8

KERACUNAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH BAHAN PENGAWET KAYU

 

(Poisoning and environmental pollution by wood preservatives)

 

Oleh:

 

Prof Rudy C Tarumingkeng, PhD

 

 

Untuk mengawetkan kayu di samping dengan cara-cara tradisional yang tidak menggunakan racun seperti perendaman dalam air dan pengeringan, sebagian besar dilakukan dengan cara memasukkan bahan pengawet (preservatif) ke dalam kayu. Bahan pengawet yang dimasukkan

umumnya merupakan bahan-bahan beracun (toxic materials), agar jasad-jasad hidup perusak kayu tidak menyerang. Dengan kata lain, sebagian besar dari bahan pengawet ini adalah racun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kayu yang diawetkan dengan bahan preservatif yang beracun berpotensi untuk menjadi bahan pencemar lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup umumnya. Untuk mencegah akibat-akibat buruk yang dapat timbul terhadap manusia dan lingkungan oleh penggunaan bahan pengawet dan penggunaan kayu yang telah diawetkan, masyarakat perlu diberi pengertian mengenai masalah ini. Keracunan oleh bahan pengawet dapat terjadi karena hal-hal berikut:

 

1.             Keracunan karena bahan pengawet yang tercecer disebabkan oleh kemasan dan  penyimpanannya yang kurang baik.

2.             Keracunan karena pelakuan yang kurang hati-hati dalam proses pegawetan. Untuk mencegahnya ikutilah petunjuk-petunjuk pemakaian, misalnya menjaga agar bahan racun tidak mengenai kulit, dan bila bahan pengawet bersifat volatif (mudah menguap) agar menghindar untuk tidak menghirupnya melalui hidung (pakai masker).

3.             Keracunan yang timbul karena bersentuhan atau dalam lingkungan kayu yang telah diawetkan. Walaupun kebanyakan kayu yang telah diawetkan dianggap tidak membahayakan manusia dan lingkungannya, perlu diingat bahwa kayu yang diawetkan mengandung racun di dalamnya.

4.             Pembuangan sisa-sisa bahan pengawet setelah proses pengawetan (waste disposal) perlu dilakukan dengan saksama. Sisa-sisa bahan pengawet tidak boleh dibuang di sungai, selokan dsb. yang dapat mengakibatkan kematian biota air. Sebaiknya diusahakan agar bahan-bahan buangan ini dirembeskan ke dalam tanah yang jauh dari sumber air atau diusahakan agar diadakan perlakuan (treatment) tertentu yang dapat mengubah atau menguraikan bahan-bahan tersebut menjadi tidak beracun.

5.             Penggunaan wadah (kaleng, plastik dsb.) bekas kemasan dan alat dalam proses pengawetan untuk keperluan lain sebaiknya dihindari, apalagi bila digunakan untuk menaruh bahan makanan.

 

Hal tersebut di atas perlu dihindari agar keracunan oleh bahan pengawet tidak terjadi.

 

Mekanisme fisiologis keracunan

 

Bahan-bahan racun seperti preservatif, pestisida dsb. masuk ke

dalam tubuh organisme (jasad hidup) melalui:

 

1. Kulit luar

2. Mulut dan saluran makanan

3. Saluran pernapasan

 

Melalui kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan yang larut minyak (polar). Melalui mulut, racun dapat terserap seperti halnya makanan, langsung masuk peredaran darah. Melalui saluran pernapasan racun dapat terserap ke dalam sistem tubuh dan dapat langsung mempengaruhi sistem pernapasan

(pengambilan oksigen dan pembuangan CO2). Pengaruh racun dapat timbul segera setelah masuknya racun (acute toxicity), dalam hal ini racun tersebut racun akut. Gejala keracunan dapat pula terjadi lambat, setelah beberapa bulan atau beberapa tahun – dan di bahan racun penyebabnya disebut racun kronis (chronic toxicity). Racun jenis organofosfat seperti malathion yang biasa digunakan untuk pencegah serangan kumbang ambrosia (Scolytidae) dan kumbang bubuk (pinhole borers: Lyctus, Heterobostrychus, Dinoderus) merupakan racun akut. Racun jenis organokhlorin atau hidrokarboberkhlor seperti DDT, Chlordan, Lindane dll. merupakan racun kronis yang baru terasa efeknya setelah bertahun-tahun karena diperlukan waktu yang lama

untuk menumpuk (akumulasi) racun ini dalam lemak tubuh. Sebaliknya, racun akut yang sebagian besar terdiri dari senyawa-senyawa larut dalam air bekerja sangat cepat tapi tidak bersifat akumulatif dan mudah tercuci serta terurai menjadi komponen yang tidak beracun.

Pada umumnya bahan pengawet yang beracun dapat digolongkan dalam tiga golongan besar yaitu:

 

1. Pengawet yang bersifat minyak,

2. Pengawet larut minyak dan

3. Pengawet larut air.

 

Di antara pengawet minyak terdapat kreosost yang merupakan campuran bermacam-macam senyawa organik yang berasal dari residu destilasi minyak bumi. Bahan pengawet larut minyak biasanya terdiri atas senyawa-senyawa organik yang bersifat racun kronis, memliki afinitas

terhadap lemak tubuh sehingga bersifat akumulatif dalam tubuh jasad hidup. Contoh racun yang larut dalam minyak adalah semua senyawa organokhlorin seperti DDT, endrin, Chlordane, lindane yang sampai kini sebagian masih digunakan untuk melindungi bangunan dari serangan rayap tanah. Senyawa bahan pengawet larut air adalah racun-racun dari golongan organofosfat

(malathion dll.) serta garam-garam sulfat, arsenat, Cu, , Cr, dan boron.Bahan pengawet larut air sebagian besar merupakan racun akut.

 

Racun kronis

 

Racun kronis menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan (air, tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun, karena kuatnya ikatan kimianya.

Ada di antara racun ini yang dapat dirombak oleh kondisi tanah tapi hasil rombakan masih juga merupakan racun. Demikian pula halnya, ada yang dapat terurai di dalam tubuh manusia atau hewan tapi menghasilkan metabolit yang juga masih beracun. Misalnya sejenis insektisida

organoklorin, Dieldrin yang disemprotkan dipermukaan tanah untuk menghindari serangan rayap tidak akan berubah selama 50 tahun sehingga praktis tanah tersebut menjadi tercemar untuk berpuluh-puluh tahun. Dieldrin ini bisa diserap oleh tumbuhan yang tumbuh di tempat ini dan bila

rumput ini dimakan oleh ternak misalnya sapi perah maka dieldrin dapat menumpuk dalam sapi tersebut yang kemudian dikeluarkan dalam susu perah. Manusia yang minum susu ini selanjutnya akan menumpuk dieldrin dalam lemak tubuhnya dan kemudian akan keracunan. Jadi dieldrin yang mencemari lingkungan ini tidak akan hilang dari lingkungan, mungkin untuk waktu yang sangat lama.

 

Racun akut

 

Racun akut kebanyakan ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat enimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh jasad hidup. Contoh yang aling nyata dari racun akut adalah “Baygon” yang terdiri dari senyawa organofosfat (insektisida atau racun serangga) yang seringkali disalahgunakan untuk meracuni manusia, yang efeknya telah terlihat hanya beberapa menit setelah racun masuk ke dalam tubuh. Walaupun semua racun akut ini dapat menyebabkan gejala sakit atau kematian hanya dalam waktu beberapa saat setelah masuk ke dalam tubuh, namun sifatnya yang sangat mudah dirombak oleh suhu yang tinggi, pencucian oleh air hujan dan sungai serta faktor-faktor fisik dan biologis lainnya menyebabkan racun ini tidak memegang peranan penting dalam pencemaran lingkungan.

 

Pestisida dan pencemaran lingkungan

Racun kronis sangat berbahaya bagi lingkungan karena daya bertahannya (residual effects) yang sangat lama disebabkan sukar terurai sehingga sekali racun ini digunakan ia akan berada dalam lingkungan untuk waktu yang sangat lama sampai berpuluh-puluh tahun. Sebagai contoh, Ddt

tidak terurai oleh sinar matahari ataupun sinar ultraviolet. Tekanan uapnya 1.5 x 10 -7 mm Hg -- demikian rendahnya sehingga DDT merupakan racun yang sangat besar efek residunya. Salah satu sifat buruk DDT dan pestisidapestisida organokhlorin lainnya adalah kecenderungannya untuk menempel pada lemak (lipofilik), sebagaimana telah disinggung di atas. Pestisida

golongan organokhlorin dan senyawa-senyawa heterosiklin yang bersifat racun kronis kuat adalah: DDT, Rothane, Dilan, Kelthane, gamma BHC,  Chlordane, Heptachlor, Aldrin, Endrin, Toxaphene, Strobane, Kepone dan Mirex. Daya larut bahan-bahan racun ini dalam air sangat rendah: DDT hanya 0,2 part per billion (ppb). Untuk menilai derajat pencemaran oleh pestisida digunakan jasadjasad indikator baik nabati (tumbuh-tumbuhan) maupun hewani. Jasad

indikator ini cenderung menyerap bahan pestisida dari lingkungan hidupnya. Salah satu jasad indikator pencemaran adalah moluska (jenis-jenis kerang). Makin besar kandungan racun dalam air, makin besar pula kandungan pestisida dalam tubuh kerang. Ikan cenderung menumpuk pestisida dalam lemak tubuhnya dan bila ikan ini pindah ke perairan lain yang belum tercemar, racunpun ikut terbawa sehingga daerah pencemaran menjadi lebih luas lagi. Cacing tanah merupakan binatang indikator pencemaran untuk tanah-tanah yang tercemar karena cacing tanah menelan tanah dalam jumlah yang besar untuk menjaring sejumlah kecil jasad renik untuk makanannya, sebagaimana kerang menelan air dalam jumlah yang besar untuk menyaring

makannya.

 

Literatur

 

Tarumingkeng, Rudy C. 1992. Insektisida –sifat, mekanisme kerja dan dampak penggunaannya. UKRIDA Press, 250 p