1.
 
DETERIORASI HASIL HUTAN

Oleh:  Prof. Rudy C Tarumingkeng, PhD

 

1. Pendahuluan

 

Kayu adalah hasil yang diambil dari pohon, sedangkan pohon merupakan anggota dari komunitas lingkungan yang kita kenal sebagai hutan. Dengan perkataan lain, kayu merupakan hasil hutan yang di-ekstraksi atau dipungut dari hutan.

Deteriorasi hasil hutan adalah semua proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil hutan. Terjadinya deteriorsi hasil hutan diakibatkan oleh berbagai penyebab (causing agents), yaitu karena faktor-faktor biologis (hama, penyakit) dan faktor-faktor fisik.

Dalam keadaan alami yang tidak ada interferensi manusia terhadap hutan, kayu tidak diambil atau dikeluarkan dari hutan. Dalam keadaan demikian, pohon yang mati karena akibat usia tua, tumbang karena pengaruh alam seperti angin, dahan atau cabang patah atau sebab-sebab lainnya, akan menyebabkan kayu mengalami dekomposisi  akibat pembusukan oleh organisme fungi (jamur/cendawan), bakteri, dan/atau dikonsumsi oleh hewan xylofag (pemakan kayu) seperti serangga, sehingga sisa-sisa kayu akan menjadi humus sebagai bagian dari lapisan tanah. Keadaan seperti ini merupakan contoh dari apa yang terjadi pada hutan yang tidak dimanfaatkan hasilnya secara langsung (diambil kayu atau hasil hutan lainnya). Dengan perkataan lain, hutan tersebut tidak diusahakan untuk produksi dalam bentuk materi yang nyata (tangible) yang dikeluarkan dari hutan sehingga dari segi ekonomis nilai hutan menjadi berkurang karena kayu sebagi salah satu hasil utama dari hutan tidak dipungut (exploited) untuk suatu jangka waktu.

Hutan lindung dan hutan konservasi merupakan contoh hutan yang  tidak boleh dipungut hasilnya secara langsung karena fungsinya memang bukan sebagai hutan produksi.

Kita memaklumi bahwa manfaat hutan tidaklah semata-mata dilihat dari segi produksi kayu atau hasil hutan lainnya yang dapat dikeluarkan dari hutan, karena masih banyak manfaat-manfaat lain dari hutan, seperti pelindung tata air dan tanah, pembersih udara,  sebagai habitat hewan langkah yang dilindungi atau sebagai lingkungan konservasi plasma nutfah.

Tinjauan terhadap hutan yang idle seperti dikemukakan di muka adalah terhadap hutan yang diperuntukkan bagi produksi yaitu hutan yang diklasifikasikan sebagai hutan produksi, bukan pada hutan yang berfungsi konservasi.

Secara holistik (menyeluruh) kita menilik hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup. Dari segi hutan sebagai sumber daya yang bernilai bagi kehidupan manusia di satu pihak dan manusia sebagai titik sentral pengelola dan sekaligus berkepentingan dalam lingkungan hidup ini, kita menggambarkan adanya dua sistem lingkungan, yaitu lingkungan hutan (atau ekosistem hutan) dan lingkungan pemukiman manusia (ekosistem manusia).

Kayu dan bagian-bagian dari unsur komunitas hutan baru dapat dianggap sebagai hasil hutan bila manusia menganggap bahwa bahan- bahan itu berguna bagi keperluan hidupnya sehingga dilakukan eksploatasi atau usaha pemungutan hasil. Komoditi hasil hutan ini kemudian di ekstrak (dipungut) dan dikeluarkan dari hutan lalu diangkut ke luar dari lingkungan hutan dan biasanya lalu masuk ke dalam lingkungan pemukiman manusia untuk diolah (processing) melalui proses industri ataupun langsung digunakan.

 

 

 


Sejak kayu masih merupakan bagian dari ekosistem hutan, ia telah mengalami gangguan-gangguan dari berbagai faktor. Demikian pula setelah kayu ditebang, gangguan akan lebih banyak lagi, karena keadaan menjadi tidak berimbang (unbalanced). Keadaan lingkungan yang tidak seimbang ini disebabkan oleh gangguan (disturbances) yang disebabkan oleh penebangan, gangguan hutan yang timbul akibat kegiatan pemungutan hasil hutan (misalnya logging). Demikian pula setelah hasil hutan diangkut keluar lingkungan hutan, hasil hutan akan masuk dalam lingkungan pemukiman manusia, yang merupakan lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan hutan, akan mengalami lebih banyak lagi gangguan perusakan yang mengakibatkan deteriorasi.

Hasil hutan yang telah diangkut ke lingkungan pemukiman biasanya mengalami pengolahan melalui industri untuk diolah menjadi barang-barang yang sesuai dengan keperluan manusia, baik untuk penggunaan di dalam maupun di luar negeri. Dengan pengolahan ini dicapai pula nilai tambah.

Dengan terjadinya berbagai gangguan terhadap kayu dan hasil hutan lainnya yang menyebabkan deteriorasi maka nilai hasil hutan akan menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas.Pada Gambar 1 disajikan tata aliran sederhana  pengolahan jhasil hutan sejak di hutan sampai proses pengawetan (jika tindakan pengawetan diperlukan).

 

2. Konteks Deteriorasi Hasil Hutan

Untuk lebih menjelaskan konsepsi penyebab deteriorasi hasil hutan ditinjau dari berbagai faktor yang berkaitan dengan lingkungan dan manusia, di bawah ini diberikan ilustrasi dengan menggunakan hama sebagai contoh penyebab deteriorasi hutan dan hasil hutan.

Pada Gambar 2 diberikan dua buah bidang lingkaran yang berpotongan yaitu lingkaran A sebagai lingkungan  hutan dan lingkaran B sebagai lingkungan pemukiman manusia. Kedua lingkaran ini terdapat dalam sebuah bidang segi empat yang diibaratkan sebagai lingkungan hidup (environment). Hasil hutan yang ditebang merupakan bagian dari sebuah lingkaran kecil di dalam lingkaran A. Selanjutnya hasil hutan dikeluarkan dari hutan, diangkut ke lingkungan pemukiman (lingkaran B) untuk dimanfaatkan yaitu digunakan secara  langsung (misalnya untuk kayu bakar) atau diolah (dikeringkan, diawetkan, digergaji, dan selanjutnya diolah menjadi barang-barang untuk dipasarkan bagi keperluan manusia. Hasil hutan yang telah mengalami proses pengolahan ini merupakan hasil industri  dan kita sebut hasil hutan olahan. Tiga lingkaran kecil yang menggambarkan ketiga macam hasil hutan sejak ditebang sampai menjadi hasil olahan, dapat diserang oleh hama (P2, P3, dan P4). P1 merupakan hama hutan yang menyerang tegakan.

 

 


Tindakan pengendalian untuk menekan kerusakan dan kerugian terhadap hasil hutan adalah menekan P2, P3 dan P4. yang tidak terlepas dari konsepsi pengendalian/manajemen hama hutan (P1). Dengan demikian maka tindakan pengendalian perlu dilakukan secara terpadu mulai dari P1, (hama hutan), P2 (hama hasil hutan di hutan), P3 (hama hasil hutan yang telah diangkut ke tempat pengumpulan kayu atau di tempat industri) dan P4 (hama yang menyerang hasil hutan yang telah diolah).

Seluruh tindakan pengendalian hama untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh hama P1, P2, P3 dan P4 adalah seluruh tindakan manajemen (pengendalian) hama tersebut.

 

3. Pengenalan Penyebab Kerusakan

Tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada kayu oleh faktor-faktor perusak dapat terlihat dari adanya cacat-cacat berupa lobang gerek (bore holes), pewarnaan (staining), pelapukan (decay), rekahan (brittles), pelembekan (softing), dan lain-lain perubahan yang semuanya merupakan penurunan kualitas dan bahkan kuantitas karena ada juga yang benar-benar memakan habis kayu.

Setiap tanda-tanda kerusakan yang terlihat merupakan gejala spesifik dari salah satu faktor penyebab. Sedangkan adanya tanda serangan itu sendiri sekaligus merupakan kriteria bahwa kayu atau hasil hutan yang bersangkutan telah terserang hama, penyakit atau penyebab lainnya. Dalam praktek kita sering mengabaikan adanya cacat-cacat dan kerusakan-kerusakan lain ditimbulkan oleh faktor-faktor perusak ini. Hanya bila secara ekonomis nilai kerugian telah mencapai ambang tertentu (economic threshold) barulah mulai dicari upaya untuk melakukan tindakan pengendalian tertentu agar kerugian dapat dikurangi sampai minimum dan tidak berlanjut kepada bahan-bahan lain yang belum terserang.

Sebagaimana telah diutarakan di muka, deteriorasi hasil hutan disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utama adalah hama. Hama merupakan istilah umum yang diberikan bagi berbagai hewan penyebab kerusakan dalam bidang pertanian (termasuk kehutanan). Hewan-hewan ini adalah serangga, binatang pengerat, moluska, krustasea dan lain-lain. Di antara hewan-hewan penyebab kerusakan kayu, yang paling banyak adalah jenis-jenis serangga.

 

Penyebab utama deteriorasi hasil hutan/kayu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu :

1. Penyebab yang berasal dari unsur-unsur hayati (faktor biologis)

2. Penyebab yang berasal dari unsur-unsur alami (faktor fisik).

 

Di antara berbagai penyebab biologis hewani, serangga atau insekta (atau Hexapoda) merupakan yang paling banyak jenis-jenis perusaknya. Di samping serangga, terdapat juga beberapa jenis moluska dan krustasea yang merupakan penggerek kayu di laut (marine borers). Penyebab dari faktor biologis nabati (fungi dan bakteria) yang juga disebut penyebab mikrobial merupakan faktor perusak penting di samping serangga. Ketiga golongan perusak ini yaitu serangga, penggerek kayu di laut dan penyebab mikrobial diberikan di bawah ini.

 

4. Konsep Pengendalian

Pengintegrasian berbagai cara dan teknik untuk mengendalikan hama disebut pengendalian (pengelolaan/manajemen) hama terpadu atau Integrated Pest Management (IPM). Cara dan teknik yang dilakukan dalam IPM adalah berbagai kegiatan dalam aspek silvikultur, eksploatasi, pengeringan kayu, pengawetan kayu dan pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida.

Pada prinsipnya hama tidak dapat diberantas (dieliminasi) atau dihilangkan seluruhnya. Tujuan utama IPM adalah menekan populasi organisme penyebab kerusakan sehingga kerugian yang diakibatkannya dapat ditekan seminimum mungkin dan secara ekonomis hasil optimum dapat tercapai.

Di bawah ini diberikan tata-aliran tahap-tahap proses produksi hasil hutan dalam hubungan dengan event bilamana hasil hutan mengalami deteriorasi dan dianalisis penyebabnya kemudian ditentukan teknik-teknik pengendaliannya.

Setiap tahapan dari rangkaian proses (1 s/d 7 pada Gambar 1) merupakan sub-proses yang dapat dianggap sebagai event (kejadian).atau kegiatan. Pada setiap kegiatan bila perlu yaitu bila terdapat kerugian yang disebabkan oleh hama atau penyakit atau penyebab lain, dan secara ekonomis merugikan dapat dilakukan tindakan pengendalian. Tentu saja sebelum dilakukan tindakan pengendalian perlu lebih dahulu diadakan analisis apakah tindakan ini secara ekonomis menguntungkan.

Bila tindakan pengendalian dilakukan secara serentak terhadap seluruh atau sebagian kegiatan atau tahapan di atas dengan berbagai metoda, maka tindakan ini merupakan IPM. Pengendalian secara terpadu (IPM) berlaku pula bila beberapa teknik dilakukan secara terpadu bagi salah satu kegiatan.

Bila pengendalian dilakukan pada kegiatan hulu (misalnya di hutan) volume / nilai produksi akan lebih besar. Makin hilir nilai kerugian yang disebabkan oleh hama-penyakit per satuan volume semakin besar karena nilai kayu semakin tinggi.  Tingginya nilai kayu di tahap hilir di samping disebabkan oleh besarnya biaya eksploitasi dan pengolahan juga karena terjadinya kerugian-kerugian oleh kerusakan mekanis dan limbah pada kegiatan-kegiatan yang dilalui hasil hutan. Tindakan pengendalian seperti pengawetan dengan tekanan merupakan tindakan pada tahap hilir. Pengeringan kayu merupakan salah satu teknik pengendalian karena kayu kering akan mengurangi serangan kumbang ambrosia dan berbagai serangan mikrobia.

Kerugian Rk  pada kegiatan ke k merupakan jumlah kerugian karena kerusakan yang disebabkan oleh hama/penyakit dan faktor-faktor penyebab deteriorasi lainnya  (Pk)  dan jumlah limbah yang timbul pada kegiatan yang bersangkutan (Lk) :

 

                  Rk =  Pk + Lk

 

Dengan demikian maka jumlah kerugian yang dialami pada seluruh proses produksi hasil hutan adalah :   (n   =   1 ... k ,   banyaknya kegiatan/event). 

 

                Rn =    S (Pk + Lk)