprositas dan jaringan kerja dari keterkaitan warganegara.  Dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan aktivitas monitoring terhadap prilaku orang lain agar orang tersebut berprilaku seperti yang diinginkan.  Rasa saling percaya dapat dibangun namun dapat pula hancur. 

            Konsep social capital merupakan konsep yang relevan baik di tingkat mikro, meso dan makro.  Pada tingkat makro, social capital mencakup institusi seperti pemerintah, aturan hukum, civil dan kebebasan politik.  Pada tingkat meso dan mikro, social capital merujuk pada jaringan kerja dan norma yang membangun interaksi antar individu, rumah tangga dan masyarakat.  Putnam (1993), menekankan pada hubungan setara (horisontal) dimana anggota berhubungan dengan sesamanya sedangkan Coleman (1988,1990)  menyatakan bahwa social capital dapat mencakup hubungan vertikal yang dicirikan oleh adanya hubungan hirarkhi dan ketidaksamaan distribusi kekuasaan antar anggota.

            Norma yang dibangun dan disepakati bersama akan mendorong individu untuk melakukan investasi pada aktivitas kelompok.  Hal ini disebabkan oleh adanya rasa saling percaya bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dimana masing-masing individu akan bertanggung jawab terhadap manfaat bersama. 

Output dari social capital dalam suatu masyarakat dapat dikelompokkan menjadi consumption benefit dan production benefit.  Consumption benefits berupa terciptanya peningkatan manfaat akibat adanya rasa saling percaya dan komunikasi seperti perasaan nyaman bila bekerja atau tinggal di lingkungan masyarakat yang kita percaya.  Production benefit terwujud dalam bentuk biaya transaksi yang lebih rendah, koordinasi yang lebih baik dan economic externalities.

 

Sistem Perencanaan Pembangunan Wilayah

 

Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat “siklus” berkelanjutan dan merupakan suatu proses pembelajaran.   Rustiadi, E., et al, 2003 menyatakan bahwa ada 4 pilar yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan wilayah yaitu (1)  Inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumber daya, (2) Ekonomi, (3) Kelembagaan dan (4) Spasial.  Perencanaan memerlukan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi di masa depan. (suatu gambaran menyangkut masa depan), kemampuan untuk memahami bagaimana masa depan bisa berbeda, dan kemampuan untuk menggambarkan alat untuk mencapai masa depan yang diinginkan.

          Sebagian besar perencana setuju bahwa proses perencanaan adalah penting karena dapat memberikan suatu mekanisme bagi pelaku untuk berfikir mengenai masa depan.  Prosesnya lebih penting daripada  dokumen atau rencana yang dihasilkan oleh proses perencanaan tersebut.   Langkah-langkah  prinsip dalam proses perencanaan yang umum adalah  :  (1) Pernyataan Tujuan dan Proyeksi, (2)  Intervensi pilihan, (3)  Implementasi.  Pernyataan tujuan membutuhkan visi mengenai bagaimana wilayah seharusnya terlihat pada saat yang akan datang.  Tujuan masa depan seharusnya berdasarkan pada pemahaman yang realistis mengenai apa yang mungkin terjadi bukan daftar harapan.  Intervensi dibutuhkan untuk mengubah outcome.  Akhirnya proses implementasi akan mengumpan balik rencana sehingga bisa diperbaiki untuk mencerminkan perubahan keadaan (Blair, 1991)

            Berbagai wilayah memiliki master plan yang menetapkan tujuan di masa yang akan datang.  Master plan hanya memberikan gambaran kuat mengenai tujuan pengembangan fisik tetapi lemah dalam menggambarkan tujuan sosial.  Tujuan harus dikembangkan dari  keadaan komuniti tersebut dan realistis.  Pemilihan tujuan pada perencanaan pemerintah lebih sulit dilakukan dibandingkan pada perencanaan swasta.  Perusahaan swasta seringkali memiliki tujuan yang jelas yaitu profit atau kesejahteraan pelakunya sedangkan pemerintah memiliki berbagai tujuan dimana terdapat persaingan keinginan dalam komunitas. 

Terminologi pembangunan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, dalam setiap aktivitas di setiap wilayah yang berbeda.  Oleh karena itu, harus ada batasan yang jelas mengenai istilah pembangunan sehingga pengukuran keberhasilan pembangunan tersebut dapat dilakukan.  Secara tradisional, Pembangunan  dinyatakan sebagai kapasitas dari ekonomi nasional dimana kondisi awal perekonomian yang statis menghasilkan dan mempertahankan peningkatan dalam GNP maupun GDP (Todaro,2000).  

            Sejak tahun 1970-an, pembangunan ekonomi didefinisikan kembali dalam konteks pengurangan atau peniadaan kemiskinan, ketidakmerataan, dan pengangguran.  Di masa lampau, pembangunan ekonomi lebih menekankan pada rencana peningkatan  produksi dan tenaga kerja sehingga kontribusi pertanian menurun dan kontribusi sektor industri dan jasa meningkat.  Strategi pembangunan selalu mengutamakan percepatan industrialisasi yang seringkali mengorbankan pertanian dan pembangunan pedesaan.  Akhirnya, prinsip-prinsip ekonomi yang mengukur pertumbuhan dilengkapi pula oleh indikator sosial seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pemukiman dan sebagainya (Todaro, 2000).

            Pembangunan  tidak akan memberi arti walaupun pendapatan perkapita meningkat dua kali lipat tetapi mewujudkan keadaan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan.  Pada tahun 1960 hingga 1970-an, sejumlah negara memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi tetapi hanya menunjukkan perbaikan yang kecil bahkan sama sekali tidak ada perbaikan dalam mengatasi pengangguran, ketidakadilan, dan pendapatan riil dari 40 % populasi penduduk miskin (Todaro, 2000).

Wilayah bukanlah sekedar suatu areal yang diberi batas tertentu yang identik dengan suatu wilayah administratif tetapi menyangkut suatu arti tertentu yang dikaitkan dengan adanya permasalah-permasalahan yang relevan seperti pedesaan, Kawasan Timur Indonesia, Daerah Aliran Sungai (DAS), perkotaan, pegunungan atau yang lainnya (Rustiadi E., et al,   2003).  Pedesaan  adalah suatu wilayah yang dicirikan dengan keadaan yang terisolir, miskin, bodoh, kekurangan infrastruktur, ketiadaan informasi sehingga memiliki bargaining position yang lemah (Anwar, 2002). 

Sistem perencanaan pembangunan harus memperhatikan tiga aspek yaitu : Eficiency, Equity dan sustainability.  Aspek efisiensi akan terpenuhi bila sistem perencanaan pembangunan tersebut dapat mewujudkan suatu keadaan yang lebih baik bagi masyarakat dengan biaya korbanan yang sekecil mungkin.  Implikasi dari keadaan ini bahwa sistem perencanaan pembangunan harus dapat menekan biaya transaksi yang sering kali muncul dalam proses pelaksanaannya.  Aspek equity bermakna bahwa sistem perencanaan pembangunan harus mempertimbangkan keragaman antara daerah, golongan, suku, agama, gender sehingga  hasil hasil pembangunan terdistribusi dengan adil dan tidak bersifat bias.  Aspek sustainability merupakan satu hal yang tidak dapat diabaikan lagi.  Tidak boleh ada trade-off diantara ketiga aspek tersebut. 

Sistem perencanaan pembangunan harus mampu menekan marginal rate of time preference pemerintah dan masyarakat sehingga semua pihak memiliki kesabaran tinggi dalam prilaku mengkonsumsi sumber daya alam yang ada untuk tujuan pembiayaan pembangunan.  Rendahnya marginal rate of time preference ditunjukkan oleh kecenderungan untuk mengkonsumsi sumber daya secara bijaksana.  Model perencanaan pembangunan di masa depan harus merupakan suatu model yang dibangun atas dasar partisipatif masyarakat lokal karena hanya masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap sumber daya alam tersebut yang memiliki insentif untuk menjaga keberlangsungannya.

Sistem perencanaan pembangunan yang baik tidak selalu harus merupakan model baru melainkan harus merupakan model yang paling tepat untuk mencapai tujuan karena  Sesuatu yang baru akan membutuhkan waktu dan biaya penyesuaian yang tinggi dan belum tentu tepat.  Sesuatu yang tepat dapat dibuat dari perbaikan-perbaikan holistik dan konsisten dari apa yang telah ada.  Selama ini perencanaan pembangunan wilayah pedesaan di Indonesia bersifat sentralistik walaupun  telah ditetapkan undang-undang otonomi daerah, perencanaan pembangunan wilayah pedesaan tetap saja dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten kota.  Hal ini berarti bahwa desentralisasi hanya diartikan sebagai pelimpahan wewenang pusat ke kabupaten/kota bukan kepada masyarakat.  Fenomena ini tentu saja tidak merubah keadaan wilayah pedesaan menuju suatu perbaikan, karena masih banyak perencana pembangunan yang tidak mampu menangkap aspirasi masyarakat di pedesaan.  Sebagai contoh pemberian kapal modern untuk penangkapan ikan  kepada masyarakat di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.  Hingga saat ini bantuan tersebut tidak memberikan manfaat yang maksimal karena masyarakat tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menggunakannya sehingga menjadi bantuan yang tidak bermanfaat.  Banyak lagi contoh kegagalan bantuan pemerintah yang direncanakan tanpa menyertakan masyarakat.

 

Teori Pertumbuhan

 

            Teori pertumbuhan ekonomi selalu berkembang sejak dikemukakan oleh kaum klasik yang dipelopori oleh Adam Smith (1776) dan Ricardo (1817).  Kelompok ini menekankan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi yang mendasar adalah pertumbuhan tenaga kerja dan akumulasi kapital dimana campur tangan pemerintah sangat ditentang.  Kelompok klasik juga menyatakan bahwa peluang pertumbuhan produktivitas sektor pertanian akan relatif lebih terbatas dibandingkan dalam industri.  Pasar akan selalu mencapai keseimbangannya sendiri karena ada invisible hand sehingga alokasi sumber daya akan efisien.  Kaum klasik tidak mempertimbangkan adanya eksternalitas dan biaya transaksi yang timbul karena informasi yang asimetris.  Selain itu, perekonomian tidak selalu dalam keadaan full-employment.

            Adanya kegagalan pasar yang disebabkan oleh faktor eksternalitas dan informasi yang asimetris menyebabkan harga tidak mampu menunjukkan besarnya biaya produksi.  Oleh karena itu muncul kelompok Keynesian yang menyatakan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar.  Kelompok ini muncul akibat adanya great depression pada tahun 1930-an.  Model Harrod-Domar menggunakan konsep ekonomi Keynes dalam merencanakan pembangunan suatu wilayah dimana pertumbuhan yang cepat dapat diperoleh melalui peningkatan yang berkelanjutan dari tingkat tabungan dan investasi. 

            Namun  terdapat kelompok skeptis yang berpendapat bahwa tingkat tabungan merupakan kunci dari transisi pertumbuhan yang lambat menuju pertumbuhan yang cepat.  Kelompok ini disebut Neo-klasik yang dimotori oleh Robert M. Solow (1956) dan Trevor W. Swan (1956).  Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh faktor teknologi.  Agregat fungsi produksi berada pada skala constant return yang mensubstitusi antara dua input, kapital dan tenaga kerja.   Salah satu model neo-klasik Solow-Swan yang tidak dapat disangkal adalah steady state growth.  Model ini mengasumsikan bahwa sejumlah output diinvestasikan kembali dalam jumlah konstan.  Suatu negara yang secara permanen dapat meningkatkan tingkat tabungannya akan memiliki tingkat output yang tinggi tetapi negara tersebut tidak akan mencapai tingkat pertumbuhan output yang permanen.  Implikasinya bahwa perubahan teknologi merupakan sumber utama dari pertumbuhan.

            Romer (1983, 1994) menunjukkan tidak adanya bukti dari konvergensi steady state growth diantara negara maju, selain itu, tidak terdapat alat yang bisa menggambarkan perbedaan tingkat pertumbuhan pendapatan antar negara.  Romer berpendapatan bahwa model keseimbangan dari perubahan teknologi endogenous disebabkan oleh akumulasi ilmu pengetahuan agen-agen yang memaksimalkan keuntungan dan forward looking. 

Aliran baru ini dikenal sebagai new growth economics yang bertujuan untuk membangun model yang dapat menjamin bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan jangka panjang tergantung dari kebijakan fiskal, perdagangan luar negeri dan kependudukan selain pada fungsi produksi dan utilitas.  Model Romer mengabaikan asumsi neo-klasik yaitu perfect competitition dan menambahkan asumsi constant atau increasing return of capital.  Implikasinya adalah keseimbangan pasar bersifat suboptimal karena efek eksternal dari akumulasi ilmu pengetahuan tidak diperhitungkan oleh perusahaan dalam mengambil keputusan produksinya.  Implikasi lain, factor share tidak dapat digunakan untuk mengukur kontribusi kapital dan tenaga kerja. 

Lucas (1988) mengajukan alternatif kedua terhadap model neo-klasik dimana  sumber daya manusia sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.  Ada dua model yang diajukan yang tergantung dari cara output akhir dihasilkan.  Model pertama, schooling model, menekankan bahwa pertumbuhan human capital tergantung dari bagaimana pekerja mengalokasikan waktu antara produksi saat ini dan akumulasi human capital.  Model kedua, learning by doing, pertumbuhan human capital adalah fungsi positif dari usaha yang dicurahkan untuk memproduksi barang baru.  Pada kedua model tersebut dimasukkan efek internal dari produktivitas tenaga kerja, efek eksternal dari skala ekonomi dan penguatan produktivitas dari faktor produksi lainnya.   


PEMBAHASAN

 

Pertumbuhan Ekonomi Bali

 

Indonesia sebagai negara berkembang yang mengalami beberapa dekade krisis, mulai merevisi kebijakan-kebijakannya terutama perencanaan pembangunan yang awalnya bersifat sentralistik menjadi desentralisasi.  Kegagalan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik dalam memfasilitasi masyarakat menuju pemerataan, memerangi kemiskinan mendorong lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.  Penerapan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat daerah.  Peralihan kewenangan ini diharapkan memberi dampak positif yang maksimal terhadap pengembangan sektor-sektor produktif  seperti pertanian, industri dan jasa. 

            Pemerintah kabupaten/kota harus belajar dari kesalahan sistem perencanaan terdahulu yang bersifat sentralistik dan terlalu menekankan pada aspek fisik.  Harus ada reorientasi mengenai pentingnya prinsip-prinsip perencanaan partisipatif  karena selama ini proses perencanaan partisipatif dianggap membutuhkan biaya tinggi padahal sesungguhnya terjadi sebaliknya dimana proses perencanaan partisipatif dapat menekan adanya konflik kepentingan yang merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat dan degradasi sumber daya serta lingkungan.

Demikian pula dengan kabupaten/kota yang ada di Propinsi Bali.  Sebagai salah satu propinsi di Indonesia, Bali memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil namun krisis yang melanda Indonesia terutama pada tahun 1998 tetap saja berdampak terhadap perekonomian Bali.  Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1998 diikuti pula oleh turunnya laju pertumbuhan perekonomian Bali namun demikian laju pertumbuhan ekonomi Bali masih berada diatas laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti bahwa sektor perekonomian di Bali relatif lebih kuat menghadapi pengaruh eksternal.  Sebaliknya ketika terjadi shock akibat bom bali tahun 2002, pertumbuhan ekonomi Bali turun mencapai    3, 15 persen dibawah pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 3,66 persen.  Perbandingan pertumbuhan ekonomi Bali dan Indonesia tahun 1998 hingga 2002 disajikan pada Tabel 1.

 

Tabel 1.  Pertumbuhan Ekonomi Bali dan Indonesia Tahun 1998 – 2002

 

 

1998

1999

2000

2001

2002

Bali

-4,04

0,67

3,05

3,39

3,15

Indonesia

-13,68

0,23

4,77

3,32

3,66

Sumber :  PDRB Propinsi Bali, 2003

 

            Berpijak dari tahun 1999 yang dipertimbangkan sebagai saat awal kebangkitan kembali perekonomian Bali maka tidak terlihat pola pertumbuhan ekonomi klasik maupun neo klasik dimana pertumbuhan ekonomi didorong hanya oleh ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas.  Tabel 2. menggambarkan beberapa indikator kabupaten/kota di Bali yang dapat menjelaskan bahwa terdapat pola yang tidak teratur dari keragaan perekonomian antar kabupaten/kota tersebut dimana terdapat wilayah kabupaten/kota yang memiliki laju pertumbuhan tinggi tetapi bukan karena kontribusi sektor primernya yang merupakan indikator berlimpahnya sumber daya alam seperti Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar.  Laju pertumbuhan ekonomi tersebut bukan pula disebabkan oleh pembangunan manusianya karena terdapat beberapa kabupaten yang memiliki nilai IPM menengah kebawah dengan laju pertumbuhan diatas rata-rata atau sebaliknya nilai IPM menengah keatas dengan laju pertumbuhan dibawah rata-rata (Jembrana, Tabanan dan Badung).

            Peran sumber daya alam dan sumber daya manusia kemudian dipertanyakan.  Besarnya kuantitas sumber daya alam dan sumber daya manusia ternyata tidak cukup untuk dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.  Ada satu aspek yang tidak terbangun dengan baik sebagai modal dalam pembangunan ekonomi yaitu social capital yang mencakup elemen kepercayaan, norma dan jaringan kerja.  Social capital yang baik seperti adanya pemerintahan yang dipercaya oleh rakyat membangun ekspektasi pelaku pembangunan sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. 

 

 

Tabel 2.  Keragaan Pertumbuhan PDRB per Kabupaten di Bali Tahun 1999

 

 

Jembrana

Tabanan

Badung

Gianyar

Klung-kung

Bangli

Karang Asem

Buleleng

Denpasar

Bali

Growth rate (1999)

0.9

0.58

0.57

1.76

0.89

0.46

0.71

1.08

1.44

0.67

Kontribusi sektor primer thp PDRB (%)

28.80

34.46

7.15

16.90

34.07

32.19

36.22

31.09

8.92

20.26

IPM (1999)

65.5

68.7

68.2

64.4

62.9

64.4

57.5

63.1

72.1

65.7

Pengeluaran riil per-kap (1999)

583.67

595.01

588.14

582.39

587.18

588.86

578.01

583.98

595.65

587.9

PDRB per-kapita,1999 (ribu rupiah)

4306,1

3706,7

8937,0

4985,9

4477,9

3589,0

2829,8

3105,1

5926,0

4790,3

IKM (1999)

20.6

15.6

23.8

20.8

19.0

19.5

27.8

18.1

16.5

18.7

IPJ (1999)

60.1

64.1

61.3

57.6

58.0

62.0

54.1

53.8

65.1

60.4

Sumber  :  PDRB Bali, 2003

           

Kelembagaan tradisional seharusnya menjadi komplemen dari kelembagaan modern yang dibangun pemerintah.  Demikian pula yang terjadi dalam perjalanan pembangunan di Bali, masyarakat bali tidak mengganti kelembagaan tradisional dengan kelembagaan modern yang dibangun oleh pemerintah.  Keadaan ini diperkuat oleh jiwa keagamaan yang melekat pada organisasi tradisional tersebut. Hingga saat ini organisasi tradisional masyarakat bali masih tetap kuat seperti banjar adat, subak, sekehe walaupun demikian organisasi modern juga tetap dihidupkan.  Banyak penelitian membuktikan bahwa kelembagaan tradisional lebih arif dalam memahami konflik pengelolaan sumber daya di wilayahnya karena lebih memahami perilaku masyarakat sekitar sumber daya tersebut. 

Bali terkenal dengan keindahan alam dan pariwisata budaya yang terjaga oleh kekuatan social capital masyarakatnya.  Hingga saat ini, aktivitas kepariwisataan tersebut masih menjadi andalan karena menjadi penyumbang utama dalam perekonomian Bali.  Hal ini berarti pemerintah harus mampu menjadi fasilitator agar social capital masyarakat tidak melemah oleh adanya kemajuan teknologi terutama terkait erat dengan globalisasi.  Upaya memberdayakan masyarakat melalui kebijakan otonomi daerah tidak boleh menimbulkan masalah egoisme regional melainkan mampu melebur egoisme sektoral sehingga mampu meningkatkan kinerja perekonomian daerah. 

 

Membangun Dan Menguatkan Social Capital

 

            Warner, M., 2001, mempertanyakan sebuah pertanyaan logis yang terkait dengan pengakuan terhadap peran social capital yaitu dapatkah social capital dibangun di wilayah dimana social capital masih sangat lemah?.  Bagaimana peran pemerintah dalam proses peningkatan social capital dalam masyarakat?.   Bentuk social capital yang horisontal mencakup ikatan sejajar antar individu dalam suatu masyarakat yang membantu menghasilkan keadaan sederajat dan struktur demokrasi yang kuat (Putnam, 1993).  Hierarchical social capital menghasilkan hubungan patron client yang dapat melumpuhkan pembangunan (Duncan, 1992: Putnam, 1993; Portes and Sensenbrenner, 1993; Warner, 2001).

            Bourdieu, 1986, menyatakan bahwa membangun dan memelihara social capital bukan sesuatu yang alamiah tetapi memerlukan investasi yang menghasilkan sejumlah pendapatan.  Pada tingkat masyarakat, returns on investment (ROI) di bidang social capital lebih menyebar dan tergantung pada reproksitas umum untuk menjamin pendapatan investor.  Hal ini menyebabkan di wilayah-wilayah dimana reproksitas lemah, pemerintah lokal dan penduduk lokal kurang berminat melakukan investasi dalam social capital tingkat masyarakat.  Selain ROI, dua hal lainnya yang juga penting dalam pembentukan social capital masyarakat adalah otonomi dan keterkaitan. Oleh karena itu, kekuatan desentralisasi akan sangat membantu membentuk social capital masyarakat.  

Di Bali, perbedaan pendapatan asli daerah (PAD) antar kabupaten dan kota mendorong timbulnya rasa superioritas satu kabupaten terhadap yang lainnya.  Hal ini tentunya tidak mendukung terbangunnya social capital horisontal melainkan sebaliknya dimana social capital hierarkhial menjadi lebih kuat.  Hingga saat ini, desentralisasi  yang dimaknai sebagai otonomi di tingkat kabupaten menjadikan persaingan regional lebih kuat dan cenderung melemahkan jaringan kerja antar wilayah kabupaten. 

 

 

SUMBER                                 MEKANISME                                  OUTPUTS


 

Gambar 1.  Sumber dan Output dari Social Capital, Ruuskanen (2001) dalam Reino Hjerppe, 2003

 

Gambar 1.  menjelaskan mengenai sumber social capital terutama rasa saling percaya di tingkat mikro (individual), meso (group) dan makro (society) yang melalui mekanisme komunikasi dapat menimbulkan dua keuntungan yaitu consumption benefit dan production benefit.   Seharusnya otonomi daerah yang bertujuan untuk mendesentralisasi kekuasaan dapat meningkatkan social capital di seluruh wilayah Bali tetapi kenyataannya otonomi daerah saat ini cenderung bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berimplikasi pada peningkatan biaya transaksi dan akhirnya dapat menekan pertumbuhan output.

Perubahan struktur perekonomian Bali dari dominansi sektor primer menjadi sektor tersier terutama sektor kepariwisataan menjadi pangkal permasalahan lain dalam penguatan social capital masyarakat.  Dalam komunitas tradisional pedesaan dimana aktivitas budidaya pertanian menjadi aktivitas utama banyak kegiatan yang dilakukan bersama sehingga terdapat komunikasi yang intensif.  Sebaliknya dalam komunitas modern yang bergerak di bidang jasa, komunikasi menjadi barang ekonomi dimana untuk memperoleh komunikasi yang baik diperlukan pengorbanan baik dari sisi waktu maupun biaya sehingga komunikasi antar masyarakat menjadi minimal.  Perubahan struktur perekonomian ini tentu akan berdampak pada melemahnya social capital masyarakat.  Oleh karena itu, diperlukan peran pemerintah yang dapat menyesuaikan pada perubahan tersebut.  Modifikasi dari model perubahan social capital masyarakat yang dikemukakan Hjerppe, 2003 diilustrasikan pada gambar 2. 

 

 

 

 


Sumber :  Hjerppe, 2003

 

Gambar 2.  Perubahan Social Capital Masyarakat Bali

 

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan kajian teoritis mengenai peran social capital dalam pertumbuhan ekonomi wilayah dapat disimpulkan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi wilayah tidak hanya cukup dibatasi pada sumber daya alam yang tersedia dan sumber daya manusia baik kuantitas maupun kualitasnya melainkan harus mempertimbangkan tingkat modal sosial (social capital) yang ada dalam masyarakat tersebut.  Social capital berperan tidak saja di tingkat mikro dan meso tetapi juga di tingkat makro.  Social capital masyarakat yang tinggi akan memberi keuntungan produksi berupa rendahnya biaya transaksi dan keuntungan konsumsi berupa rasa nyaman karena hidup dengan orang yang dapat dipercaya yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Perekonomian Bali yang relatif lebih stabil menjadi suatu pembenaran bahwa social capital yang berbasis pada norma, jaringan kerja sama dan rasa percaya memberi kontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi regional.  Salah satu indikasi kuatnya social capital di Bali adalah banyaknya organisasi tradisional masyarakat yang masih produktif seperti banjar, banjar adat, subak dan sekehe-sekehe selain organisasi modern yang dibangun pemerintah.   Pembenaran ini memang masih lemah karena analisis yang dilakukan tidak bersifat kuantitatif.  Namun demikian, peran social capital tidak dapat lagi diabaikan karena fakta telah menunjukkan bahwa sumber daya fisik yang berlimpah dan sumber daya manusia yang berkualitas tidak lagi mencukupi sebagai sumber pertumbuhan apabila tidak terdapat norm, networks of cooperation and trust.


DAFTAR PUSTAKA

 

Coleman, J. S. 1988.  Social Capital in The Creation of Human Capital.  American Journal of Sociology, Volume 94.

 

Cristoforou, A.  2003.  Social Capital and Economic Growth:  The Case of Greece.  London School of Economic : Paper for The 1st PhD Symposium on Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory.  European Institute.

 

Hjerppe.  2003.  Social Capital and Economic Growth Revisited.  Paper on Government institue for Economic research.  Helsinki .

 

Johnson, C.  2003.  A Model of Social Capital Formation.  Social Research and Demonstration Corporation Working paper Series 03-01.  Canada.

 

Lin, Nan.  2001.  Social Capital.  Cambridge University Press. 

 

North, D.C. 1990.  Institutions, Institutional Change and Economic Performance.  Cambridge University Press. 

 

Putnam, R.D.  1993.  Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.  Princeton: Princeton University Press.

 

Romer, D.  1996.  Advance Macroeconomics.  The McGraw-Hill Companies, Inc.  Singapore.

 

Ruttan V.W.  2002.  Social Science Knowledge and Economic Development.  SSKED-5, VWR Draft.

 

Warner, M.  2001.  Building Social Capital : The Role Of Local Government.  The Journal of Socio-Economics.  North-Holland.

 

World Bank.  1998.  The Initiative on defining, Monitoring and Measuring Social Capital.  Overview and program Description.  Social Development family.  Environmentally and Socially Sustainable Development Network.